Bagian 35
Saat pertama kali Adira melihat kedatangan teman-teman Andra ke rumah, Adira entah mengapa tertarik dengan Sam. Sehingga dirinya menatap Sam agak lama dari biasanya. Kemampuan Adira yang dapat membaca ingatan atau pikiran orang otomatis bekerja, tidak terlalu maksimal karena Adira membutuhkan kontak mata dan sentuhan.
Tetapi, Adira bisa melihat aura gelap melingkupi pemuda itu. Seperti ada sesuatu yang ingin meledak di balik sikap tenangnya. Hal ini membuat Adira sedikit terusik, namun ia mencoba keras agar menampiknya. Belakangan ini ia mendapat penglihatan buruk, mungkin itu juga yang mempengaruhinya sehingga berpikir yang tidak-tidak.
Tetapi, setelah beberapa hari bersama teman-teman kakaknya itu, firasat Adira tidak juga hilang. Ditambah lagi entah benar atau hanya perasaan Adira saja, Sam menghindari tatapannya. Sam menghindarinya. Serius.
Saat melaksanakan misi pertama kali bersama Adira, saat itu Adira, Annisa dan Sam berada di rumah pohon milik Elka, menjadi tim pemantau jalannya misi. Sam yang memang menghindari Adira, entah mengapa saat itu tak sengaja bertukar pandang dengan Adira. Di saat situasi menjadi kacau, lalu Andra mendapat gambaran dari orang yang bertabrakan dengannya di toserba.
Dalam beberapa detik tatapan mereka berada di satu jalur yang lurus, Adira tertegun. Kepalanya sedikit pening karena ditarik masuk ke dalam ingatan Sam. Adira melihat sebuah ruangan berukuran sedang, pintunya terbuat dari besi tua yang engselnya sudah berkarat. Selain itu, kening Adira dibuat mengeryit samar ketika melihat secara sekilas bayangan seorang laki-laki bertudung hitam berdiri di depan Sam.
Oleh karena itulah, Adira akhirnya memberanikan diri keluar menemui Sam yang saat itu berada di rumah sakit. Walaupun pemuda itu sudah terbukti mengorbankan diri untuk Annisa, Adira tetap saja ingin memastikan sesuatu.
Langkah gadis itu tertahan di belokan koridor saat hendak ke ruang inap Sam, ia melihat lelaki berpakaian serba hitam masuk ke ruangan itu. Tentu saja, Adira inisiatif mendengarkan obrolan dua orang itu.
"Kamu tetap melanjutkannya, Sam?" tanya orang itu kepada Sam. Lama terjeda, Sebelum Adira mendengar jawaban Sam.
"Bukan urusan lo."
"Kamu sadar sudah menyakiti siapa saja?"
Jawaban Sam tetap sama. "Bukan urusan lo."
Adira mendesah frustasi, penasaran setengah mati dengan sosok berjaket hitam dengan tudung jaket yang menutupi setengah wajahnya itu. Akhirnya, Adira memberanikan diri mengingip dari kaca transparan daun pintu itu.
"Bukannya kamu menyukai salah satu perem—"
Sam memotongnya dengan dengusan, ekspresinya datar. "Kenapa semua orang menyangka hal itu serius? Gue cocok jadi aktor. Lo setuju?"
Terdiam. Orang itu agak mengangkat wajahnya, menatap Sam. Hal itu membuat Adira melototkan mata. Meskipun yang terlihat oleh matanya hanyalah bagian samping wajah orang itu, tetapi Adira sangat yakin dengan apa yang dilihatnya.
Orang itu memamerkan seringai.
Seringai itu ....
Tidak salah lagi!
Dia adalah pelaku pembunuhan sadis para perempuan karir itu! Adira yakin sekali pernah melihat orang itu, pernah membaca ingatan orang itu! Adira benar-benar yakin!
Terlalu kaget dan takut, Adira tanpa sadar bergerak implusif sehingga Sam menagkap bayangannya. Saat itu Adira tak menyangka si orang berjaket hitam bergerak cepat menangkapnya. Entah dengan cara seperti apa, yang jelas tahu-tahu saja Adira telah berada dalam kukungannya.
Sejurus kemudian, tubuh Adira melemah, dia tak sadarkan diri.
Begitu ceritanya selesai, Adira menatap wajah Annisa yang pucat pasi. "Aku nggak yakin, tapi aku rasa Kak Sam—"
"Kita nggak pantas mempercayainya lagi," potong Annisa. "Ruangan yang ada dalam penglihatanmu itu, ternyata ruangan ini?"
Adira mengangguk. "Orang yang berbicara dengan Kak Sam, dia pelaku pembunuhan kasus yang melibatkan para perempuan karir yang seharusnya menjadi fokus penyelidikan kalian."
Annisa menutup matanya, mendadak saja ia merasa kepalanya sangat berat. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Adira menggeleng. "Aku nggak tahu."
"Kamu sudah makan?"
"Ya. Mereka akan memberi kita makan, mungkin besok."
Annisa mendesah, menundukkan kepalanya. "Aku pengen ice cream."
Entah mengapa ia mengatakan itu, padahal malam sudah mendekati larut, keadaan semakin hening, dan tentu saja udara sangat dingin dan mencekam. Annisa hanya sedang rindu. Dia teringat semua stok ice cream di kulkasnya yang dibelikan Sam khusus untuknya dengan perjanjian hanya boleh memakan 3 cup ice cream dalam sehari.
Annisa menangis, dan Adira tentu hanya bisa terdiam. Dia tak mengerti namun sedikitnya ikut bersimpatik karena melihat betapa Annisa mengasihi pemuda yang berkhianat itu.
****
Melody sampai di rumahnya. Masih di dalam mobil, entah kenapa tiba-tiba merasa cemas. Selama menjadi polwan, Melody tentu bekerjasama dengan intuisinya. Insting yang kuat dan peka sering kali mempermudah pekerjaannya.
Tak ingin bergelung dengan perasaan cemas, Melody akhirnya berlari ke dalam rumah lalu menuju telepon rumahnya.
"Halo, Tom?"
"Halo, Melody? Kalian di mana?"
"Lo di mana? Gue udah nyampe rumah setelah nganterin Annisa."
"A-apa?"
Melody mengeryit saat mendengar suara gugup Tomi. "Kenapa?"
"Oh, sial! Melody, cepat datang ke apartemenku sekarang!"
"Apa? Maksud lo apa—"
Panggilan diputuskan secara sepihak.
Melody menatap gagang telepon rumahnya, kemudian mengempaskannya dengan kasar. Untuk pertama kalinya ia tak menyukai insting buruknya.
"Ah, SIAL!" umpat Melody sebelum akhirnya keluar dari rumah kemudian kembali mengendarai mobilnya menuju apartemen Tomi.
Dalam perjalanan tiba-tiba saja Melody merasa ada yang salah dengan perasaannya kini. Sekuat tenaga ia menginjakkan rem hingga tubuhnya terdorong ke depan.
Kesadaran tiba-tiba saja menyergap kepalanya.
"Itu bukan Tomi," gumam Melody. Gadis itu mengusap wajahnya kasar. "Mana mungkin Tomi nggak protes saat gue manggil dia dengan bentakan, belum lagi gue nggak manggil dia pakai embel-embel. Seenggaknya kalau dia memang Tomi, dia pasti protes."
Melody kini terdiam dengan wajah yang perlahan kaku. Tangannya berpindah meremas setir mobilnya.
"Sial, ini jebakan!" Tanpa bepikir lama-lama, Melody kembali memutar setir mobil. "Gue harus kembali ke rumah itu!"
****
Sementara itu, seorang gadis yang kini berjalan tertatih-tatih, sesekali menghapus air matanya. Ia meremas ujung kausnya yang meninggalkan jejak darah. Begitu keras usahanya agar menjauh dari tempat itu, sejauh mungkin agar dia selamat. Agar pengorbanan orang itu untuk keselamatannya tidak sia-sia.
"Rimba ...," cicit Elka lemah. Gadis itu terduduk di aspal kasar yang sepi. Tubuhnya seakan kehabisan tenaga karena berusaha keras menyelamatkan diri dari segerombolan orang yang tiba-tiba saja menghalanginya dan Rimba.
Awalnya ia pikir mereka telah selamat, nyatanya tidak. Bahkan sekarang, Rimba menjadi korban orang-orang itu.
Elka tertunduk dengan kedua tangan yang menjadi tumpuan. "G-gue harus gimana? G-gue ...."
Dia takcukup kuat untuk melindungi teman-temannya. Dia tak cukup kuat melindungi diri agar Rimba bisa fokus membela diri sendiri, ketimbang harus melindunginya.
Dada Elka sakit.
Ini bukan keinginannya, sungguh.
"Siapa yang mengizinkanmu tertunduk dan menangis seperti itu?"
Tubuh Elka membeku saat mendengar suara berat itu. Khas dari getaran suara itu sangat familier di telinganya. Elka mengangkat kepala, lalu seketika air matanya mengalir begitu deras.
Cahaya temaram dari rembulan tak membantu penglihatan Elka membaik, sebab embun air mata sudah menghalangi pandangannya, namun Elka tidak mungkin salah.
"Kau tidak kuizinkan untuk menangis." Suara itu terdengar lagi. "Bangun. Seorang keturunan murni klan Layern tidak boleh menunjukkan sisi lemahnya, apalagi di depanku."
Namun, tangis Elka semakin deras. Bukan bertambah sedih, melainkan sangat bersyukur akan kehadiran orang itu.
"Desca ...." Suara Elka parau.
"Bangun." Desca bersuara lagi. "Kuatkan dirimu, Elka. Aku sudah kembali."
****
Siapa yang kangen?
Mana teriakannyaaaaaaaa!!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro