APP - 4
Ditulis oleh Aku-UMI
"Aku udah bilang belum kalau weekend aku mau reuni SMA?"
Kegiatanku memasukkan piring-piring kotor ke dalam dishwasher terhenti sesaat, tetapi aku kemudian menyelesaikannya. Sekarang, aku berbalik menatap Sadendra yang sedang berdiri di depan dispenser, menunggu gelasnya terisi.
"Minggu ini? Literally besok Jumat, dan Sabtu-nya?"
Kepalanya mengangguk.
"Kenapa baru bilang sekarang?"
"Seingetku udah bilang," jawanya sebelum menenggak air putih dari gelas. "Kamu ada acara?"
Aku mengangguk. "Aku juga baru mau bilang kamu, aku pengen ikutan kelas memasak."
Keningnya mengerut. "Kelas masak? Tumben?"
"Nggak ada salahnya dong, upgrade skill masakku. Lagian kamu kan kadang-kadang suka komentar makananku."
Dia tertawa pelan. "Komentar bukan berarti aku nggak mau makan, kan? Aku tetap suka makananmu. Gimana kalau kelas masakmu di minggu depan?"
"Okay."
Tak ada masalah berarti sebenarnya. Maksudku, seharusnya. Nanti aku tinggal bilang ke Indira untuk mencarikan jadwal lagi di minggu depan. Semoga aku masih kebagian slot.
Karena bagaimana pun, aku yakin Chef Hiroki memiliki banyak penggemar.
Asumsinya, kelasnya pasti akan selalu ramai.
"Ohya, Mas, aku harus ikut reuni kamu ini?"
Sadendra yang sudah akan berjalan meninggalkan dapur menghentikan langkah dan menoleh kembali. "Gimana kamu aja, kalau ikut ayo, kalau kamu nggak nyaman ya nggak apa-apa."
Aku berpikir sejenak.
Sebenarnya, ini bukan kali pertama dia akan reuni dengan teman-temannya selama kami bersama. Aku juga ... kalau tidak salah pernah ikut sekali atau dua kali dan semuanya berjalan baik.
Tunggu dulu ... "Reuni apa, Mas?"
"SMA."
"Kayaknya belum pernah, ya, aku ikut?"
Kepalanya mengangguk. "Aku juga sebenernya agak males sih, tapi nggak enak, dipaksa anak-anak yang dulunya deket pas SMA. Jadi, yaa, seenggaknya aku dateng walau nggak lama."
"Aku pikirin dulu deh, Mas. Besok aku kasih tau ikut enggak."
Ia tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah selesai dengan semua urusan perdapuran—sebenarnya tidak selesai. Jika kamu menjadi seorang istri dan ibu, tidak ada yang namanya pekerjaan rumah itu 'selesai'. Semuanya akan bersambung sampai hari akhir dunia.
Pada intinya, akhirnya aku memilih untuk bersiap mengantar Eleena ke sekolah. Anak gadisku ini memang unik, tidak boleh telat sama sekali. Jangankan telat, kami harus sampai di sekolah sebelum jam masuk.
Jadi, daripada mendengar ocehannya yang panjang, aku memilih untuk memangkas semua pekerjaanku dan mendahulukannya. Untuk sekolah, aku iyakan saja. Tetapi untuk hal-hal lain seperti bermain, aku rela berdebat.
Aku ladeni.
"Aku berangkat dulu, Sayang," pamit Sadendra, mencium keningku, kemudian beralih ke anak semata wayang kami. "Semangat sekolahnya, jangan nakal ke Mama dan temen-temen, oke?"
Eleena mengangguk patuh. "Hati-hati, Papa!"
Papanya sudah berangkat. Sekarang giliranku mengantar anak kami sekolah. "Pake sabuk pengamannya dulu ...." seruku riang sambil membantunya. "Eleena pagi ini suasana hatinya kayak mana?"
Ia mempraktikkan emoji senyum dengan kedua tangannya di depan wajah.
"Nggak pernah nggak semangat ya."
Ia tertawa. "Sekolah kan seru."
"Seru banget!" jawabku, lalu melanjutkan dalam hati: tunggu sampai rasanya kepalamu mau meledak karena muak dengan ujian.
Sambil meladeni obrolan Eleena, aku sedang memikirkan agendaku hari ini. Jadi, setelah nanti mengantar tuan puteri, aku sebenarnya bisa ... oh ya, aku baru ingat. Aku tidak boleh telat memberi kabar ke Indira tentang kelas memasak.
Kalau begitu, hal pertama yang aku lakukan saat sudah memastikan Eleena masuk ke area sekolah adalah menelepon Indira. Sebenarnya aku bisa saja menemuinya, kami bisa makan di area dekat kantor Indira.
Tetapi perempuan itu sering mengeluh waktu yang kurang. Dia bilang, kalau kami ketemu, obrolan yang kami lakukan bisa menyita banyak waktu tanpa kami sadari. Jadi, dia tidak ingin mendapat masalah di kantornya.
So, sebagai teman yang baik, kali ini aku akan memahaminya dengan memilih menelepon ketimbang menemui langsung.
"Apaan?" sapaan manis yang kudengar.
"Ngucap salam yang manis bikin lo miskin ya, Ra?"
Dia tergelak. "Hai, Kaia, salam kebajikan dan salam kaya raya. Ada yang bisa saya bantu?"
Gantian aku yang tak bisa menahan tawa.
Dia memang perempuan konyol.
"Soal kelas masak itu, gue nggak bisa minggu ini, Ra. Sadendra ada acara reuni, gue nggak tau ikut atau enggak sih, tapi tetep aja kan ikut enggak pun, gue jaga Eleena. We'll have to take a raincheck. Kapan lagi sih kelasnya?"
"Kapan laginya sih gue nggak tau, ya. Tapi harusnya ya dia kelas reguler gitu nggak sih, pasti selalu ada. Tapi coba nanti gue cari tau, ya...."
"Okay okay. Thank you."
"By the way, laki lo reuni apaan? Perasaan rajin amat reuni deh."
See?
Yang katanya tidak mau diganggu dan direbut waktu berharganya, malah dia yang senang sekali memancing obrolan panjang. Sebagai ibu rumah tangga yang butuh sosialisasi tambahan selain ngobrol dengan suami dan anak, tentu aku senang meladeninya.
"Sering versi lo berapa kali, sih," ejekku sambil tertawa. "Yang ini anak SMA katanya. Kayaknya emang baru ini deh selama gue kenal dia. Oh, speaking of reuni, menurut lo gue better ikut atau nggak usah, ya?"
"SMA ya ... hm, let me think ...." Sebenarnya, bukan soal kita bisa memutuskan keputusan dalam hidup, tetapi kadang kita butuh pendapat dari orang lain sebagai pertimbangan. Menurutku sih begitu. "Karena ini lo belum pernah ikut, menurut gue sih akan lebih baik lo ikut, Kai."
"Tapi males sebenernya. Karena gimana, ya, gue kan nggak sejago elo dalam berbaur, ya, kadang capek harus maksa diri buat nyampur ke buanyaaak orang gitu. Apalagi ini kan reuni SMA, pasti banyak banget orang, duh."
"Tapi .... Ini SMA. Rawan, lho."
"Maksudnya?"
Suara tawanya terdengar. "Kisah SMA, kan kisah paling menyenangkan, Kai. Gimana, ya. Lo bukan remaja tapi bukan dewasa gitu, lho. Jadi momen yang terjadi di SMA itu akan sangat sangat membekas. For me! Jadi, siapa tau di sana ada masa lalu Sadendra dan—"
"Jangan ngaco deh!" selaku mulai pusing dengan kalimat ngawurnya.
Kami jadi sama-sama tertawa.
"Tapi serius. Kisah yang terjadi di zaman SMA itu ibaratnya kayak belum tuntas gitu. Jadi, selagi lo punya kesempatan buat ngolah, ya bisa aja bakalan terjadi. Let's say, CLBK. Cinta lama belum kelar. Lo nggak tau kan Sadendra punya kisah apa aja di masa SMA?"
Indira benar-benar menyebalkan.
Aku tidak pernah berpikiran sampai ke sana.
Maksudku, kami sudah terlalu tua untuk meributkan hal-hal tidak penting seperti masa lalu. Kalaupun Sadendra memiliki kisah manis di masa SMA, ya biarkan saja. Toh itu bagian dari hidup dia. Kisah manis dan pahit adalah lembarannya.
Sama halnya denganku.
Aku pun juga menjalani berbagai kisah dalam hidup.
Kami sudah menikah bertahun-tahun, dan kami baik-baik saja. Masa lalu bukan lagi menjadi sebuah ketakutan untuk hubungan kami. Yang sering kupikirkan malah masa depan kami.
Pendidikan dan kehidupan Eleena nanti.
Hubunganku dan Sandendra di 10 tahun atau 20 tahun nanti.
Dan semacamnya.
Namun ...
Aku tidak bisa melupakan kalimat Indira sampai aku sudah di rumah. Skenario-skenario dadakan muncul di kepalaku, seolah merealisasikan apa yang dikatakan Indira. Bagaimana jika ternyata, Sadendra bertemu dengan masa lalunya?
Ck, masa lalu akan menjadi masa lalu, Kaia.
Aku bahkan pernah bertemu dengan mantan terakhir Sadendra yang digadang-gadang sebagai cinta sejatinya dulu. Buktinya, kami masih baik-baik saja sampai sekarang. Sadendra membuktikan bahwa apa yang dia miliki sekarang adalah apa yang dia mau dan akan dia jaga.
"Kisah SMA kan kisah belum selesai."
Aku tertawa.
Omongan Indira memang tidak sepatutnya aku telan mentah-mentah. Kami memang sering ngobrol ngalur-ngidul seperti itu.
Walaupun nanti akhirnya aku memutuskan ikut reuni, itu karena aku ingin menghargai suamiku dan tidak tega membiarkannya pergi sendirian. Sementara mungkin saja, teman-temannya datang membawa pasangan.
Aku mengangguk, bertepuk tangan pelan, mengapresiasi diriku sendiri.
Sungguh pemikiran seorang perempuan yang diidamkan banyak lelaki.
Well, setidaknya Sadendra.
Kalau begitu, tidak perlu menunggu besok, aku akan memutuskan sekarang. Mengambil ponsel, aku membuka room chat Sadendra dan mengetik pesan.
Aku ikut reunian, ya.
Kita bawa Eleena juga, biar kamu aman dari ledekan
temen-temenmu nanti. I'll save ur life :)
Senyumku melebar, menanti balasan dari suamiku.
Ia pasti happy dan bangga memiliki aku dalam hidupnya.
Kan!
Pesannya masuk dan balasannya seperti apa yang sudah kupikirkan.
Keluarga berencana kita memang terbaik.
Makasih, Sayang. Sampai ketemu nanti di rumah.
Aku mengembuskan napas lega.
Memang sudah seharusnya aku tidak ke-trigger omongan Indira. Dia sering ngasal kalau ngomong. Kisah lama belum kelar apanya, kami terlalu tua untuk itu dan sibuk memikirkan masa depan keluarga kami.
Jangankan masa depan, perdebatan masa sekarang pun kadang-kadang sudah bikin migren.
Mulai dari menu masakan yang seringkali bentrok antara mauku, maunya Eleena, dan maunya Sadendra. Tentang cara mengajar Eleena yang membuatku sering debat dengan Sadendra meski ujungnya saling meminta maaf.
Tentang waktu main dan kapan menginap ke rumah orangtua kami.
Tentang pertanyaan Eleena yang kadang-kadang di luar kapasitas kami untuk menjawab.
Tentang apa pun.
Bahkan peletakan gelas dan piring yang tidak seharusnya pun menjadi masalah besar yang seolah membutuhkan waktu sidang lama.
Jadi, boro-boro mau memikirkan kisah lama belum kelar, kalau kisah saat ini saja sudah sangat membutuhkan atensi kami.
Tapi, sebenarnya aku juga tidak bisa terlalu menyalahkan Indira, karena bagaimanapun dia belum menikah.
Sudut pandang kami memang sedikit-banyak akan berbeda, bukan?
Ada beberapa hal yang belum dia lewati.
Begitupun sebaliknya, ada beberapa hal yang aku sulit pahami dari posisinya.
Jadi, seperti di awal, aku akan menjadikan obrolan kami sebagai pertimbangan, bukan keputusan.
Karena aku adalah tokoh utama dalam ceritaku.
Aku yang harus berkembang di sini dan aku yang memegang kendali atas apa pun yang terjadi.
Jadi, dari pada sibuk dengan kalimat Indira, bagaimana kalau aku mulai memikirkan pakaian apa yang akan kami kenakan di reuni SMA Sadendra nanti?
Haruskah senada atau random yang penting kami berpakaian dengan baik?
Ya Tuhan, Kaia ....
Rasanya pakaian tidak lebih penting dipikirkan, dibanding kamu harus menyiapkan makan siang sebelum anakmu pulang.
Aku nyaris lupa!
**
Bab 7 bisa dibaca lebih dulu di Karyakarsa Dadodado atau Bukan-UMI :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro