Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2


Akhirnya pernikahan sederhana dilaksanakan di rumah megah keluarga Bram, hanya dihadiri paman Meliana sebagai wali, juga ada ibunda dan adik Meliana, lalu dari pihak Bram hanya ibu dan kakaknya. Petugas dari KUA dua orang dan dua orang satpam keluarga Bram sebagai saksi.

Meli dan keluarganya sejak awal merasakan bahwa ini pernikahan yang dipaksakan oleh Bram, melihat wajah datar ibu dan kakaknya, ia tahu bahwa pernikahannya tidak akan baik-baik saja. Selesai pelaksanaan akad, ibu, adik dan paman Meli segera pamit, hanya anggukan kaku tanpa senyum dari ibu dan kakak Bram. Petugas KUA pun segera pamit dan menyerahkan buku nikah pada Bram dan Meliana.

"Pak Sukri dan Pak Karyamin silakan kembali bertugas." Suara tegas dan datar Gayatri terdengar menakutkan. Dua orang satpam itupun menganggukkan kepala dengan patuh dan keluar dari ruang tamu.

"Dan kau Bram juga istrimu, tetap di rumah ini, jangan punya pikiran bahwa setelah menikah akan pindah dari rumah ini, aku sudah menuruti kemauanmu menikahi wanita pilihanmu Bram, kini waktunya kau mengikuti kemauan ibu, ada acara apapun di perusahaan jangan pernah kau bawa istrimu, tak apa kau mengatakan sudah punya istri silakan, bilang saja pernikahannya dilakukan tertutup, tiap ada acara besar di perusahaan cukup kita bertiga yang hadir, mengerti," Gayatri melihat Meliana yang menunduk mengangguk pelan, sedang Bram hanya menatap ibunya dengan tatapan ingin protes tapi ia urungkan.

Untuk sementara akan ia turuti kemauan ibunya tapi selanjutnya sedikit demi sedikit ia akan mengajak Meli, mengenalkan Meli pada dunianya.

"Dan kau, di rumah ini hanya tamu, jadi jangan sok ngatur dan lain-lain, kerjakan tugasmu sebagai seorang istri, segera berikan kami cucu, aku beri waktu kau setahun, jika tidak maka akan aku carikan istri baru untuk Bram."

Bram berdiri, menarik lengan Meli agar berdiri juga, dengan ragu Meli ikut berdiri. Gayatri menatap keduanya dengan tatapan marah.

"Mau ke mana, ibu belum selesai bicara."

"Kami mau istirahat, sejak awal pernikahan ini jadi menyesakkan, aku hanya merasa ibu memang tak ingin kami bahagia, kami pamit mau masuk kamar, setidaknya di kamar kami jadi suami istri yang berbahagia."

"Kau ...." suara Gayatri tertahan.

Dan Bram setengah menyeret Meliana untuk ikut ke kamarnya.

.
.
.

Bram memeluk Meli, mengusap punggung terbuka istrinya. Ia tahu jika ke depannya jalan masih akan terjal, maka di kamar merekalah Bram berusaha membahagiakan istrinya. Mengusap keringat yang masih tersisa di kening Meli yang matanya telah tertutup sejak tadi. Kelelahan pasti. Bram yang telah lama mengenal dan berhubungan sesuai dengan norma pergaulan benar-benar tak pernah menyentuh Meli, hanya genggaman tangan dan mencium kening Meli selama bertahun-tahun mereka berpacaran. Maka setelah sah di mata agama dan negara Bram benar-benar menuntaskan hasratnya yang telah lama terpendam. Bahkan ia lupa jika istrinya belum makan.

Perlahan ia bangkit, menyelimuti istrinya yang masih tertidur nyenyak. Bram melangkah ke kamar mandi membersihkan badan setelah merasa lengket karena aktivitas yang telah lama ia nantikan, tersenyum sendiri di kamar mandi mengingat bagaimana dirinya dan Meli sama-sama melakukan untuk pertama kalinya, kikuk dan malu.

Setelah mandi Bram bergegas ke ruang makan, mengambil nasi dan lauk untuk dinikmati berdua dengan Meli yang telah resmi menjadi istrinya.

"Mau kau bawa ke mana piring penuh nasi dan lauk itu Bram?" suara ibunya mengagetkan Bram. Bram menoleh menemukan wajah kaku ibunya.

"Mau aku bawa ke atas Bu, kasihan Meli, dia pasti lapar karena dia kelelahan, aku lupa kalau dia belum makan," sahut Bram.

"CK ck ck ... baruuu saja jadi istrimu beberapa jam lalu, sudah sanggup mengubah kebiasaan yang ibu tanamkan bertahun-tahun padamu, lalu mana pantas suami melayani istrinya, makan ya di ruang makan, sejak kapan kau patuh pada istrimu hingga mengambilkan makan dan makan di kamar?" suara Gayatri semakin tinggi, kakak Bram yang sudah berdiri di samping ibunya hanya mengelus bahu ibunya, agar tidak melanjutkan perselisihan.

"Tidak ada yang menyuruhku Bu, bahkan Meli masih tidur, dia tak tahu jika aku mengambil makanan untuknya, dia takkan pernah berani menyuruh-nyuruh aku, dia wanita tahu diri." Bram segera meninggalkan ibu dan kakaknya.

"Ini masih hari pertama Berta dan Bram mulai berubah, wanita itu memang terlihat sabar tapi kita tak tahu dia seperti apa, Bram mulai berani menentangku."

"Ibu harus mengatur emosi, ingat penyakit ibu, ibu tidak usah berpikir apa yang mereka lakukan, jika dia sampai aneh-aneh biar aku yang menghadapinya, ibu sabar saja aku sedang menyusun rencana tapi mungkin ini akan memakan waktu agak lama."

Gayatri menoleh menatap Berta, menatap tepat ke arah manik mata anaknya.

"Maksudmu?" tanya Gayatri tak mengerti.

"Aku ingin Bram menikahi Laksmi, wanita itu lebih cocok bersanding dengan Bram, takkan membuat malu Bram jika berada di lingkungan manapun," ujar Berta.

"Tapi apa Laksmi mau?"

"Yah dia mau Ibu, hanya dia masih akan berusaha melupakan almarhum suaminya, meski Laksmi janda tapi dia janda tanpa anak, Bram takkan sulit beradaptasi karena jika ada anak kan masih harus belajar saling suka dengan anaknya, aku yakin Bram akan mau."

"Aku yakin akan sulit Berta, sejak dulu Bram tak punya ketertarikan pada Laksmi."

"Kita belum tahu ibu, ibu kan sudah bilang pada wanita itu, jika dia tak kunjung punya anak maka Bram akan ibu nikahkan lagi, melihat badannya yang kurus kering aku yakin dia takkan bisa punya anak,"

"Belum tentu Berta."

"Kita lihat saja Ibu."

.
.
.

Meliana menggerakkan badannya saat merasakan ciuman berulang di keningnya. Ia membuka mata dan mendapati wajah tampan suaminya yang menatapnya penuh cinta, memeluknya dengan erat, senyum lembut tersungging di bibirnya, tangannya tak henti mengusap rambutnya perlahan.

"Bangun dulu, mandi, kamu belum makan," Bram masih saja mengusap rambut legam Meliana.

"Iya, aku lapar Mas, mana nggak enak rasanya ini pas aku gerakkan kaki, rasanya ada yang aneh" sahut Meli sambil mengernyitkan alisnya, merasakan perih yang tak biasa.

"Makanya, aku gendong ke kamar mandi ya?"

"Nggak Mas, aku jalan sendiri aja." Meli mulai bangkit sambil melilitkan selimut ke badannya. Saat akan menggerakkan kakinya, ia merasakan perih lagi di pangkal pahanya.

"Sakit? Aku gendong ya?"

"Nggak ah, aku bisa jalan sendiri, perih kayak gini kan nggak lama paling," sahut Meli sambil melangkah pelan ke kamar mandi, Bram melangkah mengikuti istrinya dan menggendongnya menuju kamar mandi, tak ia pedulikan rengekan Meli untuk menurunkannya.
.
.
.

"Enak?" tanya Bram saat menyuapi Meli dari piring yang ia pegang, Meli mengangguk, ia mencoba meraih piring dari tangan Bram tapi Bram menggeleng.

"Biar aku yang menyuapimu, aku ingin memanjakanmu selama aku bisa, aku ingin berterima kasih kau mau menungguku selama ini, satu hal lagi aku harap kau mau bersabar dengan kondisi kita yang seperti ini, kau tahu kan kakak dan ibuku seperti apa? Mereka orang yang aku sayangi karena telah berkorban demi aku hingga aku seperti sekarang, tapi kamu juga orang yang berarti dalam hidupku, kau istriku, belahan jiwaku, takkan aku biarkan kau menderita, pilihan yang sulit memang tapi aku akan tetap berada di sisimu, berdiri di sampingmu dalam hal apapun," Bram tersenyum kembali menyuapi Meli tapi Meli menggeleng karena tenggorokannya terasa sulit menelan makanan akibat rasa haru yang melingkupi dadanya.

Mata Meliana berkaca-kaca ia menatap laki-laki berhidung sempurna di hadapannya, garis rahangnya yang kokoh dengan bulu-bulu halus yang mulai tampak membuat wajahnya semakin terlihat sempurna saat tersenyum seperti saat ini. Tiba-tiba ...

Brakkk ...

Pintu kamar terbuka lebar tampak wajah ibunda Bram dengan wajah marah. Bram menoleh dengan wajah membeku, piring di tangannya bergetar menahan marah, sedang Meli segera menunduk setelah tatapan tajam ibu mertuanya menghunus matanya.

"Tak bisakah ibu sopan mengetuk pintu? Bukankah ibu yang mengajari aku sejak kecil untuk membiasakan mengetuk pintu kamar jika aku ada perlu dengan ibu? Aku sudah menikah, apa yang akan terjadi jika aku sedang ..."

"Tak bisakah kalian menghormati aku dengan makan di bawah bersama kami? Apa ini kebiasaan istrimu makan di dalam kamar? Dia baru beberapa jam jadi istrimu namun sanggup mengubah kebiasaan lama di rumah ini, makan di ruang makan, keluar kalian sekarang juga!" suara Gayatri terdengar bergetar menahan marah.

"Aku tidak akan keluar kamar! Aku sudah menikah ibu, terserah aku mau makan di mana, ini kamarku, ini tempat yang sangat pribadi." Bram meletakkan piring di kasur, melangkah mendekati daun pintu dan berkata pelan namun tegas.

"Jangan ganggu kami, kami ingin berdua dan tidak diganggu!" Bram menutup pintu dan menguncinya, tak ia hiraukan ibunya yang berteriak-teriak dan menggedor-gedor pintu kamarnya. Bram menatap wajah istrinya yang ketakutan, Bram tahu ini tak akan mudah tapi ia yakin akan ada jalan agar semuanya baik-baik saja.

🍀🍀🍀

28 Juli 2020 (05.24)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro