Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 18. SAVE ME

Aku tersadar di antara teriakan histeris yang seperti tertahan oleh sesuatu. Otakku masih belum berfungsi normal untuk menyadari apa yang terjadi.

Wajah seorang wanita berambut pirang keriting terpampang di depan mata. Aku mencoba mengingat-ingat sebelum berhasil mengidentifikasinya.

"Elena ... apa yang terjadi? Kenapa Victor ...." Mataku segera membuka lebar saat tersadar. "Florea dan Draco ...."

"Mereka dihukum mati oleh Ivy dan Nicolas. Victor hampir saja mengantarkan nyawa pada mereka jika saja kami tak melumpuhkannya," ujar Elena lirih. "Kami bahkan terpaksa harus memasukkannya ke dalam peti khusus. Si Kembar, Dimitri, dan Marlen sedari tadi menjaga dan menahan peti agar dia tak bisa keluar."

Teriakan histeris Victor kini berganti suara raungan seperti tangisan. Ia pasti sangat terluka. Si Kembar, Marlen, dan Dimitri pun tampak berduka.

"Victor sangat menyayangi Florea," gumamku. "Kalian pun juga sama, bukan?"

Elena mengangguk. Wajahnya sendu.

"Kami berteman cukup lama. Meskipun, pada awalnya Florea, Draco, dan Victor sulit kami dekati. Si Kembar dan Marlen yang lebih dulu akrab dengan mereka. Kemudian aku dan Dimitri pun mulai bergabung.

"Aku dan Florea sama-sama ingin hidup sebagai moroi, menikah, dan memiliki anak. Namun, Nicolas dan Kane merenggut kesempatan itu saat mereka mengubah kami menjadi oscuro."

"Karena itu, kalian bersedia membantuku ...."

Mata kami bertemu. Elena tersenyum getir.

Aku berusaha bangkit dan mendudukkan diri. "Aku harap Mateo dan para lucis benar-benar bisa mengabulkan keinginan kalian. Aku akan pastikan itu."

***

Tak ada yang kembali ke kamar masing-masing. Para oscuro sekutuku terlihat duduk melingkar, sibuk berdiam diri sambil sesekali bermain kode lewat gerakan mata.

Victor telah dibebaskan setelah berjanji tak akan bertindak nekat dan sembarangan. Dimitri dan Elena pun telah cukup lama pamit meninggalkan ruangan.

"Mereka di sini," celetuk Marlen tiba-tiba.

"Siapa?" tanyaku heran.

"Coba tebak," sahut Demian, disambut suara dengkus dari Damian dan delikan mata Victor.

Demian sengaja mengulur waktu dengan pura-pura menunggu jawabanku. Saat aku tak kunjung memberikan tanggapan yang diinginkannya, dia tersenyum cengar-cengir.

"Para tamu undangan kita," jawabnya seraya menerbitkan senyuman nakal di sudut bibir, diikuti kedipan mata.

Aku spontan mengerutkan kening. Selang beberapa saat, mataku membulat, memandangi Demian lekat-lekat.

"Marlen mendapat telepati dari Dimitri yang mengabarkan para lucis dan dua luna telah tiba di Transilvania. Mereka segera menuju Hoia," ujar Damian yang segera mendapat tatapan kesal dari saudara kembarnya.

"Kau tidak seru," cibir Demian.

"Kau menyebalkan," balas Damian.

Demian masih akan membalas, tetapi segera mengurungkan niat saat melihat ekspresi sangar Victor. Damian pun menyeringai ke arah saudaranya.

"Berhentilah bersikap konyol. Kita ada di situasi yang serius sekarang," omel Marlen.

Suasana pun beberapa saat kembali tenang. Ucapan Victor sebelumnya tentang mamaku kembali terngiang. Cairan bening hangat mendesak keluar dari mata dan mulai menggenang.

"Hei, kenapa kau menangis? Marlen tidak mengomelimu," celetuk Demian. Ia menoleh ke arah Marlen, menatap sengit. "Lihat, kau membuatnya menangis!"

Aku segera menyangkal dengan menggoyangkan telapak tangan berkali-kali. "Tidak, bukan karena itu." Helaan napas lolos dari mulutku. "Aku teringat ucapan Victor sebelumnya."

Demian beralih menoleh cepat ke arah Victor. "Kau membuatnya menangis!"

Damian seketika menepak kepala saudara kembarnya saat melihat delikan mata Victor. "Berhenti cari perkara!"

Demian meringis dan bersungut-sungut dalam suara yang tak jelas. Ia menggeser posisi mendekatiku tanpa mengangkat bokong. Mungkin karena ia seorang vampir, gerakannya hampir tak terlihat saking begitu cepat.

"Tenang, aku akan melindungimu dari mereka," bisik Demian, disambut lirikan tajam dari Victor, Marlen, dan Damian.

Ia pun makin merapatkan posisi tubuh. Sebelah lengannya menghalang di depan dadaku, seolah-olah khawatir ada yang akan menyerang. Melihat hal itu, Marlen menggerutu tak jelas, Victor melengos, dan Damian mengembuskan napas kesal.

Tanpa sadar sebuah senyuman terbit di bibirku. Entah kenapa, aku merasa ada kehangatan bersama Demian, Damian, Victor, dan Marlen. Sesuatu yang tak pernah kurasakan dalam hidupku.

Aku punya teman. Selama ini sahabatku yang terdekat sejak kecil hanya Dorran. Tak ada yang suka berteman denganku.

Mama bahkan membenciku. Hanya Dorran dan orang tuanya yang memperlakukan aku seperti keluarga.

"Aku ingin kalian tahu ... aku senang bertemu kalian," ucapku lirih sembari memandangi mereka satu per satu.

Victor menoleh pelan ke arahku. Ia terlihat bingung. Matanya memancarkan cahaya seperti mata bayi yang tengah berusaha mengenali seseorang saat pertama kali.

Marlen pun turut memandangi. Ia hanya memberi senyuman tipis yang samar. Damian berdeham dan memilih menghindari tatapan.

Demian sigap memelukku dari samping seraya memamerkan senyuman lebar. "Aku juga!"

Pintu mendadak terbuka. Elena muncul bersama satu sosok yang sontak membuatku melebarkan mata.

"Aro!"

"Victor! Marlen! Demian Damian! Tidak ada waktu lagi! Para lucis, luna, dhamter, dan beberapa dhampir sudah menyerang istana! Kita berperang hari ini bersama mereka! Ayo, ikut aku!" Elena menatapku kemudian. "Kau! Biarkan alpha-mu mengeklaim! Lakukan secepatnya!"

Ia mendorong Aro masuk sebelum berbalik dan kembali bergegas pergi. Victor, Marlen, Damian segera beranjak, lari mengikutinya. Demian menatapku ragu beberapa saat sebelum teriakan Damian serta Marlen dari luar membuat ia pun bangkit menyusul mereka.

Aro menutup pintu ruangan. Ia melangkah mendekatiku perlahan.

Napasku seakan tertahan saat wajahnya semakin mendekat. Mata lelaki itu berbinar seraya memperlihatkan ekspresi kemarahan.

"Kau lihat, bukan? Aku sudah bilang! Ini tak akan terjadi jika saja kau mau kuklaim saat di pack! Berani sekali kau membuatku merindukanmu seperti orang gila!"

Aku tak kuasa menahan perasaan yang membuncah. Kutarik kerah bajunya, membungkam mulut alpha itu dalam lumatan ganas sebelum melepasnya kembali dengan napas terengah. "Klaim aku sekarang!"

***

Perkiraanku salah. Keinginan Aro bukan hanya pengeklaiman. Ia memperhitungkan semua kesalahanku dalam proses mating yang cepat dan hebat.

Aku pun menerima saat dia mengentak ganas, menuntaskan semua gairah dan kemarahan. Napasku memburu setiap punggung membentur kuat di dinding ruangan.

Mataku samar menatap tato sihir di dadanya yang muncul setelah ia melepaskan gigitan klaim dari ceruk leher. Ia tak berhenti di situ saja. Dia terus mengentak sambil kembali menggigit bagian pundak juga dada.

Satu hunjaman terakhir diiringi geraman dan pekikan kami bersamaan. Aro mendesah penuh kepuasan sebelum melepaskan pegangan eratnya dari kedua pahaku.

Aku menurunkan kedua kaki yang melingkari pinggang Aro sebelum melepaskan rangkulanku dari lehernya. Kami saling mendekap beberapa saat, saling mengatur napas.

"Kau resmi menjadi milikku sekarang ...," desahnya di telinga.

Aku mengangguk tanpa kata. Kubiarkan ia mengecup dan menjilati bekas gigitannya.

"Ada yang harus kukatakan soal Demian dan beberapa oscuro lainnya. Mereka ...."

"Aku sudah tahu. Dimitri dan Elena telah menjelaskannya padaku." Mata kami beradu.

Tatapan hangat Aro mendadak membuatku terpana. Ia terlihat berbeda, tak begitu menyebalkan seperti sebelumnya.

"Aku akan memenuhi janjimu pada mereka," ujarnya tegas.

Ia mengecup dan mengulum bibirku lembut dan dalam beberapa saat. Dia kemudian perlahan melepaskan seraya memandangi lekat-lekat.

"Ini seharusnya menjadi mating yang terindah jika saja tak di tempat seperti ini. Aku akan menebusnya nanti setelah malam upacara peresmian kita," bisiknya disertai senyum.

Aku tak kuasa menahan senyuman lebar di bibir. Mataku tak bisa lepas dari wajahnya.

Ia meraih sesuatu, lalu menyodorkannya padaku. Sebuah botol kecil berisi cairan merah muda yang pucat. "Penawarmu. Minumlah."

Aro mundur, membiarkanku meraih dan meminum seluruh isi botol. Ia mengenakan baju dan celananya kembali yang dipungut dari lantai.

Dia juga mengambil jubah tidurku yang sebelumnya dibuang olehnya sebelum kami bercumbu. Sebuah seringai nakal terlihat di bibir lelaki itu.

Aku berusaha menutupi kedua dadaku. "Kau sudah merobek gaun tidurku. Sekarang kembalikan jubahku."

"Jika saja sekarang bukan saat pertarungan, aku akan membiarkanmu tanpa busana semalaman." Ia menyeringai sebelum seringai itu lenyap dari bibirnya saat menyodorkan jubah tidurku. "Lekas kenakan. Kita akan membuat perhitungan dengan Nicolas."

Terdengar suara bantingan diikuti pintu yang dibuka paksa, tepat saat aku usai mengenakan jubah. Nicolas terlihat melangkah masuk dan menatap murka. Ivy di sebelahnya justru tersenyum menyeringai penuh makna.

Namun, bukan mereka yang membuat aku sontak membelalakkan mata. Saat melihat Elena dan Dimitri berada dalam cengkeraman kedua tangan Ivy tanpa daya, darahku mendidih seketika.

"Ivy, bunuh dua pengkhianat itu sebagai hukuman kesalahan dari calon pengantinku," sabda Nicolas dingin.

"Dengan senang hati, Yang Mulia," jawab Ivy dengan senyuman sadis terukir di bibir.

Aku belum sempat bertindak apa-apa saat Elena dan Dimitri menjerit bersamaan, lalu terhenti saat kedua tangan Ivy mencengkeram kepala mereka dan merenggut paksa hingga lepas.

"Tidak!" Aku meraung, hampir nekat menyerang Ivy jika saja tak ditahan oleh Aro.

Suara gaduh teriakan dan raungan pun terdengar dari luar. Aku cukup mengenali pemiliknya.

"Elena! Dimitri!"

"Marlen! Jangan gegabah!"

"Tahan dia, Demian!"

"Victor! Kau mau ke mana?!"

"Damian! Jangan tinggalkan aku!"

Nicolas mendesah. "Urus mereka, Ivy."

"Siap, Yang Mulia."

Air mataku mengalir deras, menatap samar dan nyalang ke arah Nicolas. "Aku akan membunuhmu jika kau menyentuh mereka."

Nicolas tersenyum tenang, tetapi tak lagi terlihat menawan di mataku. "Kau bahkan melupakan mamamu, Darling? Tanpamu, dia tak akan berguna untuk tetap hidup."

Ivy tersenyum sinis sebelum berbalik dan melangkah pergi. Hanya terdengar teriakan di luar.

"Hentikan!" tangisku sembari meronta di pelukan erat Aro.

"Bebaskan Alanna!" geram Aro.

"Kau mencuri calon pengantinku dan kini menginginkan calon mertuaku? Kalian harus berterima kasih jika ia mati di tanganku, bukan di tangan Lilith."

Sekelebat bayangan mendadak muncul di dekat Nicolas. Ia menoleh pelan.

"Kane, bagaimana situasi di luar sekarang?"

"Hampir sebagian pasukan oscuro kita tewas. Namun, kita juga berhasil membunuh beberapa dhampir. Allan bersama bangsawan lain dan para prajurit masih menghadapi para lucis, dua luna, serigala pemburu, dan dhamter. Dorran sudah kuringkus dan kutempatkan di ruangan bersama Alanna."

"Bagus. Persiapkan upacara ritual sekarang juga. Aku harus bertemu Lilith secepatnya."

"Siap, Yang Mulia." Kane menatap ke arahku sekilas. "Bagaimana dengan gadis itu?"

"Ia akan mengikutiku suka rela dan menyerahkan dirinya sendiri, kecuali dia ingin melihat sahabat, teman-teman baru, dan mamanya mati."

Nicolas menatap dingin ke arah Aro kemudian. "Kekuatannya sedang berproses. Bereskan dia sebelum terlambat." Ia pun melangkah pergi.

Kurasakan genggaman erat Aro di tanganku yang gemetar. Aku tak bisa berpikir apa pun.

"Aku tak akan biarkan dia membunuh mamamu dan yang lainnya. Sihirmu masih dalam pemulihan. Jangan bertindak gegabah. Ikuti saja," bisik Aro.

Perlahan ia melepaskan rangkulan dan genggaman tangannya. Dia mengangguk seakan menyuruhku mengikuti Nicolas.

Aku seketika panik saat melihat Kane mendekatinya. "Aro ...!"

"Pergi, Luzia! Aku bersumpah, aku akan baik-baik saja!"

"Kau pilih mati bersama mate-mu atau pergi menyelamatkan Dorran beserta empat oscuro pengkhianat itu dan mamamu?" ancam Kane.

Aro memberi isyarat agar aku pergi. Penuh berat hati, aku memaksakan diri melangkah pergi mengikuti Nicolas. Air mataku pun mengalir semakin deras.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro