Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4 - Persamaan

Kalau saja keahlian Ami adalah menjahit seperti ibunya, Ami bersumpah akan membuka sebuah tempat jahit dan menerima jahitan. Lalu menyibukkan diri dengan banyaknya benang dan kain seumur hidupnya. Hanya saja, keahlian Ami—yang sialnya Ami sesali—adalah dalam bidang perpajakan, yang menurut Ami, begitu memuakkan. Iya, Ami bukan orang yang teliti, sehingga seringkali ia salah mencantumkan angka. Hey, satu angka saja sudah berpengaruh buruk sehingga Ami harus buru-buru memperbaikinya. Dan lelah ketika ia harus melawan macetnya kota Jakarta, hanya untuk memenuhi panggilan AR padahal kesalahannya tak seberapa.

Ami keluar dari mobil seraya memeluk amplop yang dibawanya. Ponselnya berbunyi, membuat Ami meraih headset, lalu berbicara seraya berjalan. "Halo. Ami di sini."

"Hai, Mi!" sahut suara di seberang sana.

Ami mengerutkan kening. Ia masuk, memencet tombol, melihat nomor antreannya, kemudian duduk di barisan paling belakang. "Rara! Ya ampun, lo nelepon di saat nggak tepat banget! Gue lagi di kantor pajak."

"Aduh, Mi. Katanya udah capek kerja, capek urusin faktur pajak, kok masih aja seneng datengin tuh kantor?"

"Ya gimana lagi, Ra. Namanya juga butuh."

"Apa banget deh, Mi. Lo minta kerjaan sama Tante Isti juga pasti nyokap lo kasih. Tinggal maunya aja, sih."

"Kerjaan bikin baju? Yang ada malah si Mama kasih gue kerjaan buat bersihin benang-benang doang."

"Eh, tapi kan nyokap lo desainer terkenal, Mi. Gaji buang benang juga pasti setara gaji PNS."

"Mimpi lo, Ra, ketinggian."

Di seberang sana Rara tertawa sementara Ami menelusuri pandangannya ke seluruh kantor tempatnya duduk. Aman. Semua orang tidak terganggu dengan kehadiran dan pembicaraannya, jelas. Ami nyaris seperti berbisik.

Ami melanjutkan pembicaraannya, tetapi Rara menghilang sejenak.

"Halo, Ra?"

"Sorry, Mi, anak gue bangun. Yuk lanjut lagi ngobrolnya, ini gue sambil nyusuin nih ya, Sayang, ya?"

Kalimat terakhir Rara ucapkan untuk anaknya karena suaranya berubah menjadi lebih riang. Ami tersenyum, ia ingat dengan Abi yang dipeluknya pagi ini. Ya Tuhan, senang sekali sepertinya memiliki bayi seperti sepupu dan teman-temannya.

"Eh, Nanda udah lahiran ya, Mi?"

"Iya, Ra."

"Lo gimana?"

Setiap kali sahabatnya bertanya, "Lo gimana?" Ami tak pernah merasa baik-baik saja.

Ami menundukkan kepala, kemudian berkata, "Ra, gue bahagia Nanda udah lahiran, tapi makin dilihat si Abinya, makin gue pengin nangis, tahu."

Di seberang sana Rara tak menjawab, tapi perasaan Ami tiba-tiba saja campur aduk.

"Gue pengin punya bayi, Rara. Serius. Makin dipikir-pikir, makin ditahan-tahan, gue malah makin yakin gue pengin punya bayi."

"Ya masalahnya lo punya bayi dari mana? Lo kan nggak bisa membelah diri. Cari dulu suami, baru lo bisa punya bayi."

Membelah diri? Sialan si Rara.

"Tapi lo tahu sendiri, gue nggak mau nikah."

"Eh, Cinta, nikah itu enak. Semuanya anget. Dapur anget, hati anget, dompet anget, badan juga anget. Lo nggak ngiler liat gue?"

Blush! Pipi Ami memerah, ia malah malu sendiri mendengar ucapan Rara.

"Gue lebih ngiler liat yang punya bayi daripada liat yang punya suami, Rara."

"Dasar gila. Lo mikir dong, Mi. Kalau lo punya anak tapi nggak punya suami, muka lo mau ditaruh di mana? Eh salah, muka emak lo!"

"Ya, maksudnya nggak gitu juga. Eh, Ra, apa gue adopsi anak aja, ya? Adopsi bayi yang baru lahir gitu."

Sejak dua tahun yang lalu, adopsi adalah pilihan yang selalu melintas dari kepala Ami. Ya, kalau mengadopsi, Ami tidak harus menikah, kan?

"Masyaallah, Azmina Sayang. Lo lajang aja susah dapet pacar, gimana lo punya buntut? Jatuhnya jadi gadis rasa janda, Mi. Udah lah, lo nikah aja. Cari pasangan yang bener, nikah, dan punya anak. Gue selalu doain kalau lo bakal dapet pasangan yang bener-bener bisa mengerti diri lo dan ketakutan lo. Suer, deh."

Ami hendak menyanggah ucapan Rara, tetapi matanya melirik nomor antrean yang menunjukkan bahwa ia tinggal menunggu satu nomor lagi sebelum nomornya dipanggil. "Eh, Ra, sorry banget gue mau kasih dulu nih amplop. Bentar ya, tar gue telepon lagi."

Begitu sambungan teleponnya terputus, Ami bersiap-siap dengan berkasnya, tetapi ia melirik pria yang bergeser, hingga duduk di dekatnya dan berkata, "Mbak, mau punya bayi sama saya?"

Ami mengerjapkan mata. Apa katanya? "Ya? Apa, Mas?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan.

"Nomor antrean lima belas."

Belum sempat mendengar ucapan pria di sampingnya, nomor antrean Ami sudah dipanggil sehingga ia menatap pria di hadapannya penuh sesal. "Maaf, Mas. Nomor saya dipanggil."

Setelah itu ia beranjak, langkahnya semakin cepat ,sementara dirinya bergidik dengan ngeri. Hey, apa yang baru saja didengarnya?


***


Selamanya emosi adalah sesuatu yang tak pernah bisa beriringan dengan pemikiran jernih yang bisa menyelamatkan keadaan.

Aidan berdiri di luar kantor seraya memukul kepalanya berulang-ulang. Apa-apaan barusan? Apa yang dilakukannya? Dan kenapa mulutnya lancang sekali? Berani-beraninya mengatakan hal itu pada wanita yang tak dikenal olehnya. Hey, wanita itu bisa berpikir kalau Aidan adalah lelaki hidung belang yang kerjaannya menggoda wanita. Oh tidak, menyeramkan sekali. Tapi ekspresi wanita tadi memang menjelaskan semuanya, wanita tadi jelas terkejut dan kebingungan dengan apa yang dikatakan olehnya.

Sial, Aidan. Gara-gara emosi terhadap Ayahnya, kemudian pemikiran-pemikiran yang mengganggunya beberapa hari ini, dan ... Ya Tuhan, Aidan yakin bahwa acara mengupingnya adalah salah satu alasan kuat kenapa Aidan bisa mengatakan hal tersebut kepada wanita itu.

Tapi memang benar kan? Wanita itu bilang ia ingin punya bayi, tapi ia tidak suka menikah. Nah, Aidan sendiri juga tidak mau menikah, tapi ia membutuhkan bayi. Maksudnya daripada Aidan harus meniduri wanita secara acak dan berakhir menjadi seorang bajingan, lebih baik kalau—oh tidak! Aidan tidak boleh memikirkannya.

Iya, Aidan tidak memikirkannya, tetapi Aidan malah diam di sini dan menunggu wanita itu muncul di hadapannya. Apa-apaan!

Ponselnya bergetar, tapi Aidan bahkan tidak menghiraukannya. Setidaknya, ia harus meminta maaf pada wanita itu karena mengatakan hal yang tidak-tidak. Iya, ia menunggu di sini untuk meminta maaf, bukan untuk melanjutkan pembicaraan, dan membuat sebuah kesepakatan. Oh tidak, pikiran gila sialan!

"Iya baru beres nih gue, Ra. Bentar doang sih, barusan gue sekalian konsultasi aplikasi juga, punya gue eror. Malah lebih lama ngobrolin aplikasi deh daripada ngobrol sama AR. Ada-ada aja."

Aidan membalikkan tubuh begitu mendengar seseorang yang berbicara lewat telepon. Benar saja, rupanya memang wanita tadi. Sosoknya sedang berjalan menuju parkiran, tidak sempat melihat Aidan karena mereka saling memunggungi sebelumnya.

Oke, baiklah. Yang Aidan lakukan adalah meminta maaf, kan? Ingat apa kata ibunya: minta maaflah sekecil apa pun salahmu, karena dengan maaf orang-orang bisa lebih menyayangimu. Iya, ibunya selalu mengajarkannya meminta maaf karena ia tidak mau Aidan seperti ayahnya, yang tak pernah mau meminta maaf.

Menelan ludah, Aidan berjalan dan mengikuti wanita itu. Ia sendiri kebingungan, menghadang wanita itu tiba-tiba akan terasa aneh, tapi mengikutinya juga lebih aneh lagi. Sialan, kenapa dia banyak berpikir seperti ini sih?

"Ekhm." Aidan memutuskan untuk berdeham, tapi wanita itu sibuk berbicara di telepon sehingga suara deham Aidan tertelan oleh suara obrolannya.

Maka sebelum semua terlambat, Aidan menepuk pundak wanita itu dan memanggilnya.


***


"Mbak."

Ami terperanjat. Ia nyaris berteriak kalau saja tidak sadar di mana dirinya berada. Tepukan dan panggilan dari seseorang membuat detak jantungnya berpacu dengan cepat karena ia benar-benar terkejut.

Gadis itu menoleh dan ia mendapati seorang pria tinggi yang memakai kemeja abu tersenyum kikuk ke arahnya. "Mas, panggil saya?" tanyanya.

Pria itu menggaruk kepalanya. "Iya, saya yang tadi."

Kening Ami mengkerut. Yang tadi?

Matanya memicing seraya memperhatikan pria di hadapannya. Yang tadi? Yang mana? Ah! Ya! Ami ingat. Yang tiba-tiba saja berbicara aneh kepada Ami? Oh Tuhan! Apa yang akan dilakukannya sekarang? Hey, dia tidak akan berbuat macam-macam kan?

"Mbak, saya bukan orang jahat," sahut Aidan. Ia begitu menyesal karena harus membuat wanita di hadapannya berpikiran macam-macam terhadapnya. Aidan mengulurkan tangan. "Saya Zaidan, tapi Mbak bisa memanggil saya Aidan."

"O-oke," jawab Ami begitu saja. Sesungguhnya ia sendiri kebingungan. Kenapa pria ini tiba-tiba menyebutkan namanya?

"Hmm, gimana ya, Mbak bilangnya. Oh iya, kayaknya ngobrol di sini nggak enak. Mbak, ada waktu? Kita bisa ngobrol di kantin kantor ini kayaknya."

Setelah menyebutkan nama, sekarang mengajaknya mengobrol? Hey! Apa yang sebenarnya akan dilakukan pria ini? Apakah ini semacam modus baru tindakan asusila terhadap wanita? Ya Tuhan, manusia jaman sekarang memang tidak ada yang bisa dipercaya.

"Mbak, oke maaf sekali lagi kalau saya kelihatannya aneh." Aidan meralat kembali apa yang sudah dilakukannya. Lagian, kenapa susah sekali sih untuk mengutarakan apa yang ingin dia katakan? "Takutnya malah makin aneh, saya cuman mau minta maaf. Tadi saya lagi emosi, dan tadi saya nggak sengaja mendengar pembicaraan Mbak, jadi pikiran licik saya tiba-tiba muncul dan mungkin kita bisa menjadi rekan yang saling menguntungkan."

Kening Ami berkerut, apa sih maksudnya?

"Hmm, oke maaf lagi. Intinya, saya cuman mau minta maaf. Maaf, karena sudah mengatakan hal yang tak sepantasnya kepada Mbak. Semoga Mbak memaafkan saya."

"Maksud dari hal yang nggak sepantasnya itu?"

"Yang tadi saya katakan."

"Oh, yang itu," sahut Ami. Ia menganggukkan kepala. "Oke deh, Mas. Nggak apa-apa, saya maafkan."

"Maaf ya, Mbak. Tadi saya memang lagi bingung."

Kening Ami berkerut.

"Saya emosi juga."

Pria ini emosi kenapa?

"Dan saya nggak sengaja dengar pembicaraan Mbak, jadi saya malah mikir yang aneh-aneh. Kalau gitu saya permisi ya, Mbak. Sekali lagi maaf, tadi saya mengira bahwa sepertinya kita punya permasalahan yang sama."

Aidan tersenyum. Ia permisi kemudian berlalu darihadapan Ami, tetapi rasa penasaran menggelitik kepala Ami sehingga ia memanggilAidan dan bertanya, "Permasalahan apa ya, Mas? Apa yang sama?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro