Bagian 28
Kemarin ada yang komen minta follback di instagram. Kalian tinggal DM dan minta follback kok, akan aku follback ^ ^
***
Suasana di meja kantin kali ini terasa berbeda. Walau masih seperti biasanya, kantin selalu ramai. Tetapi meja yang berada di pojok kana, tempat yang biasa menjadi posisi pas bagi Elka dan teman-temannya terasa begitu hening dan kosong. Sam tidak masuk sekolah, pemuda itu mungkin sedang memanfaatkan izin sakitnya. Selain mereka, seluruh orang yang berada di SMIHS tahunya dia sakit.
Elka menyugar rambut hitamnya yang hari ini tergerai. Setelah sekian menit berlalu dengan keheningan, ia ingin membuka suara. Bahkan makanan yang mereka pesan tidak tersentuh sama sekali. Kali ini entah mengapa suasananya makin pilu, mungkin belum adanya kabar dari Adira juga yang memicu kesedihan ini.
"Kita nggak akan diem aja begini 'kan?" tanya Elka menarik semua perhatian. "Fine, kenyataannya Sam berkhianat. So, what? Itu nggak seharusnya membuat kita selemah ini." Suara Elka tegas, namun tetap diusahakannya rendah dan tidak menarik perhatian.
"Lo pikir semudah itu? Sam tahu bagaimana cara kerja kita. Sam tahu seluk beluk rencana kita. Apa lo pikir ini akan mudah?" balas Rimba. Pemuda itu meloloskan kancing kemeja yang terasa mencekik lehernya. "Gue belum menemukan akal gimana menghadapi semua ini."
Kembali hening terjadi. Elka juga bingung. Apa dia harus bercerita soal pengakuan Zato? Oh, tidak! Ini semakin sulit dipercaya. Dan kalau sampai Elka mengaku percaya dengan Zato, maka dia juga harus menjelaskan mengapa Zato mau-maunya mengaku soal itu semua kepada Elka. Kalau sudah begitu, apakah Elka harus mengaku bahwa ia adalah salah satu keturunan vampir? Yang benar saja! Itu adalah ide terburuk yang pernah Elka pikirkan.
"Tapi, perkataan Elka bener." Suara Andra kali ini memecah hening. "Kalian nggak boleh mengabaikan fakta bahwa di Sam, sekarang ada adek gue. G-gue harus ngomong apa lagi kalau orang tua gue nanyain? Gue udah bohong dia nginep di rumah temen demi menghilangkan trauma dan antisosialnya. Sekarang apa lagi?" Wajah pemuda itu terlihat frustasi.
"Seharusnya kita tahu ada keanehan yang terjadi selama ini." Elka menggumam tajam. "Selama ini Sam menjadi perancang skenario paling hebat yang kita kenal. Soal eksekusi kasus, dia yang merancang semua strategi yang ada."
"Tapi kamu juga terlibat, El." Annisa menyela ucapannya.
"Ya, gue terlibat menjalankan dan menyetujui. Emangnya gue tahu bahwa semuanya udah direncanakan? Emangnya gue tahu Sam adalah pengkhianat yang harusnya rencana dia nggak patut kita ikutin? Emangnya gue tahu-"
"El, stop it!" seru Rimba tegas. Kalau saja ini bukan kantin, dia mungkin sudah berteriak. Ia melirik Annisa yang tertunduk dalam, gadis berhati lembut seperti Annisa pasti terluka dengan perkataan tajam Elka tadi. "Saling mendebat nggak akan menyelesaikan masalah kita!"
"Tapi, Rim. Serius, apa lo kepikiran sedikit aja soal alasan Sam berkhianat? Come on, man! Kita sama-sama sejak awal masalah demi masalah ini muncul. Dan Sam ... astaga, demi Tuhan! Gue bahkan nggak kepikiran dia punya niat jahat. See? Bahkan dia menyelamatkan Annisa saat penembakan itu!"
Isakan Annisa lolos mendengar itu.
Elka memijit pangkal hidungnya, kepalanya pening. "Soal penembakan juga aneh. Pertama, Sam jelas ngasih signal ke Annisa buat ngikutin dia ke rooftop. Seakan nggak ada tempat lain? Gue rasa, hei, saat itu dia jelas-jelas memperlihatkan sikap untuk meminta Annisa menjelaskan sesuatu dan harus mengikuti dia. Kita tahu bersama, Sam hebat soal taktik seperti ini. Kedua, oh gosh! Kenapa kita nggak berpikiran aneh saat mendengar keterangan Annisa bahwa saat penembakan mereka lagi ngobrol? Menurut lo, apa kita bakal sehebat itu mengetahui ada orang di seberang bangunan sekolah yang lagi menodongkan senjata dan menembak? Dan hell! Bahkan dia tahu sasarannya itu Annisa! Dari jarak sekian meter, apalagi posisi di rooftop, seharusnya dia nggak tahu kemana arah tujuan peluru itu berlabuh!"
Elka beberapa kali meremaa rambutnya karena gemas sendiri, sementara Annisa mengepalkan tangan kuat-kuat mendengar penjelasan Elka. Ya, sekarang semuanya terasa jauh lebih masuk akal. Dan sekarang mereka rasanua benar-benar sukses dibodohi.
"Tapi, kalau emang dia tahu peluru itu akan tertembak ke siapa, kenapa dia menyelamatkam Annisa?" tanya Rimba. "Dia berkhianat, dan sudah pasti dia kenal siapa yang akan menembak itu. So ...." Rimba tak bisa melanjutkan kata-katanya, karena tangan Annisa terangkat menitahkannya berhenti berucap.
"Itu semua karena memang dia sudah merencanakannya," kata Annisa dengan suara parau. "Malam itu dia bilang semua yang dia lakukan memang palsu, termasuk penyelamatan aku waktu itu."
"What the fucking hell, Sam!" desis Rimba penuh amarah.
Annisa tergugu lagi. "Dia bahkan menyarankan ke kita, kalau suatu waktu kita ketemu dia, maka kita harus melihatnya sebagai musuh. Dia ... d-dia ...." Annisa menutup matanya dan menunduk. "Katanya dia bisa saja membunuh kita."
"Itu pasti," kata Rimba datar. "Gue nggak akan maafin orang yang berkhianat." Annisa semakin terisak, menarik perhatian siswa lainnya.
"Gue masih nggak habis pikir," gumam Andra penuh kekecewaan.
Elka terdiam sembari otaknya bekerja secara ekstra. Ya, faktanya Sam memang berkhianat. Tetapi, semua hal yang Elka pikirkan belum menjelaskan alasan pemuda itu berkhianat.
"Nis, apa Sam mengatakan sesuatu ke lo malam itu?" Annisa menatapnya denga kening berkerut dan sisa-sisa air mata. "Maksud gue mengatakan sesuatu yang ada hubungannya dengan gue?"
Kening Annisa semakin berkerut dalam. Kemudian gadis itu otomatis mengingat perkataan Sam kala itu. "Iya, dia bilang sesuatu soal kamu. Katanya 'kamu pasti sudah tahu semuanya'."
"Gue tahu semuanya?" gumam Elka termenung dan memejamkan mata. "Why Sam? Why? Kasih gue clue tambahan!"
"Kenapa lo seakan yakin Sam nggak bersalah?" tanya Andra.
"Sam bersalah. Itu pasti!" tegas Elka. "Tapi gue nggak tahu apa motifnya dan lo tahu, Sam orang yang paling realistis dan logis. Pasti selalu ada alasan di balik sikapnya, termasuk sekarang."
"Jadi menurut lo, Sam punya alasan kuat yang mengharuskannya berbuat salah seperti ini?" tanya Rimba.
Elka tak menjawab, ia masih memikirkan kata-kata Sam kepada Annisa.
Secara tiba-tiba telinga Elka terasa berdenging, sampai-sampai gadis itu memejamkan matanya dan mengerutkan kening seperti kesakitan. Perlahan ia merasa suara-suara di sekitarnya mengecil, semakin kecil, hingga hanya tersisa suara 'ngingg' di telinganya.
Perlahan, Elka membuka mata. Kemudian ia terbelalak mendapati dirinya kini berada di tempat yang asing. Di sekelilingnya tampak hitam, namun anehnya Elka bisa melihat dengan jelas. Hanya ada satu bangku di sana, yaitu bangku yang ditempati Elka. Ketika Elka berdiri, dia kaget melihat pakaiannya sendiri.
Ini bukan seragam sekolahnya! Ia memakai gaun kecokelatan dengan aksen keemasan di bagian leher dan memanjang hingga pinggang, seperti bordiran model kuno, bordir itu juga terdapat pada ujung-ujung lengan gaunnya. Kemudian Elka mengeryit kaget melihat rambutnya yang berubah kemerahan sementara di punggungnya melekat jubah besar berwarna hijau yang lembut. Di kepalanya juga terdapat topi jubah, dan tali jubah itu terikat di lehernya dengan gaya pita cantik.
Ini aneh. Kemana teman-temannya? Di mana dia sekarang?
Saat Elka sibuk memperhatikan sekitarnya yang serba hitam, tubuhnya tersentak saat melihat ruang hitam itu perlahan menyusut dan digantikan pilar-pilar besar dan membentuk satu ruangan super besar. Ukurannya bahkan dua kali lipat lebih luas dari ruang aula.
Sebuah pemandangan di depannya membuat Elka membulat. Barisan panjang orang-orang berpakaian serba hitam berada di kedua sisi karpet merah yang memanjang hingga di pijakannya sekarang. Seseorang yang bertopang dagu di kursi kebesaran di depan sana, menatapnya dengan raut super datar.
Mata Elka mengerjap, apa yang dia harus lakukan? Kabur? Tapi, kemana?
"Selamat datang, Nona!"
Elka terjengkit kaget mendengar ucapan serempak itu. Ia menatap orang-orang berpakaian hitam itu meletakan satu tangan di depan dada, kemudian membungkuk sopan. Elka memutar kepalanya ke belakang, siapa yang datang? Siapa yang dimaksudkan orang-orang ini?
"Nona Elka, kami sedang hormat kepada anda."
Elka memutar kembali kepalanya saat mendengar suara yang tampak familier itu. Ledrik berada di antara barisan itu, astaga! Bahkan Elka tak sadar.
"Ledrik, ini gue ... hei, kita di mana?"
Ledrik tersenyum sangat sopan, kemudia mengulurkan tangannya dan mengayun perlahan ke arah seseorang yang duduk di kursi kebesaran itu.
"Selamat datang di kastil utama Lazaron, Nona. Ini adalah ruang pribadi kastil ini, tempat Lord Lazaron bertitah."
Mata Elka memgerjap lambat.
"Silakan mendekat."
Menelan ludah kasar, Elka akhirnya mendekat. Hanya dengan dugaan yang besar, Elka mencontoh gaya hormat orang-orang tadi, menuduk di hadapan Lord. Seketika, Lord itu berdiri dan orang-orang di sana langsung berlutut dengan satu tungkai tertekuk.
Elka menatap sekitarnya dengan perasaan aneh.
"Jangan menuduk padaku," kata sang Lord. Suaranya berat dan penuh wibawa. "Kau bukan orang yang harus menunduk di hadapanku."
"B-baik."
Saat itu, Lord akhirnya duduk kembali, kemudian orang-orang di sana kembali berdiri.
"K-kenapa ... ehm, kenapa saya bisa di sini?" Tanpa sengaja, Elka menggunakan bahasa yang formal dan kaku.
"Sudah seharusnya kau berkujung ke temlat asalmu, Nona," balas sang Lord. "Kau harus berada di sini saat aku memberikan titah."
"Maksudnya?"
"Dengarkan aku baik-baik wahai keturunan klan Layern. Kau akan mengemban tugas terakhir klan Layern, untuk itu aku menitahkan padamu untuk membangkitkan kekuatan di dalam tubuhmu. Setelah kembali dari Lazaron, dengan atau tanpa izin ayahmu, kau akan mendapat kekuatan seorang Layern."
Elka membulatkan matanya, badanya membeku. Saat menoleh ke arah Ledrik, pria itu hanya membagi senyum tipis dan sorot meyakinkan.
"Kau menerimanya?"
"A-apa?" Elka tergagap. Namun, melihat sorot datar dan penuh tuntutan sang Lord. Elka akhirnya mengangguk. "Saya ingin mengajukan satu persyaratan?"
"Apa itu?"
"Saya ingin tahu semua tetang ibuku?"
Lord tersenyum. "Tentu saja. Untuk sebab itulah kau diundang ke Lazaron. Ikuti Ledrik, temui Desca di kastilnya."
Kemudian, Ledrik langsung maju, menutun jalan Elka dengan sikap yang sangat sopan. Saat Elka hendak meninggalkan ruangan itu, semua orang di sana kembali menuduk seperti di awal.
Elka merasa risih karenanya.
Lagi pula, di mana kastil Desca ini? Di mana tempat persembunyian makhluk sialan itu, huh? Elka tak sabar ingin memakinya.
Dan hei! Menagapa Elka begitu cepat nyaman dengan tempat ini? Elka merasa ... seperti tidak asing lagi. Seharusnya ia menuntut Ledrik agar diberi jalan keluar, tetapi tidak. Elka malah memilih menerima misi dari Lord dan bahkan sekarang berjalan ke kastil Desca.
Sekalipun ini mimpi, sangat sulit dipercaya!
****
A/N : Serius mau nanya. Feelnya dapet nggak, sih? Apa kalian ikut terbayang dengan yang aku tuliskan? Terutama saat Elka tiba-tiba tertelan ke dunia Lazaron. Apa ikut terbayang? Duhh, semoga nggak ngawur ya dan bisa buat kalia ikut membayangkan.
Sejauh ini, bagaimana pendapat kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro