CHAPTER 19. THE SACRIFICES
Aku terpaksa mengikuti langkah Nicolas hingga ke sebuah ruangan. Di ruang tengah, Victor, Marlen, Damien, dan Demian terlihat samar berlutut di lantai sembari mengernyit menahan sesuatu yang menyakitkan.
Meski demikian, mereka mendelik garang ke arah Ivy, kecuali Demian. Ia menatap sendu padaku. Aku segera mengusap air mata agar bisa melihat lebih jelas. Bukan saatnya sekarang untuk menjadi cengeng.
Di bagian depan ada sebuah panggung kecil beserta altar cukup lebar. Pada sisi kanan terdapat satu kolam kecil yang telah dipenuhi beraneka kelopak bunga.
Yang mengejutkanku adalah Dorran tampak duduk terikat di sebuah kursi, tak jauh dari pinggir kolam. Mama berdiri tanpa ekspresi di sisi altar, sibuk menyiapkan sesuatu.
"Mama ...," panggilku lirih. "Tolong lepaskan Dorran. Jangan libatkan dia ...."
Ia hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dan mengabaikanku. Terdengar decak disertai tawa sinis dari Ivy.
"Apakah masih butuh waktu lama, Alanna? Aku ingin segera bertemu Lilith!" Nicolas menggerak-gerakkan kerah baju seakan siap untuk membukanya sewaktu-waktu. Ekspresi lelaki itu tak terlihat menawan lagi bagiku.
"Aku bahkan belum mengganti baju Luzia dengan gaun pengantin yang kau siapkan, Nicolas," ujar mama.
"Tak perlu! Para lucis, luna, dan para dhampir di luar mulai memaksa masuk! Aku tak ingin ritual ini jadi terlambat dan sia-sia!"
Mama menghentikan gerakan tangan yang tengah mengukir sesuatu di sebuah belati. "Pengantinmu bahkan sudah diklaim, Nicolas. Aku tak bisa menjamin Lilith akan menerimanya."
"Itu urusanku dengannya nanti! Tugasmu hanya melaksanakan ritual pemanggilan Lilith!"
Mama membisu kini. Mata wanita itu beralih menatapku. Tak terlihat ekspresi kesedihan atau rasa bersalah di wajahnya. Ia berpaling kemudian ke arah Nicolas dan Ivy. "Taruh dia di altar."
Nicolas menoleh ke Ivy dan memberinya anggukan. Kudengar suara geram dari mulut Dorran saat wanita oscuro itu bergegas maju menghampiri dan menarik kasar lenganku menuju altar.
Aku ingin memberontak. Namun, kuputuskan membatalkannya saat mendengar suara desis, erangan, dan pekikan pilu dari empat oscuro sekutuku. Ivy sudah mengendalikan rasa sakit mereka.
"Alanna! Kau tega! Dia putrimu!" teriak Dorran tersengal. Ia terlihat setengah putus asa memandangiku dan mama bergantian.
"Kau bahkan tak bisa menyelamatkan dirimu sendiri, malah ingin mengurus Luzia? Huh, dasar penyihir dungu," dengkus mama.
"Luzia! Kau tak perlu memikirkan kami! Kau harus berjuang untuk hidupmu sendiri!" teriak Demian.
Dalam satu teriakan lantang ia menerjang ke arah Ivy. Aku tersentak seketika.
Belum sempat berpikir normal, kulihat Ivy mendelik ke arah Demian. Aku hanya mendengar jeritan pilu teman baruku itu sebelum Ivy berhasil mencengkeram dan merenggut kepalanya hingga lepas.
Aku tak sempat bereaksi kecuali melebarkan mata melihat pemandangan yang memilukan sekaligus sadis di depan mataku. Detik kemudian terdengar suara teriakan penuh kemarahan lagi dari Damian, diikuti Marlen.
Dua bayangan berkelebat sangat cepat. Mataku hanya menangkap sosok Nicolas dan Ivy kemudian berdiri angkuh sembari menyeringai melempar kepala yang ada di tangan mereka ke sudut ruangan.
Aku menjerit histeris. Dalam tatapan samar kulihat Victor turut berteriak murka sebelum menerjang ke arah Nicolas. Gerakan mereka seakan melambat beberapa detik sebelum kembali normal.
Dua oscuro itu pun segera terlibat pertarungan sengit. Dengan satu gerakan luar biasa cepat, Nicolas berhasil mengunci leher Victor dan merenggutnya paksa.
Tangisku bahkan tak bisa lagi cukup keras karena sudah terlalu serak saat melihat ke empat kepala oscuro tergeletak di lantai dengan mata terbuka. Air mata bahkan tak lagi terbendung.
Demi apa pun, mereka hanya ingin kebebasan. Aku gagal menunaikan janji pada mereka. Berbagai perasaan berkecamuk, antara marah, benci, dan sesal. Untuk pertama kali aku merasa sangat kehilangan.
Aku tak lagi ingin berupaya apa pun, bahkan hanya membeku saat Ivy dibantu Nicolas mengikat kedua tangan dan kakiku di empat sudut altar. Kupejamkan mata yang penuh cairan bening hangat.
Tubuhku terasa lemas dan gemetar. Jantung pun serasa hendak meledak disertai rasa panas membakar.
Kepalaku meneleng, menatap sendu dalam sisa isak ke arah Dorran. Perlahan kugelengkan kepala padanya dengan harapan ia tak akan melakukan hal yang sama dengan para sekutuku. Lelaki itu pun membalas dengan tatapan penuh sesal dan kecemasan.
Bayangan Aro lantas terlintas di mata. Kuharap ia baik-baik saja. Pertemuan kami begitu singkat. Aku tak tahu apakah hidupku akan masih sama setelah ini.
"Lekaslah, Alanna! Kau tunggu apa lagi? Jika si alpha itu berhasil menuntaskan proses kekuatannya, dan lucis lainnya berhasil menyerbu masuk, ritual akan gagal!" geram Nicolas tak sabar.
"Bukankah Kane yang bertugas membunuhnya?!" balas mama sengit.
"Kane? Membunuh Ketua Alpha Lucis? Dia masih bisa bertahan hidup saja sekarang sudah bagus," dengkus Ivy.
"Tutup mulutmu!" hardik Nicolas yang seketika membuat Ivy bungkam. "Di mana Allan?! Suruh dia membantu Kane!"
"Allan sibuk menghadang para lucis, luna, serigala pemburu, dan dhamter di depan bersama beberapa oscuro bangsawan lain dan sisa prajurit. Sudah kubilang, Dimitri dan Elena akan memberi masalah pada kita! Kau terlalu percaya pada mereka hanya karena kalian pernah berteman! Lihat hasilnya! Mereka tak lebih dari pengkhianat!"
"Diam kau! Pergi dan bantu Kane! Aku bisa mengurus semua di sini!"
Ivy merengut, melotot ke arahku sebelum akhirnya berbalik dan melangkah pergi tanpa kata. Perhatian Nicolas kini tertuju pada Alanna yang sibuk mengukir sesuatu di belati dengan jari telunjuk sambil komat-kamit membaca mantra.
"Alanna, kumohon, hentikan. Sadarlah, Luzia adalah putrimu satu-satunya!" teriak Dorran putus asa.
"Pilihannya adalah nyawanya sendiri atau putri dari lelaki yang ia benci, Penyihir Muda," dengkus Nicolas. "Kau pun akan mendapat giliran. Tunggu saja."
"Tidak! Lepaskan Dorran! Mama, kumohon, jangan biarkan mereka membunuh Dorran!" tangisku.
"Ritual pengorbanan untuk tumbal penyihir perjaka telah siap. Kau yang akan melakukannya," desis mama ke arah Nicolas, lagi-lagi mengabaikanku.
Siapa maksudnya? Penyihir perjaka? Mataku membeliak ke arah Dorran. "Tidak, Mama! Kumohon jangan! Aku tak akan memaafkanmu jika terjadi sesuatu yang buruk pada Dorran!"
Aku meraung disela teriakan parau. Kucoba melepaskan diri dari ikatan, tetapi tak kunjung berhasil. Mataku makin melebar saat melihat Nicolas meraih sebilah belati yang telah disiapkan dan mendekati Dorran perlahan.
Dorran meronta sembari mengucapkan kutukan dalam amarah pada mamaku. "Kau akan binasa dalam kesedihan di tangan orang yang mencintaimu, Alanna. Aku bersumpah! Demi arwah para tetua penyihir, aku mengutukmu!"
"Dorran!"
Tatapan kami kemudian bertemu. Dorran tersenyum tanpa rasa takut. "Aku selalu mencintaimu, Luzia! Jangan lupakan aku! Kau harus bahagia!"
"DORRAN!"
Jeritan parau panjang keluar dari mulutku saat melihat Nicolas menorehkan mata pisau dalam satu gerakan cepat dan kuat ke leher Dorran yang tak bersuara. Ia menendang tubuh lelaki itu kemudian ke kolam.
Air yang dipenuhi bunga-bunga seketika memerah. Tubuh Dorran perlahan tenggelam. Nicolas melemparkan belati ke lantai.
Tangisku tak terbendung. Keinginan untuk tetap hidup bahkan lenyap kini.
Aku sudah tak peduli. Mungkin mati adalah jalan yang lebih baik buatku. Setidaknya tak ada ingatan lagi tentang segala kesedihan.
Terdengar gemercik air di tengah kolam yang memerah oleh darah, membuat tangisku mendadak terhenti. Satu sosok tanpa busana, berbalut cairan merah beraroma amis muncul ke permukaan, melangkah anggun hingga ke tepi.
Mataku membelalak samar saat mengamati sosok perempuan berambut ikal panjang menutupi kedua dada dengan sepasang tanduk di kepalanya. Sekujur tubuh telanjang iblis wanita itu penuh ditutupi oleh darah, hanya menyisakan sepasang mata hitam pekat menatap dingin ke arahku.
Nicolas menunduk hormat padanya. Mama pun buru-buru bersimpuh dan menundukkan kepala.
"Selamat datang, Lilith, Dewi Kegelapan yang kami puja," sapa mereka serempak.
"Diakah yang akan dijadikan pengantin tumbal?" ujar Lilith dengan nada anggun, menunjukku dengan dagu.
"Betul, Lilith. Mohon kiranya kau menerimanya," sahut Nicolas.
Tawa yang mendirikan bulu kuduk seketika lolos dari mulutnya. "Ia sudah tak perawan dan bahkan telah diklaim. Kalian bercanda denganku?"
Nicolas buru-buru bersimpuh di samping mamaku. "Ada sedikit kesalahan. Mohon maafkan kami. Kuharap ada sesuatu yang bisa menutupi kesalahan ini."
Lilith meneleng ke arahnya. "Itu tak masalah buatku. Aku masih bisa menempati tubuhnya dan bercinta denganmu."
"Mohon maafkan aku, tetapi bukankah darah luna yang sudah diklaim berbahaya untukku?" ucap Nicolas dengan suara bergetar.
"Itu urusanmu. Salahkan saja penyihir di sebelahmu," gumam Lilith dingin. "Aku hanya akan melaksanakan kesepakatan sebelumnya, yaitu bercinta denganmu dan memberikanmu keturunan oscuro abadi. Kau boleh menumbalkan si penyihir itu untuk permohonan lain."
Mama terlihat tersentak. Ia segera bangkit. "Dalam perjanjian, kau akan memberiku perlindungan seumur hidup, Lilith. Kau sudah berjanji!"
"Sejak kapan iblis wajib menepati janji, Alanna?" ejek Lilith dalam tawa anggun. "Kau gagal menjaga calon pengantin tumbalku. Kau harus dihukum untuk itu."
Mama melangkah mundur. Ia menggeleng pucat. "Tidak! Kau tak boleh melakukan itu!" Dia menoleh pada Nicolas kemudian dengan wajah panik. "Nicolas! Ini salahmu! Katakan sesuatu!"
Namun, Nicolas tak menjawabnya. Dia perlahan bangkit. "Titahmu akan kulaksanakan, Lilith."
Ia perlahan menghampiri mamaku yang terus melangkah mundur. Tatapan Pangeran Oscuro itu terlihat bengis.
"Destrozar!"
Serangan mantra penghancur mama tak berhasil mengenai Nicolas. Pangeran itu bergerak cepat mengacungkan tangan ke lehernya dalam gerakan mencekik.
Mata mama bertemu denganku. Ia terlihat memohon. "Lu ... zia! To ... long Ma ... ma!"
Dadaku sesak saat mendengar ia mengucapkan permohonan pertamanya. Sebenci atau semarah apa pun, aku tak bisa mengabaikan wanita itu.
"Nicolas! Jangan bunuh mamaku!" teriakku panik. "Aku akan melakukan apa pun!"
Terdengar suara pintu yang hancur dijebol paksa. Aro berdiri gagah beserta tiga serigala alpha. Javiero dan dua luna tak terlihat bersama mereka.
Nicolas sontak menoleh dan melepaskan cekikan. "Di mana si keparat Kane itu?! Dia dan Ivy bahkan tak becus melakukan tugas!"
Aro menyeringai. "Kane berpesan akan menunggumu di neraka. Ivy sedang diajak bermain oleh Javiero. Hadiah atas apa yang ia lakukan pada Alma."
Nicolas menoleh panik pada sang iblis saat melihat Aro dan ketiga alpha perlahan masuk seraya menggeram. "Lilith ...."
Lilith mendengkus gusar. "Kau tunggu apa? Hadapi dan bunuh mereka!"
Nicolas segera memaksakan diri bergerak maju penuh waspada. Aro memberi kode pada tiga serigala untuk menghadapi si Pangeran Oscuro.
Dia sendiri kemudian melangkah ke arah Lilith. Sambil melemas-lemaskan dan membunyikan jemari tangan, si Ketua Alpha itu menyeringai seakan telah memiliki senjata yang siap untuk menghadapi sang iblis.
Nicolas dan tiga serigala segera saja terlibat pertarungan sengit di sisi agak jauh dari kolam. Sesekali terdengar lolong, dengking kesakitan, dan juga jeritan di antara mereka.
Lilith di sisi dekat kolam, menyipitkan mata memandangi Aro. "Sihir dari Selene dan si Tetua Penyihir Suci, huh?"
"Itu cukup untuk melawanmu!" teriak Aro garang seraya menerjang dengan selarik api biru keluar dari jentikan jari.
***
Hai, hai! Nah kali ini saya update dua bab. Gimana? Semoga suka. Oh ya, ini belum sempat saya edit ya. Jadi, kalau ada typo, atau kesalahan-kesalahan dalam penulisan dll, harap maklum. kalian bisa memberitahu saya kok. Saya akan senang hati jika ada koreksi dari kalian.
Jangan lupa kritik dan saran. Vote dan komen juga saya harapkan. Biar saya semakin semangat update-nya. Okeee?
Ohya doakan juga, semoga saya selalu sehat. Soale cuaca lagi ga enak. sekarang saya lagi meriang ini, batuk dan flu juga. Semoga cuma sakit biasa. aamiin.
Dah gitu aja. Sampai jumpa di update selanjutnyaaaaaa <3
07/02/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro