CHAPTER 6. LOVELY BEST FRIEND VS GRUMPY MATE
Makan malam bersama Ramon, Viona, dan Bruno seharusnya berlangsung damai. Aku bahkan membayangkan akan menjadi momen yang menyenangkan.
Namun, tidak saat si Ketua Alpha itu muncul dan memaksa ikut duduk di dekatku, tepatnya di ujung meja, berhadapan dengan Ramon. Bruno memilih posisi kursi sisi kanannya, di sebelah Viona. Aku berada di seberang mereka.
Denting garpu dan pisau sesekali terdengar. Helaan napas seakan ditahan sedemikian rupa agar tak mengganggu si Ketua Alpha saat makan.
Aku sengaja membunyikan garpu saat menancapkannya ke potongan daging panggang. Ekor mataku menangkap gerakan kepala alpha itu saat menoleh.
"Berisik," tegurnya.
Aku mendongak seraya memalingkan wajah ke arahnya. "Tak ada yang memintamu untuk makan malam di sini."
Ia mendengkus dengan ekspresi seakan tak peduli. "Ini rumah Ramon, juga rumah beta-ku. Aku sering makan di sini. Aku bebas kapan saja mau kemari."
"Kau punya rumah sendiri! Kenapa harus menumpang makan di rumah orang lain?!" Emosiku mulai terusik.
"Sejak kapan aku perlu persetujuanmu?" tanyanya balik.
"Ini momenku! Seharusnya kau tak mengganggu!"
"Kau yang mengganggu makan malamku," balasnya acuh tak acuh. Ia menoleh ke Viona kemudian. "Viona, daging panggang malam ini tidak seempuk dan selezat seperti biasanya. Kenapa?"
"Tidak ada yang memaksamu untuk makan!"
"Tamu diam saja. Tak usah banyak bicara," ocehnya dengan sikap arogan. "Ramon, aku tak melihat minuman anggur malam ini. Kalian kehabisan persediaan?" Ia berpaling ke sang beta. "Hei, Bruno, kau sengaja tak membelinya? Kau mulai pelit ya?"
Kenapa lelaki itu sangat menyebalkan? Ada saja yang ia keluhkan. Dia jauh berbeda dengan Dorran.
Bruno menggaruk dagunya dengan gerakan kikuk. "Aku lupa, Alpha. Tadi aku terburu-buru kembali karena mendapat telepon dari Alpha Alrico."
"Ini karena ulahmu." Ia menoleh ke arahku, diam mengawasi beberapa saat sebelum memicingkan mata. "Kau memandangiku seperti itu, pasti sedang menghujatku di dalam pikiran."
"Kau yang cerewet mencela sejak tadi!" omelku kesal. "Mengganggu selera makan!"
"Hei! Hanya kau yang terganggu olehku!" bantahnya. Ia menoleh ke Ramon, Viona, dan Bruno, memperlihatkan ekspresi seperti seorang idiot. "Aku mengganggu kalian?"
Ramon tersenyum. "Tentu tidak, Aro. Bagiku kau adalah putra pertamaku. Jadi, rumah ini juga adalah rumahmu."
"Kau dengar, bukan?" ujarnya padaku sembari membusungkan dada.
Aku mendelik. Setengah membanting, kutaruh garpu dan pisauku ke piring yang masih berisi setengah potong irisan daging panggang.
"Aku kenyang." Gerakanku saat bangkit membuat kursi bergeser.
"Duduk dan habiskan makananmu!" tegur Aro bernada memerintah.
Lelaki keparat! Apa haknya membentak seperti itu? Dorran tak pernah sekasar itu padaku.
Aku memilih mengabaikan dan bermaksud meninggalkan meja makan. Namun, mendadak tarikan kasar merangkul perut mengagetkan, membuatku memekik saat jatuh terduduk menyamping di pangkuan Aro.
Mataku membelalak. Ia mengacungkan sisa irisan daging dengan garpu ke depan mulutku seraya menatap penuh ancaman.
"Habiskan," suruhnya.
Aku berontak seketika. Namun, cekalan tangannya di perutku begitu kuat.
"Lepas!"
"Makan!"
"Aku kenyang!"
"Habiskan!"
"Kau gila!"
Entah bagaimana, ia memasukkan potongan daging ke mulutku, tepat saat kuakhiri kalimat. Aku spontan menyemburkan kembali potongan daging itu ke wajahnya.
Aro meraih sisa daging panggang yang menempel di wajah, lalu memasukkan potongan itu ke dalam mulutnya. Tak disangka-sangka, dia memajukan wajah dan mengunci bibirku tanpa ampun.
Kurasakan ada sesuatu yang masuk ke mulutku. Aku memekik seraya mendorong kuat dan spontan meninjunya. Mataku mendelik seraya bangkit dari pangkuan si Alpha Gila sebelum menyemburkan potongan daging kembali ke lantai kali ini.
Aro bergeming, tanpa luka. Tak ada suara mengaduh dari mulut si Ketua Alpha. Hanya terlihat ekspresi sinis dan senyum menyebalkan di bibirnya.
"Lain kali, jika kau tak menghabiskan makananmu, aku akan melakukan yang lebih buruk daripada tadi," ucapnya penuh ancaman.
Kukepalkan jemari. Dadaku naik turun karena napas yang menderu penuh emosi.
Kudengar suara Ramon terbatuk-batuk. Viona menatapku dengan mulut terbuka. Bruno tampak berusaha keras menahan tubuhnya yang terguncang oleh tawa tertahan.
"Alpha Gila!" teriakku saat melihat Aro menyeringai.
"Oh, percayalah, kau belum cukup melihat kegilaanku, Mate."
Aku mengangkat tangan, bersiap meluncurkan mantra penghancur. Namun, ia sigap berdiri, menahan gerakan dengan memegangi dan menarik kedua lenganku.
Wajah kami begitu dekat. Napasnya bahkan terasa panas menerpa kulit.
"Kau yakin akan menyerangku? Di sini? Saat ini?" Nada suaranya penuh tekanan.
Kuhantamkan kepala ke keningnya cukup keras. Aku meringis, sementara ia tak memperlihatkan ekspresi apa pun.
Dia berdecak-decak. "Mate, kau berlebihan. Jangan menyakiti kepalamu. Itu milikku, termasuk juga setiap anggota tubuhmu yang lainnya, termasuk napasmu."
Aku menjerit penuh kekesalan dan siap ingin menghajarnya lagi. Namun, seseorang sigap merangkul serta menahanku dari belakang.
"Bagus, Bruno." Aro terkekeh sembari melepaskan pegangan.
"Keparat! Lepaskan! Biarkan aku menghajarnya!"
Aku meronta-ronta sembari berteriak begitu brutal. Beberapa kali kakiku hampir berhasil menendang Aro yang hanya membalas dengan tawa terpingkal-pingkal.
"Aku pamit, Ramon, Viona. Besok aku akan kembali menjenguk calon istriku," ujarnya santai.
Ia terus tertawa saat aku menjerit memaki-maki dirinya. Bruno baru melepaskanku saat Aro menghilang seiring bantingan pintu.
***
"Aku ingin membunuh si Alpha Gila itu!" geramku saat Dorran tiba di kediaman Ramon pada pagi hari.
Ia mengerutkan kening. "Siapa?"
"Aldevaro! Siapa lagi?!"
"Apa yang ia lakukan?" tanyanya heran.
"Alpha Gila itu menjejalkan daging panggang ke mulutku!"
Dorran melebarkan mata. "Ia mengasarimu?!"
"Hei, Luzia adalah mate-nya. Aro berhak untuk itu," sahut Bruno sembari melangkah santai melewati kami, lalu duduk di kursi teras dekat salah satu pilar.
"Lelaki tak pantas menyakiti wanita!" ucap Dorran tegas.
"Luzia meninjunya," kilah Bruno. "Apakah itu berarti hanya wanita yang boleh menyakiti lelaki?"
Dorran mengernyit. "Meninju?" Ia menoleh ke arahku. "Luzia, kau melakukan itu padanya?"
"Dia melumat bibirku lebih dulu! Tinju dan hantaman kepalaku bahkan tak menyakitinya sama sekali! Kurasa ia terbuat dari batu!" sergahku.
Dorran melebarkan mata. Wajahnya memerah seketika. "Melumat ... apa?!"
Bruno mendengkus. "Aldevaro memang alpha terkuat. Karena itu, ia terpilih menjadi Ketua Alpha. Lain kali, kau harus menurut padanya."
"Hei, apa-apaan ini?! Dia kakakmu! Seharusnya kau melindunginya!" tegur Dorran bernada keras. "Ia melumat ... bagaimana bisa kalian membiarkannya?!"
Bruno mencibir. "Luzia sendiri yang mencari masalah."
"Dorran, aku tak mau lagi di sini! Aku mau kembali ke penginapan!" teriakku kesal.
Ramon muncul dari dalam rumah bersama Viona. Mereka menatapku masygul beberapa saat.
"Aldevaro memang ... sedikit menyulitkan, tetapi dia tak seburuk yang kau kira, Luzia," ujar Ramon.
"Dia gila, Ramon! Aku tak mau bertemu dengannya lagi!"
"Luzia, kau baru semalam di sini. Menginaplah lagi. Papamu ... dan aku ... masih ingin mengenalmu lebih dekat," ucap Viona.
"Dengan risiko bertemu si Alpha Gila itu lagi? Tidak! Terima kasih!" sahutku ketus.
"Aku akan melarangnya menemuimu, bagaimana?" Ramon menatapku penuh permohonan.
"Aita, kau tak akan bisa melarang Alpha Aldevaro. Lagi pula, kau tahu ia lebih berhak. Kita hanya akan menimbulkan masalah dengannya, juga Mateo," sahut Bruno.
Ramon menghela napas. Viona tertunduk tanpa kata.
"Aku tak mengerti dengan masalah mate ini. Bila Alpha Aldevaro menganggap itu penting, lalu kenapa harus dengan cara paksaan dan menyakiti? Bukankah perasaan itu lebih utama daripada memaksakan perjodohan?" Dorran memandangi kami bergantian.
"Kau bukan manusia serigala. Kau tak akan bisa memahaminya," sahut Bruno.
Dorran menoleh ke arahku. "Luzia, kau seharusnya fokus menyelesaikan masalah dengan papamu. Kini sudah beres, bukan? Apa sebaiknya kita kembali saja ke Trasmoz?"
"Beres apanya? Dia bahkan hanya memanggil papanya dengan sebutan nama!" Sebuah suara membuat kami semua sontak menoleh.
Aldevaro mendadak muncul dan berjalan tegap menaiki teras rumah. Ia memberiku tatapan mencemooh sebelum menoleh ke Dorran. "Kau tak bisa membawanya pergi. Ia milikku."
"Ia tak menerimamu! Kau bahkan memperlakukannya begitu kasar!" Dorran tampak sangat jengkel. "Luzia bukan benda yang bisa seenaknya kau katakan sebagai milikmu. Dia berhak memilih!"
"Katakan itu pada gadis penyihir lain di desamu! Namun, tidak pada betina serigala yang jelas-jelas adalah mate-ku. Kau mau membawanya pergi? Kau cari mati?"
"Kau pikir aku takut?" Mata Dorran menyipit.
Aro menaikkan sebelah alis. "Kau pikir aku bercanda?"
Mereka beradu tatapan. Alpha berambut hitam kebiruan itu tampak lebih tinggi mendominasi, sementara sahabat penyihirku berdiri tegap dan elegan.
"Bruno! Hampir tiba waktunya kakak tirimu mendapatkan heat! Kurung dia!" Aro menyeringai ke arahku. "Jangan sampai aku mengeklaimnya di muka umum."
Aku mendelik. "Apa maksudmu?!"
Dorran tercengang sebelum menoleh cepat ke arahku. "Heat? Luzia?"
"Kau ingin tahu apa yang terjadi saat gadis serigala bertemu mate-nya, bukan?" Aro menatap penuh ejekan pada Dorran. "Ia akan segera mendapatkan heat. Luzia akan merasakan penderitaan hawa panas luar biasa, sampai aku melakukan mating untuk mendinginkannya." Aro mendengkus seraya menarik sudut bibir.
"Aro, bisakah kita tunda dulu? Luzia masih belum siap. Ia sepertinya tak tahu banyak soal manusia serigala," ujar Viona cemas.
"Kalian tahu apa yang dikatakan oleh Mateo, bukan? Apa aku perlu meneleponnya agar kalian mendengar jawaban dari dia langsung?" ancam Aro.
"Ramon, katakan sesuatu," desak Viona.
Aku masih berdiri menatap bodoh ke arah si Alpha Gila. Otakku berusaha mencerna maksud ucapannya.
Dorran menggenggam jemariku. "Aku tak akan mengizinkannya! Luzia milikku lebih dulu! Aku berencana menikahinya!"
Kepalaku berpaling cepat ke arahnya. Perasaan bercampur aduk seketika.
Terdengar tawa Aro membahana. "Saat heat-nya muncul, kau tak akan bisa membantu Luzia. Hanya aku pilihan terbaik untuk mendinginkannya."
"Percayalah, Luzia. Alpha Aldevaro berkata benar," ucap Bruno tandas. "Kau tidak bisa bersama Dorran. Dia tak bisa menolongmu saat heat itu muncul kapan saja setelah pertemuanmu dengan Aro.
"Pilihanmu hanya matimg dengan Aro atau kemungkinan lain, kau akan menyerang sembarang lelaki, mungkin sekarat, bisa jadi mati karena hawa panas yang makin membakar tubuhmu dari dalam, jika kau menolak. Kau bebas memilih, tetapi kau tak punya pilihan lain yang lebih baik selain menerima ikatan."
Raut wajah Ramon dan Viona tampak menyetujui ucapan Bruno. Tetua itu hanya mampu menghela napas seakan mencoba mengeluarkan semua beban yang ada di dirinya. Sang istri pun berusaha menghindari tatapanku.
Dorran terpaku menatap penuh kekhawatiran dan juga penyesalan. "Aku seharusnya tak membawamu ke sini. Ini kesalahan besar, Luzia."
Aku menggeleng-gelengkan kepala dengan gerakan cepat. "Tidak! Aku hanya ingin bersamamu!"
"Sebaiknya cepat sediakan kamar untuk kami, Viona. Aku bisa mencium aroma heat-nya. Waktunya akan segera tiba," ujar Aro bercampur tawa. Ia kemudian menatapku intens. "Aku akan menghukum mate-ku yang tercinta atas semua ulahnya."
Hawa panas mulai menjalar. Tubuhku gemetar.
Dorran perlahan melepaskan genggaman. Air mataku jatuh menetes perlahan.
Kenapa takdir seakan mempermainkanku? Ini tidak adil!
"Aku rasa Ramon dan Viona benar, Aro. Kau harus menundanya dulu!" seru seseorang.
Aku menoleh ke asal suara. Keana melangkah cepat ke arahku.
Ia mengulurkan tiga butir pil sekaligus ke depan mulutku. "Telan sekarang sebelum terlambat!"
Aro menggeram sembari berusaha mendekat. Dorran, Viona, dan Ramon bergegas menghalanginya. Bruno terpaku tak bisa melakukan apa-apa.
Aku segera menelan pil berukuran cukup kecil itu tanpa peduli rasa pahit memenuhi lidah dan tenggorokan. Hawa panas berangsur menghilang.
"Kau aman, untuk saat ini," ujar Keana. "Itu dosis maksimal. Kuharap efek sampingnya tak terlalu berpengaruh buruk buatmu." Ia menatapku dan tersenyum saat melihat aku mengerutkan kening. "Tenang, hanya akan sedikit membuatmu lebih mudah emosi."
Aku menatapnya lega, tetapi tak berkata apa-apa. Keana tersenyum sambil memelukku. Meski terasa aneh, tetapi rasanya cukup hangat dan nyaman, seperti pelukan Bibi Clarinda.
Aro terdengar mendengkus. "Kau tak bisa menyelamatkannya dengan obat penunda heat dalam jangka waktu lama, Keana. Dia akan mendapatkan heat suatu hari nanti ... dan aku tak akan melewatkannya saat itu terjadi lain kali."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro