EPILOGUE
Angin semilir mengayunkan dedaunan merah, kuning, serta hijau dari pohon-pohon besar di sekitar dua bangunan kayu berukuran besar panjang yang saling membelakangi. Lonceng berdentang tiga kali, disusul suara celoteh, tawa, serta teriakan anak-anak saat lari berhamburan dari Solana dan Tierra.
Seorang anak lelaki berambut hitam kebiruan tampak mendorong bocah pirang, yang bertubuh lebih kecil, hingga jatuh terduduk dan menangis seketika. Hal ini pun segera saja menjadi tontonan bagi murid-murid lainnya.
Seorang bocah laki-laki memakai kaos dan jaket kulit hitam mendadak menyeruak dari antara kerumunan dan serta-merta balas mendorong si anak lelaki berambut hitam kebiruan. Suasana segera saja menjadi makin ramai dengan sorak-sorai.
"Zavaro! Jangan hanya berani dengan anak yang lebih kecil darimu! Ayo, lawan aku!" bentak bocah laki-laki yang memakai kaos dan jaket kulit hitam.
Mata gelapnya menatap tajam ke arah si anak lelaki berambut hitam kebiruan. Ia mengepalkan tangan, siap beradu tinju dengan sang lawan.
Dua sosok bocah lelaki tiba-tiba muncul pula setelah susah payah menembus kerumunan. Salah satunya yang berambut keriting sontak menarik lengan si anak lelaki berjaket hitam.
"Jayro! Jangan melawan Zavaro! Kita pergi saja! Papanya sangat galak!" teriaknya berusaha menakut-nakuti, tetapi diabaikan oleh si anak berjaket hitam.
Seorang bocah laki-laki lagi, yang memiliki sepasang mata berbeda warna, terlihat mencoba menghalangi pandangan si anak lelaki berambut hitam kebiruan. "Zavaro, sudahlah. Jangan berkelahi dengan Ravano dan Jayro. Kita lebih tua daripada mereka."
"Menyingkirlah, Arco," dengkus Zavaro.
"Tidak!" jawab Arco tegas. "Mr. Leandro menyuruhku mengawasi dan menjagamu! Kau tahu, jika aku mengadukanmu padanya, papamu serta Alena akan memelototi dan mengomeliku lagi!"
"Ayo, Zavaro dan Jayro cepatlah bertarung! Bertarung! Bertarung!" teriak anak-anak lelaki yang berkerumun begitu antusias.
"Ada apa ini?"
Sebuah suara lantang dan tegas mengejutkan kerumunan. Mereka serta-merta berlarian kabur sambil berteriak-teriak, meninggalkan kelima bocah lelaki yang menjadi pusat tontonan.
Leandro, pengajar muda yang merupakan putra dari Beta Ravero memandangi kelima bocah di hadapannya bergantian. Ia memasukkan kedua tangan ke dalam saku seragam hitam yang dia kenakan.
"Arco, kau yang paling tua. Coba jelaskan. Ada apa?" tanyanya pada bocah yang memiliki sepasang mata beda warna.
Arco berusaha terlihat sibuk menarik-narik kerah bajunya sambil menelan ludah dengan susah payah. "Zavaro menyenggol Ravano. Jayro marah, lalu menantang Zavaro."
"Bukan begitu!" seru Ricco. "Zavaro mendorong Ravano dengan sengaja! Jayro memberitahu Zavaro untuk melawannya saja daripada mengganggu Ravano!"
"Zavaro sudah sering mengasari Ravano, Mr. Leandro," ungkap Jayro sinis. "Arco penjilat. Jangan percaya padanya. Dia bermuka dua karena takut pada Alpha Aro."
"Aku tidak sengaja menyenggol Ravano karena ia bertubuh kecil. Aku tak melihatnya saat berlari, Mr. Leandro. Jayro saja yang suka mencari masalah denganku!" bantah Zavaro.
"Dasar pembohong dan pengecut," ejek Jayro. "Kalian berdua cocok menjadi satu tim."
Zavaro hampir saja meninju Jayro dengan kepalan kecilnya, jika saja kepala mereka tak ditahan oleh telapak tangan Leandro. Dua anak itu terus berusaha maju sebisa mungkin.
"Sudah, sudah. Ricco dan Arco boleh pulang. Jayro, Ravano, dan Zavaro harus menunggu di sekolah sampai mama kalian datang menjemput," titah Leandro tegas sambil mendorong pelan Zavaro dan Jayro.
Ketiga anak yang disuruh menunggu itu pun kompak menghela napas dan memasang wajah muram. Leandro tersenyum saat menggiring Jayro dan Zavaro menuju ruang guru Solana sambil menggendong Ravano dengan satu lengan.
Arco dan Ricco yang ditinggalkan berdua saling bertukar pandang sebelum mengembuskan napas panjang bersamaan. Mereka melangkah lesu meninggalkan halaman Solana.
***
"Berkelahi?" Ayna dan Luzia melebarkan mata menatap Leandro, lalu ke Zavaro dan Jayro bergantian.
"Kau punya masalah apa dengan Zavaro, Jayro?" tanya Ayna gemas pada putranya.
"Dia suka mengganggu Ravano, Ama!"
"Benar begitu, Zavaro? Kau mengusili Ravano?" tuding Luzia.
"Aku hanya menyenggolnya, Mama!" bantah Zavaro. "Jayro itu pengadu, sok jagoan, dan suka mencari masalah denganku!"
Luzia menaikkan sebelah alis. "Benar begitu?"
Zavaro tak kuasa menentang mata sang mama. Ia pun tertunduk seraya berusaha sibuk menginjak sesuatu di lantai kayu. Jayro tertawa sinis tanpa suara sambil melipat kedua tangan. Ravano duduk diam dengan ekspresi seakan tak tahu apa-apa. Ia hanya menatap pintu, berharap seseorang akan datang untuknya.
"Permisi." Terdengar ketukan disusul suara dari seseorang di pintu kantor yang setengah terbuka.
"Silakan masuk, Luna Keana," jawab Leandro.
Hak datar dari sepatu bot Keana memecah keheningan saat memasuki ruangan. Ravano seketika bangkit dari duduk dan berlari ke arahnya.
"Mama! Zavaro nakal!" adunya segera dengan suara kecil melengking.
Keana segera merengkuh dan menggendong putra bungsunya. "Oh ya? Zavaro pasti hanya bercanda."
"Tidak! Dia tidak bercanda, Luna Keana!" sergah Jayro. Suaranya sebagian terdengar sedikit tertelan karena buru-buru dibekap oleh Ayna.
"Jangan suka mengadu," ujar Ayna sambil tertawa kikuk dan suara bernada sedikit kesal pada sikap putranya.
"Maafkan Zavaro, Keana. Entah kenapa anak ini semakin bengal dan susah diatur," keluh Luzia. "Padahal aku dan Aro sudah mendidiknya cukup keras. Dia tidak patuh seperti adiknya, Zavara."
"Tidak apa-apa. Namanya juga anak-anak," sahut Keana seraya tertawa kecil.
"Apa kami sudah boleh pulang?" tanya Ayna pada Leandro. "Aku belum menyiapkan makan siang untuk Javi."
Leandro tersenyum tipis. "Tentu, Luna. Hanya saja aku berharap ini tak akan terjadi lagi. Jika tidak, aku terpaksa harus memanggil para alpha untuk mencari solusi terbaik buat putra-putra kalian."
"Ah, tak perlu mengganggu mereka hanya untuk urusan anak-anak," kilah Ayna.
"Betul," sahut Luzia cepat. "Aro sangat sensitif jika membahas soal Zavaro. Ia bisa jadi sangat cerewet mengomel seharian dan sepanjang malam."
"Ravantino tak terlalu mengurus soal anak-anak. Ia pasti hanya akan menyerahkan keputusan padaku untuk mengatasi permasalahan Ravano dan Tara," timpal Keana.
"Eh, Tara berteman sangat dekat dengan Zavara. Kau tahu itu, Keana?" celetuk Luzia riang.
"Iya, tentu saja. Tara cukup sering memintaku mengajaknya main ke rumah kalian," jawab Keana seraya tersenyum simpul.
"Oh, benarkah?" Ayna mengerutkan kening. "Kenapa aku tak pernah melihat Zavara dan Tara ikut bermain bersama Javiera saat Carra serta Alena ke rumah?"
Keana dan Luzia saling bertukar pandang sebelum kompak bertanya, "Ada apa dengan mereka?"
Leandro menghela napas. "Baiklah. Sepertinya anak-anak sudah lelah dan lapar. Soal putri-putri cilik itu, kalian bisa langsung ke Tierra dan bicarakan dengan Andrea atau Emily."
Ketiga ibu muda itu menghela napas bersamaan sebelum menjawab kompak sambil melangkah pergi, "Terima kasih, Leandro."
Leandro melepas kepergian ketiganya seraya menggeleng-gelengkan kepala. "Like fathers like the sons, like mothers, like the daughters."
***
THE END.
16/02/2022
Akan berlanjut ke sequel :
TEEN LUCIS : ZORION ACADEMY
Cerita fantasi saya berikutnya yang akan segera menyusul
-- Sequel Lucis Series :
Teen Lucis : Zorion Academy
-- Sequel Aleronn Series :
Marvania : book one
Merael : book two
Sampai jumpaaaaaaa <3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro