CHAPTER 8. TAKEN BY THE BIG ALPHA (1)
Aku tak mengerti. Salahkah seseorang bila memiliki keinginan serta keputusannya sendiri? Kenapa mereka harus mengatur dan mengendalikan hidupku?
Kubuka mata setelah merasa percuma memaksakan tidur. Pikiranku penuh dengan pertanyaan meski sebenarnya rasa kantuk membuat pandangan mulai mengabur.
Persoalan keanehan mamaku bahkan belum terjawab. Benarkah seperti apa yang dikhawatirkan Ramon? Aku harus mencari tahu, siapa tamu yang pernah berkunjung diam-diam dan untuk urusan apa.
Mungkin sebaiknya aku pulang segera. Kejadian tadi pagi, kedatangan Keana di sore hari, serta semua yang ia katakan, membuatku membulatkan tekad.
Aku harus menjauh dari Aldevaro, lalu mencoba mencari bantuan dari coven di Trasmoz. Bibi Clarinda dan Paman Eneas pasti tahu, juga bisa melakukan sesuatu.
Kuanggukkan kepala sebelum memutuskan bangkit dan turun dari ranjang. Serigala di dalam diriku mendesak hendak keluar.
Kakiku melangkah ke arah pintu, lalu pelan-pelan membukanya. Penerangan cukup redup di lantai atas.
Aku melongok ke bawah dari lantai yang terbuka di bagian tengah, gelap, tetapi tak menjadi masalah bagi keturunan manusia serigala. Kamar Bruno di seberang pun tak terlihat bercahaya.
Perlahan aku menuruni tangga ke bawah. Langkahku langsung mengarah ke belakang rumah.
Kubuka pintu pelan-pelan. Pemandangan kapas-kapas putih menari-nari beterbangan tampak menyambut, menutupi tanah sebagian.
Angin mengayunkan rambutku yang tergerai bebas. Saatnya semua pakaian harus dilepas.
Kutumpuk baju tidur pemberian Viona di atas meja. Mulutku menggeram sebelum melompat dan bertransformasi di udara.
Empat kaki kini berganti, menjejak tanah bersalju sebagian. Mataku tajam menembus pepohonan. Aku segera menerjang, berlari cepat memasuki hutan.
Kuhentikan langkah setelah berlari cukup jauh ke pedalaman. Angin malam menggoyangkan dedaunan, membiarkan beberapa kapas putih dingin berguguran. Aku mengibas-ngibaskan salju itu dari bulu, lalu merintih dalam lolongan.
Sepertinya aku sudah berlari sangat jauh dari kediaman Ramon. Aku harus kembali.
Namun, kakiku seakan mengabaikan. Aku bergeming di antara pertentangan di dalam diri.
Kaki serigalaku kembali maju menerjang, menembus pepohonan yang makin lebat. Aku terus saja berlari tanpa sadar, seakan tahu apa yang tengah kutuju.
Mendadak, sebuah jaring menimpa dan mengurung setelah kaki serigalaku menginjak sesuatu. Aku meronta, berontak, mencoba keluar dari benda itu.
Aku gelisah seketika. Ingin rasanya berubah wujud kembali, tetapi kemudian mengutuk kebodohanku karena lupa membawa baju.
Dasar bodoh! Apa aku harus telanjang di tengah hutan? Sebentar saja. Wujud serigala bisa kembali kapan saja, bukan?
Aku memuji kepintaranku kini. Pemburu sialan. Siapa pun dia, kuharap bisa mengutuknya karena membuatku harus bertindak gila.
Kukembalikan wujud ke bentuk semula. Gadis berambut panjang hitam ikal tergerai tanpa busana. Mataku meneliti, berjaga-jaga jika melihat gerakan mencurigakan.
Kuraih jaring dan berusaha membukanya dengan gerakan secepat yang aku bisa. Otakku berpikir harus segera kembali ke wujud serigala. Terdengar suara lolong di kejauhan. Aku memilih mengabaikan.
Selagi fokus ke usaha melepaskan diri dari jaring selama beberapa saat, sebuah gerakan disusul suara tawa mengejutkanku dari arah kanan. Aku menoleh cepat. Wajahku saat ini pasti sepucat mayat.
Aldevaro berdiri, menyeringai nakal mengamati. Matanya intens meneliti. Tanganku bergerak cepat, berusaha menutupi apa yang tak boleh dia lihat.
"Kau lihat apa?! Tutup matamu, Bedebah! Alpha Gila!" teriakku panik.
"Kenapa aku tak boleh melihat tubuh mate-ku?" Ia melangkah perlahan di antara salju yang beterbangan, sebagian menutupi tanah yang ia pijak, seperti predator yang siap memangsa.
Jaring sialan! Kenapa sulit sekali kulepaskan?! Ya, tentu saja sulit melakukannya dengan kedua tangan yang juga sibuk menutupi bagian tubuh yang terlarang!
"Semakin panik, akan semakin membuatmu bodoh. Sama seperti hewan buruan." Aro menyeringai. "Perlu bantuan?"
"Pergi kau! Berhenti memandangiku dengan pikiran kotor!"
"Oh, bagaimana kau tahu aku memikirkan apa yang ingin kulakukan padamu?" Alisnya bergerak naik turun seakan menggodaku.
"Aku bisa menebaknya dari seringai nakalmu!" kecamku.
"Kau seharusnya bersyukur, hanya ada aku di sini. Aku sudah mengusir para serigala penjaga saat mencium aromamu di kejauhan. Tak disangka, mate-ku rela mendatangi pack-ku sendiri tanpa kusuruh."
Apa? Jadi, aku membawa diriku sendiri menuju pack-nya? Serigala sialan!
"Kau yakin akan terus duduk telanjang di situ dalam jaring?" ejeknya. "Aku hanya mencemaskan yang ada di bawah situ."
Sialan! Keparat! Berengsek!
"Aku akan mengutukmu!" pekikku sekuat tenaga.
"Jangan sia-siakan tenaga, Mate. Kau akan merindukan dan menginginkanku seperti betina gila saat heat-mu tak terkendali," sahutnya sambil memamerkan senyum mengandung ejekan.
Mataku menatapnya nanar. Aku terpaksa merobek jaring dengan gusar. Dalam hati berharap benda itu bukan satu-satunya milik sang pemburu. Tak patut, jika karena hal yang kulakukan membuat ia kehilangan alat untuk mencari makan.
Kucampakkan sobekan jaring ke tanah. Kembali kedua tanganku bergerak menutupi bagian dada dan area bawah.
Namun, aku rasa usahaku terlambat dan sia-sia. Si Alpha Gila pasti sudah puas melihat semuanya.
"Berikan bajumu!" Aku menatapnya tajam dengan perasaan marah bercampur malu.
Dia malah tertawa. Namun, ia kemudian melepaskan baju, memamerkan otot-otot di perut dan dadanya.
Aku benci melihat senyum ejekan di bibir si Alpha Gila. Seakan ia tengah mengajariku tentang arti sempurna.
Aro melemparkan baju kausnya ke arahku. Tanpa permisi, aroma maskulin yang sangat khas masuk ke indra penciuman, musk dan vanila harum berpadu.
Buru-buru kukenakan kaus biru gelap miliknya. Mataku tanpa sadar merayapi si Alpha Gila.
Rambut agak ikal hitam kebiruan lelaki itu dihiasi butiran salju. Beberapa kapas putih dingin pun terlihat di tubuh kekar tinggi tak berbaju.
Aku mengakui, dia terlihat lebih jantan daripada Dorran yang sedikit lebih ... ramping. Buru-buru kualihkan tatapan ke reranting.
"Tubuhku sempurna, bukan?" godanya penuh kebanggaan.
Sudah kuduga. Ia memang berniat begitu saat memamerkan perut dan dada.
"Dorran tetap lebih tampan bagiku!"
Matanya menyipit. "Penyihir banci yang kurus itu mana bisa dibandingkan denganku?"
"Dia bukan banci dan tidak kurus!" protesku.
"Mata dan otakmu perlu diperiksa."
"Dia tidak kurus!"
"KURUS!"
"DIA TIDAK KURUS!"
"Kurus! Kerempeng! Tipis! Tak punya otot! Lemah! Banci!"
"Tutup mulutmu!" Aku berteriak panjang sembari menerjang ke arahnya.
Sekuat tenaga aku memukul, menendang, bahkan meninju, tetapi tubuh kokohnya bergeming laksana batu. Ia kemudian memegangi kepalaku dengan satu tangan, seakan tengah menahan seorang anak kecil.
Berada dalam jarak lebih dekat membuatku sadar, tinggiku hanya sebatas dadanya saja. Aku mundur, bersiap mengangkat tangan untuk mengucap mantra.
"Apakah kau tahu bahwa Mateo dulu adalah Tetua Penyihir Suci, penyihir tertua dan terhebat di Basque Country sebelum dia mengasingkan diri?" Aro memandangiku dengan wajah serius kini, membuat aku lupa pada niatku semula.
"Mateo penyihir bijak, tetapi percayalah. Bila kau melukaiku dengan sihirmu, dan dia tahu, kau dan mungkin para penyihir lain di desamu pasti tak akan sanggup menerima hukumannya," lanjut Aro lagi.
"Kau kira aku takut dengan ancamanmu?"
Ia menggeleng. "Itu bukan ancaman. Aku hanya memperingatkanmu, Mate."
Aku menurunkan tangan perlahan. Salju beterbangan di gelapnya malam. Angin makin menusuk kulit dan mengayun dedaunan. Rambutku beterbangan.
Kubalikkan tubuh, berniat meninggalkan tempat itu. Namun, Aro bergerak cepat menghalangiku.
"Kau mau ke mana?" tanyanya menyeringai.
Aku mendongak gusar. "Pulang ke rumah Ramon!"
"Oh, tidak bisa. Kau sudah kemari. Kau tak bisa pergi."
"Aku tak berniat ke sini! Mana aku tahu tempat apa ini?!"
"Aku tak peduli. Kau sudah di sini. Jadi, aku harus membawamu ke pack."
"Kau gila, ya?!"
"Oh, kau belum melihat kegilaanku yang sebenarnya, Mate."
Ia tampan, tetapi seringainya menakutkan. Bagiku, lelaki terbaik tetaplah Dorran.
"Minggir! Jika tidak, aku tak akan segan lagi menggunakan sihirku padamu dan aku tidak peduli pada hukuman Mateo!"
Aro berdecak-decak. "Tepat sesuai ucapan Arlo. Kau sangat keras kepala. Untung Mateo sudah menyiapkan sesuatu untuk membantuku menanganimu."
Sehabis berkata itu, ia bergerak cepat menebarkan suatu bubuk. Tak sempat menghindar, tubuhku pun seakan mematung.
Di bibir Aro terlihat senyuman penuh ejekan. Kudengar jelas ia berucap sesuatu sebelum membopongku, membuat aku menjerit tanpa daya, berteriak memakinya.
"Selamat datang ke rumah pack kita, Mate. Waktu mating dan pengeklaiman akan segera tiba."
***
Holaaa, maaf baru sempet update lagi. Kali ini saya posting empat bab sekaligus. Mumpung sinyal lagi bener nih. Hampir semingguan kemarin sinyal saya ga jelas kaya janji mantan dulu yang selalu ngambang. hiyaaa hiyaaaa.
Kira-kira bakal diapain tuh si Luzia ama si Aro? ckckckcck. Kayanya bakal ada sesuatu deh. Ga percaya? Tunggu aja kelanjutannya.
Oke semoga pada suka dengan empat bab kali ini. Jangan lupa kasi dukungan dan semangat ya dengan vote dan komen. Makasih. Gitu aja. Sampai jumpa.
with love<3
22/03/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro