CHAPTER 1. THE HATRED
Tidak mudah tinggal di Trasmoz, desa penyihir terpencil, terkucil, juga dikutuk, berada di kaki bukit yang diselimuti salju, dikepung pegunungan Moncayo di wilayah Aragon, Provinsi Garagoza. Namun, aku cukup menyukai kehidupanku meski hanya seadanya.
Di peta, Trasmoz masuk bagian utara Spanyol, sekitar empat jam lebih bila naik mobil dari Madrid. Satu hal baik soal itu, aku tak perlu sering keluar untuk membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, kecuali menemui pembeli yang datang berkunjung untuk memesan atau membeli ramuan.
Pada abad ke tiga belas, desaku sangat cantik, kaya dengan sumber air, hutan luas, dan pertambangan besi serta perak. Tercatat sekitar sepuluh ribu penduduk yang tinggal di Trasmoz.
Namun, sejak kastel yang merupakan pusat pemerintahan diduga menjadi sarang penyihir, pemerintah pusat Spanyol di bawah kekuasaan Raja Ferdinand II pada tahun 1511, dibantu oleh Paus Julius II dari Italia, mengutuk Trasmoz. Aliran air pun dihentikan. Hal itu membuat Pedro, sang penguasa desa beserta anak buahnya yang merupakan para penyihir, menderita kekalahan.
Pada tahun 1520, kastel dibakar, hingga menyisakan reruntuhan. Para ahli sihir dieksekusi, penduduk pun banyak yang memilih mengungsi.
Hanya tersisa sekitar puluhan saja yang masih setia bertahan, termasuk keturunan penyihir yang selamat. Separuhnya bahkan tidak tinggal permanen.
Jangan harap bisa melihat rumah sakit, sekolah, atau fasilitas lainnya di Desa Trasmoz. Kecuali sebuah bar, rumah-rumah tua dengan sebagian rusak terlantar, dan alam yang masih menawarkan kebaikan dan kehidupan, tak ada lagi yang bisa diharapkan. Jalanan bahkan lebih sering kosong melompong.
Namun, kehidupanku sebagai salah satu penyihir lokal modern di Trasmoz cukup damai, juga menyenangkan. Aku rasa kebahagiaan itu tidak selalu terletak pada kemewahan, tetapi lebih pada sebuah kecukupan.
Perasaan yang selalu merasa cukup itu sangat indah dan nikmat. Setidaknya aku menyadari bahwa kehidupan di luar desaku tak selalu senyaman seperti yang terlihat.
Buktinya, masih cukup banyak dari mereka yang masih datang berkunjung, meminta ramuan cinta untuk mengejar kebahagiaan semu semata. Apa mungkin bisa bahagia, jika memiliki seseorang saja harus butuh ramuan dan mantra?
Aku sedikit merapatkan jubah hijau ke tubuh, mengamati tajam setiap tanaman di sekitar pegunungan Moncayo yang sebagian tertutup salju. Sedikit cemas, tetapi terus berharap akan menemukan bahan ramuan yang diminta mamaku.
Setiap bulan Juni, selama festival Feria de Brujeria, ada satu pasar khusus menjual losion dan ramuan-ramuan. Semuanya sebagian besar terbuat dari berbagai herba, tanaman-tanaman obat di sekitar hutan pegunungan Moncayo yang memiliki efek menyembuhkan serta halusinasi.
Tujuanku adalah berjualan selama acara berlangsung. Yang lain, mungkin lebih berharap di setiap tahun untuk mendapat keberuntungan dan kehormatan terpilih sebagai Penyihir Terbaik.
Aku memang cukup tahu banyak soal pengobatan herbal. Namun, terlibat banyak dalam kegiatan memelihara sejarah serta mempromosikan segala hal terkait dengan Trasmoz, bukanlah pilihanku.
Menghafal dan berlatih mantra sihir, juga menjual losion serta ramuan demi mendapatkan uang, lebih menarik minatku. Tentu saja, tak semua penyihir di Trasmoz memiliki bakat atau bebas untuk melakukan semua itu.
Selain itu, menikmati pemandangan pegunungan Moncayo sekaligus mencari bahan-bahan herba, merupakan hal yang cukup menyenangkan untuk mengisi kebosanan. Kesempatan bagus pula untuk berkencan dengan Dorran. Meskipun, hubungan kami masih terperangkap oleh sebuah kata menyebalkan, persahabatan.
"Kau masih mencari apa?" tanya Dorran.
Sahabatku yang suka menjalin sedikit dari sisi kiri rambut ikal pirang panjangnya menjadi dua kepang kecil itu mengedarkan pandangan, tanpa menyadari aku tengah menatapnya. Ia memiliki rahang kokoh, mata gelap yang tajam, dan memakai sepasang anting keemasan yang cukup panjang menjuntai.
Satu anting bulat pun tampak tertanam di batas antara kedua lubang hidungnya. Sesuatu yang memesona, membuatku kerap merengek ingin melakukan hal yang sama. Ia tak pernah mengizinkan.
Rantai pendek dengan bandul lingkaran emas serta sebuah kalung tali berukuran panjang memiliki bandulan batu hitam yang merupakan jimat dan aksesoris di leher lelaki itu berayun saat ia bergerak. Dia tak hanya tampan, tetapi juga pernah terpilih jadi Penyihir Terbaik tahun lalu.
"Bantu aku menemukan sage dan rosemary, Dorran." Aku merapikan rambut yang dibuat berantakan oleh embusan angin menusuk kulit. "Sepertinya mulai sedikit sulit menemukan dua bahan itu di sekitar sini."
"Pesanan mamamu?" tanya Dorran sambil merapatkan jubah hijau yang sama denganku. Kami menjadikannya sebagai seragam persahabatan.
Aku mengangguk seraya menatap tanpa kedip ke arah bibir merah muda menggoda milik Dorran. Jemariku gatal ingin menyentuh alisnya yang tebal hitam dan panjang.
"Seina dan Tanis sering mengambil kedua bahan itu di sini." Ia berhenti sejenak, lalu tertawa kecil saat menoleh ke arahku.
"Berhenti memandangiku seolah kau ingin memakanku, Luzia," selorohnya. Ia menatap lembut. "Kau bisa memakai persediaan sage dan rosemary milikku di rumah."
Aku melengos, tanpa menjawabnya, melangkah menuruni pegunungan. Dia mengikutiku dalam diam.
Setiba di dekat kaki bukit, aku menghentikan langkah. Kuletakkan keranjang berisi beberapa bahan herba ke tanah. Dorran pun turut berhenti melangkah.
"Kau di sini saja. Serigalaku ingin melepaskan penat sejenak."
Dia paham apa maksudku. "Baiklah." Lelaki itu mendudukkan diri di tanah berumput yang bersalju, lalu memejamkan mata. "Lepaskan serigalamu. Aku merindukannya."
Aku tahu, ia tak akan mengintip. Dorran sangat kupercaya dalam menjagaku.
Kutanggalkan jubah dan seluruh pakaian sebelum mengubah diri menjadi seekor serigala putih bermata hijau. Keempat kakiku menghampiri Dorran, lalu mengendus-endus pipinya.
Ia tertawa geli. Mata hitamnya membuka, menatapku begitu terkesima. Hal sama yang selalu dia lakukan setiap melihat aku dalam wujud serigala.
Dorran mengulurkan kedua tangan, mengusap-usap bulu di leher dan punggungku. Dia menyentuhkan ujung hidung kami perlahan sebelum mengecup kening. Sesuatu yang tak pernah berani ia lakukan saat aku dalam wujud manusia.
"Sangat cantik," gumamnya lirih.
Aku menggeram rendah, memberinya protes. Apakah wujudku terlihat lebih menarik saat menjadi serigala?
Kubalikkan tubuh, berlari menjauh, menikmati angin mengibarkan bulu-buluku. Jejak-jejak kaki tampak tertinggal di permukaan bersalju. Aku melolong di antara lebatnya pepohonan, meneriakkan kekesalan yang Dorran tak pernah tahu.
Tentu saja Dorran tak akan mengerti meski ia sangat mencintai hewan. Sesuatu yang membuatnya terlihat manis, tetapi bodoh. Sebodoh saat dia hanya berani melakukan hal-hal romantis saat diriku dalam wujud serigala.
Matahari mulai tenggelam saat aku sadar telah menghabiskan waktu cukup lama dalam wujud serigala, hanya demi merasakan sentuhan dan kecupan Dorran. Reruntuhan yang rusak dan menara Trasmoz terlihat jelas begitu cahaya menghilang di balik puncak-puncak pegunungan.
Aku kembali ke wujud manusia dan segera mengenakan pakaian dan jubah kembali. Dorran baru membuka mata setelah mendengar deham dariku.
Ia tersenyum. "Ke rumahku dulu mengambil sage dan rosemary?"
Aku mengangguk, lalu melangkah bersamanya. Kudengar dia bersenandung secara acak. Mungkin hanya aku yang hafal nada yang ia senandungkan.
Rumah-rumah di Trasmoz terlihat seperti barisan bangunan kecil kusam, sebagian dibiarkan terlantar, tersusun tak beraturan di sepanjang bukit dengan sisa reruntuhan kastel di bagian puncak. Aku bersama Dorran melangkah perlahan menuju kediamannya.
***
"Kau sudah mendapatkan semua yang diinginkan mamamu?" tanya Bibi Clarinda, mama Dorran, yang juga pernah menjadi teman dekat mamaku.
Aku mengangguk sebelum menggeleng pelan. "Kecuali jamur rubroboletus satanas."
Wanita berambut pirang dan bermata hijau itu tercengang. "Satan's bolete? Mamamu akhir-akhir ini makin sering mencari jamur beracun itu. Untuk apa?"
"Entah. Dia terlihat makin sibuk melakukan percobaan ramuan baru," ujarku sambil meraih secangkir teh yang ia sediakan.
"Ah, Alanna. Aku kadang heran apa yang ada di pikirannya. Ia berubah banyak sejak melahirkanmu. Aku bahkan seperti tak mengenal lagi sahabatku itu."
Aku meringis. "Mama dulu memangnya seperti apa, Bibi Clarinda?"
"Cantik, berbakat, pendiam, terkesan misterius, lembut, menarik hati banyak lelaki pengunjung." Wajah Bibi Clarinda tampak berseri sejenak sebelum kembali berubah muram. "Cinta telah mengubahnya menjadi seseorang yang penuh kebencian."
"Papaku?" tanyaku antusias.
Ia terlihat ragu menjawab. "Kau harus bertanya pada mamamu soal itu."
"Hei! Luzia di sini rupanya!" Seina muncul dari pintu, lalu segera menaruh beberapa potong roti kering dengan selai yang ia bawa ke meja. "Bibi Clarinda, ini dari Mama. Ada pengunjung yang memesan selai buatannya di bar. Jadi, dia membuat cukup banyak."
Sepupu Dorran itu duduk di sebelahku sembari memperhatikan isi keranjang. "Hmm, banyak pesanan losion dan ramuan?"
Aku meraih roti dan mengunyahnya meski tak disuruh. "Lumayan."
"Di mana Dorran?" tanyanya lagi. Ia menggerakkan rambut dengan hiasan kepang satu kecil yang dibentuk mirip seperti Dorran.
"Sedang mengambil sage dan rosemary persediaannya untukku," jawabku dengan suara tak jelas karena asyik mengunyah. "Selainya enak."
Seina mengerutkan kening. "Apa?"
Aku buru-buru menelan kunyahan. "Selainya enak."
"Oh, tentu. Mamaku pintar membuatnya. Itu cukup laku di bar," ujarnya. "Minuman buatan kami pun sering dipesan pengunjung."
Kepalaku mengangguk-angguk. Bibi Clarinda tampak sibuk mondar-mandir mengambil cangkir, teko, dan sepiring biskuit.
"Seina, bagaimana kegiatan drama sejarahmu?" Ia menaruh bawaannya ke meja.
Seina meraih cangkir dan menuang isi teh di teko ke dalamnya. "Masih berjalan, Bibi. Dorran justru yang jarang aktif sekarang." Ia menyesap teh perlahan. "Apakah kalian berjalan-jalan berduaan lagi?" Dia menatapku, lalu menunjuk keranjang dengan dagu sebelum meletakkan cangkir.
"Ia menemaniku, seperti biasa. Ada masalah?" Aku bertanya balik.
"Oh, tidak. Hanya saja kini aku tahu jawabannya kenapa Dorran makin jarang ikut latihan drama." Ia menatapku sinis.
"Hei, hei. Sudah. Kenapa ribut?" tegur Bibi Clarinda. "Dorran bisa memilih apa yang ingin ia lakukan."
Aku mencibir ke arah Senia sebelum meraih sepotong roti dan mencelupkannya ke selai. Gadis itu melotot saat melihatku sengaja memperlihatkan dan membunyikan kunyahan.
"Aku membawanya untuk Dorran!" protesnya, merengut.
"Milik Dorran adalah milikku," ucapku tandas.
"Siapa bilang?" Ia melotot.
"Tanya saja dia," sahutku acuh tak acuh.
Dorran muncul dari balik tirai. "Ribut sekali. Suara kalian terdengar hingga ke belakang."
Ia menaruh beberapa tangkai sage dan rosemary ke keranjangku. "Aku rasa itu cukup." Matanya menatapku lembut.
"Sepertinya begitu." Aku kembali mengambil sepotong roti dan mencelupkannya ke selai sebelum masuk ke mulut.
"Lihat, Dorran! Luzia menghabiskan rotimu!" protes Seina lagi. Mata gadis itu hampir berkaca-kaca. Wajahnya semasam cuka.
Dorran tertawa. "Biarkan saja. Milikku adalah milik Luzia."
"Ha! Kau dengar?" ejekku.
"Bibi Clarinda! Lihat kelakuan Luzia!" rengeknya kesal.
"Luzia, kau tak buru-buru pulang? Mamamu nanti mengomeli lagi," ujar Bibi Clarinda, mengabaikan Seina. "Dorran, antarkan Luzia ke rumahnya."
Seina melebarkan mata. Aku bangkit, memasang ekspresi mengejek ke arahnya. Sengaja kugandeng lengan Dorran sambil membawa keranjang di tangan lain.
"Bibi, aku pulang dulu. Selamat tinggal, Seina. Dorran akan mengantarku."
Seina mengentakkan kaki dengan ekspresi ingin menangis. Dorran menggeleng-gelengkan kepala sambil mengajakku mempercepat langkah menuju pintu.
Udara dingin dan gelap malam menyambut saat keluar dari kediaman Dorran. Kami berjalan perlahan dalam keheningan.
"Kau tahu Seina bagaimana. Jangan terlalu sering bertengkar dengannya," ucap Dorran setelah beberapa saat.
"Dia sepupumu, tetapi tingkah dan sikapnya seakan-akan ia kekasihmu," gerutuku.
"Ia memang ingin memaksaku menyetujui perjodohan yang disarankan mamanya. Aku sudah jelaskan bahwa kami hanya bisa menjadi saudara," ujarnya.
"Tetap saja. Itu mengesalkan. Kenapa ki ... eh, maksudku kau tak memilih seorang kekasih saja agar dia tak lagi mengganggu?" Aku ingin sekali menampar mulutku yang hampir kelepasan bicara.
"Belum waktunya. Masih banyak yang harus aku pikirkan." Dorran mendesah. "Aku tak ingin gadis pujaanku memiliki beban."
"Beban apa? Siapa yang kau maksud?"
Dorran tersenyum. "Nanti kau juga tahu. Aku ingin memastikan ia bebas dari semua beban dulu, baru melamarnya nanti."
Dadaku bergemuruh. Dorran menyukai seseorang? Siapa? Apa aku mengenalnya?
Kami kembali berjalan dalam hening, hingga tiba di depan rumahku. Buru-buru kulepaskan rangkulan tangan darinya.
"Kau pulang saja, tak usah menemui mamaku," usirku.
"Kenapa begitu? Aku harus memastikan ia tak memukulimu," ucapnya lirih.
"Aku tak akan mati meski ia pukuli. Tubuhku kuat," sahutku.
Ia menggeleng. "Masuklah. Aku akan menunggu sampai yakin kau baik-baik saja."
Aku mengalah. Kulangkahkan kaki menuju pintu dan mengetuk pelan.
Tubuhku berbalik, menatap Dorran. "Kau pulang saja."
Sepertinya mamaku akan marah lagi. Aku tak ingin Dorran melihat saat wanita itu mengamuk memukuli.
Pintu terbuka lebar. Mama berdiri di tengah, lengkap dengan kerudung merah di kepalanya. Ia memegang sebuah sapu di tangan.
Tanpa banyak mulut, dia langsung memukulkan gagang benda itu ke tubuhku bertubi-tubi. Aku berusaha menahan dan menghindari.
"Bibi Alanna! Jangan begitu!" Dorran mencoba melerai sambil mencoba menghalangi pukulannya.
"Minggir kau!" teriaknya pada Dorran. Mama kemudian menatapku. "Dasar pelacur! Sudah kubilang jangan berhubungan lagi dengan keluarga Clarinda! Kau masih saja bersama anaknya! Masuk!"
Aku gemetar sambil menahan tangis. Bukan karena takut atau rasa sakit, tetapi lebih pada merasa marah bercampur malu pada Dorran. "Mama, aku tadi hanya mengambil bahan untuk ramuan! Aku tak berbuat hal yang memalukan!"
"Tutup mulutmu! Masuk!" bentaknya. Ia menatap tajam ke arah Dorran. "Kau, pergi dan berhenti menemui Luzia! Aku tak melahirkan dan membesarkannya untuk memuaskan nafsumu! Cari perempuan lain, tinggalkan putriku!"
Mama menarikku kasar untuk masuk ke dalam sebelum membanting pintu di depan Dorran. Aku sempat melihat ekspresi lelaki itu yang begitu cemas dan penuh sesal.
"Mama! Dorran tak pernah melakukan hal buruk padaku! Kenapa kau tega bicara sekasar itu padanya?!"
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. "Dasar pelacur! Semua lelaki sama! Mereka hanya ingin bersenang-senang, lalu pergi setelah mendapatkan tubuhmu! Kau paham?! Gunakan otakmu! Kau berutang seumur hidup padaku yang sudah melahirkan dan membesarkanmu! Hidup dan masa depanmu ada di tanganku!"
Sehabis berkata itu, ia segera merampas keranjang dari tanganku dan masuk ke kamarnya. Tinggallah aku yang menahan rasa marah dan sebuah pertanyaan di benak.
Papa ... apakah dia yang membuat mamaku begitu menderita dalam kebencian?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro