Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 15. NICOLAS

Kubuka mata perlahan. Pandanganku mengedar, merayapi sebuah ruangan asing sambil mencoba mengingat sesuatu.

Sepertinya aku sempat mendengar suara Allan memberiku perintah hipnotis untuk tidur sebelum menaiki sebuah jet. Kupijat kepala yang terasa berat dan berdenyut.

Di mana aku? Ke mana mereka membawaku? Mama, kenapa ia bertindak sejauh itu?

Belum habis kebingunganku, terdengar suara pintu terbuka. Sosok wanita paruh baya muncul seraya menenteng sebuah gaun panjang berkelap-kelip hitam bercampur merah menyala dan sepasang sepatu berhak berwarna senada.

"Selamat malam, Nona Luzia. Aku Dolores, kepala pelayan. Tuan Nicolas memintaku mengantarkan gaun ini. Kau juga diminta bersiap-siap untuk makan malam bersamanya."

Aku tertegun. "Kau ... manusia? Bagaimana bisa?"

Ia mengangguk penuh hormat. "Aku melayani Tuan Nicolas sudah cukup lama, Nona Luzia. Dulu sebagai feeder, sekarang aku adalah kepala pelayan."

Otakku berpikir untuk mencoba mengajak Dolores bersepakat menjadi sekutu. Aku beranjak dari ranjang, melangkah mendekat, lalu meraih gaun yang berada di tangan wanita itu.

"Bisakah kau ...."

"Sebaiknya Nona segera bersiap-siap. Mandilah dulu. Tuan Nicolas tak suka menunggu. Haruskah aku membantu memakaikan gaun itu dan mendandani Nona?"

Baiklah, ia sepertinya tidak bisa. Dolores tipe budak setia.

Kuhela napas berat. "Tidak usah, aku bisa sendiri."

Tak ada jalan lain selain memakai gaun dan bersiap-siap menemui Nicolas. Setidaknya aku harus tahu lawan yang akan kuhadapi secara lebih jelas.

"Kau tak mau mandi dulu, Nona?"

Aku mengabaikannya. Kenapa mesti mandi untuk menemui lelaki yang tak kuinginkan? Biarkan saja dia merasa tak nyaman dengan aromaku saat kami berdekatan.

Buru-buru kupakai gaun merah bercampur hitam yang ukurannya sangat pas membalut tubuh. Bagian dada cukup rendah dan ketat, tetapi longgar di bagian bawah.

Dolores kemudian menunjuk ke arah sebuah meja rias. Ia sepertinya memberiku kode untuk berhias.

Kuhela napas panjang, memutuskan menurut tanpa protes. Aku duduk, mulai berdandan, dan sengaja memperlama setiap proses.

"Nona, bergegaslah. Tuan Nicolas akan marah jika dibiarkan menunggu lebih lama," tegur Dolores.

"Iya, iya. Aku hanya tinggal memoles bibir saja," sungutku sebelum menyapukan sebuah lipstik merah ke bibirku dalam sekali usapan, lalu beranjak dari kursi rias.

Bibirku bergerak meratakan lipstik seadanya, tanpa menengok ke cermin besar untuk lebih memastikan penampilan. Aku tak berencana mendengarkan pujian.

"Aku sudah siap."

Raut wajah Dolores menampakkan kepuasan dan kelegaan. Ia menyodorkan sepasang sepatu yang segera kupakai sebelum wanita itu berbalik seraya memberi kode untuk mengikutinya. Ia mengawalku menuju tempat tuannya yang tengah menunggu entah di mana.

Aku diam-diam mengutuk dalam hati. Seharusnya kuminta Aro segera memberi penawar untuk mengembalikan kekuatan sihir. Tanganku sudah gatal ingin menghancurkan siapa saja agar dapat bebas kembali.

Ini salahku sendiri. Seharusnya aku bersedia diklaim saat mating.

Aku menghela napas perlahan. Tak ada gunanya penyesalan. Itu tidak akan memberikan penyelesaian.

Mataku mulai meneliti setiap celah untuk mencari jalan kabur. Tak ada jendela di sepanjang lorong. Dinding-dindingnya terlihat tebal, entah terbuat dari apa.

Dolores berbelok dengan langkah makin seperti diburu sesuatu. Aku mengikutinya mau tak mau. Suasana sepanjang lorong hening didominasi ketukan-ketukan hak sepatu.

Kami terus berjalan cepat hingga tiba di sebuah ruangan cukup besar dan luas. Mataku menatap tanpa henti kilauan-kilauan mewah dari cahaya lampu gantung hias.

Aku terus mengedarkan pandangan, sampai deham seseorang membuatku tersadar. Kulihat Dolores membungkuk hormat pada seorang lelaki berpenampilan ala bangsawan kuno, memiliki rambut pendek ikal cokelat terang dan mata biru berbinar.

"Terima kasih, Dolores. Kau boleh pergi." Nada suaranya terdengar sangat elegan dan menghipnotis.

Dolores mundur perlahan sebelum berbalik dan melangkah pergi. Tinggallah aku bersama lelaki berpenampilan bangsawan kuno itu di ruang makan termewah yang pernah kulihat.

Bukan hanya karena ruangannya, tetapi juga makanan yang terhidang di meja. Semua yang ingin kumakan ada di sana.

Daging panggang, sup krim, salad sayur, buah, kentang tumbuk, sosis, sisanya olahan berbagai kue yang hampir membuat air liurku menetes. Terdapat pula dua teko kristal yang salah satunya dipenuhi cairan merah, serta sebuah gelas kosong, selain dua yang telah berisi.

Lelaki itu duduk di ujung meja, tampak sangat tampan jika saja tak memiliki wajah terlalu pucat. Aku sedikit iri melihat bibirnya yang merah menawan dan mulai curiga ia mungkin memakai lipstik.

"Duduklah di dekatku, Luzia Darling. Kau bisa lebih puas memandangiku," ujarnya sambil menunjuk sebuah kursi dengan dagu disertai senyuman tipis.

Aku melangkah kikuk ke arah meja yang terlalu panjang untuk ukuran dua orang sebelum mendudukkan diri di dekatnya. "Kau ... Nicolas?"

Senyuman tipis dan anggun lagi-lagi terkembang di bibirnya. "Sangat tak penyabar rupanya." Ia menopang dagu dengan bagian siku bertumpu pada meja. "Ya, Luzia Darling. Aku Nicolas."

"Apa maksudmu membawaku ke sini?" Mataku menyipit ke arahnya.

Ia lagi-lagi tersenyum. Tangannya tak lagi menopang dagu saat meraih sebuah gelas berisi cairan merah kental.

"Untuk persiapan pernikahan kita."

Dia berkata pelan dan lembut, tetapi terdengar seperti petir di telinga. Aku melebarkan mata.

"Siapa bilang aku akan menikah denganmu? Kenapa begitu? Apa hakmu? Kita bahkan baru saja bertemu!"

"Itu perjanjianku sejak dulu dengan mamamu." Nicolas menyesap cairan merah kental di gelas sebelum menaruh ke meja kembali. Ia mengusap sisa minuman yang tertinggal di sudut bibir, mengisap ibu jarinya sampai tak meninggalkan bekas apa pun. "Kau milikku, Luzia, sejak kau kecil."

"Omong kosong!"

"Tenanglah ...." Matanya berubah sangat merah.

Ada sesuatu di nada suaranya yang lembut dan anggun. Seperti sebuah hipnotis yang memaksaku menurut.

Nicolas mengamatiku beberapa saat. "Sepertinya aku tak perlu memberimu pelumpuh sihir lagi. Mate-mu sudah sangat membantu dengan memberimu ramuan lobelia dan wolfsbane." Ia tersenyum elegan. Matanya kini menjadi biru kembali, mengerjap perlahan.

Vampir bisa mengubah warna mata dan mengerjap? Bagaimana bisa?

Tunggu, tadi dia bilang apa? Lobelia dan wolfsbane? Pantas saja. Berarti aku butuh rue untuk mematahkan mantra, lalu lavender, oleander, dan mint untuk memurnikan racun di tubuhku agar dapat memulihkan kekuatan sihir kembali.

Meski mungkin ramuan itu akan membuatku sulit berubah wujud menjadi serigala selama beberapa jam, setidaknya aku bisa menggunakan kekuatan sihir kembali. Kucoba menahan senyum samar di bibir, menyadari hal ini.

"Kau beruntung, jika tidak, aku pasti sudah akan menghancurkan tempat ini dan membunuhmu," gumamku seakan itu hanya sebuah kata-kata biasa.

Dalam hati aku sibuk memikirkan cara mendapatkan bahan untuk ramuan. Jika gagal, tiada cara lain selain menunggu kontak lewat pesan mimpi Dorran.

Nicolas tertawa kecil. "Lalu kau akan terperangkap selamanya di sini tanpa siapa pun, tak pernah bisa keluar kembali."

"Obrolan menarik, senang berbicara denganmu," sahutku sarkastis.

"Kau benar, kita sangat cocok, bukan?" balasnya ramah.

Nicolas meraih pisau dan garpu. "Mari makan sambil melanjutkan obrolan." Ia mulai menyantap hidangan daging panggang setengah matang, tanpa menungguku.

Aku melirik gelas berisi cairan merah di dekatku. "Itu juga ... darah? Kau tidak berharap aku akan meminumnya, bukan?"

"Oh, tentu tidak. Milikmu anggur murni, tak bercampur darah sepertiku. Minumlah." Dia menjawab seraya mengunyah.

Aku ikut meraih garpu dan pisau, mulai menyantap hidangan makan malam. "Bisakah aku minta air putih saja? Itu akan lebih membuatku tenang saat meminumnya."

Tawa Nicolas memenuhi ruangan setelah menelan suapan. "Tentu, Darling. Kau bisa menuang air di teko kristal bening itu ke gelas kosong di depanmu. Dolores sengaja menyiapkannya karena dia tahu, kau pasti akan bereaksi begitu."

Benar dugaanku. Dolores budak setia. Aku tak bisa berharap padanya.

"Apakah aku akan diperlakukan sebagai tahanan?" Aku bertanya santai sambil menatapnya tajam. Mulutku mengunyah daging panggang perlahan.

"Tergantung bagaimana sikapmu padaku, Luzia Darling." Nicolas menyesap minuman perlahan tanpa menatapku sebelum lanjut menyantap hidangan dengan santai.

Aku mengunyah dan menelan makanan dalam diam beberapa saat. "Kenapa harus aku?"

Nicolas mendongak, bertemu mata denganku. "Kenapa harus kau?" Ia menaruh garpu dan pisau ke atas piring, mengambil sehelai lap untuk mengelap mulut dengan gerakan lembut sebelum meletakkannya kembali ke meja. "Karena, kau Luzia putri Alanna."

Keningku berkerut. "Bisakah kau jelaskan dalam bahasa yang mudah kumengerti?"

Lelaki bangsawan kuno itu tersenyum. "Karena, mamamu yang menciptakan kami."

***

Aku mondar-mandir di kamar, memikirkan ucapan Nicolas saat makan malam. Kupikirkan berkali-kali tetap saja rasanya sungguh mengejutkan.

Mama yang menciptakan oscuro? Bagaimana bisa? Untuk alasan apa?

Terdengar ketukan disusul pintu yang dibuka kasar. Aku menoleh dan seketika mengenali sosok yang melangkah masuk. Ivy.

"Kau seharusnya membiarkan mate-mu mengeklaim," desisnya. "Dasar dungu. Kau sudah tak tertolong lagi."

"Kenapa kau begitu peduli?" sahutku ketus.

Ivy maju dengan cepat, membuatku buru-buru melangkah mundur, hingga membentur ranjang, dan terduduk. Ia menatap sengit, sedikit membungkuk mendekatkan wajah.

"Nicolas milikku! Jika kau telah diklaim, ia tak akan meneruskan rencana untuk menjadikanmu pengantinnya! Dasar dungu!"

"Hanya menjadi pengantin, bukan masalah besar. Kami bisa bercerai nanti. Kau tenang saja," sahutku asal.

Ivy malah tertawa miris. "Kau pikir semudah itu?" Ia menghentikan tawa, lalu memandangiku tajam. "Nicolas hanya butuh kau sebagai wadah untuk pengantin sesungguhnya."

Keningku berkerut. "Apa maksudmu? Wadah untuk pengantin aslinya? Siapa maksudmu?"

"Kenapa aku harus peduli .... Kau yang mencari mati."

Wanita itu menegakkan tubuh dan berbalik. Ia melangkah menuju pintu.

"Tunggu! Ivy! Jelaskan padaku!"

Dia melambaikan tangan ke atas tanpa menoleh. "Selamat menempuh kehidupan baru sebagai calon pengantin titisan iblis, Luzia. Aku akan merawat anakmu kelak setelah kau tak lagi berguna untuk hidup."

Ia tergelak, meninggalkanku dalam kebingungan bercampur tegang saat mencerna kata-kata terakhirnya.

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro