[2]
"Seperti perjuangan Zulayka untuk mendapatkan cinta dari Yusuf, aku juga melakukan hal yang sama. Mengejar cintanya Ali."
🌻🌻🌻
Sudah lebih dari lima belas menit Zahra masih berdiam diri di depan cermin. Ia akan membuktikan ucapannya pada Monic. Kini, ia telah memakai hijab berwarna putih yang senada dengan seragamnya. Sesekali, ia memutar badan untuk melihat penampilannya di cermin. Ia tersenyum setelah puas dengan hasil karyanya. "Not bad," gumamnya.
Ia memoles tipis wajahnya dengan bedak tabur dan lipbalm agar bibirnya tidak terlihat pucat.
"Gimana, ya, respons Kak Juna sama Mama? Pasti mereka kaget," gumamnya sambil terkikik geli.
Gadis itu keluar dari kamar sambil bersenandung kecil. Sesekali berputar, menggambarkan hatinya yang tengah bahagia. Di bawah sana, terlihat Anggun yang sedang menuangkan segelas susu untuk Juna. “Pagi, Mama cantik, Kak Juna ganteng," sapa Zahra dengan senyuman lebarnya.
Anggun dan Juna langsung menoleh ke asal suara. Keduanya terperangah melihat penampilan Zahra yang tidak biasanya.
"Masyaallah, Sayang. Cantik banget. Mama pangling, loh, lihatnya," seru Anggun sambil menangkup pipi Zahra dan mencium keningnya sekilas.
Zahra yang melihatnya langsung terkekeh. "Woy, biasa aja, dong, lihatnya. Aku tau kok, aku cantik."
"Iya, cantik. Kalau dilihat dari ujung sedotan." Juna tergelak melihat ekspresi adiknya yang langsung berubah. "Bercanda, kok," lanjutnya seraya mengelus puncak kepala Zahra dengan lembut.
Dalam hati, Juna bersyukur adiknya telah berubah. Ia berharap, Zahra tetap istikamah dengan perubahannya sekarang.
🌻🌻🌻
Saat Zahra membuka helmnya, ia merasa orang-orang di parkiran terus memperhatikannya. Apakah penampilannya terlihat aneh? Ah, sepertinya tidak, pikirnya. "Kak, aku duluan deh, ya. Risih dilihatin mulu."
Juna yang sedang melepas helmnya langsung mencegah dengan menarik tali tas adiknya. "Enggak boleh! Bareng sama Kakak, pokoknya."
"Ya, udah. Cepetan!" ucap Zahra sebal.
"Woy, Juna!" panggil seseorang kepada Juna dari kejauhan. Cowok itu tidak sendiri, ada satu teman yang mengikutinya.
"Wah. Ini Zahra, kan? Setelah pakai hijab jadi makin cantik ternyata. Oh, iya. Kenalin, nama gue Aldi," ucap Aldi seraya mengulurkan tangan kanannya.
Ganteng, sih. Tapi, kok gini amat, yak, gumam Zahra dalam hati.
Zahra membalas uluran tangan Aldi dengan tersenyum tipis, "Zahra."
Aldi terpaku melihat senyuman manis Zahra. Cepat-cepat ia mengalihkan. "Raf, lo enggak mau ikutan kenalan secara langsung?" tanyanya pada seseorang di sebelahnya yang sejak tadi melirik ke arah Zahra.
"Gue Rafi," ucapnya seraya mengulurkan tangan.
Zahra menerimanya dengan baik. Kemudian menyahut, "Zahra.”
Dari ujung koridor terlihat Fita dan Monic melambaikan tangannya pada Zahra.
"Zahraaa!" panggil mereka bersamaan.
Sudut bibir Zahra tertarik ke atas saat melihat kedua temannya. Tanpa memedulikan Juna dan teman-temannya, Zahra langsung berlari menghampiri kedua sahabatnya.
"Yang tadi itu siapa, Ra, yang ngobrol sama lo dan Kak Juna?" tanya Monic setelah meletakkan tasnya di atas meja.
"Temennya Kak Juna. Namanya Aldi sama Rafi," balas Zahra. Mulutnya sibuk mengunyah permen karet yang ia bawa dari rumah. Sesekali, ia menggelembungkan permen karetnya hingga membentuk seperti balon.
"Kak Aldi tuh yang tengil itu, ya? Yang mukanya cute?" tanya Monic yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Zahra.
"Kapan-kapan kenalin dong, Ra," ucap Monic dengan cengiran lebarnya. Sedangkan, Zahra hanya mengangguk saja.
"Lo cantik tau, Ra, pakai hijab. Semoga tetap istikamah, ya," ucap Fita.
Sebagai sahabat, tentu ia sangat mengharapkan Zahra bisa mengubah dirinya menjadi lebih baik. Ia tidak mau Zahra salah langkah, dan berakhir kesesatan.
"Amin. Doakan aja, Fit," jawab Zahra dengan senyum manisnya.
Fita menepuk jidatnya saat baru menyadari ada yang tertinggal. "Ya, ampun. Gue lupa. Bekal gue masih di bagasi motor. Gue ke parkiran dulu, ya," ucap Fita setelah menaruh tas yang sejak tadi di pangkunya.
"Enggak mau ditemenin?" tanya Zahra.
Fita menggeleng. "Enggak usah, deh. Kalian di sini aja," ucap Fita dan langsung melenggang pergi.
"Ra, lo serius mau deketin Kak Ali?" tanya Monic setelah Fita menghilang di balik pintu.
"Ya, iyalah. Kan, gue udah sering bilang sama lo," ucap Zahra santai.
"Kalau faktanya Kak Ali emang deket sama Kak Bella, gimana?"
Zahra menggumam. Entah mengapa, hatinya tidak yakin bahwa Ali telah memiliki kekasih. Meski begitu, tebersit rasa takut jika yang dikatakan Monic itu benar.
"Oh, ya? Yang elo bilang kemarin, ya?"
Monic diam sejenak. "Sori, Ra. Gue enggak bermaksud bikin lo pesimis."
Zahra hanya tertawa menanggapi ucapan Monic. Ia rasa, Monic berlebihan. "Udah, ah. Jangan dipikirin. Mon, gue ke toilet bentar, ya?
Kebelet, nih."
"Ya udah, sana pergi. Ntar lo ngompol lagi," ucap Monic bercanda.
"Yeee … emang elo," ucap Zahra dan langsung ngacir ke luar.
Sambil berjalan, Zahra terus memikirkan perkataan Monic. Namun, ia berusaha menepis itu semua. Ia yakin, Ali tidak memiliki kekasih. Entahlah, dari mana ia mendapatkan keyakinan itu. Yang pasti, ia akan berusaha mengejar Ali.
Saat akan berbelok ke arah toilet, dari kejauhan ia melihat sosok Ali yang sedang berjalan ke arahnya. Buru-buru Zahra merapikan penampilannya.
Ketemu cogan harus cantik, batinnya.
Kini, Ali berada tepat di depannya. "Asalamualaikum, Kak Ali," ucap Zahra dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin.
Ali membalas dengan senyuman tipis, "Waalaikumussalam," ucapnya dan langsung pergi begitu saja.
Zahra melongo di tempatnya. Di saat semua laki-laki memuji kecantikannya dan ingin berlama-lama mengobrol dengannya, Ali hanya tersenyum tipis dan langsung pergi begitu saja. Luar biasa, pikirnya.
"Ihhh ... Jutek banget sih, jadi cowok. Harusnya, kan, dia tanya, mau ke mana, Dek, atau apa kek. Eh, main nyelonong aja," dengus Zahra. Untung saja sayang, jika tidak, Zahra akan merasa sangat menyesal telah menyapanya.
Niat awalnya untuk ke toilet jadi gagal karena rasa kebeletnya telah hilang gara-gara Ali. Sepertinya, ia harus mengatur strategi lagi untuk mendapatkan Ali. Ya, ia harus mendapatkan kontaknya.
🌻🌻🌻
Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu Zahra telah tiba. Saat jam pelajaran tadi, ia sama sekali tidak memperhatikan apa yang dijelaskan gurunya. Di otaknya, ia sibuk meyakinkan diri untuk meminta nomor WhatsApp Ali.
"Gue duluan ya, guys. Udah dijemput Bunda, nih," ucap Monic setelah memakai tasnya.
"Oke, deh. Hati-hati, ya," ucap Fita.
Kini, tinggal Fita dan Zahra yang masih berada di kelas. Gadis itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia segera mendekati Fita dan mengutarakan maksudnya. Untungnya, Fita tidak banyak bertanya. Sehingga, Zahra tidak perlu mencari-cari alasan agar gadis berhijab itu tak curiga. Perasaan senang meliputi hatinya saat Fita mau membantunya untuk mencarikan nomor ponsel Ali untuknya.
“Ya udah, Fit. Gue duluan, ya. Kak Juna pasti udah kelamaan nunggunya,” katanya. Zahra bergegas memakai tasnya dan berjalan cepat.
Ia yakin kalau Juna tengah menggerutu saat ini. Saking tergesa-gesanya, gadis itu hampir saja terjatuh dari tangga kalau tidak ada Rafi yang dengan cepat menahannya. Sadar dengan posisinya yang seperti memeluk, cepatcepat Rafi menjauhkan tubuhnya dari Zahra.
"Lain kali hati-hati. Coba kalau enggak ada gue, mungkin lo udah ada di rumah sakit sekarang," ucap Rafi santai.
Zahra mencibir. "Kak Rafi doain aku masuk rumah sakit?"
Rafi mengedikkan bahunya tak acuh. "Menurut lo aja."
"Nyebelin banget, sih!" dengus Zahra seraya melenggang pergi dari hadapan Rafi.
Bibir Rafi tertarik ke atas saat berhasil membuat Zahra kesal.
Sesampainya di parkiran, ia melihat Juna yang sedang memasang wajah sebal. Pasti ia sudah lama menunggunya, pikir Zahra.
"Hai, kakakku sayang. Sori, ya. Tadi adekmu yang cantik ini piket dulu," ucap Zahra dengan senyum tanpa dosa.
"Lama banget sih, kamu. Untung Kakak enggak lumutan. Ayo, cepet naik!” perintah Juna dengan wajah masamnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore. Namun, tak menghalangi sang surya untuk terus memancarkan kilaunya yang begitu terik.
"Kak, emang Kak Rafi tuh orangnya begitu, ya?" tanya Zahra tibatiba.
"Begitu gimana?" tanya Juna tak paham.
Zahra kembali mengingat kejadian tadi, "Ya, gitu. Nyebelin, jutek lagi."
"Ah, enggak juga. Dia anaknya asyik, kok. Kenapa gitu? Kamu suka?"
"Agrhh! Kok dipukul, sih," protes Juna sambil meringis.
"Makanya, jangan ngaco! Enggak mungkinlah aku suka sama dia. Bukan tipe aku banget," ucap Zahra. Lagi pula, mana mungkin ia menyukai cowok berwajah datar itu.
"Halah! Kayak kamu ada yang mau aja," ledek Juna dengan tersenyum meremehkan.
"Tau, ah! Kak Juna mah sama aja kayak Kak Rafi, nyebelin!" Zahra terus mengibas-ngibas hijabnya karena panas.
Ya ampun, ini gerah banget, sih. Kalau bukan karena Kak Ali, pasti udah gue lepas, ucapnya dalam hati.
🌻🌻🌻
Hari ke hari, minggu ke minggu telah Zahra lalui dengan terus berjuang mendapatkan hati Ali. Malam ini, ia bertekad akan menghubungi Ali setelah mengumpulkan nyali yang cukup. Sebenarnya, Fita telah mengirimkan kontak Ali dari dua minggu yang lalu. Namun, mau bagaimana lagi, nyalinya baru terkumpul sekarang.
Asalamualaikum, Kak Ali.
Setelah mengirim pesan tersebut, jantung Zahra rasanya ingin keluar dari tubuhnya. Kan, tengsin kalau pesannya enggak dibalas.
"Kok belum dibalas, ya?" gumamnya mulai was-was.
Lima menit, tiga puluh menit, dua jam bahkan pesannya tak juga dibalas oleh Ali. Entah laki-laki itu sengaja tidak membalasnya atau memang sedang sibuk. Gadis itu menghela napas lelah. Ya, sudahlah. Mungkin dia sedang sibuk atau sudah tidur. Zahra memutuskan untuk tidur saja.
Baru saja ia hendak menarik selimutnya, ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ini siapa?
Zahra yang mendapat balasan dari Ali langsung bersorak kegirangan. "Aaaaaaaa ... Akhirnya!"
"Woy berisik tau, enggak! Malam-malam teriak enggak jelas!" Itu suara Juna dari kamar sebelah. Zahra hanya terkekeh. Masa bodo dengan kakaknya.
Aku Zahra, Kak. Aku mau tanya tentang Rohis, boleh?
Lima menit berlalu, ponselnya kembali bergetar.
Besok aja. Kebetulan besok mau kumpul. Ini udah larut malam.
Zahra mengerucutkan bibirnya kesal pada balasan Ali. Tidakkah cowok itu mengerti bahwa ia telah berjam-jam menunggu balasannya? Ia masih ingin berlama-lama mengobrol. Tebersit rasa kecewa, tapi ia juga bersyukur. Setidaknya, Ali mau membalas pesannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro