Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 10. THE PROBLEM

"Astaga, apa yang Aro lakukan padamu?"

Aku menoleh menatap ke asal suara. Seorang gadis berambut panjang hitam lurus memandangiku cemas di tengah pintu dengan sepasang mata hijaunya.

Ia melangkah cepat, mengambil sebuah handuk dari lemari kecil, lalu menggunakannya untuk mengeringkan rambutku. "Kenapa kau duduk di ranjang dengan tubuh dan baju yang basah?"

"Tak ada baju ganti," sahutku masa bodoh. "Aku tak mau memakai baju dan celana lelaki."

"Alpha Aro belum menyediakannya untukmu? Ya ampun. Kuharap kau memaafkannya. Sebentar, aku akan ambilkan bajuku."

Ia bergegas keluar ruangan seraya menutup pintu dan pergi. Aku tercenung memandang ke arah lemari ganti.

Alpha Gila itu mungkin mengharapkanku memakai pakaian miliknya. Aku mendengkus dan memalingkan kepala.

Kulepaskan baju yang basah, lalu melilitkan handuk ke tubuhku. Aku menengok sesekali ke pintu, berjaga-jaga jika si Alpha Gila akan muncul lagi di situ.

Gadis berambut panjang hitam lurus muncul kembali setelah membuka dan menutup pintu dengan tergesa-gesa. Ada sehelai terusan hitam pendek dari bahan semi-rajutan beserta sepasang bot pendek berhak datar berwarna senada di tangannya.

"Ini, pakailah dulu. Nanti aku akan membelikanmu yang baru," ujar gadis itu seraya mengulurkan terusan itu padaku. Ia segera berbalik memunggungi dengan sikap sedikit kaku.

Kuraih terusan hitam dari tangan wanita itu dan segera memakainya. Ia kemudian menaruh bot kulit berhak datar ke lantai dekat meja.

Tatapan kami bertemu. Aku menyadari ia memiliki rambut panjang hitam lurus belah tengah dan mata hijau yang jernih dan berkilau. Wajahnya sekilas sangat mirip dengan Hugo.

"Aku Nuela, kakak Hugo, sekaligus ... mate-nya Bruno," ucapnya lirih.

Aku tersentak, melangkah mundur seketika. Sikapku mendadak berubah kikuk menghadapinya. Haruskah aku memanggilnya adik ipar?

"Kenapa aku tak melihatmu bersama Bruno di kediaman Ramon?" Aku menatapnya curiga.

"Oh, sebenarnya aku tinggal di pack bersama Bruno dan orang tuaku. Aku tidak ikut saat ia menginap di rumah mertuaku. Namun, dia memberitahuku soal dirimu. Jadi, aku langsung kemari." Ia mengamati reaksiku beberapa saat.

"Tolong jangan salah paham. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat," ucapnya lagi. "Kuharap kita bisa berteman ... paling tidak."

Dia pikir aku akan menjawab apa? Hai, apa kabar? Wah, kau cantik sekali. Terima kasih sudah membantu dan bersedia jadi temanku. Begitu? Jangan harap.

"Aku tawanan di sini. Tak punya hak untuk berteman dengan siapa pun," sahutku dingin.

"Siapa bilang kau tahanan? Tentu tidak," balasnya cepat. "Maksudku, Alpha Aldevaro bahkan menempatkanmu di kamarnya. Itu berarti kau istimewa."

Aku bersedekap, menatapnya lekat-lekat. "Istimewa? Itu menggelikan. Ia memaksa dan mengancamku untuk tetap di sini."

"Itu pasti demi kebaikanmu. Kau akan segera mendapat heat. Akan lebih baik jika kau tinggal di sini."

"Apa?!" Tubuhku menegang seketika. "Keana sudah memberiku obat penunda heat!"

"Itu hanya bertahan sementara. Kau sudah berada di sini sejak semalam, bukan? Besar kemungkinan efeknya akan hilang malam ini," ujarnya lirih.

Mataku membulat seketika. Aku mencengkeram erat kedua bahunya. "Bawa aku pergi dari sini! Tolong, selamatkan aku!"

"Luna ... maaf, aku tak bisa. Alpha Aldevaro akan menghukumku nanti. Aku tidak berani," sahutnya sembari meringis.

"Sial!"

Aku pikir heat tidak akan menjadi masalahku saat ini. Ternyata pikiranku salah. Semua rencana akan gagal jika heat itu benar-benar datang!

"Apa yang terjadi jika ... aku mengalami heat?" tanyaku gugup.

"Pertama-tama, tubuhmu akan terasa terbakar dari dalam. Kau bahkan tak bisa mendinginkannya dengan mandi air sedingin apa pun. Gairahmu ... akan memuncak seiring naiknya hawa panas itu. Hanya melakukan mating dengan mate-mu yang mampu menyelamatkanmu dari penderitaan."

Mulutku menganga. Si Alpha Gila sudah pasti akan senang hati melakukannya.

Aku terjebak di sini. Tak ada cara untukku menghindari.

***

Beberapa kali kucoba memejamkan mata agar dapat tertidur dan kemudian bisa mengirimkan pesan mimpi pada Dorran. Namun, berkali-kali pula aku gagal melakukan.

Terlalu gelisah memikirkan heat yang akan muncul, disusul rencana untuk membuat pack Alpha Gila memusuhi serta mengusir aku pergi, membuatku tak bisa fokus untuk tidur. Kugelengkan kepala, menyadari sesuatu.

Aku meragu. Jika Dorran datang pun, apakah ia benar-benar dapat membantu? Justru kutakutkan kedatangannya akan menambah masalah.

Kuremas rambut, lalu memijat kening sebelum perutku berbunyi meminta diisi. Aku seharusnya tak menolak saat Nuela mengajak makan tadi.

Pintu terkuak lebar, membentur dinding cukup keras. Aro berdiri di ambang, memberiku tatapan berbinar beberapa saat sebelum berubah buas.

"Kenapa tak ikut Nuela saat ia mengajak sarapan?! Kau membuatku menunggu hampir sejam!"

Mataku menyipit. "Siapa suruh kau menunggu?!"

"Aku sudah bilang tadi, aku akan mengajakmu sarapan, bukan?! Lekas ikut aku ke bawah dan makan bersamaku!" Dia berbalik, memunggungiku.

Aku bergeming. Perutku kembali protes cukup nyaring.

Ia berpaling dan mendelik. "Kau tuli ya?"

Aku balas melotot. "Apa masalahmu?!"

Aro menggeram, secepat kilat sudah berada di hadapan, menjambak rambut, menengadahkanku, hingga leherku terpampang di hadapannya. "Sudah kukatakan, jangan melawan. Kau ingin aku melakukannya sekarang?"

"Kau lakukan itu, aku akan siap jadi mayat!"

Si Alpha Gila mengurungkan gerakan taringnya yang siap menggigitku. Tatapan lelaki itu terlihat bingung dan ragu. "Kau lebih suka mati daripada jadi luna-ku?"

"Jika kau berani mengeklaimku, lihat saja nanti," desisku mengancam.

Ia melepaskan jambakan di rambutku perlahan. Matanya menatapku masygul bercampur kemarahan. "Aku hanya ingin kau makan, apa kau harus bersikap sesulit ini?"

"Tidak ada yang bisa memperlakukanku kasar, selain mamaku!"

Kening si Alpha Gila berkerut seketika. "Mamamu kasar padamu?"

Kami bertemu tatap beberapa saat tanpa kata. Ekspresi Aro melunak, terlihat lebih tenang dan dewasa.

"Aku tahu kau lapar, bukan? Turunlah bersamaku. Kita sarapan bersama yang lain di dapur pack."

Ia memandang ke arah lain cukup lama, seakan menantikan jawaban tanpa mau melihatku. Aku memilih membisu. Sesekali ekor mata kami bertemu.

Aro berbalik dengan gerakan kaku, lalu melangkah pergi. Aku mengikutinya dalam diam dan melangkah hati-hati.

***

"Dorran? Kau ... kenapa kemari?"

Ini gawat. Ia seharusnya tak datang dan merumitkan keadaan.

"Tentu saja untuk menjemputmu kembali," sahutnya seraya menatap nanar ke arah Aro yang berdiri di antara kami.

Bruno mendesah. "Maaf, Alpha. Ia memaksa Aita untuk memintaku membawanya ke sini."

Aro mendengkus ke arah Dorran. "Hak apa yang kau punya untuk mengambilnya dariku?"

"Sebagai seorang yang terdekat dengannya sejak kecil?" Dorran menentang mata Aro.

Si Alpha Gila tertawa samar penuh ejekan. "Status apa itu? Bahkan jika kau menikahi Luzia pun, tak akan lebih berhak daripada aku, mate-nya."

"Aturan macam apa itu?" sahut Dorran sembari mengerutkan kening.

"Aturan manusia serigala. Penyihir sepertimu tak akan mengerti bahwa bagi kami, mate adalah yang utama."

"Luzia separuh penyihir. Ia berhak memilih masa depannya sendiri."

"Tidak, selama ia memiliki darah manusia serigala di tubuhnya dan terpilih sebagai mate-ku."

Dorran menatapku beberapa saat. Aro berdeham, seakan menegurnya agar tak menatap lebih lama.

"Itu akan tidak adil bagi Luzia," ujar Dorran dengan nada melemah.

"Siapa bilang ini adil bagiku?" Aro menaikkan sebelah alisnya.

"Jika kau tak menginginkannya, kenapa tidak kau lepaskan saja?" Suara Dorran kembali meninggi.

"Dengar, Penyihir Banci. Kecuali kau bisa membatalkan pilihan Dewi Bulan, jangan harap aku akan melepaskan."

Dua lelaki itu saling beradu tatapan garang. Bruno bergerak ke samping Aro. Dorran memandangi mereka bergantian.

"Kalian bahkan tidak akan bertanya apa keputusan Luzia? Ini soal hidupnya! Bagaimana bisa kalian begitu egois?" kecam Dorran.

"Egois adalah jika aku memaksakan kehendakku saat pertama ia kubawa ke kediamanku. Aku bisa langsung mengeklaim, bahkan melakukan mating dengannya. Apakah aku melakukan itu?" Aro mendengkus, melangkah pelan ke depan Dorran.

Kau bisa saja melakukannya jika aku tak menangis memohon waktu itu. Aku ingin sekali meneriakkan kalimat itu padanya.

"Aku masih berbaik hati memberinya waktu untuk berpikir." Ia menyeringai seraya menoleh ke arahku. "Setidaknya sampai heat-nya muncul malam ini."

Rahang Dorran mengeras. Ia bergerak maju, tetapi dengan sigap dihalangi oleh Bruno sebelum kedua tangan sahabatku itu sempat menjangkau leher Aro.

"Aku tak akan membiarkanmu!" Dorran memandangi Aro nanar.

"Jika kau ingin melihatnya tersiksa, silakan saja," balas Aro sembari mendengkus.

"Bruno!" Dorran beralih menatap protes ke saudara tiriku.

"Dalam hal ini, dia benar. Tidak ada yang bisa kita lakukan. Bahkan ayahku pun tak punya hak untuk ikut campur," ucap Bruno.

"Luzia, kau menerima ini? Kau tak mau melawan?" Dorran menatapku kini.

"Aku bahkan tak bisa menggunakan sihirku saat ini, Dorran." Kupijat kening yang terasa berdenyut sebelum menoleh ke Aro, menatap nyalang. "Yang bisa kujanjikan adalah dia hanya akan mendapatkan mayatku jika ia berani melakukannya tanpa izin."

Aro berpaling menghadapku. "Percayalah, Serigala Kecil. Saat itu tiba, kau lah yang akan memaksaku untuk melakukannya." Ia mengakhiri kalimat dengan kedipan mata tanpa senyuman.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro