Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 5. THE TALKS

"Apa? Tinggal di rumahmu? Dia mate-ku! Urusan patung bahkan belum selesai, kau sudah ingin membawanya pergi?" protes Aro usai Ramon memberitahunya.

Si Tetua mendesah. "Dia putriku. Kami harus memperbaiki masalah di antara kami lebih dulu, Aldevaro."

"Ramon, aku menghargai dan menghormatimu sebagai salah satu tetua serigala Elorrio, tetapi bukan berarti aku bisa membiarkanmu membawa mate-ku begitu saja! Mateo yang boleh menentukan dia seharusnya ikut denganmu atau denganku!"

"Aro," tegur Arlo pelan.

"Tidak! Jangan memintaku untuk diam, Arlo! Masalah patung belum selesai! Soal mate pun belum tuntas!" sahut Aldevaro tandas.

"Hanya masalah patung jelek, apa yang harus diselesaikan? Soal mate, aku sudah menegaskan jawaban!" teriakku sengit.

"Kau kira bisa menolakku begitu mudah?! Patung-patungku itu sangat dan bahkan jauh lebih berharga bila dibandingkan dengan sahabat kecilmu yang beranting seperti banci!"

"Setidaknya ia terlihat lebih manis dan tampan bagiku daripada dirimu yang bertubuh besar, tetapi sangat kekanak-kanakan!" umpatku jengkel.

"Apa kau bilang?" Mata Aro menyipit.

"Kau kekanak-kanakan!"

"Katakan sekali lagi jika kau berani!"

"Kau kekanak-kanakan! Kau kekanak-kanakan! KAU KEKANAK-KANAKAN!"

Si Ketua Alpha hampir saja menerjangku, jika saja tak buru-buru ditahan oleh Arlo dan Alrico. Ravantino dan Javiero malah terkekeh seakan hal itu sangat lucu.

Keana menggeleng-geleng seraya menjewer telinga si Pirang. "Kau bukannya membantu, malah makin mengacaukan suasana."

"Aduh, Sweetie Honey, sakit!"

Aku mendengarnya lebih seperti merintih manja ketimbang mengaduh kesakitan. Javiero tergelak makin hebat. Dua lelaki yang menggelikan.

Sentuhan Dorran di lengan untuk ke dua kali membuat aku sedikit tersentak. Kenapa ia berani menyentuhku kini?

"Sebaiknya selesaikan masalah utama dulu, yaitu soal hubungan Tetua Ramon dan Luzia. Masalah mate, bisa dibahas nanti saja," ujar Dorran dengan nada dan wajah begitu serius.

Aro berhenti meronta begitu mendengar kata-katanya. "Kau tak usah ikut campur, Penyihir Banci! Ini bukan urusanmu!"

"Aku pelindungnya sejak dulu. Ini tentu menjadi urusanku," balas Dorran tenang, tetapi memberikan pandangan menusuk kemudian. "Perlu kau pahami, Luzia sangat tahu persis bahwa aku bukan banci."

"Sudahlah, Aro. Biar mereka selesaikan dulu masalah keluarga di antara mereka," ujar Keana menengahi. "Jika kau tak puas, kau bisa katakan soal ini pada Mateo. Jika ada keputusan darinya, kita akan lakukan sesuai perintah."

"Keana benar," celetuk Javiero sambil cengar-cengir.

Aro menggeram. Arlo dan Alrico kembali memeganginya erat.

"Kalian pergilah. Kami akan mengurus Aro," ucap Arlo.

"Aku belum setuju!" Aro kembali berontak.

"Ramon, lekaslah!" teriak Alrico.

Ramon meraih lenganku seraya menoleh pada putranya dan Dorran. "Bruno, Dorran, kita pergi."

Aku menjulurkan lidah ke arah Aro sebelum berlalu dari hadapannya. Kudengar ia makin menggeram marah.

"Luzia! Kau harus bertanggung jawab atas patung-patungku atau kau akan kubuat menyesal karena mengabaikanku sebagai mate-mu!"

***

"Ini Viona, istriku, mama tirimu." Ramon memperkenalkanku pada seorang wanita mirip seperti Bruno. "Viona, ini Luzia, putriku dulu ... bersama ... Alanna."

Viona terdiam beberapa saat. Kemudian senyumnya mengembang. "Selamat datang, Luzia. Senang bertemu denganmu."

"Ama, tak usah terlalu ramah padanya. Ia pasti membencimu saat ini," cetus Bruno.

"Bruno," tegur Ramon pelan.

"Ama?" Keningku berkerut menyebut kata yang terdengar asing.

"Bahasa Euskara, artinya sama dengan mama," jawab Ramon lembut.

Perasaan tak nyaman menghinggapiku seketika. Lelaki itu tak berencana membuatku memanggil istrinya itu dengan sebutan itu, bukan?

"Aku rasa akan lebih nyaman memanggil nama saja ketimbang kata itu," elakku.

Viona saling berpandangan dengan Ramon. Wanita itu tersenyum kemudian.

"Tentu, Luzia. Kau bebas memanggilku apa saja," ucapnya ramah.

"Di mana kamarku dan kamar Dorran? Kami ingin istirahat," ucapku dengan nada malas.

"Oh, mari kuantarkan," jawab Viona.

"Tidak. Aku dan Dorran bisa mencarinya sendiri."

"Mmm ... kurasa aku tak bisa bermalam di sini, Luzia. Kau selesaikan saja masalah kalian dulu. Aku akan kembali ke penginapan dan menjemputmu besok," sahut Dorran.

Aku sigap memegangi lengannya. "Tidak! Jangan tinggalkan aku!"

"Bukan begitu, ini masalah keluarga kalian. Aku tak berhak ikut campur. Aku akan menjemputmu besok. Aku janji." Ia memegang tanganku dengan gerakan kaku dan takut, seakan hal itu dapat menyakitinya. "Aku pergi dulu."

Tak ada pilihan lain selain mengangguk dan membiarkannya pergi. Ia memberi anggukan pada Ramon dan Viona, juga pada Bruno sebelum meninggalkan ruangan.

"Kita makan siang?" ajak Viona ramah.

Melihat tatapan Bruno, ingin rasanya aku menolak. Namun, pandangan penuh harap dari kedua suami istri di hadapanku tak mampu kutolak.

Kuanggukkan kepala. Mereka tersenyum lega, lalu mengajakku melangkah menuju ruangan lain.

***

Usai makan siang, Ramon mengajakku duduk di teras belakang. Aku mengedarkan pandangan, mengamati pemandangan hutan di sekitar.

"Hutan itu memiliki jalur cepat menuju Blood Moon Pack. Markas para tetua tak jauh pula dari sini," ujarnya membuka pembicaraan.

Aku mengerutkan kening. "Kukira rumah Aldevaro itu adalah markas utama kalian."

Ia tersenyum tipis. "Oh, bukan. Itu rumah Alpha Javier dan istrinya dulu, yang memang sering dipakai sewaktu ia berada di Elorrio. Sejak ia tiada, kini ditempati oleh putra tunggalnya, Ketua Alpha Aldevaro. Mereka memang memiliki beberapa tempat tinggal."

"Jadi, itu bukan Blood Moon Pack?"

"Masih termasuk bagian dari pack. Hanya saja, itu lebih menyerupai rumah pribadi alpha daripada markas perkumpulan serigala yang sebenarnya," terangnya.

"Oh," gumamku, sedikit mencuri pandang ke arahnya.

Ia tampak menatap jauh ke hutan. Ada sebuah tarikan samar di sudut bibirnya. Aku tak sanggup menahan rasa penasaran.

"Apa yang kau lihat? Kau memikirkan sesuatu yang lucu?" cecarku.

"Aku tak pernah mengira, putriku akan menjadi mate Ketua Alpha Aldevaro," gumamnya. "Itu membuatku bahagia meski ada sedikit rasa khawatir."

"Aku belum mengakuinya. Ia pun bilang tak berencana mengakuiku secara resmi," sahutku cepat.

"Aku kenal betul Aro dari kecil. Tak semua apa yang ia ucapkan dalam kemarahan adalah kebenaran sesungguhnya." Ramon menoleh ke arahku. "Kadang justru, itu kebalikan dari apa yang ia ingin katakan."

Keningku berkerut. "Aku tak mengerti. Kenapa bisa menjadi kebalikan?"

"Terkadang, bagi orang-orang tertentu, perasaan sesungguhnya terlihat dari seberapa besar kemarahannya. Semakin ia marah, itu berarti semakin peduli."

"Dorran hampir tak pernah marah padaku, apakah ia tak cukup peduli? Mama membenciku dan sering memarahi dan memukuliku, apakah itu berarti dia sangat mencintaiku?"

"Bisa jadi, perasaan Dorran tak sekuat yang kau kira. Soal mamamu, sudah tentu dia melakukannya karena rasa cinta yang terlalu kuat, tetapi justru menjadi sebuah dendam yang ditanamkan di hatinya." Ia menatapku intens. "Alanna benar-benar sering memukulimu?"

Aku menganggukkan kepala. "Ia sering memukuliku dengan gagang sapu atau benda apa pun yang ada di dekatnya, juga kerap menyabetku dengan seikat wolfsbane. Dia bahkan pernah menyebutku ... pelacur, jalang ...."

Ramon tampak terkejut, lalu menatapku sendu. "Aku sungguh tak tahu ia akan melampiaskan amarahnya sedemikian rupa padamu, Luzia."

"Aku sudah terbiasa. Hanya saja, aku sedikit tak bisa menerima soal ia melarang aku berhubungan dengan Dorran dikarenakan permasalahannya dengan Bibi Clarinda."

Ganti Ramon kini yang mengerutkan kening. "Kenapa? Apa hubungan Dorran dengan Clarinda?"

"Clarinda adalah mamanya Dorran," jawabku.

"Oh, begitu rupanya. Aku ingat ia baru menikah dengan Eneas saat itu," gumam Ramon.

"Dulu kau benar-benar mencintai mama?"

Ia mengangguk. "Dengan segenap hati. Mamamu wanita tercantik yang pernah kutemui."

"Menurutmu, kenapa ia tak mau ikut denganmu saat itu?"

Ramon menghela napas. "Yang kutahu, ia Ketua Coven saat itu. Mungkin karena itu, dia tak bisa meninggalkan coven-nya."

"Lalu kenapa ia keluar dari perkumpulan penyihir jika hal itu menurutnya penting?"

Ia tersentak. "Apa? Alanna keluar dari coven? Kenapa?"

Aku memutar bola mata. "Justru aku sedang mempertanyakannya padamu. Kenapa?"

Ramon bangkit. Wajahnya memucat. "Ini ... aneh. Ia lebih memilih coven-nya saat itu daripada aku, tapi kenapa dia justru keluar dari perkumpulannya?"

"Bibi Clarinda pun menganggap Mama aneh dan berubah drastis sejak kau tinggalkan. Mama bahkan menganggapnya sebagai musuh. Dia selalu sibuk dengan berbagai percobaan ramuan-ramuan aneh yang ... sedikit mengerikan, juga membahayakan."

"Ramuan apa?" tanyanya cepat.

Aku mengangkat bahu. "Mana aku tahu? Dia tak pernah memberitahu atau menjelaskan apa pun padaku. Ia hanya kerap menyuruhku mencari bahan-bahan ramuan, seperti jantung hewan, tanaman beracun, dan bahan-bahan aneh lainnya. Mama bahkan pernah mengambil darahku secara paksa."

"Mengambil darahmu? Kapan?" cecarnya lagi.

"Seingatku saat aku kecil. Ia pernah pula membawaku mencari tanaman-tanaman berbahaya."

Aku teringat sesuatu seketika. "Oh, pernah dulu ada seorang lelaki yang cukup sering menemuinya. Aku tak tahu siapa dia. Mereka kerap berbicara berdua saja di ruang ramuan. Lalu, Mama akan pergi bersamanya selama beberapa hari, meninggalkanku sendiri begitu saja. Untunglah aku bisa menginap di rumah Bibi Clarinda."

"Ia memang ingin keluar atau terpaksa keluar dari coven? Kuharap bukan karena dia melakukan hal yang terlarang," gumam Ramon.

"Hal terlarang seperti apa?"

Ramon mendesah. "Mempelajari kitab iblis."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro