CHAPTER 13. TAME ME IF YOU CAN
Suasana pack diterangi sinar bulan, hening tanpa suara. Hanya sesekali bunyi binatang malam terdengar nyaring bersahutan seakan tengah bercerita.
Aku menghela napas memandang keluar jendela. Para penghuni pack tengah mengelilingi api unggun, tampak bersuka cita. Entah mereka merayakan apa.
Masih kuingat jelas saat Dorran berpamitan. Ia kecewa dengan apa yang kuputuskan.
Untuk pertama kali lelaki itu membuatku heran. Bukankah dia tahu betul bahwa aku tak mungkin lagi bisa bersamanya, kenapa masih harus memintaku bertahan?
Untuk apa? Menunggu pernyataan cinta dari lelaki itu bertahun-tahun tanpa kepastian saja sudah cukup melelahkan. Dia masih ingin aku menanti, hingga ia sanggup mengambil keputusan untuk melanggar aturan? Aku tak yakin Dorran sungguh sanggup melawan keluarga, terutama orang tuanya.
Dorran begitu sulit selama ini, mempertimbangkanku sebagai pasangan. Lalu apa yang bisa kuharapkan dengan keadaan dan situasi kami yang kacau sekarang?
Kondisiku sudah tak lagi memenuhi syarat untuk memikirkan cinta. Setiap orang memiliki tanggung jawab dan masalah sendiri yang tak bisa dibagi selamanya. Alur kisah kami kini berbeda.
Tak ada gunanya mempertahankan sesuatu yang hanya membuat kami sama-sama terluka. Pada akhirnya, semua perjuangan akan sia-sia.
Dia pasti tak bisa lupa bahwa diriku telah ternoda. Aku pun akan selalu mengingat reaksi dan ucapannya.
Kami tak akan tahan hidup mengingat itu selamanya. Jadi, untuk apa diperjuangkan?
"Sampai kapan kau akan berdiri di situ? Turunlah bersamaku dan bergabung dengan mereka."
Aku sontak menoleh. Kulihat Aro berdiri menatap dari pintu kamar. Ia telah berpakaian cukup rapi.
Ada yang menggelitik di sudut hati saat mengamatinya lebih lama. Ada denyut asing di diriku, mengingat jelas bentuk tubuhnya kala tanpa busana.
"Kau akan menepati janji, bukan? Kau tak akan mengeklaim sampai aku mengajukan surat daftar keinginanku untuk kau tanda tangani?"
Ia tersenyum geli ke arahku. "Kenapa kau masih butuh waktu lama untuk memikirkannya? Tuliskan saja semua yang kau mau. Aku akan tanda tangan tanpa ragu."
Aku mendengkus. "Kau begitu bangga pada kekayaan orang tuamu. Itu menggelikan."
"Siapa bilang? Aku juga telah bekerja keras untuk mempertahankan dan mengembangkan harta peninggalan orang tuaku selama bertahun-tahun," balasnya. "Aku menggunakan otak dan usaha sangat giat melebihi orang lain untuk itu. Apakah kau pikir aku lebih memalukan daripada kalian?"
"Kau tak bisa membandingkan antara dirimu denganku atau Dorran." Aku menatapnya sengit.
"Memang tidak. Kau yang berpikir begitu."
Kerongkonganku seakan tersumbat oleh sesuatu. Aku menatapnya nanar.
"Kau membuat hidupku sudah tak mungkin bersama Dorran. Tidakkah seharusnya kau meminta maaf untuk itu?"
Aro tergelak. "Hei, Betina. Ingat, aku membantumu. Apakah itu adil bagiku mendengar kau berkata begitu?"
"Itu tak akan terjadi jika kau tak muncul di hadapanku!"
"Kau seharusnya tak pernah keluar dari Trasmoz dan aku tak perlu mengetahui mate-ku adalah wanita sepertimu."
"Aku tak pernah memilih menjadi mate untuk seorang alpha segila dan sekasar kau!"
"Wow, kita sama! Perlukah kita rayakan kesamaan pemikiran kita?"
Nada suara, kata-kata, dan ekspresi wajahnya begitu menyebalkan. Haruskah aku hidup bersama lelaki seperti itu?
"Bagaimana jika kita lupakan saja soal pembicaraan tentang luna dan melindungi manusia. Lekas kembalikan saja kekuatan sihirku! Akhiri penderitaan kita!"
"Kau pikir aku tak memikirkan itu berkali-kali di otakku?" Aro menatap garang. "Semua sudah terlambat sejak aku memutuskan melakukan mating denganmu! Jika kau pikir aku bisa melupakan itu dan meninggalkanmu dengan mudah, kau salah!"
"Wow, kau sangat bertanggung jawab rupanya," ejekku.
"Betina, jangan menguji kesabaranku. Aku tak cukup mampu dalam hal itu."
"Namaku Luzia!" geramku.
"Betina, aku akan memanggilmu begitu mulai sekarang sampai kau bersedia kuklaim."
Tanganku sontak meraih meja kayu yang tak jauh dari jendela, melemparkannya ke arah si Alpha Gila. Ia dengan mudah menangkap benda itu, lalu membuang begitu saja ke lantai, hingga menimbulkan suara gaduh.
"Kau tahu, semakin liar hewan buruan, perburuan akan semakin menyenangkan dan menantang." Aro menyeringai.
"Kau pikir bisa menjinakkanku?" Aku memasang ekspresi sinis.
Dia menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Menjinakkanmu itu soal mudah. Menjinakkanku, itu yang susah."
Mataku melotot. "Kenapa kau pikir aku ingin menjinakkanmu?!"
"Oh, karena kau perlu dan harus melakukan itu untuk menjamin kebahagiaanmu saat bersamaku," ocehnya tanpa dosa.
Darahku mendidih, mencapai level tinggi. "Aku tak mau bersamamu!"
"Hei, kau sudah berjanji!"
"Tidak berlaku sampai kau tanda tangan di surat berisi daftar keinginan!"
"Kau yang mengulur-ulur waktu! Aku siap tanda tangan di mana pun kau mau, bahkan jika perlu di tubuhmu!"
"Serigala keparat!"
"Jangan memaki dirimu sendiri, Betina."
Napasku tersengal, menahan kemarahan yang memuncak. Apakah aku memutuskan sesuatu yang tepat?
"Kau lihat? Kau benar-benar harus mulai mencari cara untuk menjinakkanku, Betina, atau kau yang akan kujinakkan."
"Coba saja jika kau bisa!"
Aro memamerkan seringai di sudut bibir. "Tunggu saja saat heat-mu tiba, Betina."
Ucapannya sontak membuatku tersadar. Aku telah melakukan kesalahan besar.
***
"Luzia, Alanna akan datang."
Perlahan kubuka mata. Sinar matahari menyambut dari sela-sela jendela. Tubuhku masih terasa nyeri dan ngilu. Namun, itu sebanding dengan rasa malu.
Aldevaro melakukan pembuktian. Ia membuatku tak berkutik semalaman. Alpha sialan! Namun, setidaknya dia masih memegang ucapan. Lelaki itu tak akan mengeklaimku sebelum tanda tangan.
Aro benar, aku sengaja melakukan penundaan. Masih ada beberapa hal yang harus kupastikan sebelum menjebak diri sendiri dalam sebuah ikatan.
Meski terkesan murahan, tanpa Aro sadari, aku berhasil memerangkapnya sebagai budak nafsu. Ia tak akan mengabaikan heat-ku.
Keningku berkerut. Budak nafsu? Yang benar saja, Luzia. Bukannya terbalik?
Ya, siapa yang jadi budak nafsu? Aro atau aku?
Aku tak bisa mengendalikan heat. Dia pun tak bisa mengabaikanku. Jadi, apa namanya ini? Kami saling memerangkap karena sama-sama membutuhkan? Cih!
Teringat sesuatu, aku spontan bangun dan duduk di ranjang. Ucapan barusan adalah komunikasi sihir dari Dorran. Mama akan datang.
Mataku melebar. Apa yang akan terjadi? Dia berencana melakukan sesuatu pada Aro dan pack? Atau mungkin membalas dendam kepada Ramon?
Sesuatu menggeliat dari bawah selimut. Aku tersentak seraya menoleh.
Astaga, dia masih di ranjang bersamaku?! Sontak aku menendangnya tanpa pikir panjang.
Terdengar bunyi sesuatu berdebuk saat menimpa lantai, disusul erangan. Aku buru-buru meraih kaus milik Aro yang ada di tepi pembaringan.
Sebuah tangan muncul dari bawah, menyentuh tepian ranjang. Tak lama kemudian, kepala lelaki itu muncul, disusul geraman.
"Kau yang menendangku?" Mata Aro menyipit.
Aku baru menyadari. Suara Aro saat bangun tidur terdengar seksi.
Kuangkat bahu acuh tak acuh. "Kau punya bukti? Mungkin saja kau yang jatuh sendiri."
"Kau gila ya? Untuk apa aku menjatuhkan diri sendiri?" Ia bangkit, berdiri.
Aku buru-buru mengalihkan tatapan. Jantungku berdetak cepat tak karuan.
Tubuh kekar dengan dada dan perut berotot itu menindihku semalaman. Miliknya yang besar berada di ....
Kuacak-acak rambutku sambil memukuli kepala beberapa kali. Diam-diam aku merutuki kesialan diri.
"Kau sepertinya sudah gila saking tak kuat menahan pesonaku." Aro berdecak-decak.
"Lekas pergi dari sini!"
Aro mendengkus. "Ini kamarku. Kenapa aku harus pergi?"
"Jadi, kau mau aku yang keluar?!"
Dia melotot. "Keluar ke mana?!"
"Ke mana saja selain di sini melihat wajahmu yang memuakkan!"
Telunjuknya menunjuk ke arahku. Ia tampak mencari cara untuk berucap sesuatu. Setelah merasa cukup memalukan dengan membuka tutup mulutnya tanpa kata, dia pun berbalik dan melangkah menuju pintu.
"Pakai selimut untuk menutupi tubuhmu!" teriakku.
"Mereka semua sudah pernah melihatnya dan bangga dengan tubuh milik alpha mereka!" balas Aro sambil menoleh sejenak sebelum membuka pintu, lalu menghilang setelah membantingnya dari luar.
Mataku mengerjap cepat. Semua penghuni pack sudah pernah melihat ia telanjang? Termasuk para gadis?
"Maksudmu Feyra pun sudah pernah melihatnya?! ARO?! Jawab aku!"
***
Ekor mataku bisa menangkap puluhan pasang mata tengah memandangi saat aku menyantap sarapan. Kuputuskan untuk mengabaikan.
Aku masih berpikir bagaimana cara memberitahu Aro soal pesan Dorran lewat mimpi tadi. Mamaku akan ke sini. Kemungkinan itu akan menjadi berita buruk buat pack ini.
Apa yang harus kulakukan? Haruskah aku memberitahu Bruno?
Kuletakkan pisau dan garpu, mengabaikan separuh daging panggangku. Aku segera mengedarkan pandangan, hingga bertumbuk pada seseorang.
"Nuela! Di mana Bruno?!"
Wanita itu menoleh. "Ia sedang rapat di kantor Alpha bersama Hugo."
Tanpa pikir panjang, aku sigap bangkit dan berlari kembali pulang. Seingatku, kantor Aro ada tepat di sebelah kediaman.
Napasku sedikit terengah setiba di teras kantor. Kuketukkan jemari ke pintu dengan gerakan cepat, bahkan mulai menggedor.
Pintu terbuka, menampakkan wajah Hugo yang marah. Namun, begitu melihatku, ekspresinya segera berubah ramah.
"Oh, Luna ...."
Tanpa basa-basi aku segera menerobos masuk, hingga Hugo hampir terjengkang. Aro dan Bruno terbengong sejenak begitu melihatku.
"Betina? Ada apa kemari? Ini kantor, bukan kamar. Kau yakin tak salah masuk? Oh, apakah semalaman masih kurang?"
Aku ingin sekali meninju wajah polos Aro yang terkesan pura-pura. Bruno memutar bola mata. Sementara itu, Hugo yang kini berada di samping adik tiriku berusaha keras menahan tawa.
"Mamaku akan datang! Ramon harus tahu hal ini! Kalian semua akan dalam masalah!" ucapku cepat.
Ketiga manusia serigala di hadapanku kompak mengerutkan kening, bersamaan menjawab, "Apa masalahnya?"
Mataku mendelik. Dasar tiga manusia serigala idiot!
"Kalian tahu aku bagaimana, bukan?"
"Ya, kau liar, ganas, dan gila," jawab Aro dengan wajah tanpa dosa. Seakan itu kata-kata yang biasa.
Bruno dan Hugo sontak menyemburkan tawa. Mereka tergelak sampai keluar air mata.
Kucoba bersikap sesabar mungkin. Menghadapi tiga lelaki idiot di hadapanku sepertinya memang butuh kewarasan.
"Mamaku, Alanna, jauh lebih ganas daripada aku. Ia pasti akan menghancurkan tempat ini," jawabku perlahan.
"Ia hanya seorang penyihir wanita." Aro mengangkat bahu. "Aku rasa tak akan separah itu. Kita punya Mateo. Mungkin saja mamamu datang setelah mendengar dari Dorran bahwa ia kini mempunyai menantu tampan sepertiku."
"Kau keliru! Ia tak akan menerimanya! Kau harus memberitahu Ramon! Oh, sekalian minta Mateo ke sini!" ujarku panik.
"Mateo tak bisa dikontak lewat ponsel. Jika ingin memanggilnya, aku bisa mengutus Alrico atau Ravantino," jawab Aro santai. "Tapi apa perlu kita harus merepotkan tetua itu?"
"Sangat perlu! Lekaslah!" desakku.
Aro bertatapan dengan Bruno sebelum menoleh padaku lagi. "Tapi aku dan Bruno akan segera pergi mengecek sesuatu. Kau tahu, bisnisku banyak." Ia mengambil ponsel di meja. "Aku akan coba hubungi Alrico nanti. Ayo, Bruno, kita pergi. Hugo, kau urus di sini."
"Baik, Alpha," sahut Hugo.
Aku melebarkan mata saat melihat Aro dan Bruno akan melewatiku begitu saja. "Kalian tak bisa meremehkan mamaku!"
Aro berbalik, menyentil lembut hidungku dengan telunjuk sambil tersenyum. "Semua akan baik-baik saja, Betina. Jangan cemas. Mama mertuaku tak mungkin seburuk itu."
Habis berkata itu, ia pun berlalu bersama Bruno. Aku hanya bisa membuka mulut tanpa bisa berkata apa-apa lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro