APP - 2
Ditulis oleh Aku-UMI
"Kamu beneran nggak bisa batalin dulu janjimu, Mas?"
"Kamu bisa nggak batalin janjimu?"
Aku menghela napas lelah.
Meributkan hal sama berulang kali adalah rutinitas yang rasanya wajib dalam pernikahan. Kupikir, kehadiran anak akan membawa kebahagiaan tiada tara untuk kami. Tentu, Eleena hadir dengan suka cita yang tak bisa kutukar dengan apa pun.
Aku selalu menyebut gadis kecil itu sebagai bundle of joy and madness at the same time.
Namun, bukan berarti semuanya berjalan mudah.
Contoh kecilnya adalah pagi ini.
Saat tiba-tiba Sadendra mengatakan bahwa dia tidak bisa menjaga Eleena selama aku pergi karena dia pun harus keluar.
Padahal, terakhir adalah semalam, aku sudah memastikannya lagi bahwa semuanya baik-baik saja.
"Kita fair aja lah, Mas, janjimu kan dibikin dadakan. Mas bisa bilang sama temen-temenmu kalau hari ini nggak bisa. Sementara aku udah bikin janji sama Indira tuh duluan." Aku masih berusaha merayunya, berjalan di belakangnya yang kini sedang berdiri di depan lemari pakaian. "Gini deh, kamu ketemuan sama temenmu minggu depan. Gimana?"
Ia terdengar menghela napas kasar, kemudian membalik badannya dan menatapku. "Kamu ketemu sama Indira mau ngapain?"
"Quality time, hiburan sebentar."
Dia tak menjawab.
Jadi, aku merasa aku perlu memberi sedikit dorongan lagi untuk dia mengerti situasi. "Lagian, waktu kamu sama Eleena kan nggak sebanyak aku, Mas. Kamu bisa manfaatin ini biar bisa ngabisin waktu lebih banyak sama dia."
"Aku sayang sama Eleena, orangtua mana yang nggak pengen ngabisin waktu sama anaknya."
Lalu?
Ironisnya, aku tidak mengeluarkan kata itu dari mulut. Memilih diam, menunggu kalimat berikutnya.
"Aku ketemu sama temenku pun sama." Ia memberi jeda sebentar. "Senin-Jumat aku juga kerja, waktuku istirahat cuma Sabtu dan Minggu itu pun kalau nggak ada kerjaan dadakan. Dan kamu tahu? Aku ketemu sama temen-temenku ini pun bukan cuma buat haha-hihi atau bikin story—"
"Okay, udah, aku paham." Aku menganggukkan kepala. "Jangan dilanjutin, kalimatmu selanjutnya itu akan nyakitin aku." Aku mengembuskan napas kencang, mengedarkan pandangan untuk mencari tas yang sudah kusiapkan tadi. "Aku bawa Eleena ke rumah Mama, kamu perginya hati-hati. Aku pergi dulu, Mas."
Tanpa menunggu jawabannya lagi, aku berjalan meninggalkan kamar dan menemukan anak gadisku sedang duduk di sofa, menonton kartun di televisi. Setelah berhasil duduk di sebelahnya, aku mengelus rambutnya, sambil bertanya, "Eleena kangen sama Oma nggak?"
Ia menoleh, berlagak berpikir keras.
Aku tertawa. "Kok mikirnya lama?"
"Kangen, sih ..." Dia terkikik pelan. "Mama mau ke sana?" Ia memperhatikan penampilanku. "Ikuuuut."
"Dengerin sebentar." Aku merangsek mendekat, berusaha untuk mengajaknya berbicara selembut mungkin. Supaya dia tidak merasa tidak ingin dilibatkan oleh orangtuanya. Tidak akan pernah. Dia ini akan selalu jadi segalanya. "Mama, kan, udah terlanjur janji sama Tante Indira mau ketemu dia, kan?"
Kepalanya mengangguk.
"Tadinya, Eleena sama Papa, main berdua. Tapi ...." Aku menunggu reaksi marahnya, tetapi dia memberiku tatapan penasaran. "Papa ada telepon dadakan, penting banget. Papa nggak bermaksud buat main sama Eleena, dia juga sedih. Tapi, urusan orang dewasa kadang memang nggak bisa ditebak."
"Kasihan Papa ...." lirihnya, sambil memberiku tatapan sedih.
"Iya. Jadi, karena Papa dan Mama harus keluar di waktu yang sama, Eleena Mama anterke rumah Oma, mau?"
"Ma ... u!"
"Good girl. Nanti main sama Oma di sana. Begitu Mama selesai, Mama langsung jemput, okay?"
"Okay!"
Kami melakukan pinky promise.
"Eleena nggak marah sama Mama dan Papa?"
Eleena menggeleng dengan tegas.Kemudian aku mengajaknya untuk berangkat.
Di sepanjang jalan, dia sungguh-sungguh menggambarkan bahwa dia tidak kecewa sedikit pun. Ia bercerita terakhir kali datang ke rumah Oma dan apa yang mereka lakukan ketika bersama.
Dulu, kupikir, memiliki anak adalah momen mengajar seumur hidup untukku.
Nyatanya, semua terbalik.
Eleena mengajarkanku banyak hal. Tentang kebahagiaan yang begitu sederhana atau tentang ketidaktahuan apa-apa yang membuat hati justru tenang.
Ponselku berdenting tepat saat aku mematikan mesin mobil di halaman rumah Mama. Sebuah pesan dari Sadendra.
Hati-hati di jalan, Sayang. Titip salam buat Mama dan Papa.
Buat Indira juga.
Aku memilih untuk tidak menjawabnya.
Maksudnya, tidak sekarang.
Bukan karena tidak menghormatinya, tetapi aku tidak ingin emosiku membuat semuanya malah lebih buruk. Nanti, saat sudah mereda, aku pasti sudah bisa kembali seperti sedia kala. Aku akan memberinya kabar.
Mama menyambut Eleena dengan ekspresi suka cita.
Aku menyempatkan diri untuk memeluknya dan mengobrol sebentar, sebelum akhirnya pamit karena takut telat lama.
Ternyata, aku masih sangat beruntung, karena begitu aku tiba di cafe tujuan, Indira belum ada. Dia bahkan belum membalas pesanku. So, aku memilih memesan minuman dan camilan lebih dulu.
Sambil menunggunya, aku memainkan ponsel, membuka Instagram.
Postingan orang-orang yang ku-follow kadang cukup menghibur, tak jarang juga yang menampar. Seperti yang sedang kulihat saat ini, video salah satu temanku yang berisi suami dan anaknya sedang bermain berdua.
Yang seperti ini, jika aku telan mentah-mentah, maka sudah pasti aku akan mengeluh dan membandingkan kehidupan kami. Tentang kejadian Sadendra tadi pagi yang seolah lebih memilih temannya dibanding anaknya sendiri.
Padahal, kalau dilihat ke belakang, suamiku adalah ayah terbaik.
Hanya karena satu kejadian, seharusnya tidak membuat semua kelebihannya sirna.
Aku langsung berpindah ke aplikasi WhatsApp dan membuka obrolanku dengannya.
Hai, Mas. aku udah sampe di cafe, lagi nunggu Indira.
Maaf tadi aku ngeselin, ya. Kamu hati-hati di jalan dan titip salam buat temen-temenmu
Begitulah.
Dalam pernikahan, kau akan terus belajar. Belajar memahami, belahan menahan ego, belajar mengalah, and so on.
Bukan tentang siapa yang salah dan dan siapa yang mengalah, tetapi kedua belah pihak harus sama-sama bekerjasama. Aku beruntung partner hidupku adalah Sadendra.
"Dor!!!"
Tubuhku berjengit, kemudian aku memberinya tatapan kesal begitu tahu siapa pelakunya.
Indira mengambil duduk di seberangku. "Mau gila gue rasanya!" Tanpa permisi, ia mengambil minumanku dan meneguknya cepat. "Weekend lho, tapi seolah gue nggak punya kehidupan lain selain kerjaan. Sadar diri dong, Bos, please lah! Ngeselinnya karena yang bisa gue lakuin cuma 'Siap, Pak, saya kirim dalam lima belas menit'. Mau meledak kepala gue, aargh!!"
"Tapi lebih meledak kalau nggak punya duit, kan?"
"Diem lo!" Telunjuk Indira mengacung. Ekspresi dan gesturnya itu membuatku tertawa. Sahabatku yang sangat ekspresif. Sebenarnya kami sama, dia hanya lebih dosisnya ketimbang aku. "Gue paling benci tuh perbandingan yang ngeselin itu. Mendingan stres kerjaan daripada stress nyari kerja. Please, nggak ada yang mending dalam kesedihan, maunya tuh solusi, bukan milih kesedihan lain."
Kami saling tatap ... kemudian tertawa bersama.
"Sori, jangan bahas kerjaan deh, Kai."
Aku mengangkat kedua tangan di udara.
"Gue pesen minum dulu, bentar ya." Ia berdiri, menuju meja kasir. Setelah beberapa lama kuperhatikan ia memesan, ia kembali lagi ke meja kami. "Gimana kabar laki lo? Kerjaanya masih aman?"
Aku tertawa geli karena mengingat dirinyalah yang beberapa saat lalu meminta untuk tidak membahas pekerjaan. "Kabarnya baik. Kerjaannya baik, dan ya, mirip-mirip sama lo lah masalahnya. Namanya juga karyawan, kalau bos besar kan beda lagi masalahnya."
"Asliiiik!"
"Tapi seru tahu, Ndi."
"Apanya?"
"Kerja." Aku langsung menggelengkan kepala. "Maksudnya bukan berarti gue menyesali keputusan gue menikah, ya. Menikah sama Sadendra dan punya Eleena adalah hal terbaik dalam hidup gue."
"I know .... Santai."
"Tapi, kadang ... wajar dong gue kangen momen-momen stress kerjaan gitu." Aku tertawa. "Ini cuma beda level stress aja sih. Lo pengen nikah, gue kadang pengen kerja kayak dulu."
Ia mengangguk-anggukkan kepala. "Bener sih, dulu gue kan agak nggak rela gitu ya, lo beneran berhenti kerja total. Tapi, liat kehidupan lo sekarang, happy sama keluarga lo, gue jadi ikut seneng. Dan sadar, kalau manusia itu bisa beradaptasi di banyak situasi dan menciptakan kebahagiaannya sendiri."
See? Indiraku juga bisa menjadi sangat bijaksana.
"Masalah bosen mah wajar. Kita emang akan bosen sama rutinitas yang berulang. Tapi, selagi partner hidup lo orang yang tepat, gue yakin lo bisa jalani ini sampai titik akhir. Kaia mana pernah gagal dalam misi apa pun. Iya, kan?"
Aku tertawa, mengibaskan tangan. "Bisa aja lo."
"Tapi serius," ucapnya dengan nada dan ekspresi yang sama seriusnya. "Gue pengen pindah kerja ihhhh! Bisa nggak sih kerja santai gaji serius, terus nggak stres."
"Sugar baby aja."
"Menurut lo, gue memenuhi nggak jadi sugar baby?"
"Gila lo!"
Ia terbahak-bahak. Kemudian kami diam karena pesanannya datang. Setelah kami kembali hanya berdua, Indira izin sebentar untuk melihat ponselnya. Tentu, setelah itu, matanya langsung berbinar dan kalimat pertama yang terucap dari bibirnya adalah, "Tahu nggak sih ...."
Ini adalah awal analisa kami dimulai.
Dia tidak pernah kehabisan cerita setiap kami bertemu.
"Gue pikir, ya, labrak-labrakan itu cuma ada di film, at least, on social media." Ia mengibaskan rambut panjangnya yang curly itu ke belakang. "Ternyata gue nyaksiin langsung!"
"Di kantor lo?" Drama percintaan memang selalu seru untuk disimak.
"Enggak sih, maksudnya belum." Indira tertawa pelan. "Jadi, temen kantor gue punya kenalan anak divisi sebelah. Nah, temennya temen gue itu punya temen cowok. Kok gue bingung sendiri, ya. Jadi, anggap temen gue nih A, si A ini punya temen divisi sebelah, kita sebut B. Paham nggak?"
Aku mengangguk. "Paham-paham."
"Terus B ini punya temen kantor cowok, kita sebut C. Nah C ini selingkuh, bukan-bukan. Dia demen jajan anjir." Ekspresi kami pasti sama, mual dengan fakta ini." Si B ini awalnya nggak sengaja kan ketauan. Karena udah terlanjur tau, jadi si B ini terlibat gitu sama si C. Mereka malah jadi sering ngobrol, karena mungkin C takut ketauan sama temen-temen kantornya atau bahkan istrinya. Lo tau?"
Aku menatapnya penuh antusias.
"Long story short, si B yang malah di-chat istrinya C, dikira dia yang selingkuhannya. Anjir, pusing nggak lo kalau jadi dia!"
Refleks aku menutup mulut. "Terus B ngaku kalau suaminya itu suka jajan?"
"Terakhir temen gue bilang sih belum, dia berusaha jelasin kalau bukan dia yang jadi selingkuhan." Indria menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pusing gue sama drama rumah tangga. Kalau liat kehidupan lo, gue pengen nikah, liat modelan begini, takut. Happy enggak, ketularan penyakit kelamin iya nanti."
Aku berusaha ingin menenangkannya. "Kan nggak semua cowok kayak gitu, Ndi. Banyak cowok baik, kok."
"Iya sih. Termasuk Sadendra, ya. Gue bersyukur banget deh lo dapet dia, bukan kayak si cowok berengsek ini." Seketika matanya melotot. "Kok bisa gue baru inget, Eleena cantikku apa kabar? Ih kenapa tadi nggak diajak aja sih?"
"Sama Nyokap dia. Tadi gue anterin."
"Lah bapaknya ke mana hari Sabtu gini?"
"Kan kayak lo gitu, masalahnya."
Ia meringis. "Nasib budak perusahaan emang."
Aku tertawa.
Kemudian kami melanjutkan obrolan sambil mengunyah makanan yang ada. Bertemu dengan Indira sering kali membuatku merasa full akan asupan dari kehidupan luar. Karena kisahku biasanya akan seputar suami dan anak.
Oh, aku tidak sedang mengeluh, aku sangat bahagia menjalankannya.
Namun, bahagiaku juga bertambah setiap aku menemui perempuan keren ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro