CHAPTER 11. THE HEAT AND THE FIGHT
Kesialan itu pun datang. Tak pernah terlintas di benak sedikit pun, aku akan mengalami heat. Apa yang dikatakan oleh Nuela sebelumnya sangat tepat.
Aku bahkan bisa mengatakan ini sangat jauh lebih buruk daripada yang ia jelaskan. Mataku samar menatap ke arah pintu dan jendela yang telah terkunci rapat. Dorran berjaga-jaga di luar kamar, demi mencegah siapa pun masuk, terutama Aldevaro.
Tak ada yang bisa kuandalkan di sini selain sahabatku tercinta. Bruno, saudara tiri kurang ajar itu malah memihak alpha-nya. Nuela pun bertindak sama.
Semua pakaian telah kulucuti. Keringat tak henti membanjiri. Aku sudah berkali-kali ke kamar mandi. Air dingin yang sempat disediakan oleh Dorran, dibantu Nuela, tak bisa membantu sama sekali.
Mulutku mengerang. Rasanya begitu membakar di bagian dalam. Semakin lama semakin terasa seperti berada dalam pembakaran. Sesekali aku meraung tertahan.
Aku gemetar. Sepertinya mereka benar. Air dingin tak bisa menetralkan rasa nyeri yang membakar. Suara erangan kembali lolos dari mulut tanpa sadar.
"Luzia?!" Dorran berteriak panik sambil mengetuk pintu kamar. "Kau tak apa? Luzia!"
"Dor ... ran .... Pa ... nas ...." Napasku tersengal dengan pandangan mulai samar. Aku meringkuk di sudut kamar.
"Luzia! Boleh aku masuk?" tanyanya khawatir.
"Ja ... ngan .... A ... ku ... te ... lan ... jang ...."
"Kau masih memikirkan etika saat ini? Kau mengenalku, bukan? Jika aku bisa menahan diri setiap melihatmu bertransformasi dan setelahnya, kenapa harus memilih saat ini untuk bersikap kurang ajar padamu?!"
"A ... ku ... ma ... lu ...," isakku sembari terus mengerang makin hebat.
"Luzia, katakan aku harus bagaimana?!" teriaknya setengah putus asa.
"Ce ... gah ... siapa ... pun ... ma ... suk ... dan ... ja ... ngan ... bi ... arkan ... a ... ku ... ke ... lu ... ar."
Di luar mulai terdengar beberapa lolong saling susul menyusul. Tak lama kemudian, sebuah suara melolong yang lebih keras, mendiamkan mereka.
Aku tahu itu pasti Aldevaro. Ia menunjukkan dominasinya terhadap pejantan lain yang ingin mendinginkanku.
"Pa ... nas ...."
Rasa membakar makin membara. Jeritan pun keluar begitu saja. Aku seperti mulai kehilangan logika. Tubuhku kini menggeliat di lantai, menahan nyeri dan juga suatu sensasi asing yang belum pernah kurasa sebelumnya.
Mulutku menggeram tanpa sadar. Sesuatu memaksaku bangkit dan berlari ke pintu, mencoba membukanya.
"Tidak! Luzia! Kau tak boleh keluar! Kau sedang tak berbusana!" teriak Dorran kalang kabut. Ia sepertinya berusaha menahan gagang pintu dari luar.
"Buka!" jeritku seraya menggeram gusar. "Dia! Aku butuh dia! Aku tak tahan lagi!" Aku menangis sambil meraung.
Terdengar sahutan melolong tinggi mengusik telinga. Mendengarnya saja sudah membuatku merasa nyaman. Aku pun makin menggila dalam teriakan.
"Dia! Aku mau dia! Dorran, kumohon! Aku mau dia! Cepat! Aku sudah tak kuat!" raungku menggila.
"Tidak, Luzia! Kau akan membunuhku nanti saat kau sadar! Kau menyuruhku untuk mencegahmu keluar dan tak membiarkan siapa pun masuk!"
Aku meraung putus asa. Lolong di luar mulai bermunculan, semakin banyak, dan terdengar mendekat. Namun, sebuah suara melolong tinggi menghentikan mereka sekali lagi.
Tak butuh waktu lama, mendadak kudengar kegaduhan ditimpali suara bentakan dan geraman dari luar. Aku mendekap tubuh, mendengarkan dengan tubuh gemetar.
Entah kenapa instingku memberitahu bahwa itu tak seharusnya ditakutkan. Aku mengintip melalui lubang kunci dengan tubuh gemetaran.
Serigala terbesar yang pernah kulihat, berbulu hitam kebiruan, tengah berdiri di luar, menatap nanar ke arah pintu kamar. Mataku pun menangkap Bruno berjaga di dekat tubuh Dorran yang tampak terkapar.
Aku tak bisa berpikir apa pun. Otakku terlalu sibuk untuk mencerna semuanya.
Serigala itu melangkah maju sebelum berubah wujud menjadi sosok Aldevaro tanpa busana. Ia menyeringai sambil membuka pintu.
Aku sontak melangkah mundur, semakin gemetar. Jantungku pun memacu dalam debar.
Pintu terbanting ke dinding, membuka lebar, memperlihatkan langkah gagah Aldevaro yang melangkah masuk sebelum menutup dan menguncinya. Ia perlahan bergerak seperti hewan buas yang tengah mendekati mangsa.
Napasku tercekat, diserta suara detak jantung menggila, seiring hawa membakar makin membara. "A ... ro ...."
"Aku sudah bilang, Serigala Kecil. Kau yang akan memaksaku datang menolongmu."
Sehabis berkata itu, tanpa ucapan apa pun lagi, ia bergerak cepat memanggulku ke arah ranjang. Aku menjerit saat ia melemparkanku hingga terpantul keras, jatuh telentang.
Aro segera menindih dan sibuk menyentuhku hampir di semua bagian. Aku seharusnya menolak, tetapi tidak. Tubuhku berkhianat.
Tanpa malu, aku menyambut semua serangannya. Jilatan panas di leher, pundak, bahkan lumatan ganas di bibir.
Tangan lelaki itu merayap, meremas, menjelajah ke setiap lekuk. Bibirnya bergerak liar dan hebat. Mulutku mengerang menuntut lebih.
Aku tak pernah merasakan kenikmatan ini. Air mataku perlahan menetes saat ia menghunjamkan diri, menyatukan tubuh kami.
Rintihan kesakitan segera berubah menjadi erangan penuh kenikmatan. Napas kami memacu, melaju bersama detak jantung yang bertalu.
Aro membawaku menuju suatu puncak rasa yang tak aku sadari. Hanya pekikan yang terdengar saat ia makin mengentak, memacu makin cepat, dan membuatku meneriakkan namanya.
Itu belum usai. Aro kembali melakukannya, berkali-kali, hingga hawa membakar itu pun hilang sama sekali.
Menjelang dini hari, aku telah sadar sepenuhnya saat ia hampir menancapkan taringnya di ceruk leher. Spontan, kudorong lelaki itu ke arah samping.
Aro terguling, menimbulkan suara gedebuk saat jatuh ke lantai. Dia bangkit seketika, melotot ke arahku. "Aku belum selesai!"
"Tugasmu hanya mendinginkanku, bukan mengeklaim!" balasku sengit.
Ia berdiri begitu gagah tanpa busana. Alpha Gila itu sadar betul dengan pesonanya.
"Dengar, jika aku tak mengeklaimmu, kau akan dalam bahaya!"
"Kaulah sumber masalahku yang paling berbahaya! Enyah!"
Mulut lelaki itu bergerak, tetapi tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk beberapa saat. Ia tertawa seakan mengejek tindakanku yang dianggap konyol. "Heat itu akan datang lagi, Serigala Kecil." Dia menyeringai. "Kau akan membutuhkanku lagi."
"Enyah!"
"Kau tuli ya?! Kau masih akan membutuhkanku!"
"ENYAH!"
Aldevaro menarik napas panjang, mengembuskannya kasar, lalu melirik ke arah ranjang. "Aku akan menyuruh Nuela mengganti seprai nanti. Aku tak mau di mating selanjutnya kita bercinta di atas alas bernoda darah keperawananmu."
Ia kemudian tersenyum seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah yang paling diinginkan. "Sampai nanti, Mate. Kuharap kau tidur nyenyak setelah ini."
***
Sinar matahari menyelip di antara kisi-kisi jendela. Aku bangkit dari ranjang dan mendapati Dorran sudah duduk membelakangiku di lantai dekat sofa. Buru-buru kulilitkan seprai, menutupi tubuh yang tanpa busana sebelum turun untuk mendekatinya.
Dorran tercenung. Namun, penyihir itu lebih terlihat syok daripada berpikir. Sesekali ia mendesah dengan tarikan napas begitu berat. Wajahnya tampak sangat lesu.
"Ia hanya membantu mendinginkanku. Aku tak mengizinkannya mengeklaim, Dorran." Aku menjelaskan penuh hati-hati, berharap itu bisa menenangkan lelaki itu.
Ia mendesah, menoleh perlahan. "Kalian sudah melakukan mating. Itu kesalahanku, Luzia, membiarkan Bruno melumpuhkanku semalam dengan serbuk sihir pembius."
Lelaki itu menunduk masygul sembari meremas rambut. Sesekali suara helaan napas berat terdengar dari mulutnya.
"Dorran, aku tak membiarkan ia mengeklaim," ucapku lirih, berusaha menjelaskan sekali lagi. "Aku belum menerimanya sebagai mate."
"Kenyataannya, kalian sudah mating, Luzia." Dorran lagi-lagi mendesah. "Secara informal, kau sudah menjadi istri seorang manusia serigala. Aku tak bisa merebut pasangan orang lain. Itu aturan di keluargaku. Seharusnya kau biarkan aku masuk semalam."
"Aku tak bisa menjelaskan padamu kenapa aku sangat menginginkannya semalam, Dorran. Itu di luar kesadaran. Serigala di diriku yang mengendalikan."
Aku masih mencoba membuat dia mau mengerti. Meski kutahu, Dorran bisa menjadi sangat keras kepala saat sudah meyakini sesuatu. Terutama bila hal itu berhubungan dengan aturan di keluarganya.
"Aku tak bisa berpikir sekarang, Luzia. Yang jelas, aku telah membuat kesalahan dengan membawamu ke Elorrio." Sehabis berkata itu, dia bangkit dari duduknya, lalu melangkah menuju pintu.
"Dorran! Kau mau ke mana?"
"Kembali ke Trasmoz. Alanna harus tahu soal ini." Ia pun berlalu dan menghilang di balik pintu.
Aku tercenung memikirkan jawaban Dorran. Jika mama tahu, apa yang akan ia lakukan?
Mendadak terdengar suara orang sedang berdebat dan berteriak di luar rumah. Aku segera berlari tanpa pikir panjang.
Di tengah-tengah pack, Dorran tampak berhadapan dengan Aro. Di sekeliling mereka, para prajurit serigala berdiri bersama Bruno dan Hugo.
"Ayo, kuberi kau kesempatan untuk mengalahkanku. Jika kau bisa, aku akan membebaskannya meskipun itu tak berguna karena dia akan kembali padaku, mau tak mau." Aro memberi Dorran senyuman mengejek.
"Dorran! Jangan bertarung dengannya! Dia memiliki pelindung seorang tetua penyihir! Kau tak akan bisa menghadapinya!" seruku berupaya mencegah.
Ia hanya menoleh padaku sekilas, lalu kembali menghadapi Aro. "Jadi, itu yang membuatmu tahu kelemahan kami? Cara licik apa yang kau gunakan untuk menghilangkan kekuatan sihir Luzia?"
"Aku hanya melemahkan kekuatan Luzia untuk sementara, tidak menghilangkannya," sahut Aldevaro. Ia menoleh ke arahku, tersenyum penuh kemenangan. "Mate, kau terlihat cantik dalam balutan seprai."
Dia kemudian berpaling, memandang ke sekeliling. "Lihat noda darah itu! Aku memenangkannya!"
Aro kemudian tertawa bangga, diikuti sorakan dari para prajurit dan beberapa penghuni pack yang juga mulai bermunculan. Bruno dan Hugo pun melolong seakan menyambut berita gembira.
Aku menyipitkan mata ke arah Bruno. Ia tampak tersenyum lebar sebelum berusaha menghindari tatapanku. Saudara macam apa itu?
"DIAM KALIAN!" Dorran terdengar sangat marah.
Tatapanku kini terfokus padanya. Belum pernah aku melihat Dorran semarah itu selama kami bersama begitu lama.
"Aku tak akan biarkan kalian memperlakukannya dengan tak pantas!" ucap Dorran lantang.
"Penyihir Banci, siapa yang memperlakukannya dengan tak pantas? Ia luna-ku. Tentu saja dia mendapat kehormatan tertinggi dari semua pack di Elorrio. Kurang apa lagi?" sahut Aldevaro. "Luzia hanya perlu menerima klaim dariku untuk meresmikan statusnya."
"Tapi kau membuatnya seolah-olah Luzia adalah tahanan dan peliharaan! Kau melumpuhkan sihirnya! Kau memenjaranya dalam kamar! Kau mengendalikan hidupnya! Itu yang kau sebut kehormatan?!"
"Itu karena Luna Luzia belum bersedia diklaim. Dia akan dalam bahaya jika ...."
"Hugo!" tegur Bruno.
Mataku kembali menyipit ke arah Bruno. Kenapa dia menghentikan ucapan Hugo?
"Jika apa?!" sergah Dorran.
"Jika para oscuro menemukannya," jawab Aldevaro kini.
"Omong kosong! Luzia bisa melindungi diri sendiri dengan kekuatan sihir. Aku pun dapat melindunginya!"
"Kau tak mengerti, Penyihir Banci."
"Berhenti menyebutku banci! Aku lebih jantan darimu jika kau harus tahu! Setidaknya aku tak akan memakai cara licik untuk memaksakan kehendak! Aku tak akan pernah membuat hati gadis yang kucintai terluka!"
Aku terpana seketika, tanpa sadar berucap lirih, "Dorran ...."
Aro sontak menoleh ke arahku dan menggeram. Mata lelaki itu menatap penuh ancaman.
"Kau lihat, Tuan Alpha? Luzia memiliki perasaan terhadapku," ujar Dorran dengan nada sedikit pongah. "Kau mungkin telah mendapatkan tubuhnya, tetapi tidak hatinya. Kau kalah."
Sang Alpha Gila mendadak menggeram penuh kemarahan. Ia bergerak, siap menyerang Dorran.
Dorran mengangkat tangan dan meneriakkan mantra, "El incendio!"
Bola api meluncur ke arah Aro. Si Ketua Alpha dengan cepat menjentikkan jari ke arah serangan.
Selarik cahaya kebiruan pun keluar dari ujung jari-jarinya, meluncur ke arah serangan mantra Dorran. Api biru dan merah sedikit lagi akan bertemu di udara.
Aku melebarkan mata, sontak berteriak, begitu juga para penghuni pack. Hanya butuh beberapa detik lagi dua api itu akan menghantam Dorran dan Aro yang sengaja tak saling menghindar.
"Esfumarse!"
Mulutku membuka lebar, menyaksikan serangan api musnah dan menghilang begitu saja di udara. Aku menoleh ke arah sumber suara yang meneriakkan mantra penggagalan serangan sihir.
Sosok lelaki berjanggut putih tampak berjalan pelan dalam langkah tegap meski membawa tongkat. Jubah abu-abunya berkibar ditiup angin.
Di belakang lelaki tua itu ada Keana bersama empat manusia serigala yang pernah kulihat saat penyerangan ke kediaman Aro. Mereka memandangi Aro dan Dorran dalam ekspresi berbeda-beda.
"Mateo!" seru Aro. Ia tampak kaget.
"Kau melanggar peraturanku soal sihir, Aldevaro," balas si lelaki berjanggut putih. Ia berpaling pada Dorran kemudian. "Kau pun sama. Kalian harus dihukum."
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro