Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[3]


"Saat kamu menginginkan sesuatu, datanglah pada Pemilik-Nya dan jangan sesekali menggunakan cara yang salah."

🌻🌻🌻

Sejak pagi tadi, senyum merekah Zahra tak pernah luntur. Setiap kali ada yang lewat, ia menyapanya dengan riang. Bukan tanpa alasan, itu semua karena chat-nya semalam bersama Ali. Juga, ia tidak sabar menanti pengumuman bahwa anggota Rohis disuruh berkumpul di musala.
Tingkah lakunya yang aneh, tentu saja tak lepas dari perhatian Monic dan Fita. Saat ini Zahra, Fita, dan Monic sedang berada di kantin.

"Ra, lo kenapa dah, senyam-senyum mulu dari tadi? Kesambet lo?" tanya Monic.

Zahra hanya menyengir lebar tanpa mengindahkan pertanyaan Monic. Sekali lagi, ia tetap melamun sambil senyum-senyum tak jelas.

"Udah, Mon. Mungkin, dia lapar," timpal Fita. Ia langsung berdiri, bersiap memesan makanan.

"Mon, Ra, mau pada pesen apa? Mumpung gue lagi baik nih, mau mesenin."

"Gue mi ayam sama jus mangga, ya," ucap Monic seperti biasa.

"Oke. Lo pesen apa, Ra?" tanya Fita beralih pada Zahra.

"Gue jus alpukat aja, Fit," ucap Zahra santai tanpa menatap lawan bicaranya.

Monic menaikkan alis sebelahnya karena kebingungan. Biasanya, di antara mereka, Zahralah yang akan memesan makanan dengan jumlah di luar batas.

Ni anak kenapa, dah? ucapnya dalam hati.

🌻🌻🌻

Mereka bertiga sedang berjalan menuju kelas setelah mengisi perut di kantin. Sedari tadi, Monic terus saja menggerutu kala Zahra tidak nyambung saat diajak bicara.

"Zahraaa! Ih, lo tuh kenapa sih, sebenernya?" tanya Monic geram.

"Monic Sayang, gue enggak apa-apa," balas Zahra dengan santainya. Ia mengalihkan pandangannya kepada Fita.

"Eh, Fit, kok Rohis belum disuruh ku—"

"Pengumuman, bagi siswa/siswi yang mengikuti ekstrakurikuler Rohis diharapkan berkumpul di musala sekarang juga. Terima kasih."

Tanpa babibu, Zahra langsung menarik tangan Fita untuk segera menuju musala. Fita yang belum siap hampir saja terjatuh. "Eh-eh, sabar dong, Ra."

Monic yang ditinggal langsung melongo. "Woy! Terus gue gimana? Kok gue ditinggal, sih!" Monic berteriak sambil menghentak- hentakkan kakinya.

"Dasar ABG! Gitu tuh kalau lagi jatuh cinta. Sampai lupa sama temen."

Para anggota Rohis sudah memenuhi seisi musala. Di bagian depan terlihat Ali, Rizal, Aulia, dan beberapa pengurus lainnya. Zahra dan Fita duduk di barisan ketiga.

Terlihat Ali berdiri dari tempatnya. "Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," seru seluruh anggota rohis.

"Oke. Saya sengaja mengajak kalian berkumpul di sini karena saya ingin menyampaikan beberapa hal. Pertama, kita akan mengadakan pelantikan untuk calon anggota. Kedua, dalam acara ini, kita akan melaksanakannya di sekolah. Acaranya akan dilaksanakan hari Minggu. Untuk keperluan yang mesti dibawa, biar Kak Aulia yang menjelaskan. Segitu saja, ada yang mau tanya?" ucap Ali setelah membuka acara.

Seisi musala menjadi hening, tak ada yang ingin mengajukan pertanyaan. Kak Aulia kemudian mengambil alih acara dan menjelaskan berbagai teknis acara pada Minggu mendatang. Semua peserta diam hingga penjelasan selesai. Kemudian, Aulia maju dengan membagikan selembar kertas pada semua calon anggota yang berisi keperluan yang harus dibawa untuk acara pelantikan rohis.

“Sekali lagi, kalau ada pertanyaan, silakan disampaikan,” kata Ali lagi. Namun, tak satu pun peserta memberi respons.

Tiba-tiba, Ali teringat bahwa semalam ada yang mengirim pesan padanya.

"Aulia, pinjem presensi kelas X," ucap Ali kepada Aulia.

Zahra mendengus. Ia tidak suka saat Ali mengobrol dengan gadis lain. Katakanlah ia berlebihan, tetapi hatinya memang selalu nyeri tiap kali melihat Ali berinteraksi dengan gadis lain, bukan dirinya.

"Di sini yang namanya Zahra mana, ya? Coba tunjuk tangan," ucap Ali sambil mengedarkan pandangannya. Dengan perasaan gugup, Zahra mengangkat tangan kanannya.

"Kamu Zahra?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan dari Zahra.

"Zahra, kamu enggak jadi tanya?" Panggilan Ali membuat Zahra mengerjapkan matanya berkali-kali.

Jantungnya terus berdetak kencang seakan mengajaknya untuk lari maraton.

"Kamu Zahra, kan? Katanya mau tanya," ucap Ali sekali lagi.

Seisi musala menatap Zahra dengan berbagai ekspresi, ada yang penasaran, biasa saja, acuh tak acuh bahkan tatapan tidak suka.

"Eh, em eng-nggak ja-jadi, Kak," ucap Zahra gugup.

"Oh, ya udah. Saya ulangi sekali lagi, ada yang mau bertanya, tidak?" Semua anggota menyerukan kata "Tidak" secara bersamaan.

"Baiklah, karena tidak ada yang ingin bertanya, langsung saya tutup saja. Wa’ssalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," ucap seisi musala.

 

🌻🌻🌻

"Ya ampun, Fita. Gue seneng banget. Enggak nyangka, Kak Ali inget sama nama gue. Apalagi, dia manggil gue astaga," pekik Zahra dengan antusias.

"Astagfirullah, bukan astaga," ucap Fita memperbaiki.

"Hehe ... iya, deh. Maaf, salah," ucap Zahra dengan cengiran lebarnya.

"Ya elah, Ra, Ra. Lebay banget, lo. Sekarang gue tau, lo minta kontaknya Kak Ali buat modus doang, kan? Ngaku lo," tuding Fita sambil menunjuk-nunjuk wajah sahabatnya itu.

"Hehehehe ... ketauan deh, gue," ucap Zahra sambil menggaruk tengkuknya.

Saat akan melewati kelas XI IPA 3, terlihat Juna dan kedua temannya sedang asyik mengobrol di depan kelas. Entah apa yang mereka bicarakan hingga tak henti-hentinya tertawa.

"Anjir lo, Raf!” umpat Aldi. “Eh, ada Neng Zahra!" seru Aldi saat matanya tak sengaja menoleh ke belakang.

"Ha? Eh, hai Kak Aldi," ucap Zahra seraya tersenyum canggung.

"Masyaallah, senyumnya mengalihkan duniaku," puji Aldi mendramatisir.

Dug.

"Argh! Kenapa sih, Raf? Tiap gue ngobrol sama Zahra, lo kayak nggak suka gitu?" gerutu Aldi sambil mengusap-usap kepalanya yang baru saja dipukul oleh Rafi menggunakan buku LKS Fisika. “Cemburu, bilang," tambahnya.

"Apaan sih, lo. Muka lo tuh biasa aja, enggak usah sok-sok manis. Jijik gue lihatnya," tukas Rafi dengan sarkastis.

"Ih, biarin. Kakak ipar aja enggak ngelarang," ucap Aldi dengan santainya, "iya enggak, Bang?" lanjutnya dengan menaik-turunkan alis sebelahnya pada Juna.

"Sekali lagi panggil gue kakak ipar, gue gampar lo," ucap Juna galak. Juna beralih pada adiknya, "Kalian dari mana?"

"Dari kumpul Rohis di musala, Kak," sahut Fita seraya tersenyum manis pada Juna.

Juna hanya ber-oh ria sebagai balasan. Setelah itu, mereka sibuk berdebat.

"Ra, pergi, yuk. Ngapain coba masih di sini?" bisik Fita. Sesekali, iris matanya mencuri pandang ke arah Juna.

"Ya udah, yuk. Lagian obrolannya un-faedah banget," balas Zahra.

Juna sampai lupa bahwa sejak tadi Zahra masih di dekatnya. "Oh ya, sampai lupa. Belajar yang bener, ya," tuturnya seraya mengacak pelan puncak kepala Zahra yang terlapisi hijab.

"Kapan gue bisa kayak Juna?" celetuk Aldi.

"Sampai negara api berubah jadi negara air," sahut Rafi sinis.

Aldi menatap Rafi dengan tatapan kesal. "Apa sih, Raf. Sirik aja," balasnya tak kalah sinis.

Sesampainya di kelas, terlihat Monic yang sedang menopang dagunya dengan sebelah tangan dan menampilkan wajah cemberut.

"Halo, Mon-Mon Sayang," sapa Zahra sambil menusuk-nusuk pipi Monic dengan jari telunjuknya. Tak berlangsung lama, sebab tangannya langsung ditepis oleh Monic.

"Apaan deh, Ra," ketusnya dengan wajah kesal.

"Maaf deh, soal tadi. Jangan marah dong. Ntar gue comblangin deh, sama Kak Aldi," rayu Zahra.
Rayuan itu berhasil, senyum Monic langsung merekah dengan mata berbinar.

"Serius, lo? Oke deh, gue maafin," ucap Monic yang langsung mendapat tatapan terkejut dari Fita.

Fita hanya menggelengkan kepalanya. Dunia makin tua, pikirnya.


🌻🌻🌻

Setelah acara pelantikan calon anggota Rohis, Zahra semakin gencar mendekati Ali. Mulai dari salat Duha di musala karena ada Ali, rutin mengikuti kultum yang diadakan setelah Salat Zuhur di sekolah, sampai menghubungi Ali dengan modus bertanya mengenai kegiatan Rohis dan lain-lain.

Saat ini, Ali dan Rizal sedang makan soto di kantin Mpok Mae.

"Al," panggil Rizal.

"Apa?" sahut Ali.

"Coba deh, lihat meja di seberang kita. Itu yang namanya Zahra, kan, ya?" tanya Rizal sambil sesekali melirik ke arah meja tempat Zahra dan teman-temannya sedang makan.

Ali langsung menoleh ke samping. Zahra yang sedang curi-curi pandang ke arahnya cepat-cepat mengalihkan pandangannya. "Iya, itu Zahra. Kenapa?" tanyanya.

"Gue perhatiin, dia ngelihatin lo mulu dari tadi," ucap Rizal mulai curiga, "kayaknya dia suka deh, sama lo."

"Enggak usah ngada-ngada. Inget kata Pak Abdul, enggak boleh suuzan. Lagian, bisa aja dia lagi lihatin hal lain."

"Gue serius, Al. Cara dia natap elo itu beda sama natap yang lain. Lo merhatiin enggak, sih? Dia selalu muncul di mana pun lo berada. Enggak ada yang namanya kebetulan, pasti udah direncanain. Lo juga sering bales pesan dari dia, kan? Menurut gue, dia baper. Fita juga pernah bilang sama gue, kalau sahabatnya suka sama lo, dan itu Zahra."

Kata-kata terakhir itu membuat Ali diam seketika. Penjelasan dari Rizal membuat Ali menatapnya terkejut. Ini tidak boleh terjadi. Ia takut disangka memberi harapan pada gadis itu. Akan tetapi, apa yang harus dia lakukan?

"Cepet jelasin sama dia, sebelum rasa sukanya semakin bertambah. Gue kasihan aja sama dia kalau tau ternyata lo sama sekali enggak suka sama dia. Pasti dia sakit hati."

Apa yang diucapkan Rizal ada benarnya. Ia harus mengklarifikasi hal ini pada Zahra. Ia tidak mau gadis itu salah paham karenanya.

"Bakal gue coba. Terima kasih, ya, Zal," ucap Ali seraya tersenyum tipis.

"Oke, no problem," ucap Rizal sambil menepuk bahu Ali.

Sekali lagi, Ali melirik ke sampingnya. Ya, Allah. Bahkan, Zahra masih saja menatapnya.
"Maafkan hamba, ya, Allah."

🌻🌻🌻

Malam ini, langit begitu cerah setelah beberapa hari tampak selalu mendung. Angin malam berembus dengan kencang. Bintang pun mulai bermunculan menemani Zahra yang sedang berdiri di balkon sambil menggenggam ponselnya.

Terkadang, ia berpikir, apakah yang ia lakukan salah untuk mendapatkan Ali? Fita sudah sering kali mengingatkannya untuk tidak mengejar-ngejar Ali, tetapi Zahra tak mau mendengarkan. Ia sudah telanjur mencintai Ali dan bertekad mendapatkannya. Ia teringat kejadian di kantin tadi, saat Ali sesekali meliriknya. Hal itu membuat Zahra semakin yakin untuk mendapatkan hati Ali.

"Kira-kira, Kak Ali lagi ngapain, ya?" gumamnya.
Ting

Asalamualaikum, besok pulang sekolah saya mau ngomong sama kamu. Kita ketemu di taman belakang sekolah.

Zahra memekik kegirangan setelah mendapat pesan dari pujaannya.

"Baru juga diomongin, eh, dia muncul. Jodoh kali, ya," ucapnya terkikik geli dengan pikiran konyolnya.

Gadis itu langsung masuk kamar dan menutup pintu balkon. Zahra tersenyum menatap wajahnya dalam pantulan cermin. Ia sudah tidak sabar menanti hari esok. Pasti Ali hendak menyatakan cinta padanya, begitulah kiranya isi pikiran Zahra.

🌻🌻🌻

Masih pukul setengah tujuh, tetapi Zahra sudah berada di kelasnya. Sekolah masih tampak sepi. Bahkan, ia berangkat di saat Juna baru saja menyelesaikan ritual mandinya. Sesampainya di sekolah, hanya beberapa siswa yang sudah berangkat. Zahra duduk di bangkunya dengan menopang dagu di atas meja. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya yang menandakan ia sedang bahagia.

"Woy! Senyam-senyum sendiri," ucap Monic mengagetkannya.

Zahra terkesiap. "Monic, kebiasaan, deh. Untung gue enggak punya riwayat penyakit jantung," dengus Zahra.

"Iya deh, maaf. Galak amat, Bu," ucap Monic dan langsung duduk di bangkunya.

"Kesambet apa lo, berangkat jam segini? Biasanya juga bel hampir bunyi, baru lo masuk," komentar Monic sambil mengambil duduk di depan Zahra.

"Heran deh, gue sama semua orang. Tiap gue berangkat sekolah, enggak kesiangan, enggak kepagian, pasti dikomentarin," cibir Zahra.

"Dih, baper. Gitu doang ngambek."

Zahra langsung menoleh ke samping. "Eh, Mon. Lo tau, enggak?"

"Enggak tau," ucap Monic sambil menggeleng polos.

"Ogeb, gue belum cerita," ucap Zahra.

"Ya udah, cerita," ucap Monic sudah siap mendengar curhatan Zahra.

Curhatan? Ya, Monic sudah hafal betul dengan gelagat sahabatnya ini. Jika Zahra sudah menunjukkan wajah seriusnya, pasti gadis itu sedang bersiap untuk curhat. Jika mereka sedang di rumah, bisa dipastikan curhatan Zahra mencapai durasi dua jam lebih.

"Kak Ali ngajak gue ketemuan, njir," ucap Zahra semangat.

"What the—! Serius? Mau ngapain?" tanya Monic yang terlihat tertarik dengan cerita Zahra. Gadis itu benar-benar tak habis pikir dengan Zahra. Bagaimana bisa ia meluluhkan hati Ali dengan begitu cepat? Apakah sahabatnya ini menggunakan guna-guna? Monic terkekeh dengan pemikiran konyolnya.

"Gue juga enggak tau. Semoga aja dia mau nembak gue," ucap Zahra penuh harap.

"Amin," ucap Monic sambil menyapukan kedua telapak tangan pada wajahnya.

🌻🌻🌻

Tak terasa, bel pulang sekolah telah berbunyi. Sekolah sudah tampak sepi dari hiruk pikuk siswa/siswi SMA Jaya Bakti. Namun, tidak untuk Zahra. Ia sedang duduk di bangku taman menanti kedatangan Ali. Gadis itu terlihat santai sambil mengunyah sepotong cokelat yang masih tersisa di tasnya.

"Asalamualaikum. Maaf, nunggu lama," ucap Ali dan langsung duduk di samping Zahra dengan jarak yang lumayan jauh.

"Waalaikumussalam. Enggak apa-apa kok, Kak. Aku juga baru sampai," ucap Zahra dengan senyum manisnya. Ia langsung membuang cokelatnya ke sembarang arah.

"Lain kali jangan dibuang, mubazir." Ali berucap tanpa melihat lawan bicaranya.

Zahra meringis merasa malu dengan perbuatannya. "Maaf," cicitnya pelan.

Diam-diam, Zahra melirik Ali yang saat itu hanya diam saja sambil menatap lurus ke depan. Ia memperhatikan setiap inci wajah cowok itu dengan terkesima. Rahangnya yang kokoh, hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal, tutur katanya yang lembut. Ya Tuhan, betapa sempurnanya cowok yang ada di sebelahnya saat ini. Zahra jadi menghayal, kalau seandainya mereka menikah suatu saat nanti, pasti anak mereka sangatlah tampan dan cantik.

Sejujurnya, ia sangat gugup saat ini. Bahkan, tangannya sudah berkeringat dingin. Sebenarnya, apa yang ingin dibicarakan oleh Ali padanya?
Dehaman dari cowok itu membuatnya terkesiap saat dirinya tengah asyik melamun. Secara refleks, ia mengelus dada bermaksud menormalkan detak jantungnya.

"Langsung aja. Jadi, apa benar kamu suka sama saya?" tanya Ali tanpa menyadari lawan bicaranya tengah menegang saat ini.

"Ma-maksudnya?" Jantung Zahra berdetak lebih kencang dari yang tadi.

"Jawab aja," ucap Ali tanpa menoleh.

"Ka-kakak tau dari mana?" tanya Zahra terbata-bata. Ia terkejut sekaligus malu karena Ali telah mengetahui perasaannya. Mau ditaruh di mana wajahnya?

Ali menghela napas kasar. Ia sedang memikirkan kata apa yang pas untuk diucapkan pada gadis di sebelahnya ini. Ia takut Zahra akan tersinggung nantinya.

"Maaf, jika selama ini sikap saya membuat kamu mengartikan kalau saya suka sama kamu. Mulai sekarang, jangan lagi kamu menaruh harapan kepada saya. Saya enggak suka sama kamu. Jadi, berhentilah menyukai saya," ucap Ali dengan kepala yang menunduk.

Bagai ditusuk seribu jarum, hati Zahra sangat sakit. Ya Tuhan, lempar saja Zahra ke dasar jurang. Sungguh, ia ingin menangis sekencangkencangnya saat ini. Air mata yang sempat tertahan di pelupuk matanya, kini sudah tak dapat terbendung lagi. Zahra tidak sedang bermimpi, kan? Kenapa rasanya sakit sekali?

"Ma-maksud Ka-kak Ali apa?" tanya Zahra dengan bibir bergetar menahan tangisnya. Ia terus menggigit bibirnya, takut jika isak tangisnya terdengar oleh laki-laki yang ia puja selama ini.

"Jauhi saya. Saya enggak mau kamu sakit hati karena saya."

Entah mendapat keberanian dari mana, Zahra menoleh ke arah Ali. Bahkan, cowok itu tak berani menatapnya. "Kakak pikir dengan bicara begini enggak akan membuat aku sakit hati?"
Telak. Ali tidak mampu menjawab pertanyaan Zahra.

Ali diam. Ia tidak suka melihat Zahra menangis. Namun, ini adalah keputusan terbaik untuk mereka. Ia tidak ingin membuat Zahra semakin banyak berharap padanya.

"Apa ini semua karena Kak Bella?"

Ali mengerutkan keningnya. Apa maksudnya? Bagaimana bisa Zahra tahu tentang Bella? Sepertinya, ada kesalahpahaman di sini. "Maksud kamu apa?"

"Kakak pacaran, kan, sama Kak Bella? Atau ... sama Kak Aulia?" tanya Zahra dengan suara paraunya.

"Kamu bicara apa? Bella cuma—" Ia kaget melihat pipi Zahra yang sudah dipenuhi air mata, hidungnya memerah dengan bibir bergetar karena menangis.

"Aku duluan," ucap Zahra lirih. Ia bergegas memakai tas punggungnya dan pergi begitu saja.

Zahra berhenti sejenak, sambil menyeka air mata di pipinya. Tanpa melihat lawan bicaranya, ia berucap, "Kalau mencintai Kak Ali adalah suatu hal yang salah, aku minta maaf. Asalamualaikum."

"Wa’alaikumussalam," ucap Ali pelan. Ia mengacak rambutnya gusar.

Dia telah menyakiti Zahra. Gadis itu menangis karenanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro