Bagian 17
Warning!
Konsentrasilah membaca cerita ini karena ada percakapan yang berhubungan dengan ras vampir dan werewolf. Baca author note di akhir, itu penting!
***
"Dugaan Tuan benar, mereka akan pergi lagi." Ledrik berkata dengan nada tenang. "Apa kita harus mengikuti mereka, Tuan?"
Desca tahu jika Elka sampai mengetahui kelakuannya ini, perempuan itu akan memaki dan menyumpahinya. Tetapi, tidak ada yang bisa Desca lakukan lebih dari ini. Kenyataan bahwa ras werewolf menjalin kerjasama dengan manusia adalah hal rumit yang tidak bisa Desca atasi dengan mudah. Bencana baginya karena werewolf bisa selangkah lebih tahu pergerakannya. Dengan mudah werewolf bisa lari dari incaranya, mengandalkan aroma tubuh yang tersamarkan, salah satu kelebihan membuat kerjasama dengan ras manusia. Mereka akan terlihat seperti manusia itu sendiri, sesama ras pun biasanya tak saling mengetahui.
Celakanya, Desca hanya bisa mengawasi pergerakan Elka dan teman-temannya agar bisa meringkus werewolf ini dengan mudah. Setelah itu, dia akan pulang ke Lazaron membawa kesuksesan misi dan bisa dinobatkan menjadi Lord menggantikan sang ayah.
Memikirkan kata pulang, tiba-tiba saja memori Desca dipaksa mundur ke suatu malam.
Malam di saat dirinya dengan tanpa kontrol mencium, bahkan menikmati bibir mungil Elka.
Lelaki itu langsung tersentak ketika potongan memori itu menyerang.
"Ada ap, Tuan?" tanya Ledrik cemas. Desca berdiri, memandangnya horor.
"Ada yang tidak beres padaku, Ledrik."
"Ada apa, Tuan? Apa insting Tuan bekerja dan menemukan sesuatu yang ganjil?"
Desca mengangguk mantap. "Ya. Ini benar-benar bahaya."
Ledrik bertambah cemas. Lelaki itu memandang Tuannya serius, lalu perlahan mendekat. "Ada apa, Tuan? Apa yang bisa kulakukan?"
"Tiba-tiba saja ... aku terus memikirkan Elka," ujar Desca mematahkan keseriusan Ledrik. "Kau tahu ... ah, bagaimana caraku menjelaskannya? Bahkan selir di Lazaron jauh lebih menarik dari pelayan kurang ajar berdada rata dan bermulut kasar itu, tetapi entah kenapa ... kau tahu, astaga! Kau mengerti, kan?"
Untuk sesaat, Ledrik hanya bisa melongo. Menampilkan wajah paling tolol yang dia punya. Selama berabad-abad ia tinggal bersama Desca, menjadi pelayan setia bagi calon penguasa Lazaron itu, baru kali ini dia melihat Desca kesusahan merangkai kata-kata.
Besar di tengah keluarga kerajaan, menjadi penerus tahta, membuat Desca lebih suka berterus terang. Sikapnya arogan, tak segan memerintah seenaknya, berkata kasar, berargumen sembarangan. Dengan dalih sebagai calon penguasa, tidak ada satu pun yang berani menentang perkataannya.
Lantas, mengapa sekarang makhluk arogan itu malah ragu mengutarakan sesuatu?
Ledrik terbatuk kecil, berdeham agar meredakan perasaan gelinya. "Maaf, Tuan? Tapi aku tidak mengerti."
"Kau ini!" Desca menipiskan bibir, sebal. "Berapa lama kau bersamaku? Seharusnya kau paham bahkan tanpa kujelaskan!"
Nah, kan! Sembarangan!
"Baiklah. Aku akan coba menebak."
Desca mengangguk setuju.
"Ini berhubungan dengan Nona Elka, jadi apakah berkaitan pula dengan misi kita?"
"Tidak."
"Itu artinya, masalah pribadi Tuan dan Nona Elka."
"Masalah pribadi?" Kening Desca mengerut dalam. "Maksudmu seperti apa?"
Ledrik berdeham sebentar, kemudian menatap Desca hati-hati. "Sebenarnya ... aku melihat kejadian malam itu."
"Maksudmu?" Desca melototkan matanya. "Kau ... kau ... a-apa?"
"Maaf, Tuan." Ledrik meringis tak enak. Lelaki itu agak memundurkan posisinya. "Aku melihat Tuan dan Nona—" Ledrik melanjutkannya dengan gerakan. Dua tangannya mengerucut lalu saling dipertemukan, mengisyaratkan cium.
Pipi Desca berkendut, ujung-ujung bibirnya bergetar menahan sesuatu yang menyembur. Akhirnya sebuah decakan mewakili perasaan geli Desca. Lelaki itu mengalihkan pandangannya, lalu mendengus.
"Menurutmu ... bagaimana?"
"Apanya Tuan?" Ledrik berpikir sebentar. "Soal ciumannya?"
"LEDRIK!" bentak Desca membuat sedikit getaran di sekitarnya. "Maksudku ... ah, sudahlah! Lebih baik kita ikuti saja bocah-bocah manusia itu!"
Desca berbalik, segera meninggalkan rooftop bangunan bertingkat tempat mereka mengobrol itu. Para bangsa vampir yang dikaruniai kemampuan di luar nalar itu, membuat Desca dengan mudah melayang tanpa bantuan apa pun.
"Tuan!" teriak Ledrik menghentikan Desca. Masih sambil melayang, Desca berbalik malas.
"Apa lagi?"
Ledrik meringis. "A-arahnya bukan ke sana Tuan, melainkan sebaliknya."
"Aku tahu! Aku hanya sedang mengetes kemampuanmu saja!" elak Desca sembari mendecak dan mengubah arahnya.
Ledrik mendesah penuh maklum sebelum ikut melayang, mengikuti Tuannya.
****
"Kau yakin mereka ke sini?" tanya Desca ketika sampai di suatu tempat.
Ledrik mengangguk. Tangannya mengudara, mengarahkan ke suatu tempat. "Lihat, Tuan. Di sana ada Andra, teman Nona Elka."
Desca memincing, memastikan padangannya kepada pemuda yang sedang berdiri di depan stand kopi jalanan.
"Mengapa dia terlihat panik?" Ledrik menggumam di sampingnya.
Tak lama kemudian, mereka melihat Andra bersama dengan gadis muda berlari menerobos gerbang bercat putih yang mulai terkelupas. Tampaknya mereka akan masuk ke dalam rumah berukuran besar dengan gaya Eropa kuno itu. Ledrik dan Desca mengikuti dengan mudah, masih sambil memperhatikan pergerakan Andra dan gadis muda yang mengetuk pintu.
"Elka! Kalian kenapa?!" teriak Andra sembari mengedor keras. Tidak ada sahutan apa pun dari dalam.
"Tuan, sebaiknya kita segera menyusul." Ledrik menoleh ke samping, lantas matanya membulat saat menyadari Desca tak lagi di sana. Kepalanya menoleh ke arah Andra, dan semakin membulat saja saat melihat Desca sudah di sana. "Aku ditinggalkan begitu saja."
Tak menunggu lebih lama, Ledrik berlari menyusul.
"Ada apa?" tanya Desca kepada Andra.
"Desca?" Andra buru-buru tersadar bahkan sempat menepuk bibirnya sendiri. "M-maksud gue—eh, saya. Tuan. Bagaimana Tuan bisa—"
"Berhenti berceloteh dan jelaskan ada apa?!" potong Desca tajam. Andra menoleh ke pintu dengan kaku dan wajah semakin pias.
"Ada sesuatu yang terjadi pada Elka dan lainnya, mereka terkunci di dalam."
"Menyingkir," kata Desca.
"A-apa?"
Desca menoleh dengan tatapan menghunus pada Andra. "Aku bilang menyingkir!"
Masih terpaku, Andra ditarik Ledrik, begitupun Adira yang masih tidak mengerti dengan orang yang tiba-tiba datang itu. Bagaimana Kakaknya bisa kenal orang senaeh itu?
Desca mengambil ancang-ancang, mengangkat tangannya hingga berada sejajar di depan matanya yang tertutup. Tak lama berselang, matanya terbuka menapilkan kilau kemerahan yang mempertajam sorot itu seiring dengan tangan yang terbetang ke arah pintu.
BRAKKK!!!
Pintu tersebut terbuka dengan kasar. Bunyi gebrakan kuat bersamaan dengan pekikan beberapa tubuh yang jatug di balik pintu tersebut.
"DESCA?!" teriak Elka kegirangan. Dia tak menyangka bisa sesenang ini bertemu dengan lelaki yang sempat membuatnya kelimpungan itu. "Akhirnya lo datang!" lanjutnya seakan tahu Desca akan mengikuti mereka.
Desca mengabaikan teriakan Elka itu. Fokusnya hanya kepada satu-satunya yang tetap berdiri dan tetap tenang saat melihat keberadaannya.
"Siapa kau?" tanya Desca dengan suara dalam.
Saat itu, Elka dan lainnya tahu bahwa mereka harus menyingkir.
Tatapan tajam Desca mengisyaratkan sesuatu yang tak asing dari seringai di balik topi hoodie yang menutup sebagian wajah tersebut.
"Zato?" sahut Ledrik dari belakang Desca. "Kau ... Zato. Aku yakin."
Desca tersenyum miring. "Jadi, akhirnya kita akan bertemu seperti ini, Zato? Aku penasaran, apa saja yang sudah kau dapatkan dari hasil pengkhianatan ke Lazaron? Apa kau sudah bisa menggenggam dunia, Zato?"
Seringai itu musnah seiring dengan aura gelap yang semakin mengental.
Desca menoleh kecil kepada Ledrik. "Bereskan anak-anak lainnya."
"Baik, Tuan." Ledrik kemudian menatap para remaja yang terpaku dalam kebingungan itu. "Maaf anak-anak, ini bukan hal yang layak untuk kalian nonton." Lalu dia akhirnya mengayuhkan tangan, secara pelan memindai satu persatu posisi para remaja itu. Secepat tangan yang melambai itu, satu persatu dari mereka terhunyang pelan, jatuh tak sadarkan diri.
Hal yang membuat Ledrik cukup tercengang adalah Elka tak bisa terpengaruh dengan kendalinya itu.
"A-apa ...." Elka tergagap.
"Biarkan saja dia, Ledrik." Desca menyahut. "Elka, sebaiknya kau simpan semua pertanyaanmu itu. Tetap berada di sana dan jangan melakukan hal bodoh," tutur Desca menatap dalam kepada gadis itu. Dia tahu bahwa sebagai keturunan Layern, Elka tak akan mempan dengan pengaruh kemampuan mereka. Bahkan saat menghentikan waktu saja, Elka adalah satu-satunya manusia yang masih bebas bergerak.
"Wah ... wah ... melihat kau tak heran lagi, berarti kau sudah tahu tentang gadis itu, bukan?" celetuk Zato membuyarkan tatapan Desca. "Kau tampak menatapnya spesial, Desca."
"Berhentilah berbicara seakan kau tahu tentangku, Zato!"
Orang itu menyeringai, kemudian menurunkan topi hoodie dari kepalanya. Wajah tegas dengan kening menukik tajam langsung memaku tatapan Elka.
Tidak salah lagi. Itu adalah si pembunuh!
"Kenyataannya, aku memang cukup mengenalmu." Zato berujar pelan dan dingin.
"Jangan membuatku harus meringkusmu sekarang. Setidaknya, aku ingin berbaik hati membiarkanmu bermain-main sejenak. Sebelum kau lebur dan tidur selamanya."
Zato tertawa. Menggeleggar hingga membuat betaran pada tempat itu. Selang beberapa detik setelah tawa itu urai, tatapannya menghina Desca.
"Kau pikir aku bodoh?!" Zato membentak. "Aku petarung werewolf, aku adalah calon penguasa sepertimu! Kau pikir aku akan takut dengan ancaman itu, huh? Sejak dulu vampir memang terlalu meninggikan kekuasaan tanpa ada kekuatan yang berarti. Sedih sekali rasanya harus menyerahkan rancangan peraturan di tangan ras lemah seperti kalian!"
Tatapan Desca menajam. "Kau salah. Seharusnya kau tahu ada satu klan yang akan dengan mudah menyabit kepalamu. Kupastikan tidurmu tidak akan tenang."
"Itu tidak akan cukup membuatku takut, Desca." Zato menyeringai lagi. Rasanya, lelaki itu memang mempunyai kekuatan gaib di seringainya. Karena hanya dengan melihat itu, bulu kuduk Elka meremang dan jantungnya berdetak kacau. Zato menatap Elka. "Tetapi, aku tidak akan takut dengan kemampuan yang cacat."
"Jangan membohongi dirimu, Zato." Desca terkekeh meremehkan. "Aku yakin kau masih sangat ingat, bagaimana bangsamu dibantai karena pengkhianatan. Para petarung yang kau banggakan kekuatannya itu hanya dihadapkan dengan satu dari keturunan tersebut, dan mereka tewas tak tersisa. Apa hal itu benar-benar sudah sirna dari memorimu?"
"JAGA OMONGANMU ITU!" Zato mendesis. Rahangnya mengetat, lalu ia menggeram menghasilkan dua taring pada deretan giginya. "Aku tidak akan mempermasalahkannya jika kita harus bertarung sekarang."
"Aku tahu kau sedang ketakutan, Zato. Jangan memaksakan diri," ujar Desca tenang. Lebih tenang dari sebelumnya. Lelaki itu seakan bisa sepenuhnya mengontrol emosi. Ledrik cukup dibuat tercengang dengan itu, mengingat Tuannya memang termasuk tipe tempramental. "Kau ... tidak mungkin bisa menyerangku sekarang!" tegasnya sembari melirik Elka sekilas. "Kau pikir naluri dari klan itu tidak akan bangkit jika calon penguasanya dalam bahaya?"
"BAJINGAN KAU, DESCA!" geram Zato. Urat-urat tangannya bermunculan, pelipisnya tampak menegang, mata kecokelatannya semakin terang, perlahan-lahan berubah menjadi biru terang dengan campuran abu-abu terang.
"Simpan tenagamu itu," ujar Desca lagi. "Pergilah selagi aku mengizinkan. Ketika kita bertemu lagi ... aku pastikan tidak akan ada ampun!"
Pandangan Zato masih menggelap. "Apa senjata itu masih ada?"
"Tentu saja."
"Kau berbohog." Zato menyeringai. "Bocah kecil sepertinya tidak akan mampu mengendalikan itu. Mustahik bagi Nona Echillent tak memusnahkan benda terkutuk itu dan malah menurunkannya kepada keturunannya. Mustahil!"
"Kau sedang menenangkan diri sendiri, Zato?"
"Bajingan!"
"Aku serius. Pergi atau aku benar-benar akan menghabisimu."
Sialan! Zato melirik Elka lagi. Sekilas saja, Zato ingin tak percaya, namun satu sisi dalam diriya ketakutan. Bagaimana jika perkataan Desca benar? Sial! Sial! Sial!
Tanpa berkata-kata, membuang seluruh rasa malunya, Zato menghilang sekejap mata.
"Desca tadi apa yang lo—"
"Berhentilah bertanya!" bentak Desca. Dia menatap Elka dalam. "Sekarang apa kau sadar?"
"Apa?" Elka balas menatapnya ragu.
"Kau adalah sumber ketakutannya!"
****
K
alau votenya mencapai targetku, maka Aliansi Rahasia akan update besok. Bagaimana? Cukup mudah, kan?
Aku nggak kejam kok, percayalah ... meluangkan sedikit usaha untuk sesuatu yang kita mau, itu bukan hal yang salah kan?
Aku memuaskan kalian dengan updatean super panjang ini, dan kalian cukup memberiku semangat lewat vote cerita ini dan cerita yang aku sebut di atas. Impas, kurasa. Bukan pamrih, tapi namanya belajar apresiasi.
Kalau ternyata vote di cerita itu belum mencapai target? Ya, aku belum update. Semudah itu, wkwk. Jadi berapa targetnya? Heummm, nggak banyak kok. Kalian vote dan komen aja. Jika aku sudah update lagi, berarti target kesampaian.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro