Bagian 26
Warning!⚠ : Part kali ini berpotensi membuat kalian serangan jantung karena terlalu kecewa. Jujur saja, ini hanya saran. Siapkan hati kalian. Percayalah, mungkin kalian akan sangat-sangat-sangat kecewa terhadap seseorang.
****
Semua orang akhirnya kini berada di ruangan Sam. Pemuda itu terlihat lebih pucat dari terakhir kali, sepertinya bekas tempakan di dadanya jadi terkoyak lagi. Setelah mendapat informasi cukup dari Heru, mereka akhirnya bergegas ke rumah sakit. Andra menjadi orang yang paling terpuruk dengan kabar ini, lalu Elka menjadi orang paling kecewa.
"Adira belum sempat bilang sesuatu yang penting itu." Suara Sam berat dan serak. Pemuda itu menunduk dalam. "Maafin gue, Ndra. Gue nggak bisa lindungin adek lo."
Andra diam, bukan berarti menyalahkan Sam. Dia tentu tahu bahwa pemuda itu sebelumnya pasti sudah berusaha melindungi Adira, namun gagal. Melihat kondisi Sam yang kembali mengkhawatirkan, Andra tahu situasi saat itu tidak memungkinkan bagi pemuda itu menyelamatkan adiknya.
"Lo yakin Desca yang bawa Adira?" tanya Elka dingin.
Sam menatapnya sayu, kemudian mengangguk. "Gue benar-benar nggak bisa mikir sebenarnya apa yang terjadi di sini? Tapi, ngelihat Desca di rooftop, gue ngerasa ...." Sam menatap Elka dengan sorot yang redup, seakan meminta maaf. "Gue ngerasa dia adalah pelaku penembakan gue, El."
"Tapi ...." Annisa menggantung kalimatnya. Ia menatap Sam dengan kening berkerut. "Apa ini artinya Desca dan seseorang sedang bekerja sama?"
"Maksud lo?"
"Menurut informasi yang kami dapatkan di rumah Pak Heru, seseorang yang melakukan transaksi peluru adalah perempuan."
Sam terbelalak, sedetik kemudian wajahnya kembali datar. "Apa itu artinya Karin benar-benar masih hidup?"
Melody mendesah frustasi. "Lo yakin orang bernama Desca ini familier buat lo?" tanyanya menatap Sam. "Dia benar orang yang lo lihat di rooftop?"
"Gue nggak bisa memastikan karena jaraknya cukup jauh, tapi gue merasa familier dengan jaket serba hitam yang dia pakai."
"Kalau begitu kita cari si Desca ini!" kata Melody tegas.
"Masalahnya adalah nggak ada yang tahu di mana dia sekarang," lanjut Rimba.
"What?" Seakan tak percaya, Melody menatap satu persatu wajah di ruangan itu. "Serius? Terus sekarang apa?"
"Begini, bisa saja orang yang mengambil Adira adalah Desca, tetapi masih kemungkinan orang yang melakukan penembakan bukan dia." Annisa mengangkat suara, kemudian ia mengeluarkan i-pad dari tasnya. "Aku akan mengecek rekaman peretas jaringan internet yang kita pasang di rumah Karin tempo hari. Kalian tahu sendiri, aku dan Sam sempat mengalami kejadian aneh di sana. Lalu beberapa sudut kamera yang tersimpan di rumah itu pasti bisa memberi kita petunjuk!"
"Sebentar, jangan bilang kalian melakukan penyelidikan tanpa sepengetahuan kami?" sergah Tomi tak habis pikir. Annisa menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus ke i-pad-Nya.
"Seharusnya Bapak tahu tanpa harus kami beritahu." Rimba menjawabnya datar.
"Apa pun itu terserah, yang jelas kita memang butuh betunjuk!" Gadis itu menepuk pundak Tomi seakan mereka teman sebaya, ia bahkan mengabaikan pelototoan lelaki itu. "Sesekali mempercayai mereka bukan hal yang buruk."
"Dap-at." Suara Annisa menggantung sumbang. Gerakan tangan gadis itu terheti pada satu titik di i-pad.
"Kenapa, Nis?" Elka mendekat dan melihat langsung layar i-pad Annisa. "Kosong?"
"Nggak mungkin!" Annisa menatap tak percaya. "Nggak mungkin filenya kosong!"
"Itu artinya semua alat yang kita pasang ketahuan dan dirusak seseorang," ujar Rimba pelan. Annisa membisu.
"Sekarang apa kita benar-benar kehilangan petujuk?" tanya Tomi.
Annisa menelan ludahnya, perasaan tak nyaman meliputi gadis itu. Tangannya bahkan bergetar ketakutan. Semua orang tahu, mungkin untuk pertama kalinya gadis itu mengalami hal seperti ini. Annisa adalah gadis yang jenius, segala hal yang berhubungan dengan jaringan internet dan IT pasti bisa ia pecahkan. Untuk kali pertama, gadis itu merasa sedang dibodohi.
Annisa memejamkan matanya, menarik napas panjang. "Ng-nggak mugkin," gumamnya pelan, sangat pelan.
"Sekarang bagaimana?" Suara rendah Andra terdengar. Setelah sekian lama, lelaki itu akhirnya mengangkat suara. Matanya terlihat redup dan berkaca-kaca. "Adik gue. D-dia ...."
"Apa kita harus mencarinya di rumah Karin?" Tomi mengusulkan.
"Gue setuju." Elka mengangguk-angguk. "Pak Tomi, Kak Melody dan Rimba, sebaiknya ke rumah Karin. Sementara Andra sebaiknya lo ke rumah dan usahakan keluarga lo nggak tahu sesuatu tentang hilangnya adik lo. Sementara itu, gue akan coba mencari keberadaan Desca. Sepertinya gue tahu satu hal biar bisa mengetahui keberadaannya. Annisa, sebaiknya lo tetap berjaga dengan Sam di sini."
Semuanya mengangguk setuju dengan perintah itu.
Bergegas melaksanakan tugas masing-masing, mereka akhirnya berpencar menuju tujuan dilaksanakannya tugas mereka itu. Elka menuju rumahnya dengan tergesah. Ia harus bicara dengan ayahnya.
Jika memang Desca yang berada di balik semua ini, berarti semua yang terjadi hanyalah sebuah sandiwara. Apakah ini berarti selama ini Desca membohonginya?
Sesampainya di rumah, Elka bahkan berlari kecil menuju pintu utama. Dia mendapati Haris yang sedang duduk di ruang tamu dengan secangir teh di depan pria setengah baya itu.
"Ayah!" panggil Elka menggelegar ke seluruh ruangan.
"Elka? Kenapa kamu baru sampai?" Haris bertanya heran, bahkan putrinya itu masih memakai seragam sekolah. Hari sudah malam, sangat tidak mungkin sekolah menerapkan jam pelajaran sampai selarut ini. "Dari mana saja kamu?"
Mengabaikan pertannyaan itu, Elka melangkah lebih dekat. "Apakah mungkin jika Desca berbohong tentang misinya?"
"Jangan itu lagi, Elka. Kita sudah pernah membahasnya, dan kita berakhir dengan pertengkaran. Berhenti untuk—"
"Jawab saja, Ayah!" potong Elka tegas.
"Kamu ini kenapa lagi?"
"Desca tak ada kabar sama sekali! Dia sudah mencelakai temanku dan dia bahkan menyandera adik temanku, Yah!" Elka tanpa sengaja mengeraskan suaranya.
Haris berdiri dari duduknya, menatap Elka terkejut. "Tidak mungkin! Asal kamu tahu, El. Bangsa vampir Lazaron paling pantang melenyapkan nyawa manusia tanpa sebab yang kuat. Bahkan, antar vampir dan werewolf selalu bermasalah karena pendapat yang berbeda soal manusia. Vampir selalu menginginkan hidup yang sesuai keseimbangan alam, manusia tidak untuk diburu. Sementara werewolf, sebagian dari mereka cenderung menyamakan martabat manusia dengan binatang buruan!"
"Lalu kenapa Desca bisa melakukan itu?!" Napas Elka tersengal, perasaannya campur aduk.
"Kamu tahu bahwa Desca keturunan lord Lazaron, iya 'kan?" Elka hanya mengangguk, menjawabnya. "Ayah tahu dia tidak sedang berbohong soal misi, karena Ayah bisa bertemu sengan bundamu saat bunda menjalankan misi yang sama seperti Desca. Ayah juga tahu Desca keturunan murni, simbol penguasa Lazaron dia memiliki iris mata yang sama seperti bundamu."
"Jadi ... lalu, kenapa Desca ...."
"Apa kamu yakin temanmu tidak berbohong, Elka?"
Elka membulatkan matanya, termundur kecil. "Ba-bagaimana mungkin ... t-tidak." Dia tergagap, kemudian tubuhnya meluruh begitu saja. "A-Annisa ..."
Sementara itu, di ruang inap Sam. Keadaan setelah perginya Elka dan lainnya, menjadi sangat sepi. Hanya suara dentingan jam yang terdengar memecah keheningan udara kosong.
Annisa duduk di sofa berukuran satu meter yang terletak di sisi ruangan itu. Sudah puluhan menit terjadi hening, Annisa baru bisa mengangkat kepalanya sekarang. Gadis itu mengarahkan tatapannya kepada Sam, pemuda itu juga sedang menatapnya lekat dan dalam.
"Kenapa?" Suara Annisa lirih namun serak. "K-kenapa kamu melakukannya, Sam?"
Pemuda yang duduk di brankar itu masih diam dengan tatapan dingin.
"K-kamu ...." Annisa memejamkan matanya, setetes bulir kristal jatuh dari netranya. "Kamu berkhianat."
Saat melihat ujung bibir Sam terangkat membentuk seringai, Annisa yakin malam ini adalah pertama kalinya ia menyesal telah mengenal Sam.
"Lo ternyata jauh lebih jenius dari bayanga gue, Annisa."
Tangis gadis itu mengudara.
****
A/N : Siapa yang nggak bisa berkata-kata? Hayoo, mau apa? Hayooo ini kenapa? Woiiiii ini kenapaaaa!!!!
Kalau mau cepat update, harus spam komen. Spam komen #whysam
(Penulis langsung kabur karena takut digebukin masa)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro