APP - 3
Ditulis Oleh Dadodados
"Kok nilainya Eleena bisa jelek banget gini, sih? Kamu biarin dia main terus, ya?"
Satu kalimat yang berasal dari Sadendra itu saja sudah membuat hari ini terasa jauh lebih melelahkan dibanding hari-hari lainnya. Aku hanya bisa membiarkan daguku terjatuh ke lantai saking kagetnya. Ini levelnya satu tingkat lebih parah dibandingkan kalimat yang biasa kudengar seperti; 'kamu ngapain aja sampai rumah masih berantakan gini?' atau 'kok lauknya ini lagi, sih?' yang omong-omong sudah terngiang ditelingaku selama ini. Aku sampai bingung, memangnya apa yang para ibu lakukan di rumah? Berjemur di loteng agar mendapatkan warna kulit sehat bak orang-orang yang healing di pantai, gitu? Atau leha-leha sambil bergosip dengan tetangga melalui sambungan telepon? Atau berendam di bak mandi dengan aroma yang menenangkan jiwa serta raga sementara anak mereka meraung kelaparan di luar sana?
Pekerjaan sebagai Ibu Rumah Tangga masih dianggap sebelah mata oleh orang-orang. Padahal jika berhitung, berapa biaya yang diperlukan untuk membayar Asisten Rumah Tangga? Pengasuh anak? Akuntan? Tutor untuk mata pelajaran atau bahasa? Koki? Tukang kebun? Bahkan ada yang juga menjadi tukang ledeng, instalasi listrik, memperbaiki genteng bocor dan lain sebagainya. Saat orang-orang memiliki jam kerja sembilan jam dalam satu hari dan lima hari dalam seminggu, berapa memangnya jam kerja para ibu? 24 jam dan tujuh hari dalam seminggu. Yang omong-omong dalam peraturan pemerintah, lembur harus dikali setidaknya dua kali dari upah jam kerja biasa.
And people still have the audacity to ask things like that to you? Let's face it, society wants women to be allrounder, but keep that inferiority on your neck.
Aku mengurut pelipis dengan ibu jari saat tersadar kalau amarah semakin membuat kepalaku nyut-nyutan dan pikiranku semakin melebar ke mana-mana. "Kita bahas itu besok aja gimana? Kepalaku pusing banget, Mas."
Niatku untuk menghabiskan malam dengan kencan berdua saja sudah menguap ke udara padahal aku sudah mempersiapkan popcorn manis serta nachos untuk menonton film yang aku tahu dia akan suka. Yang aku ingin dengar setelah seharian yang melelahkan ini hanyalah ketenangan, detak jantung suamiku serta deru napasnya. Atau sesekali kecupan di dahi dan elusan sayang di lengan. Hal yang kini jarang kami lakukan karena kesempatan kencan seperti dulu sudah hilang. Bukannya membahas hal yang aku tahu pasti akan membuat kami ribut jika aku membalas ucapannya. Dan apa aku menginginkan hal itu malam ini? Tidak sama sekali.
Aku beranjak dari sofa berwarna krem, membawa serta popcorn serta nachos di kedua tangan. Bisa untuk camilan Eleena besok, pikirku.
"Kaia, nilai dia ini turun banget dibanding sebelumnya." Seakan tidak menangkap kodeku, Sadendra justru mengejar hingga ke dapur. Di tangan kanannya ada kertas ulangan yang menjadi permasalahan pria itu.
Aku membalikkan badan dan menghadapi Sadendra dengan kemarahan yang memberontak meminta dikeluarkan. "Mas, dia masih dapat nilai di atas delapan. Anak kamu juga bukannya robot yang nilainya akan sama terus-terusan di setiap ujian. Jangan terlalu perfectionist sama dia, deh. Delapan juga bagus, kok." Memangnya Eleena harus mendapatkan nilai 100 di setiap ujian? KPI orang dewasa saat bekerja saja bisa turun, apalagi anak kecil.
"Kalau kamu mau dia masuk ke sekolah yang bagus, good isn't enough."
Oh my god, here we go again. Aku harus mendengar ceramah bagaimana sekolah yang bagus dapat membantu masa depan seseorang lebih cerah and the bla and the ble and the blo. Sayangnya tidak untuk malam ini. Kepalaku sudah dihujani ribuan jarum dan rencana malam santaiku sudah pergi keluar jendela. Yang tersisa hanyalah kekesalan menggunung dan sudah dapat dipastikan berakhir seperti apa jika aku harus meladeni ucapannya juga.
Aku melintasi Sadendra, berjalan menuju kamar kami yang berada di seberang sofa, samping meja TV, sambil merapalkan doa agar suamiku itu tidak membahas hal ini lagi setelah membaca gelagatku yang tidak berhenti memijit pelipis. Lima menit aku berbaring di atas ranjang kami, baru pintu terbuka. Posisiku membelakangi pintu sehingga aku tidak tahu apa yang suamiku lakukan. Tidak peduli juga sebenarnya.
Ranjang yang biasa Sadendra tempati melesak masuk karena berat tubuhnya, pria itu diam selama lima tarikan napas lalu mengguncang bahuku pelan yang aku hadiahi ringisan yang keluar di antara gigi yang terkatup karena kepalaku juga ikut bergoyang.
"Ini, obat pusing kamu. Dan maaf aku menyebalkan. Pekerjaan di kantor benar-benar lagi banyak." Sadendra mengulurkan satu tablet putih dan juga air mineral yang aku terima dengan suka cita.
"Kalau itu masalah pekerjaan, kamu jangan bawa-bawa ke rumah, dong." Nah, tambah lagi kan pekerjaan istri. Menjadi pelampiasan amarah suami akibat masalah kantor. Apakah aku pantas menerimanya? Tentu tidak, tapi aku menjaga lidahku agar tidak mengomentari hal itu lebih jauh. Demi apa? Demi menjaga perdamaian dunia.
"Iya, maaf. Aku nggak akan ulangi lagi."
Itu adalah salah satu janji manis Sadendra yang aku telan mentah-mentah selama delapan tahun ini. Apa Sadendra berhenti melakukannya? Oh, tentu tidak. Tapi, lagi-lagi demi menjaga perdamaian dunia, aku menganggukkan kepala sambil mengingatkan tidak ada manusia yang sempurna. Aku juga tidak. Ada hal-hal menyebalkan yang aku tahu Sadendra harus maklumi dan menahan lidahnya. Tapi pria itu selalu mampu memberikan perhatian kepadanya bahkan ketika emosi mengambil alih. Seperti sekarang.
Sadendra membaringkan seluruh tubuhnya di atas ranjang lalu aku merasakan lengan pria itu menarikku mendur hingga punggungku menempel dada dan juga perutnya. Kepalaku terangkat secara otomatis, membiarkan lengan suamiku itu menjadi bantal kepala sementara tangan lainnya menguruti kepalaku dengan lembut. Gerakan yang statis membantuku untuk terlelap dan Sadendra tahu itu. Aku tersenyum sebelum mimpi benar-benar menjemputku.
**
Siang bolong dan aku tidak tahu kenapa Indira sudah nangkring di rumahku. Sahabatku itu tadi sempat menanyakan aku sudah di mana, dan sesaat setelah mobilnya terparkir di halaman rumah, Honda CRV mengilat milik perempuan itu muncul di belakangnya lalu menodong untuk makan dan minum.
Eleena senang bukan main ketika tahu tante favoritnya datang dengan buah tangan. Boneka bayi yang sedang hits, tetapi aku tidak mau membelikannya lantaran terlalu mahal untuk sebuah mainan. Aku memelototi Indira yang pura-pura tidak melihatku dan sibuk dengan pelukan dan ciuman Eleena.
"Itu sesekali aja," ujar Indira membela diri.
"Yeah right, sesekali dalam setiap bulan maksud lo?"
Indira tertawa lantang. "Gue nggak punya keponakan lain untuk dikasih hadiah. Masa ini aja lo mau ambil juga dari gue?"
Aku membuang napas melalui hidung dengan kasar. Ini senjata yang selalu Indira gunakan ketika aku memarahinya lantaran memanjakan Eleena dengan hadiah-hadiah mahal. Sebagai anak tunggal dan hanya dekat denganku, Indira otomatis tidak memiliki anak kecil lain untuk dihujani dengan berbagai hadiah lucu yang ditemukan di toko mainan anak ketika sedang pergi atau melancong ke luar negeri.
"Jangan beliin yang mahal, please. Lo bulan lalu habis beliin dia jam yang ada kamera dan bisa telepon itu," kataku memelas bercampur tidak enak hati. Indira terlalu royal membelikan hadiah untuk Eleena semenjak aku mengandung bocah itu. Masalahnya bukan hanya aku yang merasa tidak enak, tetapi juga Sadendra. Wajahnya kecut ketika ada orang yang memberikan hadiah mahal untuk anak kami. Katanya tidak enak merepotkan.
"Dan ternyata dia perlu itu kan? Sewaktu dia sakit di sekolah bulan lalu itu, dia bisa hubungin lo berkat jam yang gue kasih." Indira menepuk dadanya bangga dan ekspresiku semakin kecut. Aku tahu dia benar, meskipun aku enggan melisankannya.
"Anyway, kenapa lo siang-siang ke sini?" Aku membawakan lauk yang sudah kumasak tadi pagi ke meja makan. Indira sudah duduk manis di sana dengan Eleena yang baru saja selesai mengganti baju. Sedikit lebih lama dari biasanya lantaran gadis kecil itu mencari pakaian yang senada dengan boneka barunya.
"Gue baru pulang dari dinas luar kota. Dapat flight pagi tadi dan malas pulang atau harus ke kantor lagi, jadi gue ke sini aja." Aku dapat melihat indira tersenyum saat Eleena asyik memainkan boneka baru yang sudah bersanding dengan boneka lainnya di satu kursi. "Eh, minggu depan mau temenin gue nggak ke acara temen gue? Dia buka tempat les masak gitu dan adain demo memasak. Lo kan doyan tuh urusan dapur."
"Oh, ya? Dia chef?"
Satu anggukan kepala Indira menjawab pertanyaannya. Ia tidak pernah tidak heran dengan lingkungan pergaulan sahabatnya itu yang sangat luas. Segala jenis teman dari berbagai profesi dimiliki oleh Indira. Mungkin karena latar pekerjaannya yang seorang marketer membuat perempuan itu luwes berteman dengan siapa saja, selain memang pribadinya yang juga menyenangkan.
"Dia pensiun muda dari pekerjaannya. Terus mutusin buat buka tempat les gitu. Gue pikir lo bisa lihat-lihat cara masaknya. Dia sering ada di TV juga, sih. Lo kayaknya pernah tonton, deh."
"Siapa?"
Hidung Indira berkerut ketika mengingat-ingat, tapi aku tahu betul kalau mengingat nama orang adalah kelemahan paling besar dari Indira. "Hiroki something. Gue lupa nama panjangnya."
"Oh, Chef Hiroki Nawasena."
"Nah, iya itu. Lo mau ikut? Gue musti reserve slot ke dia."
Maunya aku mengangguk cepat, Chef Hiroki adalah celebrity chef yang sedang wira-wiri di televisi tanah air. Menu yang biasa dibuat adalah menu dengan bahan-bahan yang dapat dibeli di tukang sayur langganan sehingga memudahkan para ibu rumah tangga menonton acaranya. Aku beberapa kali mencoba resep chef itu dan selalu berhasil. Rasa semangatku langsung pudar saat sadar aku tidak bisa mengiakan ajakan Indira sekarang juga. Aku harus tahu dulu jadwal Sadendra seperti apa. Yang terakhir saja tiba-tiba Sadendra memiliki janji dengan temannya. "Gue tanya dulu ke suami. Dia bisa atau enggak main sama Eleena, soalnya bokap nyokap gue pergi juga minggu depan."
"Kasih gue kabar by weekend, gimana? Latest RSVP tanggal segitu soalnya. Seminggu sebelum acara."
Untuk yang satu ini aku dapat mengangguk dengan cepat.
7/6/22
Yang mau baca lebih cepet bisa ke Karyakarsa Dadodado yaa, udah sampe bab 6.
Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw. Thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro