CHAPTER 3. THE NEW TROUBLE
"Destrozar!"
Serangan mantra penghancur benda meluncur dari tanganku, menderu menerpa dua penjaga yang menatap nanar. Mereka jatuh terpental dan memuntahkan darah segar.
"Ada apa ini?!"
Aku menoleh. Seorang lelaki berkulit kecokelatan, berambut keriting, bertelanjang dada, muncul, dan berdiri di tangga rumah, mengawasiku penuh curiga. Dorran spontan maju, dalam sikap waspada.
"Di mana Ramon?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Ramon? Dia tidak tinggal di sini. Ini kediaman mendiang Alpha Javier yang sekarang menjadi rumah putranya, Aldevaro. Ia sedang tak di sini," jawabnya dengan kening berkerut. "Kalian mencari siapa? Kenapa menyerang penjaga?"
"Kau siapa?" Dorran kali ini angkat bicara.
Lelaki itu memiringkan kepala seraya menyunggingkan senyuman dalam ekspresi antara takjub atau keheranan. "Aku siapa? Seharusnya aku yang tanya, kalian siapa?"
"Aku bertanya lebih dulu," balas Dorran.
"Aku berada di sini lebih dulu! Aku bukan tamu!"
"Bagus! Kau kenal Alpha Javiero, berarti kau layak mati!" sahutku sengit.
"Hei! Tunggu!"
"Destrozar!"
Lelaki itu sigap menghindar. Serangan mantra penghancurku mengenai salah satu patung serigala yang semula berdiri kokoh di sisi kiri tangga, hingga hancur tak berbentuk.
Suasana sempat hening beberapa saat, lalu seketika berubah riuh. Para penjaga lain bermunculan, masuk ke arena pertarungan dalam teriakan-teriakan ganas dan gaduh.
"El incendio!" Kali ini Dorran melancarkan serangan mantra bola api ke arah si dua penjaga.
Mereka berhasil menghindar, tetapi patung serigala di sisi kanan ikut tertimpa sial. Kobaran api dalam bentuk bulatan kecil membakar hangus benda itu, hingga hanya terlihat percikan kemerahan yang tertinggal.
"Serang!"
Salah satu penjaga berteriak dalam nada panjang seakan memberi perintah. Kembali mereka maju dalam sikap lebih brutal dan penuh rasa marah.
Aku dan Dorran menyambut mereka dengan serangan mantra penghancur dan bola api bertubi-tubi dan berbarengan. Patung-patung serigala yang ada di sisi bawah tangga turut terkena sasaran. Para penjaga berpentalan, jatuh bergulingan.
Pemandangan halaman rumah kini berantakan, ditambah tubuh-tubuh penjaga yang terluka bergelimpangan. Kulihat lelaki berambut keriting tadi muncul kembali setelah sempat masuk ke dalam rumah beberapa saat.
Ia menatap marah melihat kekacauan yang ada. "Kalian keterlaluan! Memangnya ada kesalahan apa, hingga kalian melakukan ini?!"
"Siapa yang berani mengganggu kediaman Ketua Alpha?!"
Seorang lelaki lainnya muncul dari pintu gerbang. Rambutnya yang panjang terlihat setengah basah oleh keringat.
"Beta Bruno! Akhirnya kau datang. Dua orang itu membuat keributan tanpa alasan yang jelas!" seru salah satu penghuni dalam rumah yang melongok dari balik pintu.
"Bruno! Mana Aldevaro? Kenapa ia tak kembali bersamamu?" teriak lelaki bertelanjang dada.
"Ia masih ada urusan bersama Alpha Javiero dan Arlo, Alpha Alrico," jawabnya lantang. Mata hijau lelaki itu mengawasiku dan Dorran penuh kewaspadaan. "Siapa mereka?"
"Mana aku tahu? Aku sedang menikmati sarapan, mereka tiba-tiba datang dan berbuat onar!"
"Jangan bersikap seakan kami tak terlihat!" bentakku.
"Di mana Gamma Hugo?!" teriak beta itu entah pada siapa, mengabaikan ucapanku.
"Ia sudah pulang ke pack menemui mate-nya!" sahut si Alpha Alrico.
"Apa yang kalian mau? Siapa yang kalian cari?!" tanya Bruno kini padaku dan Dorran.
"Aku mencium bau serigala di tubuh gadis penyihir itu, Bruno!" seru si Alrico. "Jangan berubah wujud dan menyerang sebelum tahu siapa mereka! Aku curiga, jangan-jangan ia anak Mateo!"
"Apa mungkin tetua itu memiliki istri diam-diam tanpa memberitahu kita?" tanya Bruno heran.
"Siapa tahu? Tidak ada larangan buat penyihir untuk memiliki simpanan," ujar Alrico serius.
"Banyak omong! Dorran, bagianmu si Keriting! Bruno bagianku!" bentakku.
Dorran pun melangkah maju ke arah depan, sementara aku berbalik menghadapi si Rambut Lepek. Kami menyerang serentak.
"El incendio!"
"Destrozar!"
***
Bruno berkali-kali jatuh bergulingan dan jungkir balik demi menghindari tiap serangan. Gerakannya cepat dan tangkas. Ia membuatku menjauh dari pintu gerbang, lalu mengarah ke tangga, hingga aku bersebelahan dengan Dorran.
Di sisi lain, Alrico pun tampak mulai kewalahan. Herannya, ia tak berusaha balik melawan Dorran. Ia hanya bersembunyi sesekali di balik jejeran patung tersisa yang akhirnya terkena sasaran.
Dorran mengikuti gerakan Alrico yang mulai bergulingan ke sisi kanan. Posisi kami kini saling berlawanan.
"Ramon! Keluar kau!" hardikku ke arah pintu rumah.
"Luzia! Ada serigala!"
"Bunuh saja, Dorran!" sahutku tanpa menoleh.
"Aku tak bisa menyakitinya!"
"Bunuh saja, Dorran! Itu manusia serigala, bukan hewan biasa!"
"Tetap saja! Aku pantang menyakiti hewan!"
"Kau bodoh!"
Aku sedikit menoleh melalui bahu, mengibaskan tangan sembari berniat mengucap mantra. "Destroz—"
Belum sempat menyelesaikan mantra, sudut mataku menangkap luncuran sebuah anak panah. Terpaksa kuurungkan mantra, bergerak sedikit membungkuk ke bawah. Aku menatap sengit melalui bahu ke arah si penyerang sebelum memutuskan berbalik arah.
Kuangkat tangan, siap balik menyerang. Namun, aku mengurungkannya saat mendengar kata-kata si penyerang.
"Kau Luzia? Tujuanmu mencari Ramon, bukan?"
Aku menyipitkan mata. "Ya, kau tahu di mana dia?"
"Aku bahkan tahu siapa dia dan kenapa kau mencarinya," ujarnya.
Aku menaikkan sebelah alis, menatapnya dalam sikap ragu. Dorran mundur dan berdiri di sampingku.
"Maksudmu?" tanyaku penasaran.
Wanita berambut ikal pirang itu mengembalikan busur ke balik punggung. Sikapnya begitu tenang. "Kau putri Alanna, bukan? Ramon ayahmu."
Wajahku memanas, menatapnya nanar. "Aku tak sudi mengakui dia sebagai papa! Aku hanya ingin membuat lelaki itu membayar atas perbuatannya pada mamaku!"
Terdengar suara geraman marah dari arah sampingku. "Ayahku tak mungkin memiliki putri penyihir sepertimu!"
Aku sontak menoleh. "Kau putranya?" Pandanganku berubah nyalang. "Kau mati hari ini."
Tanganku kembali terangkat. Namun, lagi-lagi ucapan wanita itu mengagetkanku.
"Ramon pun ingin bertemu denganmu! Dia selalu berusaha menemuimu dulu. Ibumu yang tak pernah mengizinkannya," ujarnya.
"Omong kosong! Dia pembohong!" teriakku. "Kalian mati hari ini!"
***
Wanita pirang itu terus mencoba menjelaskan tentang betapa pedulinya Ramon padaku. Seakan-akan dia tahu persis apa yang terjadi di waktu dulu. Hal ini membuatku semakin marah sekaligus meragu.
Belum lagi saat aku mendengar dari si Rambut Keriting soal apa yang terjadi pada Alpha Javier. Ia sudah tiada dan digantikan oleh putranya yang kini menjadi Ketua Alpha.
Bahkan kemunculan Ramon tak lama kemudian, membuatku dilema. Meski aku sempat melukainya, ia berusaha menghalangi Bruno yang balas menyerang dalam wujud serigala.
"Jangan, Bruno! Dia kakak tirimu!"
Apa-apaan ini? Kenapa ia ingin melindungiku? Benarkah dia begitu memedulikanku seperti kata wanita itu?
Serigala Bruno menggeram, mengabaikannya, lalu menerjang ke arahku. Aku dan Dorran siap menyambut dengan serangan mantra. Ramon berlari ke tengah kami.
Detik kemudian, semua seperti terhenti seketika. Aku tak ingat apa-apa.
***
Kesadaranku pulih seiring waktu yang seakan berjalan normal kembali. Namun, ada posisi yang berubah. Ramon dan Bruno kini berdiri di dekat tiga lelaki asing bertubuh tinggi kekar berotot.
Aku hanya sempat menangkap ucapan tentang menghentikan waktu dari bisik-bisik antara wanita pirang dengan lelaki yang sebelumnya menyerang Dorran dalam wujud serigala.Namun, kehadiran lelaki bertubuh paling kekar di hadapanku membuatku gemetar saat aromanya mulai tercium. Ia menggeram, menatap sisa serpihan dan onggokan patung.
Tidak, ini tak mungkin! Kenapa justru muncul masalah baru?!
Aku melangkah mundur dengan wajah mungkin sepucat mayat. Tanganku terasa dingin saat mengepal erat.
"Siapa yang ingin mencari mati menghancurkan patung-patungku?!" bentaknya.
Serigala di dalam diriku melolong penuh kebahagiaan. Aku menggelengkan kepala dalam kepanikan.
"Luzia?" bisik Dorran terdengar cemas.
Aku terus melangkah mundur dengan tubuh makin gemetar. Lelaki berambut hitam kebiruan itu kemudian menoleh cepat ke arahku saat mulai membaui sesuatu.
Ia menatap lebar ke arahku. Dorran menatapku semakin cemas kala aku semakin melangkah mundur dan sedikit terhuyung.
Angin bertiup pelan. Suasana hening mencekam. Tak ada yang berani bersuara, hingga terdengar ia mengucapkan kata yang kutakuti.
"Mate!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro