Bagian 38
Mau tanya, kalian lagi apa saat membaca cerita ini?
***
Seperti perkataan Sam, sepuluh menit setelah Annisa menyelesaikan makannya, Rimba datang dengan mengetuk plafon di atas ruangan itu. Annisa lantas berdiri saat melihat Rimba pelan-pelan mulai mencopot papan segi panjang yang mulai lapuk itu.
Perlahan wajah babak belur Rimba mulai terlihat jelas.
"Lo oke, Nis?" tanya Rimba saat melihat keadaan gadis itu lusuh. "Lo kuat 'kan?"
Annisa mengangguk walau sebenarnya meragukan kemampuan dirinya saat ini. "Aku kuat. Bagaimana caranya aku bisa ikut kamu, Rim?"
Pemuda itu mengulurkan tangannya. "Pegang tangan gue, biar gue tarik lo ke atas ini."
"Aku berat," bisik Annisa merasa ragu dengan ide ini. Gadis itu menoleh ke arah pintu besi yang tertutup rapat. "Bagaimana kalau kita kelamaan dan ada yang lihat?"
Diterpa cahaya remang-remang lilin yang perlahan mulai habis terbakar panasnya api, wajah Rimba begitu jelas memancarkan keyakinan.
"Percaya ke gue!" tegasnya.
Akhirnya, dengan menepis segala pertimbangan yang akan memperlambat keadaan genting ini, Annisa memutuskan untuk mengikuti rencana Rimba. Gadis itu mendekat dan memegang tangan Rimba.
"Saat lo udah dekat dengan papannya, lo harus pegangan di papan ini biar gue lebih mudah bantu lo sampai di permukaan. Paham?"
Annisa mengangguk.
Rimba akhirnya mulai menarik Annisa, hal ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan mengingat ia harus ekstra hati-hati agar papan tua yang menjadi plafon ruangan ini sudah tua dan gampang reyot. Tambah lagi, kayu tua cenderung sensitif dan gampang berderit, mengeluarkan bunyi berisik.
Ketika tangan Annisa bisa mencapai papan, gadis itu mengarahkan seluruh tenaganya dengan sungguh-sungguh. Kedua tangannyaa menjadi tumpuan seluruh kekuatan.
"Ayo, Nis, lo bisa." Rimba terus mensugessti sambil bantu menarik gadis itu agar lebih mudah naik ke atas plafon.
Rencana mereka rusak begitu saja ketika mendengar derit panjang yang memuakkan, berasal dari pintu besi tua ruangan tersebut.
"Wah ... wah, kalian sedang apa?"
Tubuh Annisa menegang, gadis itu lantas terjatuh begitu saja.
"Annisa!" teriak Rimba tak dapat menggapai tangan Annisa. Mata Rimba melotot saat melihat sosok Karin berdiri dengan setengah badan bersamdar ke kusen pintu.
"Usaha yang bagus, kawan-kawan, tetapi sayangnya aku tidak bermaksud membiarkan kalian kali ini." Karin masuk sembari membawa lilin putih yang masih utuh. "Awalnya aku tidak curiga ke Sam karena menurutku dia sudah cukup jauh bertindak keterlaluan. Tetapi ternyata dugaanku salah. Beruntung sekali aku berniat baik mengganti lilin di ruangan ini, astaga, aku benar-benar terkejut sampai nyaris kena serangan jantung."
Kalimat itu jelas-jelas dikatakan dengan santai, tanpa ada aksen orang yang benar-benar terkejut.
"Sialan!" umpat Rimba tertahan. Wanita itu jelas sedang mengintimidasi mereka. Dengan jas putih panjang yang kerap kali dipakai orang-orang yang bekerja di laboraturium, Karin bersidekap setelah berhasil menghidupkan lilin baru.
"Jadi, Rimba, kamu mau turun sendiri atau aku paksa?"
"Lari sekarang juga, Rimba!" jerit Annisa.
"Lo gila, Nis? Gue nggak mungkin ninggalin lo di sini bareng perempuan gila itu!"
"Kamu yang gila! Kamu akan membuat usaha Sam gagal total! Setidaknya kamu harus selamat!"
"Oh, wah ... wah, aku benar-benar terkesan. Sam merencanakan semuanya?" Karin tertawa menyeramkan. "Aku pikir dia hanya memberi kalian sedikit celah untuk kabur."
Rimba berdecih. "Apa yang lo lakukan jalang? Setelah menghancurkan gedung sekolah, berpura-pura tewas dengan bom bunuh diri, kemudia lo hadir lagi dengan wajah baru lo itu, menyamar sebagai penjaga toserba. Lo pikir bagaimana perasaan Tomi saat lo tewas dengan semua kegilaan lo itu, hah?!"
Tawa Karin pecah menggelegar. Tak peduli raut wajah Rimba sudah memerah menahan amarahnya.
"Aduhhh, lucu sekali." Karin mengusap air matanya yang keluar, tampak benar-benar geli karena tertawa. "Itu yang membedakan kalian dengan aku. Kalian terlalu bodoh dengan dalih manusia tulus. Sementara aku? Tentu saja aku cerdas, tidak seperti kalian. Munafik!"
"Lo yang munafik, bego!" balas Rimba mengumpat kasar di akhir kalimatnya.
Karin menghela napas panjang, kemudian mengangkat kedua bahunya. "Terserahlah. Yang penting sekarang, aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan." Tatapannya mengarah kepada Annisa yang beringsut mundur hingga ke dinding. "Seharusnya sejak awal, kamu menjadi fokus target penculikan ini, Annisa."
"Ngoceh apa lagi lo?" Rimba geram. Lelaki itu mengatupkan kedua rahangnya kuat-kuat.
"Rimba, pergi sekarang juga!" perintah Annisa. Gadis itu menahan ketakutannya. "Aku mohon, Rimba."
"Annisa, lo tahu guegue—"
"PERGI SEKARANG JUGA!" jerit Annisa kuat.
Rimba mengepalkan kedua tangannya. "Sialan!"
Tak ada pilihan lain, ia harus pergi dari sana. Terlihat pengecut memang, tetapi untuk situasi yang tercipta sekarang, Rimba tak punya pilihan lain. Seperti apa yang Annisa katakan di awal, pilihan yang ingin bertahan menyelamatkan Annisa akan jauh lebih buruk dari keputusan yang sekarang ia ambil.
Sepanjang ia berjalan di atas plafon itu, Rimba tak pernah absen mengumpat, di dalam hatinya tertanam niat untuk membunuh Karin beserta orang-orang terlibat lainnya.
Tersisa Annisa dan Karin di ruangan sepi yang minim pencahayaan itu. Karin mendekat kepada Annisa, memposisikan diri berdiri tepat di hadapan gadis yang meringkuk itu.
"Kenapa kamu suruh dia pergi, Annisa? Bukannya kamu takut?"
"Aku takut! Tapi aku jauh lebih takut dengan kemungkinan kami kalah dari kalian!" jawabnya lantang.
Karin tertawa, kemudian berjongkok. Ia memperhatikan jaket yang kini melekat di tubuh Annisa. "Oh, Tuhan, manis sekali. Sam memberikan jaketnya untukmu? Astaga, bahkan aku yang sebagai Kakaknya saja tak pernah diperlakukan seperti itu."
Mata Annisa membulat, jantungnya serasa berhenti dari kinerjanya. "A-apa?"
"Mau dengar satu cerita? Ini tentang keluarga yang lumayan unik dan sedikit lucu."
Annisa bisa merasakan atmosfir yang berbeda, seperti ada aura menyeramkan keluar dari sekitar Karin.
Karin makin mendekat, membelai wajah Annisa dengan lembut tetapi juga penuh ancaman. "Kamu ingin dengar kisah masa kecil Sam, Annisa? Dia ... anak yang manis."
Senyum di wajah Karin mengisyaratkan sesuatu yang buruk.
***
Di lain tempat, Melody sampai di apartemen Tomi. Perempuan berambut pendek itu menghela napas sebelum keluar dari dalam mobilnya, ia akan memastikan sebenarnya apa maksud dari penelefon palsu itu?
***
Di tempat yang berbeda pula, Desca dan Elka sampai di depan rumah Karin. Luka-luka Elka sudah beres diobati, sementara Desca sibuk mengamati rumah bergaya kuno di depan sana. Ada satu hal menarik baginya, corong perapian. Desca tahu itu adalah corong perapian karena di istana Lazaron pun memiliki hal seperti itu
"Elka, kau pernah masuk ke dalam rumah itu dan mengamatinya 'kan?"
Elka menoleh. "Ya."
"Apa kamu cukup mengingat tiap sudut rumahnya?"
Elka mengangkat sebelah keningnya. "Gue rasa, iya."
"Aku tidak ingin mendengar jawaban yang ada keraguan seperti itu, Elka."
Mendengus, Elka mengangguk tegas. "Ya, gue cukup mengamati tiap sudut ruangan yang pernah gue kunjungi. Rumah itu terdapat dua lantai. Ada empat kamar di lantai pertama lalu tiga kamar di lantai atas. Ada satu kamar yang menurut gue milik Karin. Ada satu ruangan kerja di atas, lalu ada ruang televisi di lantai atas pula. Lantai bawah hanya terdiri dari ruang tamu, kemudian ruang tengah yang terdapat dua kamar, lalu ada belokan ruangan menuju dapur yang juga menyediakan dua kamar."
"Di mana letak perapian mereka?"
"Hah?" Elka menganga takjub. Dari sekian panjang penjelasannya soal ruangan yang ada di rumah itu. Mengapa Desca malah tertarik dengan letak perapian?
"Jawab saja pertanyaanku."
"Di lantai dasar, berdekatan dengan satu kamar di ruang tengah. Kenapa?"
Desca mengerutkan kening. "Di ruang tengah? Jadi, maksudmu perapian mereka tidak berada dalam kamar atau ruang santai seperti misal tempat berkumpulnya anggota keluarga?"
Elka menatap wajah Desca serius, gadis itu mulai meraba maksud pertanyaan Desca. "Benar juga. Kenapa perapian ada di sekat jarak antar dua kamar yang berada di ruang tengah? Seharusnya, perapian biasanya terletak di dalam kamar bagi mereka yang sering menggunakannya. Atau paling tidak ada di ruang keluarga, perapian sering digunakan untuk menghangatkan diri saat cuaca dingin."
Ledrik datang dengan tiba-tiba, membuat Elka terkejut hingga tak sengaja mengumpat kasar.
"Maaf, Nona." Ledrik membungkuk. "Tampaknya kedatangan saya selalu menganggetkan Nona."
Elka mencibir.
"Saya membawakan apa yang Tuan minta," kata Ledrik memberikan segulung tali panjang kepada Desca.
"Lo mau buat apa dengan tali itu?" tanya Elka.
Desca menerima tali tersebut, kemudian kembali menatap corong perapian di rumah itu. "Kita akan memanjat, kemudian menuruni corong perapian. Satu pertanyaan lagi buat kamu, Elka. Apakah corong perapian itu memiliki tanda-tanda pernah dipakai?"
Elka menelengkan kepalanya, berusaha mengingat dengan keras. "Nggak." Intonasi suaranya naik. "Benar juga! Tempat perapian itu nggak pernah dipakai! Terlalu bersih!"
Desca menatapnya dengan seringai kecil. "Karena di negaramu ini, bukankah rumah dengan tempat perapian itu agak tidak lazim? Kalian tidak mengalami musim dingin seperti belahan bumi bagian Eropa. Rumah dengan gaya seperti ini memang cenderung jarang ditemukan, dan aku merasa ada yang janggal di sana."
"Lo bener!" kata Elka semangat. "Kenapa gue nggak kepikiran ya?"
"Karena kamu tidak secerdas penampilanmu."
Elka mendecih, walau ingin membantah, ia tak bisa sebab kehilangan kata-kata.
"Ayo, kita harus cepat!" kata Desca sebelum akhirnya mereka berjalan menuju rumah tersebut.
***
Apa kabar dengan perasaan kalian, gengs?
Buat moodbooster. Baca-baca komen kalian itu bikin mood aku naik, wkwk. Dan anyway masih aja ada yang panggil aku thor😶.
Mood menulis emang nggak ketebak. Asli, karena tiba-tiba saja tadi dapet banget feel buat menulisnya.
Series kali ini emang kayak lebih berat ke kisah Sam-Annisa. Dan aku sudah ketemu ending yang aku anggap PAS banget buat kisah mereka, sih. Kemungkinan bakalan banyak yang nggak setuju, but, itu aku perbuat demi berlangsungnya cerita seri selanjutnya.
Aku berencana membuat banyak seri dengan tokoh mereka-mereka ini saja, soalnya banyak yang sayang. Jadi, cerita dari sekarang tuh harus aku buat singkron banged. Walau aku menulis untuk bahan bacaan diri sendiri dan ingin menghibur diriku sendiri, aku juga berharap bisa ikut menghibur kalian.
Aku nggak bertanggung jawab dengan komen-komen kecewa kalian nantinya, wkwk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro