CHAPTER 9. TAKEN BY THE BIG ALPHA (2)
Ia membawaku seperti tengah memanggul sebuah karung atau seekor hewan buruan yang tak berdaya. Si Alpha Gila tak memedulikan teriakan bercampur makian yang kulontarkan.
"Keparat! Jangan sentuh bokongku! Berhenti mengusap-usap pahaku! Bajingan!"
Aro hanya terkekeh tanpa kata. Kurasakan tangan si Alpha Gila terus merayap dan sesekali menepuk-nepuk di bagian bokong dan paha. Darahku makin mendidih rasanya.
Aku melebarkan mata saat bibirku tak sengaja telah menyentuh kulit punggungnya. Kumaki diri dalam hati karena terlambat mengingat bahwa ia tengah bertelanjang dada.
Sekuat apa pun mencoba berontak, aku tak bisa bergerak. Setelah merasa sia-sia berteriak, pandangan pun kupaksa fokus pada tanah yang dilewati saat menuju pack.
Beberapa penjaga dan warga terdengar menyapanya. Aro membalas hanya dengan deham tanpa kata.
Selain gila dan kekanak-kanakan, ia ternyata juga mesum, juga arogan. Dia semakin tak layak bila dibandingkan dengan Dorran.
Aro menaiki tangga. Suara mengentak di setiap tumpuan yang terbuat dari kayu, dengan batu-batu cukup besar di kanan dan kiri pembatas, menandakan betapa buas serta kasarnya ia.
Dia membanting pintu setelah memasuki sebuah ruangan cukup besar bernuansa kayu, tetapi tak bisa kukatakan sederhana. Setidaknya lantai rumah Aro di pack jauh lebih terlihat mulus dan bersinar daripada kediamanku dan Dorran di desa.
Si Alpha Gila terus melangkah sebelum kembali menaiki tangga. Tubuhku terguncang mengikuti gerakannya.
Ia memasuki sebuah ruangan. Belum sempat aku bertanya, tubuhku dilemparkan ke pembaringan.
Aku memekik sebelum melebarkan mata. Ia menyeringai, memamerkan senyuman tak waras di bibirnya.
"Kembalikan aku seperti semula!" teriakku.
"Belum saatnya, serigala kecil. Kau tidak akan bisa bergerak selama setengah jam. Sabarlah."
Aro kemudian mengambil sesuatu dari laci meja. Dia menyeringai sebelum meminumkan cairan ungu dari botol kecil sambil memegangi dan membuka paksa mulutku. "Ini untuk mencegah kau menggunakan kekuatan sihirmu sampai aku memberi penawarnya."
Aku tersedak saat cairan itu masuk secara paksa sebelum memaki dan menjerit sekuat tenaga. Mataku nanar menatapnya tengah menaruh botol kecil yang telah kosong ke meja.
Aro tersenyum laksana iblis, lalu membuka celana panjangnya, hingga menyisakan bokser biru gelap saja.
"Kau ... mau apa?! Pakai kembali celanamu!" seruku berubah panik.
Ia menaikkan sebelah alis. "Aku tak mungkin tidur dengan celana panjang, bukan? Memakai bokser saat tidur itu sangat nyaman. Ah, atau kau lebih suka aku telanjang?"
"Apa?! Jangan berpikir kau bisa mencobanya! Aku akan membunuhmu setelah kondisiku pulih!" ancamku.
Aro terkekeh. "Kau pikir aku tak punya cara lain untuk menjinakkanmu?" Ia mendekat perlahan, lalu naik ke ranjang.
Mataku makin melebar, menatapnya nanar. "Menjauh dariku!"
Ia membungkuk, lalu memajukan hidung serta mulut, menghirup ceruk leherku. "Hmmm, aku suka aromamu. Harum rumput liar yang eksotis."
Tanpa permisi, dia mengecup dan menjilati bagian leher. Aku sontak menjerit histeris.
"Aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu!"
Aro menghentikan aksinya, menatapku, lalu mengedipkan mata. "Boleh, tetapi setelah kita mating dan aku berhasil mengeklaimmu."
Mataku terbuka lebar. Jantung bahkan seakan hendak melompat keluar. "Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak bersedia!"
"Oh, aku akan membuatmu bersedia."
Ia menyeringai sebelum bergerak menindih. Kurasakan sepasang lengan kokoh menjepit kedua tanganku, melingkari kepala dan leher, lalu bergerak menyangga dan mengangkat sedemikian rupa, seakan terpampang di depan mulutnya.
"Lepaskan! Kau bajingan! Dasar iblis!" makiku untuk ke sekian kali.
"Aku akan melakukannya dengan cepat. Kau tenang saja," sahutnya seraya menderaikan tawa.
Napasnya panas mengembus menyentuh kulit leherku. Sebuah benda kenyal dan sedikit basah merayapi tanpa ragu.
Aku terus menjerit dan memaki. Ia tak peduli, malah semakin tak terkendali.
Gerakannya semakin liar. Kini tak hanya mengecup, tetapi mulai menjilati serta mengulum setiap jengkal kulit. Ia menggigit pelan bagian pundak yang masih dilapisi kaus. Seakan tak cukup, dia mulai mengisapi ceruk leher dengan rakus.
Tubuhku menegang. Suara rintihan lolos dari mulut tanpa bisa tertahan. Air mata pun mengalir perlahan.
Ini akan menjadi sebuah penderitaan. Jika Aro benar-benar melakukan mating dan mengeklaim paksa, aku tak punya muka lagi untuk bertemu Dorran.
Aku mulai terisak. "Aro ... jangan ...."
Ia menghentikan gerakan. Kami bertemu dalam tatapan.
Pandanganku yang samar menangkap tatapan penuh nafsu si Alpha Gila berubah sendu. Ekspresi di wajah Aro malah membuat ia tampak seperti anak lelaki kecil yang berusaha melepaskan mainan kesukaannya, tetapi ragu-ragu.
"Aku ... belum ... siap ...." Kutatap matanya penuh harap sambil terisak. "Beri aku waktu ...."
Perlahan, ia beranjak, lalu duduk di sampingku. Dia menghela napas.
"Berhentilah menangis, Luzia. Aku benci melihat air mata wanita," ujarnya lirih.
Aku berusaha menghentikan sedu sedan. Namun, tubuhku masih gemetaran.
Ini pertama kali aku merasakan sentuhan lelaki. Yang kurasakan hanya ada perasaan aneh bercampur takut dan ngeri.
Ia bangkit dari ranjang, lalu duduk di pinggiran. Diraihnya sebuah ponsel di atas nakas dekat pembaringan.
Aro tampak menekan tombol di benda itu sebelum mendekatkannya ke telinga. "Ramon, dia di pack sampai aku menjalankan misi dari Mateo."
Isakku mereda. Aku samar-samar menatap punggungnya.
Aro menurunkan dan memegangi ponselnya di tangan seraya menatapku. "Kau tidur di kamarku. Aku akan ke kamar tamu."
Ia berdiri, lalu menoleh kemudian, menatapku tajam. "Jika kau berusaha meninggalkan tempat ini dan tertangkap, aku akan melanjutkannya lagi tanpa ragu. Bila kau kabur, akan kuratakan desamu, lalu melakukan mating di depan kekasihmu, berkali-kali, sampai kau menangis menjerit minta ampun pun tak akan lagi bisa menghentikanku."
Aku hanya bisa terdiam, memandangi punggung si Iblis itu berlalu, hingga hilang di balik pintu. Mataku menatap langit-langit kamar sebelum kembali tersedu.
****
Sinar matahari menerobos kaca jendela. Mataku menyipit terkena silaunya.
Aku merenggangkan tubuh yang penat. Rasanya menyenangkan bisa kembali bergerak. Usai menggeliat, sesuatu pun teringat.
Seharusnya aku mengirim pesan mimpi semalam pada Dorran! Namun, kenapa dengan bodohnya kubiarkan diriku terlelap sampai pagi?!
Astaga, Luzia. Kau begitu menikmati tidurmu setelah apa yang si Alpha Gila itu lakukan?!
Aku kembali teringat ucapannya, lebih tepat disebut sebagai ancaman. Ia tak mengizinkanku pergi dari sarang perkumpulan.
Namun, itu tak berarti dia melarang jika aku keluar kamar, bukan? Sebersit ide muncul di pikiran.
Bila si Alpha Gila memaksaku tetap di pack, aku akan membuat para penghuni mau tak mau memutuskan sesuatu. Mereka harus mengusirku.
Senyumku mengembang. Aku segera turun dari ranjang.
Kulihat pantulan wujudku pada sebuah kaca muka. Sosok gadis bermata hijau kebiruan memakai kaus biru kumal sebatas paha. Rambut panjang tergerai kusut acak-acakan dan wajah kusam tak bercahaya.
Astaga, Luzia. Penampilanmu seperti wanita gila. Apa yang merasuki si Iblis itu semalam, hingga ia menyentuh dan mencumbumu dengan ganasnya?
Maksudku, penampilanku semalam mungkin sama seperti sekarang, seperti gadis tak waras. Bagaimana bisa dia menyentuhku dengan begitu liar dan buas?
Aku bahkan bergidik melihat apa yang terpantul di cermin. Ini akan sama hasilnya bila dilihat oleh orang normal yang lain.
Si Alpha Gila memang tidak normal. Aku rasa otaknya pun bebal.
Kepalaku menoleh saat mendengar ketukan keras, diikuti pintu yang terbuka secara kasar. Seorang gadis berambut pirang bertubuh mungil melangkah masuk, menatap nanar.
"Kau ... mate-nya Aro?" Ia meneliti sekujur tubuhku dengan pandangan sinis. "Kau tak layak untuknya."
Mataku menyipit, memandangnya balik. "Kau gadis gila dari mana? Siapa bilang aku mau jadi mate si Sinting itu?"
Dia berkacak pinggang, melebarkan mata ke arahku. ""Aro tidak sinting! Ia alpha tertampan, terkuat, dan terjantan!"
"Ia Alpha Gila," balasku sewot. "Kau juga sama. Kalian serasi berdua. Wow! Selamat!"
Gadis berambut pirang itu menggeram sebelum berubah wujud menjadi serigala kecokelatan, lalu menerjang ke arahku. Namun, satu bentakan mendadak terdengar dari pintu.
"Shift!"
Serigala berbulu kecokelatan segera berubah wujud kembali, jatuh bersimpuh di dekat serpihan pakaian, menjadi sosok gadis telanjang berambut pirang. Ia menunduk di depan Aro yang kini berada di dekatku, menatapnya nyalang.
"Berani sekali kau menyerang di kediamanku, Feyra!" hardik Aro.
"Maaf, Aro. Aku hanya ...."
"Aku alpha-mu!"
Feyra tersentak. "Maaf, Alpha."
"Apa posisimu?!"
"Putri Tetua Hakim Fernando."
"Apa kesalahanmu?!"
"Me ... menyerang calon ... luna." Feyra makin menunduk. Suaranya mulai serak.
"Apa hukumanmu?!"
Ia terdiam, mulai terisak pelan. "Dicambuk ... seratus kali ..., Alpha."
"Pergi menghadap Hugo dan minta hukumanmu padanya!"
Feyra tersedu seketika, beralih menatapku dengan mata basah. "Luna ... aku minta maaf." Tangisnya makin kencang. "Tolong minta Alpha membatalkan hukumanku." Ia meraung kini.
Aku memutar bola mata. Kulipat kedua tangan ke depan dada.
"Kenapa aku harus membantumu?" gumamku malas.
Gadis itu meraung, membuka mulut lebar sambil memejamkan mata. Ia kemudian menangkupkan kedua tangan ke wajahnya. Tubuh si pirang terguncang oleh tangisan.
"Hanya karena kau putri Hakim Fernando, anak kesayangan si tetua itu, bukan berarti kau bisa seenaknya bertingkah seperti gadis jalang di kediamanku! Aku bukan milikmu! Atas dasar apa kau menyerang mate-ku?!"
Aku diam menyimak kemarahan si Alpha Gila. Ada rasa sedikit terkejut melihatnya begitu berbeda saat murka.
"Aku menyukaimu sejak dulu! Kau tahu itu!" Feyra nekat membalas dengan teriakan bercampur tangis.
"Bahkan jika kau ingin aku membalas perasaanmu, aku tidak bisa menidurimu, Feyra! Kau bukan mate-ku!"
"Tapi kau bisa melakukannya dulu bersama wanita-wanita lain! Kenapa padaku tidak?!" jeritnya.
Apa? Aku spontan mendelik ke arah Aro. Ia tak melihatku, terus saja fokus memelototi Feyra yang tanpa busana. Ingin sekali kucolok matanya.
"Kau putri Tetua! Mana bisa aku melakukan itu padamu! Aku hanya bisa menghargai dan memperlakukanmu sebagai adikku sendiri!"
Aku tak tahan lagi. "Jadi, kalau dia bukan putri Tetua, kau akan menidurinya?!"
Dia menoleh cepat ke arahku dan spontan berteriak kaget, bahkan hampir terjengkang saat melihat penampilanku. "Astaga! Kau kenapa berpenampilan seperti gadis tak waras?!"
Mataku menyipit ke arahnya. "Sejak semalam penampilanku sudah seperti ini! Kau yang gila karena mencumbu dan hampir mengeklaimku malam tadi!"
Aro tampak kebingungan beberapa saat. "Benarkah? Mungkin aku terlalu bernafsu semalam." Ia terkekeh kemudian. "Tapi aromamu sungguh enak. Mungkin itu sebabnya aku sedikit menggila dan tak sadar."
Aku melotot ke arah Aro yang cengengesan. Tangis kencang Feyra kembali mengagetkan.
"Kau bahkan bisa bernafsu dengan gadis berpenampilan gila seperti itu! Ini penghinaan bagiku!" raungnya.
"HUGO!" teriak Aro membahana. Ia melangkah dan memasuki lemari ganti, lalu keluar sambil memegang sebuah kaus putih sebelum melemparkannya ke Feyra. "Itu kaus baru! Pakailah!"
Gadis itu spontan menghentikan tangisan, setengah enggan memakai kaus ke tubuhnya. Ia tak segera berdiri, malah tetap pada posisi bersimpuh di depan Aro tanpa berani lagi bertemu mata.
Tak lama kemudian, sesosok lelaki tampan, berambut gelap, memakai anting bulat kecil di bibir bawah dan kedua telinganya, muncul di depan pintu. Ia menatap bingung ke arah Feyra, aku, dan Aro. "Ya, Alpha, ada apa?"
"Bawa Feyra ke rumahnya dan katakan pada Fernando bahwa putri kesayangannya hampir menyerang mate-ku! Ia boleh memilih untuk menghukum putrinya sendiri atau menyerahkannya padamu!"
Tangis Feyra muncul kembali dan semakin tak terkendali. Hugo meringis seraya mengusap-usap kening.
"Baik, Alpha." Ia menatap ke arah Feyra kemudian. "Fey, ayo, kuantar pulang."
Feyra bangkit perlahan sambil menahan sedu sedan. Tatapan sendunya terlihat seakan tak rela meninggalkan Aro bersamaku. "Aro ...."
"Pergi!"
Begitu Feyra dan Hugo menghilang dari kamar, Aro menoleh cepat ke arahku. "Kau, pergilah mandi dan ganti pakaianmu! Aku akan membawamu sarapan di dapur pack!"
Aku bergeming, mengabaikan perintah Alpha Gila itu. Mata kami pun beradu.
Ia mendekat dan mendelik. Aku membalas, menentang balik. Alisnya naik sebelah. Kukibas-kibaskan kaus sambil berjinjit, terus menengadah. Tubuhku memang jauh lebih pendek, tetapi bukan berarti harus kalah.
"Mandi dan ganti pakaianmu!"
"Aku tidak mau!"
"Kau berani melawanku?!"
"Aku tidak takut! Kau pikir bisa semena-mena terhadap ... aah!"
Si Alpha Gila menggotong tubuhku, melangkah cepat ke kamar mandi. Aku melancarkan pukulan dan makian tanpa henti.
"Alpha Gila! Lepaskan aku! Keparat kau! Iblis! Bajingan!"
Ia menurunkanku di bawah pancuran dan sebelum aku sempat protes atau menyelamatkan diri, dia memutar keran. Tentu saja air seketika memancur, menghujaniku hingga basah kuyup.
"Kurang ajar kau! Lelaki sialan! Keparat! Alpha Gila!" Aku merutuk habis-habisan sambil meronta dari pegangan tangannya yang kokoh.
"Perlu kulepaskan kausmu sekalian?" Ia menyeringai. "Aku tak keberatan memandikanmu jika perlu."
Aku bergerak mengangkat kepala, siap menghantam, beradu dengannya Namun, secepat kilat ia menyerang bibirku tanpa disangka-sangka.
Teriakanku seketika tersumbat. Ia memainkan lidah dan terus mencecap tanpa ampun sambil mendekapku erat. Air terus mengucur membasahi kami berdua yang setengah bergulat.
Tangannya merayap, mencoba membuka, bahkan mulai merobek baju. Aku mendorong dan meninju si Alpha Gila sekuat tenagaku.
Aro membenturkan tubuhku ke dinding, menekan kuat dengan tubuhnya. Aku tak bisa berbuat banyak saat lumatan lelaki itu semakin dalam dan panas membara.
"Mmmm .... Lepas! Mmmhh ....!" Jeritanku lagi-lagi tersumbat oleh gerakan bibirnya yang terus menghebat.
Kuputuskan untuk menggigit kuat bibirnya. Aro balas menggigit bibirku dengan sengaja.
Aku memekik tertahan. Ia pun akhirnya melepaskan. Si Alpha Gila menatapku dengan senyum penuh ejekan.
Aro mengusap pelan bibir bawahku, memamerkan darah di ibu jari sembari menyeringai. Aku menatap geram seraya tersengal.
"Lain kali, lakukan apa yang kuperintahkan," ujar Aro sebelum membuka dan melemparkan kausnya yang basah ke keranjang cucian. "Jika kau membangkang lagi, bukan hanya bibirmu yang akan kugigit lain kali."
Napasku menderu seraya menatapnya nyalang. Ia tertawa sebelum meninggalkan ruangan tanpa melihat lagi ke belakang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro