Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[1]

"Mungkin memang benar bahwa cinta bisa datang kapan saja dan di mana saja. Pantas saja, dalam sekali bersitatap, aku langsung jatuh cinta padanya."

🌻🌻🌻

Kasur berantakan, bantal tergeletak di lantai, selimut sudah tak berbentuk. Begitulah gambaran dari sebuah kamar bernuansa merah muda itu. Sang pemilik kamar tampak tak peduli, sebab yang ia pikirkan sejak tadi ialah di mana letak kaus kaki kesayangannya.

Zahra Amalia, begitulah namanya. Gadis bertubuh mungil dengan rambut sebahu yang selalu digerai. Ia merupakan anak bungsu dari sepasang suami istri, Ridwan dan Anggun.
"Mama ... Kaus kaki Zahra di mana?" teriaknya dari dalam kamar yang suaranya mampu menembus sampai dapur.

Anggun yang sedang menyiapkan nasi goreng untuk sarapan, seketika terkejut gara-gara lengkingan suara anak bungsunya. Dengan sabar, ia segera meletakkan piring dan menyahut, "Makanya, Ra. Naruh kaus kaki jangan sembarangan! Sebentar, Mama bantu." Ia langsung bergegas menuju kamar anaknya dengan langkah lebar.

Di ruangan lain, seorang cowok tampan yang tengah mengancingkan seragam putih abu-abunya pun merasa terganggu. Ia segera membuka pintu dan masuk ke kamar sebelahnya. Arjuna Wiguna, cowok bermata hazel itu menggeleng tak percaya setelah melihat pemandangan abstrak di hadapannya kali ini. Bagaimana tidak? Pemandangan di depannya ini sangat jauh berbeda dengan kamarnya yang rapi dan bersih. Sedangkan, kamar sang adik ini, menurutnya lebih layak disebut gudang.

"Apaan, sih, Dek. Pagi-pagi udah teriak-teriak enggak jelas," cibir Juna sambil bersedekap.

"Jun, kamu tau kaus kaki adekmu, enggak?" tanya Anggun sambil terus memeriksa di lemari.

Juna mengernyitkan dahinya dengan tampang cengo. "Hah? Ya, enggak taulah, Ma. Makanya, Dik. Jangan dibiasain gitu dong, malasnya," gerutu Juna dan mulai ikut membantu.

Setelah beberapa menit mencari, Juna menemukannya. "Nah, ini dia!" ucap Juna seraya mengacungkan kaus kaki dengan ujung jarinya serta tak lupa menutup hidungnya.

"Akhirnya ... Kakak nemu di mana?" tanya Zahra dan langsung merampas kaus kakinya dari tangan Juna.

"Tuh, di bawah tempat tidur. Bau banget. Enggak pernah kamu cuci, ya?" tudingnya yang langsung mendapat pelototan tajam dari sang adik. 

Anggun menggeleng heran dengan tingkah laku Zahra. Bahkan, ia sempat bertanya pada diri sendiri, ngidam apa saat sedang mengandung Zahra? Seingatnya, ia hanya ngidam rujak. Tidak aneh, kan?

"Ya udah, cepetan dipakai. Setelah itu langsung turun dan sarapan," ucap Anggun seraya melangkahkan kakinya, berjalan ke bawah.

Usai menyantap sarapan, kedua kakak beradik itu bergegas menuju ke sekolah. Mereka hanya memerlukan waktu dua puluh menit untuk bisa berhenti di parkiran SMA Jaya Bakti.

Zahra langsung melepas helm biru dari kepala, menyerahkannya kepada Juna. "Nih, helmnya. Aku duluan, ya."

Belum sempat kaki Zahra melangkah, tangannya sudah dicekal lebih dulu oleh Juna. Gadis itu menautkan alisnya bingung.

"Bareng aja. Biar fan Kakak pada iri," celetuk Juna dengan cengiran lebarnya.

Gadis itu mencibir. Mimpi apa ia bisa memiliki seorang kakak yang tingkat percaya dirinya di luar batas normal. Meski kenyataannya Juna memang tampan, tetapi Zahra enggan mengakuinya. Kaum hawa mana yang akan menolak tatapan maut dari mata hazel itu?

Anehnya, Juna masih betah dengan status jomlonya. Tidak mungkin, kan, Juna seorang gay? Zahra terkekeh sendiri dengan pemikirannya. 
"Ogah, ah! Sok punya fan."

"Emang punya. Secara, kan, Kakak ganteng. Iya, enggak?" ucap Juna sambil menaik-turunkan alis tebalnya.

"Ganteng dari Hongkong." Ucapan Zahra barusan membuat mata Juna mendelik tajam.

Andai saja mereka berdua berada di rumah, mungkin nasib Zahra saat ini tengah berada dalam dekapan ketiak Juna. Ya, cowok itu memang sangat suka membuat adiknya tersiksa. Tak jarang, Zahra sampai dibuat menangis akibat ulah jahil cowok itu.

 
🌻🌻🌻

“Cewek tadi siapa, Jun?” tanya Aldi dengan tangan yang sibuk bergerak lincah memainkan game Mobile Legend di ponselnya. Saat ini, kelas mereka sedang jam kosong.

"Adek gue," jawab Juna tanpa mengalihkan pandangan dari buku kimianya.

Juna memang pecinta Kimia. Dan, hampir semua murid di SMA Jaya Bakti tahu itu. Siapa, sih, yang tidak kenal dengan Juna? Cowok tampan yang dianugerahi otak cerdas. Bahkan, ia pernah menjuarai olimpiade kimia pada tingkat nasional. Kaum hawa berlomba-lomba untuk mendekatinya. Sayang, cowok itu tak tertarik untuk berpacaran sama sekali. Sudah cukup ia kehilangan perempuan yang ia sayangi. Sejak saat itu, ia memutuskan untuk terus fokus belajar. Namun, bukan berarti hidupnya monoton. Sama seperti cowok pada umumnya, ia menyukai game, basket, maupun futsal.

"Seriously?" tanya Aldi tak percaya dan hanya dibalas anggukan oleh Juna.

"Gitu, ya? Punya adek cantik enggak dikenalin ke kita-kita," cibir Aldi.

"Lah, siapa elo? Enggak penting banget gue ngenalin adek kesayangan gue sama elo. Dia terlalu masyaallah buat elo yang naudzubillah," ucap Juna dengan wajah datarnya. Ia menahan tawa saat melihat raut wajah kesal Aldi.

"Oy, kutil gajah! Gitu banget, sih, sama temen. Ya siapa tau aja gitu, dia jadi jodoh gue nantinya. Jodoh, kan, enggak ada yang tau."

Tanpa ragu, Juna langsung menjitaknya cukup keras. "Ck! Enggak rela gue jadi kakak ipar lo," ucapnya dengan tatapan jijik. Juna bergidik ngeri. Membayangkannya saja tidak sanggup.

"Kayak dia mau aja sama lo," timpal seseorang yang sejak tadi diam menyimak.

"Ya, Allah, Bang Rafi. Potek hati Adek, Bang. Lo sekalinya ngomong ngena banget di hati," ujar Aldi dengan wajah sok sedihnya.

Dengan sengaja Rafi memasang earphone di telinganya. Ia tidak mau telinganya ternodai kalimat-kalimat alay dari temannya yang satu ini.
Kini, tatapan Aldi beralih pada Juna. "Btw, namanya siapa?"

Baru saja Juna akan menjawab, tiba-tiba Pak Fuad membuka pintu dan masuk ke dalam kelas. Keadaan kelas yang semula ramai bak pasar, kini berganti dengan raut kebingungan.

"Silakan ketua segera memimpin doa sebelum kita mulai belajar. Saya bertugas menggantikan Bu Jihan yang tidak dapat hadir hari ini."

Semua murid memasang raut wajah kecewa. Apalagi cara Pak Fuad mengajar membuat mereka ngantuk.

"Ck! Gue pikir kelas kita bakalan free jam ini," sungut Aldi yang langsung dijawab oleh Juna, "Iya, free-hatin maksudnya."

🌻🌻🌻

Kriiing!

Akhirnya pelajaran fisika telah selesai. Zahra mengembuskan napas lega dan berucap syukur sebanyak-banyaknya kepada Allah. Gadis itu paling anti dengan pelajaran yang masuk kategori hitung menghitung.

Memangnya kalau mau mantulin bola harus diukur pakai rumus dulu? Buang-buang waktu aja, begitu pikirnya.

Mendengar bel istirahat berbunyi, tentu saja membuatnya semringah. Zahra segera membereskan alat tulisnya yang berceceran di meja. Menurut teman-teman sekelasnya, Zahra sudah seperti toko berjalan. Mau pinjam apa pun, Zahra pasti punya.

"Fit, Mon, kantin, yuk?" ajak Zahra setelah membereskan barang-barangnya yang langsung ditanggapi kedua sahabatnya, "Mangkat!"

Di perjalanan menuju kantin, tak henti-hentinya Fita dan Monic tertawa akibat celotehan Zahra mengenai kebiasaan buruknya saat bersama Juna di rumah.

Mau bagaimana lagi, mereka adalah gadis yang masuk kategori cantik. Apalagi Zahra, yang notabenenya adik dari Juna si Most Wanted SMA Jaya Bakti. Fita sampai risih dibuatnya. Gadis itu merasa tidak nyaman ditatap penuh nafsu seperti itu. Padahal, seragam yang ia kenakan cukup besar untuk tubuhnya yang mungil. Apalagi ia berhijab. Lantas, ia melirik ke samping kanan kirinya. Ia meringis saat menyadari rok yang dikenakan Zahra cukup pendek. Tanpa bekata-kata, Fita langsung melepas jaket dan melilitkannya pada pinggang Zahra.

"Rok yang lo pakai terlalu pendek. Besok-besok pakai yang di bawah lutut, ya?" Fita berucap seraya merapikan lilitan pada pinggang Zahra.

Zahra terkesiap sesaat. "Ya, ampun. Makasih, ya, Fit. Kayaknya gue salah ambil rok tadi. Soalnya udah kesiangan, gara-gara nyariin kaus kaki gue."

Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan sahabat yang berani menegur saat satu di antara mereka berbuat kehilafan, bukan malah mengajaknya pada kesesatan. Fita selalu menerapkan hal itu pada kedua sahabatnya. Baginya, surga terlalu luas untuk ditinggali sendiri. Maka, besar pahala jika ia mampu mengajak orang lain untuk berbuat baik semata-mata karena ingin mendapat rida Allah Swt.

Fita tersenyum menampakkan lesung pipinya, kemudian menyahut, "Iya, enggak apa-apa. Lain kali harus lebih hati-hati."

Monic yang sedari tadi hanya menyimak pun bersuara, "Lanjut dong, Ra, ceritanya tadi."

"Oh, iya. Gue sampai lupa. Bahkan, parahnya, guys, Kak Juna semalam bekap gue pakai bajunya yang bau keringet. Gue nangis, dong. Sampai Mama masuk ke kamar dan jewer telinga Kak Juna. Di situ gue merasa, Mama adalah pahlawan terhebat gue."

Fita dan Monic tergelak setelah mendengar curhatan Zahra dengan wajah sedihnya.

Hingga tiba-tiba, sebuah bola basket terlempar mengenai kaki Zahra. Untungnya, gadis itu tidak sampai jatuh. Zahra meringis, merasa ngilu pada betisnya.

"Maaf, maaf. Saya enggak sengaja."

Zahra, Fita, dan Monic kontan menoleh ke asal suara.

OMG! Ganteng banget gila, batin Zahra bersuara.
 
"Kakinya enggak kenapa-kenapa, kan?" tanya cowok itu.

Zahra diam saja. Kedua matanya masih fokus memperhatikan wajah cowok di hadapannya dengan tatapan kagum.

"Halo, kamu enggak kenapa-kenapa, kan?" ulang cowok itu karena Zahra hanya diam.

Zahra terkesiap ketika Fita menyenggol sikunya dengan sengaja. "Ah, i-iya. Aku enggak kenapa-kenapa," ucapnya gugup.

"Oke." Cowok itu langsung berbalik dan berlari menuju teman-temannya di lapangan.

Monic menepuk pundak Zahra yang sejak tadi memerhatikan kakak kelasnya. "Heh! Ayo, ke kantin."

Monic yang sudah tidak mampu menahan laparnya bergegas menarik tangan Fita dan Zahra menuju ke kantin.

Sesampainya di kantin, Zahra memekik histeris, membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh ke arahnya.

"Sumpah, ya. Itu cowok tadi ganteng banget," seru Zahra antusias.

Zahra senyum-senyum sendiri mengingat betapa tampannya kakak kelas itu. Cowok itu bagaikan pahatan Allah yang paling indah, menurutnya. Ia seolah memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Zahra langsung menyukainya dalam waktu sekejap. Kali ini, Zahra percaya, bahwa cinta memang bisa datang secara tiba-tiba dalam waktu yang singkat.

Fita muncul belakangan sambil membawa pesanan mereka dengan dibantu oleh ibu pemilik kantin. Setelah itu, ia duduk di samping Zahra.

"Cowok yang mana?" Monic mengerutkan keningnya bingung.

Zahra berdecak kesal dengan kelemotan sabahatnya, tetapi kemudian menjawab, "Ih! Itu loh, yang di lapangan tadi."

"Ooohhh … Kak Ali maksud lo?" tanya Monic yang baru paham.

Zahra langsung menatap Monic dengan berbinar. "Lo kenal?" tanyanya.

Sesaat, Monic mengangguk, kemudian menjelaskan, "Ali Afandi. Dia kakak kelas gue waktu SMP," terangnya sambil menyeruput kuah bakso di hadapannya.

Zahra semakin bersemangat. "Asli, ya, Mon. Ternyata, masih ada cowok yang gantengnya ngalahin Kak Juna. Fiks! Gue mau deketin dia."
Fita hanya menyimak pembicaraan kedua sahabatnya. Diam-diam, ia mengulum senyum saat mendengar nama “Juna”.

"Gue saranin, lebih baik jangan, deh." Ucapan Monic langsung mengundang tatapan penuh tanya dari Zahra dan Fita.

"Kenapa?" tanya Zahra penasaran. Apakah Ali sudah memiliki kekasih? Pikirnya.

"Susah dapetin dia, mah. Dulu udah pernah ada yang nyoba deketin dia. Dan pada akhirnya, cewek itu ditolak mentah-mentah. Parahnya, di depan umum, Coy. Nah, gue enggak mau hal itu terjadi sama elo. Yang ada nanti lo makan hati, malah," jelas Monic dengan santai.

"Satu-satunya cewek yang deket sama dia itu namanya Bella. Katanya, sih, sahabat. Tapi, kayak pacaran," sambungnya.

"Bella, tuh, siapa?" Kali ini, Zahra semakin mendekatkan dirinya pada Monic.

"Teman kecilnya."

Zahra mengangkat bahunya tak peduli. Ia sangat yakin bahwa ia bisa meluluhkan hati Ali, bagaimana pun caranya.

 

🌻🌻🌻

Masih pukul delapan malam, tetapi Zahra sudah berada di kasur empuknya. Pintu kamar sengaja ia kunci agar tidak ada yang bisa masuk. Apalagi, Juna sangat suka masuk kamar sang adik dengan seenaknya.

"Dek, buruan keluar! Ditunggu Mama makan malam!” teriak Juna dari luar.

Nah, kan! Untung saja pintunya ditutup, batinnya.

"Duluan aja. Zahra belum lapar!"
 
Kini, kedua matanya kembali terfokus pada layar ponselnya. Jarinya dengan lincah mengetikkan pesan pada Monic untuk sekadar menanyai akun media sosial milik Ali. Setelah mendapat balasan dari Monic, ia segera menutup aplikasi WhatsApp dan membuka aplikasi Instagram.

Ia langsung melancarkan aksinya dengan men-stalking akun Instagram pujaannya. Tak lupa, ia langsung mengikuti si pemilik akun. Jarinya dengan lembut menggulir layar ponsel.

"Anjir ... Gila, gila, gila! Ganteng banget. Wih, dia ketua Rohis? Pasti saleh. Ya ampun, pialanya. Udah ganteng, pinter, saleh lagi," ucap Zahra berbicara sendiri.

Puas mengagumi lelaki saleh itu, ia mematikan ponsel dan beranjak ke luar untuk makan malam.

🌻🌻🌻

Di meja makan, sudah ada Anggun dan kakaknya. Sedangkan Ridwan, sudah seminggu lebih tidak bisa ikut makan bersama di rumah. Sebab, beliau selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan saat ini sedang dinas di luar kota. Namun, bukan berarti Ridwan tak punya waktu untuk istri serta anak-anaknya. Sebisa mungkin, ia selalu berusaha untuk pulang cepat dan mengajak keluarganya jalan-jalan sebagai bentuk permintaan maaf.

"Good morning, everybody," sapa Zahra dengan nyaring.

Zahra dan Juna sontak langsung menoleh ke asal suara.

Zahra langsung berlari mencium kedua pipi Anggun dan kakaknya. Tak ketinggalan, tangan nakalnya pun bergerak mencomot dua lembar sandwich yang baru saja dibuat oleh mamanya.
Juna menaikkan alis sebelahnya. "Kesambet jin apa kamu? Tumben udah siap," tanya Juna dengan senyum mengejek.

Seketika, senyum Zahra memudar. Ia mengerucutkan bibirnya sebal. "Kepagian salah, kesiangan salah. Maunya apa, sih?" dengusnya.

Juna terkekeh mendengar gerutuan adik satu-satunya itu. Entahlah, ia sangat menyukai ekspresi Zahra ketika sedang kesal. Sisi anak kecilnya akan keluar. Makanya, ia sangat hobi menjahili Zahra sampai membuat gadis itu menangis dan mengadu pada sang mama.

"Kayaknya kamu ceria banget hari ini. Lagi seneng, ya?" tanya Anggun.

Zahra menanggapinya dengan cengiran lebar. "Ah, Mama tau aja."

"Kak, ayo berangkat," ucapnya begitu selesai sarapan.

Juna hanya mengangguk.

Keduanya bersiap-siap memakai sepatu dan pamit pada Anggun. Juna berjalan lebih dulu untuk mengeluarkan motornya dari garasi.

"Hati-hati, ya. Juna, bawa motornya jangan ngebut-ngebut, loh."

Juna yang telah duduk di motornya mengacungkan jempolnya pada Anggun. "Anak manja, cepetan naik!"

🌻🌻🌻

Kali ini pelajaran biologi. Mata pelajaran yang sangat disukai Zahra, selain bahasa Inggris. Semua murid di kelas X IPA 2 sedang fokus menyalin tulisan yang ada di papan tulis setelah Bu Nining menjelaskan materinya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu yang mengalihkan pandangan seluruh isi kelas.

"Jemi, buka pintunya, Nak," perintah Bu Nining kepada siswa yang paling dekat dengan pintu. Jemi pun mengangguk. Setelah pintu dibuka, masuklah dua laki-laki dan satu perempuan yang merupakan kakak kelas mereka.

Ketiganya menuju meja guru dan bercakap sejenak, menyampaikan maksud dan permohonan maaf karena mengganggu jam pelajaran. Bu Nining terlihat tidak keberatan dan mempersilakan mereka.

"Asalamualaikum, semuanya," salam ketiga orang itu.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," seru semua murid dengan serentak.

Zahra langsung mendongakkan kepalanya ke depan setelah menyalin tulisan yang ada di papan tulis. Seketika, jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat. Diam-diam, ia mengulum senyum.

Rezeki anak salihah. Pagi-pagi udah dikasih sarapan yang seger-seger, batinnya.

Monic menyenggol bahu Zahra dengan sikunya dari samping. "Cieee, kayaknya ada yang lagi jedag-jedug jantungnya, nih," bisik Monic tepat di telinga Zahra, membuat pipi gadis itu bersemu merah.

Monic terkekeh setelah berhasil menggoda sahabatnya. Zahra menoleh ke samping. "Apaan, sih, Mon. Gue jadi deg-degan, nih," rutuknya. Bahkan, kedua telapak tangannya berkeringat dingin karena gugup.

Monic yang melihat ekspresi Zahra langsung terkekeh.

"Oh ya, adik-adik. Perkenalkan, nama Kakak Ali Afandi, selaku ketua Rohis. Sebelah Kakak ada Rizal Saputra selaku wakil ketua dan Aulia Cantika selaku sekretaris. Di sini, Kakak mau mendata peserta yang ingin mengikuti ekstrakurikuler Rohis. Bagi yang berminat langsung saja angkat tangan," terang Ali penuh wibawa. Kemudian, ia menjelaskan sedikit tentang ekstrakurikuler yang digelutinya.

Setelah itu, ada beberapa orang yang mengangkat tangan. Terlebih kaum hawa, sedangkan kaum adam hanya dua orang yang mengangkat tangan, yaitu Taufik dan Revan. Zahra yang melihat itu tak mau kalah. Ia juga mengangkat tangannya.

Tentu saja hal itu membuat Monic menganga. "Lo serius? Bahkan, lo enggak pakai hijab, Ra," bisik Monic.

"Biarin! Mulai besok gue mau pakai hijab. Lo inget perkataan gue kemarin, kan? Gue akan kejar cinta Kak Ali," tegas Zahra, tentunya dalam volume kecil.

Monic hanya geleng-geleng melihat kelakuan sahabatnya. "Sarap, lo," sarkas Monic seraya bergidik.

"Gue sarap juga karena Kak Ali," balas Zahra terkekeh.

Soal Fita, dia juga mengangkat tangan. Sejak awal, dia memang ingin mengikuti ekstrakulikuler Rohis. Maklum, dia yang paling alim di antara mereka bertiga.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro