CHAPTER 4. THE TRUTH AND THE CHANCE
Mataku beberapa kali tak sengaja beradu dengannya. Dorran bersiaga begitu waspada.
Ramon tercenung. Bruno duduk di sebelahnya dalam sikap tak tenang.
Alrico duduk bersama sepasang manusia serigala berambut pirang. Si Ketua Alpha, mate-ku, terlihat gelisah di sofa panjang, diapit dua lelaki yang tadi bersamanya.
"Sepertinya ini akan seru," celetuk seorang lelaki berambut hitam acak-acakan yang duduk di sebelah kiri Ketua Alpha.
"Diam kau, Javiero," gerutu si Ketua Alpha. Ia mengedarkan pandangan kini ke arah semua yang hadir di ruangan. "Terlepas dari soal mate-ku, aku belum mendapat jawaban tentang siapa yang menghancurkan patung-patung di luar sana."
"Tenanglah dulu, Aro," sahut lelaki bermata biru di sebelah kanannya. Ia berwajah paling tenang di antara semua.
Aro? Nama pendek dari Aldevaro?
"Bagaimana aku bisa tenang, Arlo? Itu patung-patung yang kubuat dulu waktu kecil bersama papaku!" sahut Aro sengit.
"Kita punya beberapa masalah di sini. Hubungan Ramon dan penyihir, patung, dan mate. Mana yang mau dibahas lebih dulu?" tanya Arlo.
"Ma— patung!" serunya cepat.
Aku meliriknya tajam. Hanya patung-patung jelek saja begitu dipermasalahkan.
Lelaki berambut pirang mendadak tertawa kecil. Sontak semua menoleh ke arahnya.
"Kenapa kau tertawa, Ravantino? Kau kira ini lucu?!" hardik Aro.
"Bukan." Ravantino berusaha mengendalikan tawa. Dia menunjukku dengan telunjuk kemudian. "Dia ... mate-mu lucu." Ia justru makin tergelak kini.
"Rava," tegur wanita pirang di sebelahnya. "Jangan makin mengeruhkan keadaan."
"Sebenarnya, hancurnya patung-patung itu sebagian karena ulahku," ujar Alrico pelan. "Aku tak bermaksud begitu, Aldevaro. Lelaki penyihir itu terus menyerangku."
"Kenapa kau tak melawan?!" bentak si Ketua Alpha.
"Kukira tadinya gadis itu putri Mateo. Aku tak mau salah bertindak," sahut Alrico.
"Aku Dorran, sahabat Luzia dari kecil. Kami sangat dekat. Bisa dikatakan, aku adalah pelindungnya," ucap Dorran.
"Saking dekatnya, dia sudah tahu bagaimana tubuhku saat berubah wujud menjadi serigala," ujarku, sengaja memamerkan senyuman penuh arti.
"Apa?!" Si Ketua Alpha bangkit sambil menggeram.
Javiero segera menahan dan memaksa ia kembali duduk. Aro menatapnya sengit, tetapi yang ditatap malah membalas dengan seringai.
"Aro, jika kau tak bisa bersikap tenang, kita tak bisa membicarakan semua masalah ini sekarang," tegur Arlo.
"Tetua Ramon, mungkin sebaiknya kau saja yang memimpin pembicaraan," ucap wanita berambut pirang.
"Ya, Keana benar," sahut Alrico.
Arlo mengangguk. "Aku setuju. Silakan, Tetua Ramon."
Ramon mendesah. Mata kami bertemu. Aku segera melengos, memandangi Dorran. Geraman rendah terdengar dari Aro.
"Luzia putriku saat aku bersama Alanna. Kami tak pernah bertemu sebelumnya. Ia mencariku kemari, aku mengira mungkin karena diberitahu oleh Clarinda." Pandangan kami kembali bertemu. "Luzia, tebakanku benar, bukan?"
Aku menatap Ramon nyalang. "Kau membuat aku dan Mama menderita sekian lama. Kau penyebab semua kebenciannya padaku!"
Ia menatap sendu ke arahku. "Aku tak pernah bermaksud menyakiti kalian, terutama mamamu. Aku sungguh mencintainya dulu. Ia yang tak pernah lagi mau menemuiku, bahkan tak membolehkanku bertemu dirimu, Luzia."
"Itu karena kau mengkhianatinya atas perintah Alpha Javier!"
"Hei, papaku tak pernah menyuruh siapa pun berkhianat!" sahut Aro.
"Kau tahu apa?! Buktinya ia menyuruh betanya menikahi wanita lain!"
"Itu karena ibuku adalah mate-nya!"
Darahku mendidih, kali ini menatap Bruno nanar. "Mamaku adalah wanita pertama yang ia cintai dan telah mengandung buah cinta mereka! Kenapa dia begitu pengecut meninggalkannya hanya karena seorang mate?!"
"Bagi kaum manusia serigala, mate adalah segalanya," jawab Arlo.
"Aku tak peduli! Itu bukan sebuah alasan! Bagiku dia tetap bersikap pengecut saat memutuskan menikah dengan wanita lain saat mamaku mengandung anaknya!" Tanganku mengepal erat.
"Lalu apa urusannya dengan patung-patungku?!"
"Diamlah, Aro!" teriak semua, kecuali aku dan Dorran, hampir bersamaan.
Aro mengedarkan pandangan, memandang kesal, lalu menyandarkan punggung ke sofa seraya mendengkus. "Ini rumahku. Itu patung-patungku. Ramon bermasalah dengan mate-ku. Kenapa kalian yang begitu galak padaku?"
"Aku belum mengakuimu sebagai mate!"
Ia sontak menegakkan tubuh kembali dan memandangiku sengit. Aku memberanikan diri menentang mata birunya kini.
"Aku pun belum berpikir untuk mengakuimu secara resmi!" balasnya. "Aku harus lihat dulu, apa kau pantas jadi pendampingku!"
"Aro!" tegur Arlo.
"Kau pikir aku bersedia?! Patung jelek saja kau permasalahkan begitu besar!" sahutku tak kalah ketus. "Aku yang menghancurkannya! Kau mau apa?!"
Dia sontak berdiri. "Kau cari mati?!"
Javiero tertawa keras, hingga tersandar ke pinggiran sofa sambil memegangi perut. "Sudah kuduga ... ini akan seru!" Ia terus tergelak, tak memedulikan Aro yang kini melotot ke arahnya.
Kurasakan sentuhan di lengan. Aku menoleh dan beradu mata dengan Dorran yang tengah menatap sambil menggeleng pelan.
"Kembali ke soal Tetua Ramon, lantas apa yang kau inginkan?" tanya Ravantino dengan lengkungan mengukir di bibir. "Pengakuan? Uang?"
"Rava!" sergah Keana.
Lelaki berambut pirang mengangkat bahu. "Itu yang kubaca dari pikirannya."
Apa maksudnya? Si Pirang itu pembaca pikiran?
"Luzia tak bermaksud begitu! Ia sungguh menderita selama ini karena kebencian ibunya. Dia hanya ingin Ramon bertanggung jawab dan memperbaiki masalah yang ada," jawab Dorran dengan nada kesal.
"Dengan apa? Uang? Pengakuan? Aku berani bilang, dia tak benar-benar menginginkan nyawa Ramon," cetus Ravantino seraya tersenyum tipis. "Ia bahkan tak tahu apa yang ia ingin lakukan sekarang."
Aku bangkit. Bibirku bergetar.
Bagaimana ia bisa tahu kekacauan di dalam pikiranku? Dia benar-benar bisa membacanya?
"Kalian semua sama! Suka mengambil keuntungan dari kelemahan wanita!" geramku.
"Hanya jika kau membiarkan mereka berpikir begitu, Luzia."
Perhatianku beralih pada Keana. Matanya fokus ke arahku.
Aku tak mengerti. Kapan aku membiarkan mereka berpikir begitu?
"Pastikan apa yang ingin kau lakukan sekarang. Kami tak bisa melakukan apa pun, jika kau bahkan tak tahu apa yang akan kau putuskan." Kali ini Ravantino berucap dalam nada lebih lembut dan wajah lebih ramah.
"Katakan, Luzia, apa yang harus kulakukan agar kau memaafkanku dan percaya padaku?" tanya Ramon lirih.
"Aita, tak perlu berpanjang kata dengannya. Pikiran sempit tak akan bisa menerima kebenaran," sahut Bruno tandas.
"Bruno, dia kakakmu," gumam Ramon.
"Aku tak mau mengakuinya sebagai saudara!" cetusku.
"Kita sependapat!" sahut Bruno geram.
"Bruno!" Ekspresi Ramon tampak masygul meski nada suaranya meninggi.
Terdengar helaan napas dari Keana. "Sebaiknya kita keluar dulu. Biarkan Ramon berbicara dengan putrinya."
Para manusia serigala itu saling berpandangan sebelum mengangguk dan bangkit. Aro terlihat berat meninggalkan ruangan, tetapi Arlo menarik lengan lelaki itu agar mengikutinya bersama yang lain.
Dorran meminta persetujuanku melalui mata. Aku memberinya anggukan. Ia pun bangkit dan ikut melangkah pergi.
Tinggallah aku dan Ramon di ruangan tamu sang Ketua Alpha. Keheningan merayapi selama beberapa saat.
"Luzia ...."
"Apa kesalahanku, hingga ia begitu membenciku?" tanyaku dengan nada penuh tekanan.
Ramon menghela napas. "Ia tak membencimu, Luzia. Dia hanya terlalu membenciku."
"Kenapa kau menikahi wanita lain? Benarkah hanya karena alasan mate?"
Tatapan kami beradu. Entah kenapa, di mataku ia terlihat lelah meski penampilan fisiknya masih gagah. Lelaki itu seperti menyimpan beban yang sangat berat.
"Aku tak punya pilihan saat itu. Viona mate-ku. Aku tak bisa mengabaikannya. Namun, Alanna adalah wanita pertama yang kucintai. Ramon menghela napas panjang. "Ia seharusnya tak menolak saat aku mengajaknya menemui alpha-ku dulu."
Aku membisu. Benarkah ini sebuah kebenaran? Kenapa mamaku tak mau ikut saat ia hendak membawanya? Lalu salah siapa semua ini?
Yang paling mengesalkan, mate-ku adalah putra alpha yang menyuruh papaku menikahi wanita lain. Takdir sungguh menggelikan!
"Luzia, jika kau memaafkan dan menerimaku sebagai papamu, aku bersumpah akan memperbaiki semuanya untukmu," ucapnya dengan suara bergetar. "Namun, tak ada yang bisa kulakukan untuk mamamu, setidaknya saat ini. Aku tak yakin hubungan kami bisa diperbaiki."
Aku membisu. Apa keputusanku? Haruskah aku menerima dan memaafkannya?
"Beri aku waktu. Aku belum tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Semua begitu membingungkan. Selama ini aku hanya mendengar dari satu sisi. Kenyataan yang kau katakan baru pertama kali aku dengar. Aku sungguh tak tahu harus bagaimana."
Kami saling berpandangan. Namun, bisa kulihat matanya berbinar dan memancarkan kehangatan.
"Tentu. Kau bisa memutuskannya kapan pun kau mau. Sementara itu, izinkan aku melakukan tugas sebagai papamu," ujarnya.
Keningku berkerut. "Maksudmu?"
"Tinggallah bersamaku sampai kau memutuskannya. Aku ingin mengisi waktu kita yang sempat terbuang."
***
Wp sekarang kok sering eror ya. Saya mo update aja susah bener ampe harus ngeklik berkali-kali. Aish. Notif memperbaharui juga ga ada. Heran dah, makin sering diupdate aplikasinya kok makin sering eror dan ga senyaman dulu. Lebih bagus yang versi lama.
Sebel. Dah ah gitu aja. selamat membaca buat yang suka dan udah menunggu dengan setia.
Jangan lupa vote dan komen ya. Kritik saran juga boleh. Makasih.
14/03/2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro