CHAPTER 17. ALANNA'S PLAN
Entah jam berapa sekarang, tetapi aku sudah tak mampu menahan kantuk. Misi malam ini setidaknya sudah menghasilkan sesuatu.
Aku memiliki sekutu. Sampai para lucis datang, Draco, Victor, dan Demian bisa membantu melindungiku sementara. Entah itu dari Ivy dan pengikutnya, Nicolas, mama, atau pelindung utama mereka. Namun, Florea, Damian, dan Marlen tidak memberi jawaban apakah mereka akan turut membantu atau tidak.
Masih terbayang ekspresi wajah mereka saat aku menjawab pertanyaan Victor tentang mamaku. Bahkan oscuro yang dianggap kejam pun tak habis pikir bagaimana bisa seorang ibu mengorbankan putrinya sendiri.
Aku pun bersimpati pada mereka. Tak semua oscuro jahat. Mereka hanya tak memiliki pilihan. Namun, tentunya berbeda sekarang. Kami telah bersepakat meski hanya Draco, Victor, dan Demian yang setuju.
Paling tidak, Florea, Damian, dan Marlen akan bersikap netral selama belum memberikan suara. Namun, kukira mereka akan bergabung dengan Draco, Victor, dan Demian, cepat atau lambat.
Draco ingin kembali menjadi moroi bersama Florea. Victor dan Demian hanya ingin hidup bebas entah sebagai oscuro atau moroi. Mereka tak peduli.
Aku mendadak gelisah. Bagaimana dengan kesepakatan yang kubuat? Apakah lucis atau Mateo bisa mengubah mereka kembali menjadi moroi atau menjamin kebebasan para oscuro?
Mana sempat aku berpikir panjang saat menyetujui kesepakatan itu. Satu-satunya yang terpikir olehku adalah bagaimana cara membuat mereka menjadi sekutu.
Semua itu tak penting saat ini. Karena yang terpenting, Dorran dan para lucis harus tahu keberadaanku.
Mataku makin terasa berat. Aku beberapa kali menguap sebelum memutuskan memejamkan mata.
Di kegelapan, kudengar Dorran memanggil-manggil. Suaranya terdengar sayup-sayup dalam mimpi. "Luzia .... Luzia ...."
Aku pun berusaha keras menjawab dengan memberi petunjuk lokasi keberadaanku.
"Transilvania .... Hoia .... Istana ...."
"Kami akan datang .... Bertahanlah ...."
Aku terbangun dan terduduk di pembaringan. Sial. Pesan mimpi terlalu singkat. Berpikir kemungkinan para oscuro juga memakai ponsel, tetapi hatiku meragu karena belum melihat mereka ada yang menggunakannya.
Kubaringkan tubuh kembali. Mata masih teramat berat. Dalam hati berharap bahwa petunjuk singkat itu cukup untuk membantu mereka menemukanku. Jika tidak, aku terpaksa hanya bisa mengandalkan diri sendiri dan para sekutu baru.
***
Aku terbangun saat mendengar suara gaduh. Bergegas kukenakan jubah tidur sebelum bangkit dari ranjang. Kakiku melangkah cepat menuju pintu dan keluar dari kamar.
Kulihat para pelayan berlarian menuju satu arah. Aku memutuskan lari mengikuti mereka.
"Ada apa?" tanyaku pada seorang pelayan.
Aku tak mengenalnya. Hanya saja, ia kebetulan berada paling dekat denganku.
Wajah wanita berambut kepang dua itu terlihat tegang. "Ada perkelahian sebelum fajar. Nona Florea membunuh Tuan Lucian. Tuan Nathan dan Nona Moira ikut mengamuk."
Mulutku membuka lebar seketika. Apa yang terjadi? Semalam tidak ada apa-apa. Kenapa begitu tiba-tiba?
"Kenapa kalian semua berlarian? Ingin menonton pertarungan?"
"Bukan, kami ingin melihat pengadilan."
Kini mata dan mulutku kompak membuka lebar. "Pengadilan? Siapa?"
"Nona Florea dan Draco. Mereka akan diadili karena telah membunuh Tuan Nathan dan Nona Moira."
"Hah?" Lariku sontak berhenti.
Ia ikut menghentikan langkah sejenak. "Di sini sudah biasa terjadi perkelahian atau pembunuhan. Namun, baru kali ini korban yang tewas adalah tiga oscuro sekaligus. Terlebih lagi, mereka semua pengikut Nona Ivy, musuh Nona Florea."
Aku melongo. Mataku hanya bisa memandangi punggung si pelayan yang kembali berlari.
Dalam semalam bisa terjadi begitu banyak hal? Perkelahian dan pembunuhan adalah masalah biasa? Astaga. Tempat ini mengerikan.
"Psst! Luzia! Kemari!"
Kepalaku menoleh ke asal suara. Demian tampak melongok dari sebuah ruang. Ia memberi isyarat agar aku mendekat.
Aku segera berlari ke arahnya. Begitu masuk, pintu segera ditutup rapat. Kulihat wajah-wajah Damian, Victor, Marlen, dan dua oscuro yang masih terlihat asing di mataku begitu tegang.
"Apa yang terjadi?" Aku bertanya lirih seakan kuatir suaraku akan menembus dinding dan terdengar oleh orang lain.
"Lucian, si mata keranjang itu ketahuan membawa paksa dan mencoba mencabuli Estera, dhampir mantan pelindung Florea dulu saat masih menjadi moroi. Florea mengamuk karena tak terima jika Estera menjadi budak nafsu Lucian. Ia membunuhnya," terang Demian menggebu-gebu.
"Florea memiliki dendam lama dengan Lucian sebenarnya. Florea dulu menyukai Lucian, tetapi bertepuk sebelah tangan," imbuh Damian.
"Kudengar Nathan dan Moira juga mengamuk. Mereka bertarung dengan Florea dan Draco? Kalian tak ikut membantu?" tanyaku heran.
"Mereka membalas kematian Lucian dengan membunuh Estera. Florea makin murka," jawab Marlen.
"Itu di luar kemampuan kami. Florea dibantu Draco tentu saja lebih dari mampu menghadapi pasangan sinting itu," sahut Demian.
"Jelas saja Nathan dan Moira mengamuk. Mereka lumayan akrab dengan Lucian. Florea pun sangat sayang pada mantan dhampir pelindungnya," ujar Damian.
Demian mendesah. "Sekarang giliran Ivy mungkin yang akan mengamuk. Tiga anak buahnya dihabisi dalam semalam hanya gara-gara seorang dhampir. Florea dan Draco terlalu ceroboh."
Victor terlihat gelisah bercampur murung. Ia berkali-kali ingin ke pintu, tetapi tangannya dipegang erat oleh Marlen.
"Aku harus keluar. Sepupuku membutuhkanku!" geram Victor.
"Apa yang bisa kau lakukan? Mereka sedang diadili saat ini. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Ivy ada di sana, bersama Nicolas, Kane, dan Allan. Kau tidak bisa melawan mereka semua sendirian, Victor!" ujar Marlen.
"Florea ...." Suara lelaki itu bergetar. "Aku belum menyelesaikan novelnya."
"Saat ini kita tak bisa ikut campur, Victor. Kita hanya bisa menunggu saat tepat untuk membalas mereka."
Yang bersuara kali ini adalah seorang wanita berambut panjang pirang keriting. Ia berdiri di sebelah lelaki tampan berpakaian seperti seragam tentara.
"Elena benar, Victor. Kita harus bersabar," ujar lelaki di sebelah Elena.
Aku ingat bahwa Elena adalah kakak Marlen dan memiliki kekasih bernama Dimitri. Lelaki itu adalah dia kukira.
"Dimitri, kau sudah memberi petunjuk soal keberadaan istana pada para lucis?" tanya Marlen tiba-tiba.
Aku hampir tersenyum menyadari tebakanku tepat, tetapi segera terbengong sejenak. "Lucis? Kalian memberi petunjuk pada mereka?"
"Kita telah bersepakat, bukan? Aku langsung meminta Dimitri dan Elena untuk meninggalkan jejak petunjuk menuju istana agar mereka segera menemukanmu dan kami bisa terbebas," jawab Marlen.
Mataku melebar. "Kukira kau tak setuju semalam untuk membantuku."
"Itu sebelum aku mencuri dengar dari pertengkaran mulut antara Ivy dan Nicolas soal kau akan menjadi tumbal untuk kelahiran oscuro abadi, titisan Lilith," jawab Marlen.
Demian menoleh cepat padanya. "Jadi, kau menghilang tadi karena mencuri dengar pertengkaran mereka?"
Marlen mengangguk. "Tidak sengaja sebenarnya. Aku semula berniat ke kamar, tetapi pintu kantor Nicolas sedikit terbuka. Kuintip ia dan Ivy ada di sana sedang bertengkar hebat."
"Bertengkar soal apa?" celetukku.
"Soal kau. Ivy tidak terima bahwa Nicolas akan tetap mempertahankanmu sebagai pasangannya. Ia berubah pikiran soal membunuhmu setelah melahirkan anaknya. Karena itu, Ivy sangat emosi dan mengatakan soal rencana mereka semula."
"Ini gara-gara penyihir itu. Ia yang memulai semuanya. Melakukan perjanjian dengan Lilith hanya akan mendatangkan bencana," gumam Elena.
"Maksudmu, mamaku?"
"Mamamu melakukan perjanjian dengan Lilith untuk bisa menciptakan kami." Victor membuka suara seraya memberiku tatapan yang tak kumengerti.
"Karena itu, kau bertanya soal ...."
Mulut dan mataku membuka lebar. Aku masih tak percaya, hingga melihat anggukan si Kembar.
"Kami sebenarnya sudah berencana untuk membantumu karena berharap bisa melakukan kerja sama denganmu. Itu di luar dugaan, ternyata kau berniat sama," ucap Demian dengan sikap kikuk.
Damien berusaha menghindari tatapanku. "Hanya saja, saat itu aku, Marlen, dan Florea tidak setuju karena risikonya terlalu besar. Kami tak tahu apakah kau benar bisa dipercaya."
"Damien benar. Kami belum mengenalmu. Namun, setelah mendengar kisahmu semalam soal mamamu, aku bahkan berpikir ulang," imbuh Marlen. "Ditambah lagi, aku mendengar pertengkaran Nicolas dan Ivy."
"Jika benar keturunan oscuro abadi lahir, tak akan ada jalan kebebasan lagi untuk kita. Selamanya kita akan menjadi budak suruhan mereka," gumam Dimitri.
"Kita pun selamanya tak akan bisa kembali menjadi moroi," keluh Elena. "Aku ingin menikah resmi dan punya anak darimu, Dimitri."
Dimitri segera memeluknya. Adegan saling mengecup pun terjadi di antara mereka.
"Bagaimana kalian yakin bahwa kalian masih bisa menjadi moroi? Jujur saja, aku hanya asal mengiyakan kesepakatan dengan Draco waktu itu," ucapku berupaya mengalihkan perhatian.
"Ketuamu pernah menjanjikannya pada Raja Moroi. Kami mendapat kabar itu dari salah satu dhampir yang masih berhubungan baik dengan kami," sahut Dimitri.
"Oh, begitukah? Itu bagus."
Aku bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya mereka tidak kujanjikan omongan kosong. "Apa yang akan terjadi pada Florea dan Draco?"
Entah kenapa aku kerap dalam dilema. Saat berkeinginan membalas dendam pada papaku pun malah berujung pada rasa kasihan melihatnya.
Lalu niat untuk membuat pack Aldevaro membenciku juga berubah menjadi rasa sesal saat melihat banyak dari mereka yang mati terbunuh. Kini, saat ingin memanfaatkan Florea dan kawan-kawannya, aku pun malah didera rasa bersalah.
Ada apa denganku? Aku begitu dungu.
Damien mendesah. "Kemungkinan mereka dibiarkan hidup sangat kecil."
Victor menggeram. Demian segera menepuk keras bahu saudara kembarnya.
"Maaf, Victor. Namun, kau tahu itu yang akan terjadi, bukan?" ujar Damien tanpa rasa bersalah. "Florea dibantu Draco membunuh tiga pengikut Ivy. Kita tahu betul sifat Ivy bagaimana. Ia tak akan membiarkan Florea dan Draco bebas begitu saja."
"Tunggu, soal oscuro abadi, bukankah kalian jelas lebih abadi daripada moroi?"
"Kami masih bisa mati oleh lucis atau dengan darah luna yang telah diklaim. Kami dapat kembali menjadi moroi, jika pencipta kami mati. Namun, anak yang akan kau lahirkan kelak adalah keturunan Nicolas dan Lilith.
"Dia akan menjadi oscuro abadi. Tidak ada yang bisa membunuh pencipta kami atau mengubah kami menjadi moroi lagi, bahkan ia akan hidup selamanya tanpa mengenal kematian sebagai Raja Oscuro."
Mulutku ternganga beberapa saat memandangi Marlen. "Maksudmu ... anak yang terlahir dariku kelak adalah keturunan Nicolas dan Lilith? Bagaimana bisa? Mamaku adalah pencipta kalian, bukan? Jika ia mati, kalian akan bebas?"
"Kau sepertinya tak paham dengan kalimat halus. Dengar, mamamu adalah pencipta kami. Ia mendapat perlindungan dari Kane dan Nicolas. Namun, mereka bisa mati sewaktu-waktu.
"Agar abadi, Alanna akan menjadikan tubuhmu sebagai tumbal untuk dikuasai atau dirasuki oleh Lilith agar iblis wanita itu bisa melakukan persetubuhan dengan Nicolas demi melahirkan keturunan oscuro abadi yang bisa melindunginya selamanya sekaligus juga akan menjadi Raja Oscuro. Kau jelas sekarang?" Victor menatapku miris.
Aku tak sempat menjawab. Pandanganku seketika gelap.
***
Okeeeee demi kalian semuaaa saya langsung update 3 bab lhooo. Seneng ga?? (seneeeeeeng, makasih, Kaaaa) Ah bagus, bagus. Masamaaa wkwkwkwk
Duh gimana nih kelanjutan kisahnya? Bakal ada sesuatu yang menguras air mata, emosi, juga mungkin sedikit senyum lega. Apa itu? Yoooosh tunggu update selanjutnyaaaa.
Sehat-sehat terus ya kalian semuaaaaa. Jangan lupa makan. Karena buat semangat itu butuh tenaga. Hehehehe. See yaaaaa <3
05/02/2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro