Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 20. LOVE AND HATRED

Saat semua sibuk dalam pertarungan sengit, Allan terlihat menyusul masuk ruangan. Ia segera terjun membantu Nicolas.

Lalu entah dari mana, Ivy berkelebat masuk. Ia sempoyongan melangkah langsung menuju altar. Tatapannya penuh kemarahan.

"Alpha sialan itu berpikir bisa membunuhku dengan mudah. Huh! Untung mate-nya yang bodoh itu justru membantuku." Ia menatapku tajam. "Kau harus mati," desisnya. "Hanya aku yang pantas menjadi pengantin Nicolas." Ia bergerak sambil mengarahkan tangan ke leherku.

"Destrozar!" Mama melancarkan serangan mantra penghancur pada Ivy.

Ivy terlambat mengelak. Ia mendesis beberapa saat sebelum menatap garang kepada mamaku. "Kau pikir sihir rendahanmu berpengaruh padaku?! Pain! Pain! More pain!"

Mama membungkuk seraya memegangi kepala dan menjerit tinggi seketika. Ivy mendekati, lalu melemparnya, hingga membentur lantai pinggiran kolam begitu kuat.

Aku merasakan hawa hangat mulai mendesak di tubuhku seiring rasa amarah. Kuarahkan telapak tangan sebisa mungkin kepada Ivy seraya menatapnya penuh kemarahan dan kebencian.

Ivy tiba-tiba terpental seperti ada sesuatu yang menghantamnya dan membuat ia jatuh ke kolam. Dia berteriak-teriak murka seperti mencaci dalam bahasa yang tak kumengerti saat melihat sebelah lengannya yang digunakan untuk melempar mamaku kini telah putus.

Aku ingat cerita soal bakat baru luna yang telah diklaim. Apakah itu berasal dari kekuatanku?

Mama mengusap cairan merah yang keluar dari hidung, lalu buru-buru berusaha bangkit. Ia terhuyung saat meraih belati yang dilemparkan sebelumnya oleh Nicolas di lantai, dan bergegas memotong tali-tali pengikat untuk membebaskanku.

Ia memelukku untuk pertama kali disertai tangis tertahan. "Maafkan Mama. Kau harus pergi, Luzia. Selamatkan dirimu."

"Tidak, Mama. Aku tak akan meninggalkanmu!" tolakku dengan suara serak.

Mata wanita itu menatapku hangat. "Mama berutang padamu dan juga Dorran. Mama minta maaf. Mama harus mengakhiri apa yang telah Mama mulai."

"Apa maksud Mama? Aro dan para lucis akan mengurusnya. Aku akan melindungi dan menjaga Mama," isakku.

"Lilith tidak akan pergi kecuali Mama mengucapkan mantra pembatalan dan melakukan pengorbanan. Kekuatan alpha-mu itu hanya bisa menahannya sementara, tapi tak dapat membunuh atau mengusir iblis itu, Luzia.

"Kita harus lakukan sekarang sebelum semuanya terlambat. Kau harus membaca mantra bersamaku agar lebih kuat, lalu tusukkan belati ke tubuhmu lalu ke jantungku. Patuhi Mama untuk yang terakhir. Apa pun yang terjadi, kau harus kuat dan teruslah hidup."

"Mama ...," isakku sambil mengenggam erat salah satu tangannya.

Ia mengecup keningku. Sesuatu yang perih terasa di telapak tangan, membuat aku tersadar dan terpaksa melepaskan genggaman. Mataku melebar saat melihat belati itu kini bernoda merah.

"Mama mencintaimu, Luzia."

Mama tersenyum, lalu bergegas berbalik melangkah menuju kolam. Dia mengejutkan Ivy yang baru saja berhasil naik ke tepi kolam sebelum dengan cepat memberikan sebuah tikaman di sala satu mata oscuro itu.

Mama meraih belati di antara serpihan abu dari sisa tubuh Ivy, lalu menyodorkannya padaku. Aku mendekat, meraih, dan menggenggam erat belati itu dengan tangan bergetar.

Ia lantas menghadap ke arah Lilith yang masih sibuk bertarung dengan Aro. "Kepada alam semesta, aku, Alanna, dengan ini membatalkan perjanjian dengan Lilith, Dewi Kegelapan. Aku rela darah dan kematianku sebagai jalan pengantar ia kembali pulang!"

"Tidak!" teriak Lilith geram dalam kepanikan seraya menghindari amukan api biru Aro.

Aku menguatkan diri mengikuti mantra. Air mata mengalir tak terbendung.

"Kepada alam semesta, aku, Luzia, dengan ini membatalkan perjanjian mamaku, Alanna, dengan Lilith, Dewi Kegelapan. Aku merelakan darahku dan kematian mamaku sebagai tumbal untuk jalan pengantar ia kembali pulang!"

Kukuatkan tekad, menikam perutku sendiri sebelum mencabut dan menusukkannya ke jantung mama. Tatapan kami bertemu dalam deraian air mata.

"Mama, aku mencintaimu dan memaafkanmu ...," bisikku serak sebelum melepaskan pegangan dari belati.

Kulihat samar, tubuhnya jatuh ke kolam. Air kembali memerah. Aku terus menatap wanita tercintaku itu dalam tangis.

Aku tak peduli rasa nyeri dan perih di perutku. Rasa sakit itu tak berarti jika dibandingkan dengan perasaan kehilangan yang kurasakan.

Terdengar pekikan penuh kemarahan dari Lilith dan juga Nicolas. Sempat pula kudengar teriakan Aro. Suara gaduh kemudian berubah menjadi dengung di telinga.

Aku seperti tak mendengar apa-apa. Mataku kemudian menatap samar Lilith yang perlahan lenyap dalam gumpalan cairan darah.

Nicolas terlihat menjerit sebelum rubuh dan tergeletak di lantai, disusul kemudian oleh Allan. Bayangan Aro terlihat berlari menghampiriku.

Ia tampak sangat panik dengan mata basah memerah. Mulutnya tak henti meneriakkan sesuatu berkali-kali sambil mengguncang-guncangkan tubuhku.

Aku tak mendengar apa pun. Suara dengung terus menutupi telinga, makin keras, hingga kegelapan menyelimutiku.

***

Mataku mengerjap perlahan. Suasana begitu tenang dalam keheningan. Aku menatap langit-langit dan mulai mengedarkan pandangan ke sekitar ruangan.

Sebuah wajah tertangkap oleh mata. Aro tampak menunduk kuyu, tetapi tatapannya berubah berbinar saat bertemu denganku. Ia melompat dari kursi seketika.

"Luzia! Kau sudah sadar? Apa yang terasa sakit? Katakan! Kau lapar? Tunggu sebentar!" cecarnya sebelum berlari dan berteriak keluar pintu kamar. "Arlo! Luzia-ku telah membuka matanya! Mate-ku sudah sadar!"

Sepi sejenak segera berubah menjadi gaduh saat Aro kembali masuk disertai Keana, Ayna, dan empat alpha. Keningku berkerut menatap mereka.

"Kita masih di istana?" tanyaku lirih.

"Kami baru saja membereskan semuanya. Nicolas dan Allan sudah kembali menjadi moroi dan telah dijemput oleh Tobias untuk dibawa pulang ke kerajaan mereka," ujar Kane.

"Tobias?" Aku lagi-lagi mengernyit.

"Paman mereka, adik dari Raja Stefan, Raja Moroi," sahut Keana lagi. "Aro telah berjanji akan mengembalikan kedua pangeran itu pada keluarganya sebagai balasan atas bantuan Kerajaan Moroi."

Seketika aku teringat pada enam teman baruku. Sesuatu seakan menekan tenggorokan. Cairan bening hangat pun mulai mendesak keluar.

"Sayangnya aku tak berhasil menunaikan janji pada mereka .... Demian, Damian, Victor, Marlen, Elena, dan Dimitri ...."

Wajah Dorran dan mama pun ikut terbayang di mata. Aku tak kuasa menahan isak. "Mama ... Dorran ...."

Kurasakan seseorang merengkuhku dalam pelukan erat. Aku mengenali aromanya. Tangisku semakin keras. "Aro ...."

"Itu bukan salahmu. Akulah yang gagal dan terlambat menyelamatkan mereka. Maafkan aku ...," gumam Aro di telinga sembari mengelus-elus kepalaku.

Aku makin menenggelamkan diri dalam dekapan. Ia pun semakin mengeratkan pelukan.

"Kami seharusnya menunggu persetujuanmu, tetapi ... Ramon semalam telah diberitahu soal Alanna dan ia bersama Mateo juga Bruno akan segera tiba di sini untuk menjemput jasad Alanna dan Dorran. Mereka akan segera dibawa kembali ke Trasmoz untuk dimakamkan di sana," ujar Keana hati-hati.

Aku mendongak. Mataku samar menatap Keana. "Orang tua Dorran ... sudah tahu?" Air mata keluar semakin deras. "Aku bahkan tak sanggup mengatakan pada mereka soal Dorran. Aku bersalah pada mereka!"

"Tenanglah, Luzia. Ramon telah berbicara pada mereka. Tidak ada yang menyalahkanmu. Clarinda dan Eneas menerima kenyataan soal Dorran. Mereka memaafkan mamamu," sahut Keana. "Clarinda bahkan mencemaskan keadaanmu."

Aro mendengkus. "Kecuali si Seina. Betina sialan itu berteriak histeris dan memaki-maki mate-ku melalui ponsel Ramon. Kurang ajar!"

"Yang terpenting sekarang Luzia sudah baik-baik saja. Lagi pula dia tak akan kembali tinggal di Trasmoz, bukan?" celetuk Alrico.

"Alrico benar. Yang lalu biarkan berlalu. Kita telah menyelesaikan tugas. Ini patut kita rayakan," ucap Ravantino.

"Jangan lupa, Vladimir mengundang kita untuk bergabung di pesta api unggun bersama para dhamter dan serigala pemburu," gumam Arlo.

"Strigoi benar-benar menyebalkan. Mereka tiba saat kita hampir selesai," dengkus Alrico.

"Kita tak bisa menyalahkan mereka. Strigoi hanya dapat keluar di malam hari," jawab Ravantino. "Setidaknya mereka punya niat untuk membantu."

"Tim Serigala Pemburu, aku, dan Keana, patut mendapat penghargaan atas usaha membantu menyediakan darah luna untuk para dhamter," celoteh Ayna.

"Ya, ya, ya, andai saja kau tak mengganggu saat aku menghadapi Ivy dengan rasa sakit dari tamu bulananmu yang datang mendadak, ditambah lemparan pisaumu yang justru mengenaiku," gerutu Javiero.

Ayna buru-buru menggayuti lengan Javiero. "Maafkan aku, Sayang. Aku sangat marah saat ia membuatmu kesakitan, ditambah nyeri karena tamu bulananku yang tiba-tiba saja datang. Jadi, lemparanku sedikit hilang kendali."

"Pantas saja Ivy berhasil kabur," gelak Ravantino.

"Kuakui, wanita itu sangat hebat. Pengendali Emosi miliknya mempengaruhi konsentrasiku menggunakan Penghenti Waktu. Awalnya aku cukup kewalahan, tapi aku sempat menghentikan waktu beberapa saat untuk membantingnya berkali-kali sebelum Ayna datang mengacau," timpal Javiero dengan ekspresi sedikit kesal.

"Setidaknya kau cukup membuatnya kesulitan berjalan," kilah Ayna.

"Baguslah, ia sudah jadi abu sekarang. Balasan yang cukup layak atas perbuatannya pada Alma dan pack-ku," ujar Aro geram. Ia menoleh pada Javiero seraya mengukir senyuman. "Keputusanku tepat menyerahkannya padamu untuk kau tindak. Karena, di antara kita semua, kau yang paling pintar menyembunyikan emosi."

"Oh, berhentilah tersenyum seperti itu, Aro. Kau membuatku takut. Namun, jika yang kau maksud perasaan cengeng seperti yang kau miliki, kau keliru karena aku tak memilikinya," balas Javiero kalem, disambut tawa dari Ayna dan juga yang lainnya.

Aro menggeram. Arlo pun berdeham.

"Sudahlah. Sebaiknya biarkan Luzia makan dulu dan istirahat," sela Arlo. Ia menatapku simpati. "Aku bisa menyembuhkan lukamu, tetapi aku tak bisa menghilangkan rasa sakit di hatimu. Namun, kami semua di sini bersamamu. Aku turut berduka atas kehilanganmu."

Aku mengangguk lemah. "Terima kasih ...."

Arlo balas mengangguk, lalu memandangi empat alpha bergantian. "Biar Keana dan Ayna menjaganya di sini. Kita pergi menjemput Ramon, Mateo, dan Bruno. Mereka sudah hampir tiba di Hoia."

Keempat alpha kompak memberi anggukan. Aro terlihat berat hati saat melepaskan rangkulan. Ia bangkit perlahan.

"Aku akan segera kembali. Kau makan dan istirahat saja di sini," ucapnya sembari mencoba membungkuk untuk memberiku kecupan.

Gerakan Ketua Alpha itu terhenti saat mendengar deham keras dari empat rekannya. Ia menegakkan tubuh kembali sembari melotot ke arah mereka.

"Siapa yang dulu sering mengejek dan menyindir saat aku bermesraan dengan mate-ku?" celetuk Javiero.

"Siapa yang dulu selalu marah saat aku mencumbu istriku?" sindir Ravantino.

Alrico tertawa. "Iya, siapa juga yang dulu ...." Tawanya terhenti saat mendengar geraman makin keras dari mulut Aro. Ia segera berbalik menggandeng lengan Arlo. "Ayo, kita jemput Mateo, Ramon, dan Bruno!"

Keana dan Ayna tertawa renyah hingga keempat alpha itu menghilang dari balik pintu. Kedua luna itu kemudian memandangiku.

"Waktunya mandi dan makan!" ujar mereka kompak.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro