
The End(?)
20 tahun yang lalu, tepatnya saat Haruka dan Makoto masih berumur 5 tahun...
"Matte, Haru!" seru Makoto sambil berusaha mengejar Haruka di tengah kerumunan orang di sebuah festival matsuri.
Namun, Haruka sama sekali tidak menoleh kearah Makoto.
Brug!
Tiba-tiba Makoto terjatuh ke tanah.
"I-ittai!" rintihnya sambil berusaha untuk berdiri.
Setelah kembali berdiri tegak, Makoto kembali menatap ke depan. Ia masih mengharapkan Haruka masih berada tak jauh darinya. Namun sayangnya, Haruka sudah pergi entah kemana.
"Haru..." ucap Makoto pelan. Ia merasa sangat sedih karena Haruka benar-benar meninggalkannya.
Tiba-tiba, terdengar suara tangisan seorang anak perempuan dari kejauhan.
Sontak, Makoto langsung mencari tahu sumber suara tersebut.
"Suara tangisan siapa ini?" tanyanya penasaran sambil menoleh ke kiri dan kanannya.
"Hiks...hiks..."
Tiba-tiba pandangan Makoto tertuju pada seorang gadis kecil yang mengenakan yukata sedang berdiri tepat di depan sebuah stan penjual street food.
Dengan cepat, Makoto langsung berlari kearahnya.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Makoto.
"Hiks...hiks..."
Namun sayangnya, gadis tersebut tidak menjawab pertanyaan Makoto dan terus- menerus menangis.
Makoto yang merasa kasihan meletakan sebelah tangannya di puncak kepala gadis tersebut lalu mengelusnya dengan lembut.
"Yosh...yosh... Jangan takut. Kau pasti tersesat, iya 'kan?" tanya Makoto sambil tersenyum. Berusaha menenangkan gadis kecil tersebut.
Begitu melihat senyuman Makoto, gadis kecil tersebut langsung berhenti menangis dan menatap dalam-dalam kedua manik hijau Makoto.
Tak lama kemudian, gadis kecik tersebut menganggukkan kepalanya perlahan. Mengiyakan perkataan Makoto tadi.
"Sokka. Jangan khawatir. Ayo kita cari orang tuamu. Memangnya tadinya kau pergi dengan siapa kesini?" tanya Makoto ramah.
"O...otousan dan okaasan..."
"A! Ternyata benar orang tuamu, ya. Baiklah, kalau begitu, ayo kita cari bersama-sama" ucap Makoto sambil mengulurkan sebelah tangannya.
Spontan, mata anak perempuan tersebut langsung tertuju pada tangan mungil Makoto. Lalu, ia pun memberikan sebelah tangannya kepada Makoto dan menggenggamnya erat.
Mereka pun berjalan menyusuri kerumunan orang. Gadis tersebut sibuk menoleh kekiri dan kekanan untuk mencari orang tuanya.
"Jangan lepaskan tanganmu dariku, ya" ucap Makoto sambil tersenyum.
"U...um"
"I...itai" lirih Makoto sambil mencengkram sebelah kakinya.
"D-daijoubu?" tanya gadis tersebut penuh rasa khawatir.
"U...um" balas Makoto sambil berusaha tersenyum.
"Jangan berbohong seperti itu!" seru gadis tersebut. Dengan cepat ia pun berjongkok tepat didepan kaki Makoto.
Ternyata sebelah lutut Makoto terluka.
"Lihat! Lutumu berdarah! Tunggu sebentar, ya" ucapnya. Lalu dengan cepat ia mengambil sebuah plester dari dalam tas kecilnya dan segera memasangnya tepat di lutut Makoto yang terluka.
Mata Makoto seketika berbinar melihat kemurahan hati anak perempuan tersebut.
Tak lama kemudian, gadis tersebut pun kembaki berdiri.
"Nah, sudah! Apakah masih terasa sakit?" tanya gadis kecil tersebut sambil tersenyum.
Dengan cepat, Makoto langsung menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, kok. Aku sudah tidak apa-apa. Hontouni Arigatou ne" balas Makoto sambil tersenyum.
Gadis tersebut hanya membalas senyuman Makoto tersebut.
"Jya, kalau begitu, ayo kita cari orang tuamu lagi"
"Um!"
Makoto dan gadis kecil itu pun melanjutkan perjalanan mereka.
***
"(Y/n)! Kau dimana?!"
"(Y/n)-chan!"
Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara teriakan ayah dan ibu dari gadis kecil tersebut.
Ya, gadis kecil itu adalah (y/n).
Tiba-tiba, (y/n) kecil menghentikkan
"Otousan! Okaasan!" seru (y/n) antusias sambil berlari ke pelukan kedua orang tuanya tersebut.
"(Y/n)-chan! Kau kemana saja?"
"Kami sangat mengkhawatirkanmu, sayang!"
"Huaaa....!!!" seru (y/n) yang malah menangis semakin keras di pelukan kedua orang tuanya.
Mata Makoto berbinar ketika melihat (y/n) dan keluarganya yang saling memberi kasih sayang satu sama lain.
Sejak saat itu, aku bertekad...
Saat dewasa nanti, aku akan memiliki keluarga harmonis yang saling menyayangi seperti ini..., pikir Makoto.
***
Haruka memegang erat kedua bahu (Y/N). Wajah mereka berada dalam jarak yang sangat dekat satu sama lain.
"Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi, (Y/N). Rasanya sangat menyakitkan bila kau tidak ada di sisiku..."
(Y/N) terkejut mendengar perkataan Haruka tersebut.
"Namun sekarang, aku sudah membulatkan tekadku. Aku hanya ingin kau menjadi satu-satunya milikku. Kau tidak perlu khawatir, (Y/N). Karena sekarang aku sudah menjadi seorang atlet profesional, aku pasti akan membuatmu bahagia. Aku janji...."
"Haru..."
"Jadi, maukah kau menjadi istriku, (Y/N)?"
(Y/N) tiba-tiba mematung. Ia bingung harus menjawab apa.
Karena tak kunjung mendapat jawaban dari (Y/N), Haruka pun memutuskan untuk mencium bibir (Y/N).
Perlahan ia mendekatkan bibirnya kearah bibir (Y/N) sambi memjamkan matanya.
Dan akhirnya...
Sesuatu yang tak terduga pun terjadi.
Tidak seperti biasanya, (Y/N) tidak membalas ciuman Haruka tersebut.
Ia malah menahan bibir Haruka dengan sebelah tangannya.
Rupanya, ada suatu hal mengganggu pikirannya.
Spontan, Haruka langsung membuka matanya dan sedikit menjauhkan wajahnya dari seblelah tangan (Y/N) tersebut.
"Haru-san... ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu..."
Entah mengapa terbesit di benak (Y/N) saat ia tenggelam di kolam renang Iwatobi.
"A-apa apa, (Y/N)?"
"Apa kau ingat saat aku baru saja masuk klub renang Iwatobi?"
"U-um. Tentu saja. Memangnya ada apa?"
"Saat aku siuman. Kau tiba-tiba ada di sisiku, bukan?"
"Um. Saat itu, aku sangat mengkhawatirkanmu"
"Ada yang ingin aku tanyakan tentang kejadian itu..."
"Apa itu?"
'...aku hanya ingin memberitahu bahwa sebenarnya aku adalah orang yang memberikanmu nafas buatan saat kau tenggelam di kolam renang Iwatobi saat itu'.
Surat itu, aku harus memastikan siapa orang yang menulis surat itu, gumam (Y/N). Rupanya surat yang ia dapatkan tadi masih mengganggu pikirannya sedari tadi.
"Apa saat itu...kau yang menolongku?"
"Menolongmu? Maksudmu menunggumu saat di UKS"
"B-bukan, maksudku apakah kau yang menolongku saat aku tenggelam?"
Haruka terlihat kebingungan.
"Tenggelam, katamu?"
Eh? Jadi Haru-san tidak tahu alasan mengapa aku bisa berada di UKS?
Jadi...
orang yang menolongku bukan Haru-san?
Lalu siapa?!
Tiba-tiba, (Y/N) beranjak dari duduknya. Otomatis Haruka pun berjalan mundur beberapa langkah.
"A-ada apa, (Y/N)?"
'...Karena orang yang pantas untukmu hanyalah Haruka. Aku yakin hanya Haruka yang bisa membuatmu bahagia. Asalkan bisa melihatmu bahagia, aku juga akan ikut merasa senang untukmu'.
(Y/N) berusaha mengingat-ingat lagi isi dari surat yang ia terima tersebut.
Tentu saja! Seharusnya aku sudah menyadarinya. Haruka tidak mungkin menulis surat itu. Kenapa aku masih berfikir kalau Haruka yang menolongku saat itu?, gumam (Y/N).
Tunggu....
Kenapa aku sangat penasaran dengan siapa yang menolongku saat itu?
Walaupun aku tidak tahu siapa dirinya....
Tapi....
Bila aku memikirkan tentang siapa dirinya...
Jantungku selalu berdegup dengan kencang.
Ada apa ini?
Bukankah seharusnya aku menyukai Haru-san?
Ataukah ini,
adalah perasaanku yang sebenarnya?
'...Aku yakin hanya Haruka yang bisa membuatmu bahagia. Asalkan bisa melihatmu bahagia, aku juga akan ikut merasa senang untukmu. Kalau orang yang bersanding denganmu itu Haruka, jujur aku juga merasa sedikit tenang. Kuharap kau bisa bahagia bersama Haruka, (y/n) :))'
Dia mendukungku untuk dekat dengan Haruka. Itu berarti, dia adalah orang yang paling dekat dengan Haruka....
Jangan-jangan dia...
Ya, ia adalah sosok yang selalu mengalah selama ini.
Sosok yang selalu ingin bisa diandalkan oleh teman-temannya.
Sosok yang selalu ada disaat (Y/N) membutuhkannya, walaupun selama ini (Y/N) tidak pernah menyadari tindakannya itu.
Sosok yang selama ini selalu (Y/N) anggap hanya sebagai seorang kakak.
Sosok yang mencintai (Y/N) dengan tulus sepenuh hati.
Seorang lelaki yang memiliki sifat paling lembut yang pernah (Y/N) temui.
Entah mengapa (Y/N) merasa sangat yakin dengan jawabannya ini.
Dadanya tak mau berhenti berdegup kencang begitu ia memikirkan sosok tersebut.
Tiba-tiba bermunculan di benaknya semua kebaikan yang sudah dilakukan lelaki tersebut untuk (Y/N).
Akhirnya, (Y/N) menyadari semua yang ia lakukan untuk (Y/N) adalah bukti bahwa perasaan lelaki tersebut benar-benar tulus untuk (Y/N).
"Haru-san..."
"Iya?"
Lalu (Y/N) menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Matanya langsung menatap kedua bola mata Haruka dengan tatapan serius.
"Kau tahu, sejak pertama kita bertemu, aku sudah menyukaimu, Haru-san. Setiap hari sosok yang selalu kupikirkan hanyalah dirimu. Walaupun kau bersikap sangat dingin kepadaku, entah mengapa kau selalu membuat jantungku berdegup kencang setiap kau berada di dekatku. Namun, semuanya berubah sejak kau menolakku saat di Matsuri. Jujur, aku benar-benar sakit hati saat itu. Namun tenang saja. Aku sama sekali tidak merasa dendam atau semacamnya. Sekarang, aku sudah benar-benar memaafkanmu, Haru-san. Aku sudah melupakan semuanya"
"J-jadi... apa itu artinya... kau mau menikah denganku?" tanya Haruka sekali lagi.
(Y/N) hanya terdiam sambilsedikit menundukkan kepalanya.
"Soal itu... aku benar-benar minta maaf. Aku memang sudah melupakan hal itu. Tapi, perasaanku mengatakan, aku tidak bisa kembali menyukaimu seperti dulu. Dan lagi, ternyata aku ini jatuh cinta kepada lelaki yang saat itu memberikan nafas buatan kepadaku. Dia adalah orang yang telah menyelamatkan hidupku. Maaf...maafkan aku, Haru-san"
Deg!
Haruka terkejut mendengar jawaban tak terduga dari (Y/N) tersebut. Padahal ia sudah yakin (Y/N) pasti mau menikah dengannya Namun nyatanya, (Y/N) malah menolak perasaannya itu.
Haruka tidak tahu lagi mau berekspresi bagaimana. Tubuhnya dalam sekejap terasa sangat lemas.
"Sekarang aku sudah tidak goyah lagi. Perasaanku sudah memutuskan kepada siapa hatiku ini akan berlabuh. Aku minta maaf kalau aku mengecewakanmu, Haru-san..."
Haruka pun terdiam sejenak. Lalu ia pun tersenyum kearah (Y/N)
"Um, wakatta. Siapapun yang kau pilih, aku yakin ia pasti lelaki yang bisa membahagiakanmu, (Y/N)"
"Haru... g-gomen..."
"Tidak perlu meminta maaf. Aku menghargai semua keputusanmu. Terima kasih karena sudah pernah menyukaiku, terima kasih karena sudah mendukungku selama ini. Terima kasih untuk segalanya, (Y/N)"
(Y/N) menjadi merasa bersalah karena sudah melukai hati Haruka. Namun, kepastian adalah hal yang penting dalam suatu hubungan. Ia hanya tidak mau lagi berbohong dengan perasaannya dan orang-orang di sekitarnya. Sudah saatnya ia membuat keputusan yang pasti sekarang.
"Um. Aku juga berterima kasih kepadamu, Haru-san. Berkatmu, aku jadi menyadari perasaanku yang sebenarnya. Hontouni arigatou"
"Bukankah saatnya untukmu menemui lelaki itu?" tanya Haruka.
"Eh? U...um. Aku harus menemuinya. Aku harus meminta maaf kepadanya karena aku selalu membuatnya sakit hati. Sekali lagi kuucapkan terima kasih, Haru-san. Sore jya, sampai jumpa, Haru..." ucap (Y/N) sambil berjalan menjauh dari Haruka.
Semakin lama, sosok (Y/N) semakin menghilang dari pandangan Haruka.
Haruka terdiam sejenak.
Mencoba mencerna perkataan (Y/N) tadi.
Mencoba menerima kenyataan bahwa ia ternyata ditolak oleh gadis pujaan hatinya itu.
Lalu ia berjalan menuju tasnya dan mengeluarkan sepucuk surat dari dalamnya.
Haruka menatap surat tersebut.
"Sudah kubilang, (Y/N) itu menyukaimu, Makoto...." ucapnya pelan.
Tak lama kemudian, ia pun meneteskan air matanya tepat diatas surat tersebut.
Ya, orang yang mengirim surat kepada (Y/N) adalah Makoto.
Selain kepada (Y/N), Makoto juga mengirim sepucuk surat untuk Haruka.
'...(Y/N)-san menyukaimu, Haru. Perasaan (Y/N)-san benar-benar tulus untukmu. Hanya kau satu-satunya orang yang bisa membahagiakannya. Aku mohon, hiduplah dengan bahagia bersamanya, Haru-chan :))
Itulah isi dari surat yang Makoto kirim untuk Haruka. Makoto yang sadar bahwa (Y/N) tidak mungkin membalas perasaannya berpikir bahwa ia hanya harus mengalah dan mendukung hubungan sahabatnya itu. Sehingga ia memutuskan untuk mengirim surat-surat tersebut kepada mereka berdua.
***
Karena ingin memperjelas semuanya, (Y/N) memutuskan untuk pergi ke Meiji Chuo University, universitas dimana Makoto berkuliah sekarang.
Karena jaraknya yang cukup jauh dari Shimogami University, (Y/N) berlari cukup kencang menuju stasiun shinkansen. Ia ingin segera menemui Makoto, orang yang selama ini selalu ia abaikan. Dan ia baru menyadari perasaan Makoto sekarang.
"Konnichiwa, Nakajima-san!"
(Y/N) mengingat kembali saat ia dan Makoto baru pertama kali bertemu. Senyuman manisnya masih terbayang jelas di benak (Y/N) hingga saat ini. Tidak ada orang lain yang memiliki senyuman setulus Makoto.
Makoto....
Lalu terbayang di benaknya saat Makoto menggendong tubuhnya dan membawanya ke pinggir kolam renang. Dengan sigap, Makoto langsung memberikan nafas buatan untuk (Y/N). Itulah ciuman pertama antara (Y/N) dan Makoto. Namun sayangnya, saat itu (Y/N) tidak mengetahui bahwa orang yang menolongnya itu adalah Makoto.
Seandainya aku tahu kalau itu adalah dirimu, aku pasti tidak akan merasa kebingungan dengan perasaanku ini. Aku pasti akan langungsung memilihmu, Makoto.
Lalu ia mengingat saat ia dan Haruka hampir berciuman di rumahnya. Saat itu secara tak sengaja Makoto melihat mereka. Dan hal itu membuat hatinya sangat hancur. Saat itu, (Y/N) benar-benar tidak menyadari perasaan Makoto.
Maafkan aku karena telah menyakiti hatimu saat itu, Makoto...
(Y/N) juga mengingat saat Makoto yang sedang sakit tiba-tiba menarik sebelah tangannya dan menariknya keatas kasur. Walaupun Makoto sedang mengigau saat itu, pelukannya benar-benar menghangatkan tubuh (Y/N). (Y/N) bisa merasakan dengan jelas kehangatan hati yang tulus dari Makoto. Saat itu adalah pertama kalinya (Y/N) melihat wajah Makoto yang sedang tertidur dari dekat.
Seandainya aku bisa memutar waktu ke saat itu, aku tidak akan melepaskan pelukanmu itu, Makoto...
Lalu ia juga memgingat kejadian saat ia dan Makoto secara tidak sengaja berciuman di ruang kesehatan perlombaan.
Akhirnya aku mengerti kenapa saat itu ciumanmu terasa sangat berbeda. Rasanya seakan-akan itu adalah ciuman pertamaku. Bahkan kau rela menggendongku di punggumu karena kakiku terkilir. Kenapa saat itu aku tidak menyadarinya?
(Y/N) juga mengingat saat Makoto yang menenangkan dirinya saat ia menangis karena Sousuke tiba-tiba menciumnya.
Pantas saja aku selalu merasa tenang setiap berada di dekatmu, Makoto. Kau selalu ada disaat aku membutuhkanmu. Tapi kenapa aku sangat bodoh karena tidak pernah menyadarinya?!
Saat di rumah Makoto pun Makoto mengobati jari (Y/N) yang terluka karena sedang memotong bahan makanan.
"(Y/N)-san, sore wa dame! Kalau kau terluka lagi bagaimana?".
Suara lembutnya saat itu masih terdengar di benak (Y/N). Makoto adalah orang pertama yang paling mengkhawatirkan (Y/N).
Lalu (Y/N) mengingat saat Makoto memberinya coklat saat white day. Saat itu (Y/N) sangat mengharapkan pemberian coklat dari Haruka sehingga saat itu ia tidak terlihat terlalu senang.
Aku ini memang keterlaluan! Aku tidak memikirkan perasaan Makoto. Padahal saat itu Makoto mencoba menyatakan perasaannya padaku! Bodoh! Aku Ini memang bodoh!
"Makoto, sebenarnya, saat ini aku sudah membulatkan tekadku... aku akan menyatakan perasaanku kepada Haruka!" perkataannya saat di Matsuri tersebut selalu terngiang-ngiang di kepalanya.
Kenapa aku mengatakan hal itu kepada Makoto! Aku ini memang tidak berperasaan!, gumam (Y/N) sambil terus berlari. Tanpa ia sadari air matanya menetes dari kedua bola matanya.
"Nee, (Y/N)-san. Sebenarnya dimatamu aku ini siapa?"
"Eh? Karena kau selalu ada disaat aku butuhkan, aku selalu menganggapmu sebagai seorang kakak!"
Jawaban macam apa itu! Kenapa saat itu aku menjawab seperti itu?! Aku memang orang yang jahat! Aku tidak pernah memikirkan perasaan Makoto selama ini!
"Naiklah ke punggungku! Aku akan menggendongmu! Apapun yang terjadi, kau harus mengungkapkan perasaanmu pada Haru!"
Doushite? Padahal saat itu aku sudah sangat jahat kepadamu. Bahkan kau sedang merasa sangat sakit hati karena perkataanku, tapi kenapa? Kenapa kau masih mau menolongku, Makoto?
Sejak saat itulah (Y/N) dan Makoto tidak pernah bertemu lagi satu sama lain.
Maafkan aku, Makoto...
***
Setelah turun dari shinkansen, (Y/N) langsung berlari menuju Meiji Chuo University.
Karena berlari cukup lama, (Y/N) sampai-sampai kehabisan nafas. Namun, ia tidak mempermasalahkan hal itu. Yang ingin ia lakukan saat ini hanyalah bertemu dengan Makoto.
"Makoto-san!!! Makoto-san!!!" panggil (Y/N) sambil mencari Makoto di seisi kampus.
"Makoto-san! Kau dimana?! Makoto-san!!!"
Lalu ia memutuskan untuk bertanya kepada beberapa mahasiswa disana.
"Maaf, apa kalian tahu lelaki yang bernama Makoto Tachibana?" tanya (Y/N) sambil mengatur nafasnya.
"Oh! Maksudmu Makoto dari jurusan Pendidikan Kepelatihan Olahraga? Biasanya ia selalu berada di ruang UKM di sebelah sana" balas orang tersebut sambil menunjuk sebuah ruangan yang berada di ujung gedung.
"Arigatou!" balas (Y/N). Lalu ia langsung bergegas menuju ke ruangan tersebut.
Makoto....
Tunggu aku....
Bruk!
(Y/N) membuka pintu ruangan tersebut dengan sedikit kasar. Ia ingin segera bertemu dengan Makoto.
"MAKOTO!!!"
Ia sangat berharap Makoto ada di ruangan tersebut.
Namun sayangnya,
tidak ada seorangpun di ruangan tersebut.
"Makoto..." ucap (Y/N) pelan.
Tak menyerah sampai disana, (Y/N) terus mencari Makoto sambil memanggil-manggil namanya. Berharap Makoto bisa datang menghampirinya. Namun sayang... Makoto tidak ada dimanapun.
Karena tak kunjung bertemu dengan Makoto, (Y/N) pun sedikut merasa putus asa.
"Makoto... dimana kau? Aku ingin sekali bertemu denganmu...." lirih (Y/N) sambil berdiri di tengah taman universitas.
Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat yang Makoto berikan kepadanya dari saku celananya.
Tak lama kemudian, ia pun duduk di sebuah kursi taman sambil menghela nafas panjang.
"Nee, Makoto... Aku harap kau mendengarku saat ini. Aku sudah membaca surat darimu! Terima kasih karena sudah mengirim surat ini kepadaku..."
"Eh? (Y/N)?" ucap seseorang pelan. Ternyata ia adalah Makoto. Namun, bukannya pergi menghampiri (Y/N), Makoto malah terdiam di balik sebuah tembok sambil tetap mendengarkan apa yang (Y/N) katakan dari kejauhan.
"Berkat surat ini, aku jadi tersadar. Sebenarnya perasaanku ini sudah lama memutuskannya. Sebenarnya aku sama sekali tidak merasa goyah. Aku hanya tidak ingin jujur dengan diriku. Aku mengira kalau orang yang kusukai adalah Haru-san. Namun sebenarnya, orang yang kusukai..... hanyalah dirimu, Makoto!"
"Eh?"
Makoto benar-benar terkejut dengan perkataan (Y/N) tersebut. Ia tidak menyangka ternyata (Y/N) akhirnya membalas perasaannya.
"Maaf karena aku baru menyadari perasaanmu. Aku baru sadar bahwa perasaanmu itu benar-benar tulus hanya untukku. Aku memang bodoh karena tidak pernah menyadari semua kebaikan dan pengorbanan yang telah kau lakukan untukku. Maafkan aku... Aku benar-benar minta maaf, Makoto"
"(Y/N)..."
Lalu (Y/N) beranjak dari duduknya.
"Aku baru sadar ternyata kau yang menolongku saat aku tenggelam di kolam renang Iwatobi. Kau telah menyelamatkan hidupku. Kau selalu ada untukku, namun aku tidak pernah menyadarinya. Kau bahkan masih mau menolongku saat aku ingin menyatakan perasaanku kepada Haru-san saat di Matsuri. Aku tidak tahu lagi bagaimana harus berterima kasih kepadamu. Setelah semua yang aku lakukan kepadamu, kau mungkin sudah tidak mau lagi bertemu denganku. Aku benar-benar menyesali semua perbuatanku dulu. Aku benar-benar menyesal karena tidak pernah sadar dengan perasaanmu itu. Kau mungkin juga berpikir bahwa perasaanku ini hanya berlangsung selama sesaat seperti sebelumnya. Namun aku berkata dengan sejujur-jujurnya. Ini adalah perasaan tulusku selama ini. Jadi, kumohon, jangan berhenti menyukaiku. Karena mulai sekarang.... aku akan mencintaimu melebihi apapun, Makoto!"
Tiba-tiba, air mata Makoto membasahi pipinya. Ia tidak bisa membendung rasa terharunya lagi sekarang. Namun, entah mengapa ia tidak memiliki keberanian untuk bertemu langsung dengan (Y/N).
Karena tak kunjung ada jawaban dari Makoto, (Y/N) pun akhirnya menyerah. Ia pikir Makoto tidak ada disana untuk mendengarkannya.
"Sepertinya kau tidak ada disini, Makoto. Aku seperti orang bodoh karena berbicara sendiri seperti ini. Kalau kau sedang mendengarkan perkataanku ini sekarang, selalu ingatlah, walaupun kau sudah tidak menyukaiku lagi, perasaanku padamu tidak akan berubah" ucap (Y/N). Lalu ia berjalan pergi dari taman tersebut.
Selang beberapa saat, akhirnya Makoto berani menampakkan dirinya. Ia pun berjalan menuju taman kampus.
Namun sayangnya, (Y/N) sudah tidak ada disana.
"(Y/N)..."
***
(Y/N) berjalan lesu di trotoar kota sambil menundukkan kepalanya. Tiba-tiba, air matanya pun tiba-tiba mengalir.
"Makoto..."
(Y/N) benar-benar merindukan Makoto. Ia menyesali semua perilaku yang telah ia lakukan terhadap Makoto.
Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan deras. Dalam sekejap membasahi sekujur tubuh (Y/N).
Seandainya saja aku menyadari perasaanmu lebih awal, aku tidak akan berpisah denganmu seperti ini, Makoto...
Apa sebenarnya, sekarang kau sudah benar-benar tidak menyukaiku lagi?
(Y/N) berjalan melewati zebra cross.
Namun karena pikirannya sibuk memikirkan Makoto, ia sama sekali tidak memperhatikan jalanan di sekitarnya.
Tiba-tiba, dari kejauhan...
Sebuah mobil melaju dengan kecepatan yang cukup tinggi tepat kearah (Y/N) yang sedang menyebrang dibawah derasnya hujan.
(Y/N) melirik kearah mobil tersebut.
Kedua lampu mobil menyilaukan matanya.
TIIIINNNN!!!
Pengendara mobil tersebut spontan menekan klakson agar (Y/N) segera menyingkir dari sana.
Namun, karena mobil tersebut sudah terlalu dekat, (Y/N) tidak bisa lagi untuk menyingkir dari sana. Tubuhnya seketika mematung. Kedua bola matanya membulat melihat laju mobil yang semakin mendekat kearahnya.
Apakah ini akhir dari diriku?
Aku sudah terlaku banyak menyakiti orang-orang disekitarku...
Bahkan aku menyakiti orang yang paling baik hati yang pernah kutemui.
Aku ini orang jahat...
Aku tidak pantas untuk hidup.
Dengan aku hilang dari dunia ini, aku tidak akan menyakiti perasaan teman-temanku lagi.
Sayounara...
Kuharap kalian hidup dengan bahagia...
Terutama dirimu, Makoto...
Hiduplah dengan bahagia, ya...
BRUGGGG!!!
Suara dentuman keras terdengar dari tengah kota.
Sebuah mobil menabrak seorang pejalan kaki yang sedang menyebrang di zebra cross.
Darah dan air hujan menyelimuti jalanan aspal.
Semua pasang mata tertuju pada jalanan tersebut.
"Ada yang tertabrak!!!"
"Cepat tolong dia!!!"
"Dia kehilangan kesadaran!"
"Cepat, panggil ambulan!!!"
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
(Y/N) merasa tubuhnya terasa sangat lemas. Ia pun membuka matanya perlahan.
Dimana aku?
Cahaya menyelimuti keseluruhan penglihatannya.
Apa aku sudah mati?
Begitu ia mendapatkan kesadarannya sepenuhnya, ia melihat jalanan yang penuh dengan darah. Disana ia melihat seseorang terkapar dengan luka yang terlihat cukup parah.
Apakah itu tubuhku? Jadi ini hanyalah jiwaku saja, ya? Ternyata benar, aku ini sudah benar-benar mati sekarang...
Tapi, tunggu....
Kepana orang yang terkapar disana terlihat seperti seorang lelaki?
Karena bagian belakang kepalanya terbentur cukup keras kearah tembok, penglihatannya terlihat sedikit kabur.
Tunggu...
Bukankah itu....
Lelaki tersebut berambut coklat olive.
Ia mengenakan jaket almamater yang bertuliskan Meiji Chuo University.
Punggungnya yang bidang kini dipenuhi dengan luka yang terlihat sangat parah.
Tak hanya punggungnya, hampir sekujur tubuhnya dipenuhi oleh darah.
Wajahnya tentu tak asing bagi (Y/N).
Seorang lelaki yang ingin (Y/N) temui selama ini.
(Y/N) benar-benar merindukan wajahnya.
Namun naas,
(Y/N) dan lelaki tersebut harus bertemu dengan tragis seperti ini.
Ya, tidak lain dan tidak bukan lelaki tersebut adalah Makoto Tachibana.
Sebenarnya, (Y/N) masih hidup. Makoto lah yang tadi menyelamatkannya dari maut.
Selama berjalan tadi, sebenanrya Makoto berusaha mengejar dan mengikuti (Y/N) dari belakang.
Sehingga, begitu sebuah mobil melaju dengan cepat kearah (Y/N), secara spontan Makoto langsung berlari kearahnya dan mendorong tubuh (Y/N) agar ia bisa menghindari tabrakan maut tersebut.
Alhasil, (Y/N) terpental kearah sebuah bangunan dan kepalanya terbentur tembok. Sedangkan Makoto... ia mengorbankan dirinya sendiri untuk menabrakkan tubuhnya kearah mobil tersebut.
Kini Makoto sudah terkapar kaku di atas zebra cross.
Dingin...
Sangat dingin...
Namun perasaan dingin ini bukan berasal dari turunnya hujan,
Hawa dingin ini berasal dari dalam diri (Y/N) sendiri.
Hatinya dalam sekejap terasa mati rasa.
Padahal suasana di sekitarnya sangat riuh karena kecelakaan ini, namun suara yang bisa (Y/N) dengar hanyalah suara dengung dan kesunyian di telinganya.
Pandangan (Y/N) yang terbelalak tak bisa teralihkan dari sosok bersurai coklat olive yang sedang terbaring lemas diatas jalan tersebut.
Katakan padaku... semua ini pasti hanyalah sebuah mimpi.
Makoto tidak mungkin meninggal begitu saja, bukan?
Seharusnya akulah yang pantas untuk mati...
Tapi kenapa?
Kenapa harus Makoto yang mengalami semua ini?!
Kenapa orang sebaik Makoto selalu saja berada dalam penderitaan?
Kenapa?!
KENAPA...?!!
Semua ini salahku...
Kalau saja Makoto tidak pernah mengenalku,
ia tidak akan pernah merasa menderita.
Lalu (Y/N) berusaha sekuat tenaga untuk segera bangun dan menghampiri Makoto. Namun sayang, tubuhnya terlalu lemas untuk melakukan hal tersebut.
Belum sempat ia terbangun, tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit. Pandangannya pun perlahan menjadi memburam.
"M...Ma...Makoto..."
Tak lama kemudian, pandangannya pun menghitam dan ia pun jatuh pingsan.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
***
Entah sudah berapa jam telah berlalu.
Entah perasaan apa yang (Y/N) rasakan saat ini.
Yang ia harapkan saat ini adalah....
semua ini tidaklah nyata.
Terlihat dengan samar tetesan air infus rumah sakit yang mengalir ke urat nadi tangan (Y/N).
Pandangannya masih belum terlihat jelas.
Tiba-tiba...
"(Y/N)-chan! Kau sudah sadar?" seru seorang lelaki. Suaranya tak asing di telinga (Y/N).
Perlahan, lensa mata (Y/N) melirik kearah lelaki tersebut.
Laki-laki tersebut bersurai pink dengan manik ungu khas miliknya. Wajahnya terlihat sangat khawatir.
"(Y/N)-chan! Kau bisa mendengarku?!"
"Kisu...mi..." ucap (Y/N) pelan.
Ya, lelaki tersebut adalah Kisumi Shigino.
"Iya, ini aku! Yokatta! Hontouni yokatta!" seru Kisumi sambil meneteskan air matanya. Kedua tangannya menggenggam sebelah tangan (Y/N) sambil sesekali menciumnya. Ia terlihat sangat lega begitu (Y/N) akhirnya siuman.
"A-apa yang terjadi?"
"Kau pingsan di tepi jalan dengan beberapa luka di tubuhmu. Bagaimana sekarang? Apa kau masih merasakan sakit?"
Bukannya menjawab pertanyaan Kisumi tersebut. (Y/N) malah terpikirkan tentang keadaan Makoto sekarang. Tiba-tiba saja ia memaksakan tubuhnya untuk duduk sambil mengenggam erat kedua lengan Kisumi.
"(Y/N)-chan! Jangan terlalu banyak bergerak dulu!" seru Kisumi.
"M-Makoto! Dimana Makoto?! Bagaimana keadaannya sekarang?!" seru (Y/N) dengan wajah yang penuh dengan rasa cemas. Dalam sekejap kedua bola matanya yang membulat menatap dalam-dalam wajah Kisumi.
Tiba-tiba, Kisumi langsung terdiam. Raut wajahnya langsung berubah. Ia terlihat kebingungan bagaimana harus memberi tahu (Y/N) tentang Makoto.
"A-ada apa, Kisumi?! Kenapa kau tiba-tiba terdiam?"
Namun Kisumi tetap tidak menjawab pertanyaan (Y/N) tersebut.
"U-untuk sekarang aku sarankan kau istirahat saja dahulu, (Y/N)-chan. Sebentar, aku ambilkan air untukmu" balas Kisumi berusaha mengalihkan pembicaraan sambil beranjak dari duduknya.
Merasa pertanyaannya diabaikan, (Y/N) tiba-tiba mencengkram erat kedua lengan Kisumi.
"Nee, ada apa dengan Makoto, Kisumi?! Tolong jawab pertanyaanku dulu!" seru (Y/N). Ia benar-benar mengkhawatirkan Makoto.
Lalu Kisumi pun menghela nafasnya. Mau tidak mau ia harus mengatakan apa yang sebenarnya terjadi teehadap Makoto kepada (Y/N).
"Maafkan aku, (Y/N)-chan. Beberapa jam yang lalu keadaannya sangat kritis, dan sekarang... ia benar-benar kehilangan kesadarannya. Dokter bilang, hidupnya tidak akan lama lagi..."
DEG!
Makoto...
B-benar-benar sudah tiada?
Tiba-tiba seluruh pikiran (Y/N) menghitam.
Tubuhnya langsung terasa lemas, seakan-akan seluruh beban dari langit terjatuh ke arah tubuhnya secara bersamaan.
Hatinya terasa sangat sakit, seakan-akan banyak pisau ditancapkan di dadanya secara bersamaan.
Kesal? Menyesal? Marah? Atau bahkan sedih?
Entahlah, bahkan (Y/N) sendiri tak bisa memahami apa yang ia rasakan saat ini.
Tiba-tiba terbayang di benaknya senyuman manis Makoto sambil menyebut namanya dengan lembut.
"(Y/N)-san..."
(Y/N) melemaskan cengkraman tangannya dari kain baju Kisumi sambil menundukkan kepalanya dengan perlahan.
Terlihat beberapa tetes air mata (Y/N) menetes ke pakaiannya.
"(Y/N)..." ucap Kisumi pelan.
Dengan cepat, (Y/N) langsung beranjak dari tepat tidurnya. Yang ia inginkan saat ini hanyalah bertemu dengan Makoto.
Belum sempat menginjakkan kakinya ke lantai, Kisumi tiba-tiba menggenggam erat sebelah tangan (Y/N).
"Chotto! Kau mau kemana?!" tanya Kisumi.
(Y/N) terdiam sejenak sambil menundukkan kepalanya.
"Gomen, Kisumi. Apapun yang terjadi aku harus menemui Makoto sekarang!" balas (Y/N).
Spontan, Kisumi pun melepaskan genggaman tangannya tersebut dan membiarkan (Y/N) berjalan keluar ruang rawat inapnya dengan tertatih-tatih.
Bruk!
Kisumi kembali duduk di kursinya sambil menundukkan kepalanya. Air matanya langsung membasahi kedua pipinya.
"Lihatlah, Makoto. Kau adalah orang yang dipilih oleh (Y/N)..." ucap Kisumi pelan.
***
Apapun yang terjadi, aku harus bertemu denganmu, Makoto...
(Y/N) berjalan menyusuri lorong rumah sakit sambil menopang tubuhnya dengan tiang infus agar ia tidak terjatuh. Ia terus saja memanggil-manggil nama 'Makoto'.
Walaupun sekujur tubuhnya terasa sangat sakit, namun cinta (Y/N) yang besar kepada Makoto mengalahkan semua itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
"Makoto..."
"Maafkan aku yang kurang ajar ini, Makoto..."
"Aku tahu kau ini orang yang sangat kuat"
"Dakara, tetaplah hidup!"
"Kau ingin kita semakin dekat satu sama lain, bukan?"
"Kalau begitu ayo kita habiskan waktu berdua lebih lama lagi..."
"Atau mungkin kau ingin coklat valentine spesial dariku? Kalau begitu, akan aku buatkan coklat spesial hanya untukmu Makoto..."
"Nee, bagaimana kalau kita pergi ke matsuri lagi? Kali ini aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Aku akan mengatakan "aku menyukaimu" sebanyak yang kau mau, Makoto. Aku berjanji"
"Apapun... apapun yang kau inginkan! Aku pasti akan melakukannya! Tapi aku mohon, jangan pergi... teruslah hidup bersamaku... Masih banyak hal yang ingin kau lakukan bukan? Kalau begitu kita bisa melakukannya bersama-sama. Apapun itu... Aku mohon, Makoto. Jangan pernah tinggalkan aku sendirian...., ya?" lirih (Y/N).
"Aku sudah menganggapmu sebagai kakakku sendiri, Makoto"
Bruk!
Begitu mengingat perkataannya kepada Makoto saat itu, membuat kedua kaki (Y/N) terasa sangat lemas sehingga ia pun terjatuh ke lantai. Karena tak kuasa lagi untuk bangkit, (Y/N) membiarkan tubuhnya tergeletak di lantai begitu saja.
"Seharusnya aku tidak mengatakan itu, Makoto. Maafkan aku... Lantas mengapa? Mengapa semua ini terjadi? Semua ini salahku... Seandainya saja aku tidak pergi ke Meiji Chuo University, seandainya saja aku menyadari perasaan Makoto saat itu, semua ini takkan pernah terjadi. Maafkan aku, Makoto... aku benar-benar menyesal. Maaf... maafkan aku..
Kumohon, jangan tinggalkan aku sendirian..." lirihnya. Air mata semakin deras keluar dari kedua matanya.
Penyesalan...
hanya itu yang bisa (Y/N) rasakan saat ini.
***
Sudah beberapa minggu sejak kejadian tersebut. Sejak kepergian Makoto, (Y/N) selalu mengurung diri di kamarnya. Ia selalu merasa bersalah atas kecelakaan Makoto tersebut. Orangtuanya, Sousuke bahkan teman-temannya yang lain sudah mencoba untuk membujuknya agar keluar dari kamarnya. Namun tetap saja, ia tidak mau keluar walaupun hanya beberapa saat. Hal tersebut membuat orang-orang di sekitarnya merasa sangat khawatir.
***
Ding...dong...
Seseorang menekan bel rumah (Y/N). Ternyata itu adalah Rin dan Natsuya.
Ckrek!
Lalu, Ibu (Y/N) membukakan pintu untuk mereka.
Begitu membuka pintu, ibu (Y/N) terlihat kebingungan. Ia sama sekali tidak mengenali Rin dan Natsuya.
"Umm...Maaf, ada perlu apa, ya?" tanya ibu (Y/N).
Rin dan Natsuya saling menatap selama sekejap, lalu mata mereka berdua kembali menatap kepada ibu (Y/N).
"Sebelumnya maaf kalau mengganggu waktumu, nyonya. Kami berdua adalah kenalan (Y/N)-san. Kalau boleh, kami ingin bertemu dengannya. Apakah kau keberatan?" tanya Rin sopan.
"Oh. Kalian teman (Y/N)-chan, ya? Ayo, silahkan masuk dulu!" balas ibu (Y/N) ramah.
Rin dan Natsuya pun masuk ke dalam rumah.
Lalu ibu (Y/N) mengantar mereka ke kamar (Y/N).
"Yokatta... (Y/N)-chan ternyata punya teman yang baik seperti kalian" ucap ibu (Y/N) sambil berjalan tepat di depan Rin dan Natsuya.
"I-iie. (Y/N) juga sudah sangat baik kepada kita berdua" balas Natsuya.
"Kami sangat khawatir terhadap (Y/N). Katanya (Y/N) selama ini tidak mau keluar kamar. Apa benar begitu?" tanya Rin.
Tiba-tiba, ibu (Y/N) langsung terdiam sambil menundukkan kepalanya.
"U-um. Sejak kejadian itu, ia merasa sangat terpukul. Ia terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Kami sangat mengkhawatirkannya, namun tidak peduli apapun yang kita lakukan, ia tetap tidak mau keluar dari kamarnya" ucap ibu (Y/N) sedih.
Rin dan Natsuya pun terdiam. Mereka berdua semakin mengkhawatirkan (Y/N).
"Tenang saja, nyonya. Kami berdua akan mencoba membujuknya" ucap Natsuya.
Lalu ibu (Y/N) tersenyum kearah Rin dan Natsuya.
"Arigatou ne. Semoga dengan kedatangan kalian berdua bisa membuat (Y/N) merasa lebih baik"
Akhirnya mereka bertiga sampai tepat di depan pintu kamar (Y/N) yang terkunci rapat.
Tak lama kemudian, ibu (Y/N) pun mengetuk pintu kamar.
Tok...tok...
"(Y/N)-chan, ada temanmu ingin bertemu denganmu..."
Tok...tok..
"Sayang, kau bisa keluar sebentar?"
Namun (Y/N) sama sekali tidak membuka pintu kamarnya. Apalagi membuka pintu kamarnya, ia bahkan sama sekali tidak merespon ibunya.
Hal tersebut semakin membuat ibu (Y/N) merasa sangat sedih.
Melihat ibu (Y/N) yang terlihat kecewa, Natsuya langsung mengetuk pintu kamar (Y/N).
"(Y/N)! Ini aku, Natsuya! Aku datang kemari bersama Rin!"
"Kau tidak apa-apa, (Y/N)?" tanya Rin.
Ckrek...
Tiba-tiba pintu kamar (Y/N) sedikit terbuka. Sontak, ibu (Y/N), Rin dan Natsuya terkejut melihatnya.
"(Y/N)?" panggil Rin sambil mengintip sedikit kamar (Y/N). Namun, tetap saja (Y/N) sama sekali tidak memberikan respon apapun.
Lalu Rin perlahan membuka pintu kamar (Y/N).
Dan betapa mengejutkannya,
ternyata (Y/N) tidak ada di dalam kamarnya.
"(Y/N)-chan?" panggil ibu (Y/N) pelan.
Lalu mereka bertiga masuk ke dalam kamar sambil mencari dimana keberadaan (Y/N).
"Rupanya ia tidak ada disini" ucap Rin.
"Sonna... Selama ini ia tidak pernah keluar dari kamarnya" lirih ibu (Y/N). Ia benar-benar terkejut karena putri kesayangannya ternyata sudah tidak ada di kamarnya.
Tiba-tiba, mata Natsuya tertuju kepada sepucuk surat yang diletakan diatas meja.
"Lihat! Ada sebuah surat!" seru Natsuya. Lalu ia langsung mengambil surat tersebut dan segera membacanya. Rin dan ibu (Y/N) langsung mendekat kearahnya untuk membaca surat tersebut.
***
Untuk okaasan, otousan, Sousuke-kun,
Sebelumnya aku ingin mengucapkan beribu-ribu terima kasih untuk kalian. Terima kasih karena sudah merawat dan mendidikku dengan baik, okaasan dan otousan. Dan juga adikku, Sousuke-kun, terima kasih karena kau sudah menjadi adik yang baik untukku. Kau sudah mengajariku berbagai hal. Aku sangat bersyukur bisa memiliki anggota keluarga seperti kalian.
Aku tahu selama ini aku bukan gadis yang baik, tapi aku berjanji, ini terakhir kalinya aku membuat kesalahan. Maafkan aku, otousan, okaasan, Sousuke-kun. Sebenarnya aku sekarang aku sedang pergi ke luar negeri. Karena kinerjaku yang baik saat olimpiade membuatku direkrut oleh suatu badan kesehatan dari luar negeri. Aku tidak ingin selalu merepotkan kalian semua, maka dari itu aku memutuskan untuk segera bekerja agar aku bisa membiayai hidupku sendiri. Dan tidak perlu khawatir, setiap bulan aku pasti akan mengirimi kalian uang. Sebagai kakak paling besar itu sudah menjadi tugasku, bukan?
Aku benar-benar minta maaf karena aku tidak memberitahu negara mana aku akan bekerja. Aku hanya tidak ingin kalian terus menerus mengkhawatirkanku. Percayalah, aku akan baik-baik saja. Bila aku terus menerus mengirimi kalian uang setiap bulannya, itu berarti aku tidak apa-apa. Dakara onegai, jangan mencariku kemanapun, ya. Karena sudah kuputskan mulai sekarang aku akan hidup sendirian.
Dan lagi, aku masih sangat bersalah atas kejadian Makoto. Semua ini salahku. Kalau saja aku tidak ceroboh saat itu, Makoto pasti masih hidup sekarang. Ini juga menjadi alasanku untuk pergi ke luar negeri. Mungkin aku terkesan seakan-akan seperti kabur dari kenyataan, tapi, jujur, bila aku terus menerus tinggal di sini, hatiku terasa tidak tenang.
Oh iya, Sousuke-kun, aku ingin minta tolong kepadamu, bisakah kau memberi tahu tentang hal ini kepada semua teman-temanku? Aku tidak ingin membuat semua orang khawatir hanya karena diriku.
Mungkin itu saja yang ingin aku sampaikan untuk kalian. Sekali lagi, aku ingin minta maaf karena aku belum bisa membanggakan kalian. Aku sadar aku sudah melakukan banyak kesalahan kepada kalian.
Bila aku sudah merasa baikan, aku pasti akan kembali ke Jepang dan bertemu dengan kalian. Tolong tunggu aku, otousan, okaasan, Sousuke-kun...
Salam sayang dariku,
Yamazaki (Y/N)
***
Setelah membaca surat tersebut, ibu (Y/N) terlihat sangat shock sekaligus merasa sedih.
"(Y/N)-chan, kenapa... kau tidak memberitahu okaasan?" lirih ibu (Y/N).
Karena tidak tega melihat ibu (Y/N) yang terlihat sedih, Natsuya langsung menenangkannya sambil mengelus-elus sebelah bahunya.
"(Y/N)-chan..." ucap Rin pelan sambil memandangi sepucuk surat tersebut.
***
Disisi lain, (Y/N) sedang duduk di sebuah kursi pesawat sambil melirik kearah jendela pesawat. Posisinya saat ini sama persis seperti saat ia berangkat menuju olimpiade saat itu. Namun saat ini yang ada di dalam pikirannya bukanlah Haruka, melainkan Makoto.
Makoto...
Aku tidak ingin percaya bila kau sudah tiada sekarang,
Bisakah kita bertemu lagi sekali saja...
Aku ingin sekali bertemu denganmu...
Kumohon, Makoto...
***
Tak terasa, sudah 5 tahun berlalu sejak (Y/N) meninggalkan Jepang dan memutuskan untuk hidup sendirian di luar negeri.
Kini, (Y/N) bukan lagi seorang gadis belia, melainkan sekarang ia sudah menjadi wanita dewasa. Semakin beetambah umurnya, kecantikannya semakin terpancarkan dari wajahnya.
Sudah banyak lelaki yang mendekatinya untuk mempersuntingnya, namun ia tetap menolaknya. Hingga saat ini hatinya masih tersimpan hanya untuk Makoto.
Sekarang, (Y/N) sudah menjadi kepala perawat di salah satu rumah sakit di Sydney. (Y/N) benar-benar nyaman dengan pekerjaannya saat ini, namun ia seringkali merasa rindu dengan keluarga dan teman-temannya di Jepang.
(Y/N) sedang duduk di mejanya sambil mengurusi setumpukan berkas untuk ia tandatangani. Sejak menjadi kepala perawat disana, ia menjadi sangat sibuk.
Tok...tok...tok...
Tiba-tiba, seseorang mengetuk pintu ruangannya.
"Come in!" seru (Y/N), mempersilahkan orang tersebut untuk masuk.
Tak lama kemudian, seorang perawat wanita memasuki ruangannya sambil membawa senampan makanan.
"Excuse me, Mrs. I come for bring your lunch"
Lalu perawat tersebut berjalan mendekati (Y/N) sambil membawa nampan tersebut.
"Ah! Thanks. Please, put it on that table!" pinta (Y/N) sambil menunjuk kearah sebuah meja yang terletak tepat di sampingnya.
Dengan cepat, perawat tersebut langsung meletakan nampan tersebut disana. Melihat (Y/N) yang terlihat sangat sibuk dengan tugasnya membuat perawat tersebut langsung menghampiri (Y/N).
"Mrs. (Y/N). It's your time for break. You've been worked so hard. If you want, i'll do your task for you" tawar perawat tersebut.
Lalu (Y/N) sedikit meregangkan tubuhnya.
"Ah! I'm okay. But maybe i need just a little bit break for now. Can you do my task while i take some rest?" tanya (Y/N) meyakinkan.
"O-of course! Here, i'll do for you, Mrs"
"Thanks. Okay then, i'll left it for you. See you!" pamit (Y/N). Lalu ia berjalan keluar dari ruangannya.
***
(Y/N) berjalan menyusuri taman rumah sakit. Kebetulan rumah sakit dimana (Y/N) bekerja saat ini berada tepat di dekat laut, sehingga terkadang saat waktu istirahat ia selalu berdiri tepat mengarah ke laut sambil menikmati angin sepoi-sepoi yang berhembus kearahnya.
(Y/N) menopang dagunya sambil menikmati pemandangan pantai yang indah. Kebetulan hari ini cuaca sedang tidak terlalu panas, sehingga ia bisa menikmati pemandangan dengan nyaman.
"It's a good day to view the sea, Mrs. (Y/N)" sapa seorang perawat sambil mendorong sebuah kursi roda yang diduduki oleh seorang nenek tua.
Spontan, (Y/N) pun menoleh kearah perawat tersebut.
"Ah! Yeah! You're right! I'm just need some new atmosphere for a sec"
Tiba-tiba, nenek tersebut melirik kearah (Y/N).
"You're look so pretty, young girl" ucap nenek tersebut sambil tersenyum kearah (Y/N).
Lalu (Y/N) berjongkok tepat di hadapan sang nenek sambil tersenyum manis kearahnya.
"Thank you. But actually i'm not a girl anymore" ucap (Y/N) sambil tertawa kecil.
"Don't said that, you look so young, lady. And yet, you're a very nice woman. I'm sure that a man who will be your mate in the future is the most fortune man in his entire life"
(Y/N) pun tertawa mendengar pujian dari nenek tersebut.
"Thank you so much, madam. But, i have no idea about that"
Lalu (Y/N) kembali berdiri.
"I'm very hopefully that you can find your true love, young lady"
"Thank you. I also hope for your healthy, madam"
"Sorry, Mrs. (Y/N). I must accompany her to the aftercare room for her rehabilitation" pamit perawat tersebut.
"Ah! Okay then. See you!" balas (Y/N) sambil melambaikan sebelah tangannya.
Dan nenek tersebut pun membalas lambaian tangan (Y/N).
(Y/N) memandangi dari jauh nenek tersebut yang semakin lama semakin menghilang dari pandangannya.
Tiba-tiba...
seorang pria turun dari sebuah mobil.
"Akhirnya kita sampai!"
(Y/N) mendengar suara seseorang yang benar-benar tak asing di telinganya.
Suara lembut itu? T-tidak mungkin...
Lalu (Y/N) menoleh kearah sumber suara tersebut.
Betapa terkejut dirinya.
Rambut khas olive milik lelaki tersebut berhembus perlahan tertiup oleh angin.
Ia terlihat lebih dewasa dibandingkan saat (Y/N) bertemu dengannya terakhir kali.
Namun,
hanya satu yang tidak berubah darinya.
Ya, itu adalah senyuman manisnya.
Senyuman yang tidak mungkin bisa digantikan oleh lelaki manapun di muka bumi ini.
"M...Makoto..." lirih (Y/N) tidak percaya. Tanpa ia sadari, ia pun meneteskan air matanya.
Perlahan, ia berniat untuk berjalan mendekati Makoto.
Namun,
baru saja ia berjalan beberapa
langkah,
tiba-tiba seorang wanita dan seorang anak kecil ikut keluar dari mobil tersebut.
"Papa... Tolong gendong aku!" seru anak tersebut sambil memeluk sebelah kaki Makoto.
~???
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro