9. Mungkin Salah
FOLLOW INSTAGRAM AKU: alaiaesthetic & radenchedid (cadangan). Biar engga ketinggalan info tentang ceritaku! 🤍
9. Mungkin Salah
Kai terpaksa pulang dengan tangan hampa. Dia sangat kesal dan kecewa karena apa yang ia cari tidak ditemukan.
Rasanya seluruh yang ada di hadapannya ingin ia tabrak dengan mobil ini. Zito yang duduk di sebelahnya sudah berulang kali menegur Kai agar fokus menyetir.
"Kalo sampe Alaia ga bisa gue temuin, kelar semuanya! Abis harta gue!" Kai berseru penuh amarah. Dia bahkan sampai memukul stir.
Zito membuang napas berat, kedengarannya ia cukup lelah menghadapi Kai. Tanpa menoleh ke arah sohibnya, dia berkata, "Ya udahlah, Kai."
"Ya udah gimana?!" Intonasi Kai makin meninggi.
"Biarin aja Alaia pergi. Biarin dia idup tanpa lo. Selama Alaia sama lo, dia kesiksa." Zito berkata dengan nada sedikit lebih rendah.
Karena sebetulnya setiap kali bertemu Alaia, Zito merasa kasihan. Ingin menolong pun tak semudah itu. Zito harus berpikir ratusan kali.
Kai menoleh sekilas ke Zito. Tatapannya lebih garang dari sebelumnya. "Lo ga tau apa-apa soal Alaia. Dia ga pernah ngeluh! Ga pernah marah ke gue, To!"
"Dia takut, Kai!" Zito balas setengah teriak.
"Lo sok tau." Kai mencengkram stir dengan kuat. "Gue yang lebih kenal Alaia."
"Tapi gue tau. Gue punya anak. Gue lebih paham," ungkap Zito.
"Halah!" Kai makin menjadi-jadi. "Lo bisa diem ga? Gue lagi pusing!"
"Gue udah bilangin lo berapa kali, kalo lo butuh Alaia, ya lo rawat dia selayaknya. Jangan semena-mena, Kai." Zito menuturkan.
"Diem! Jangan ajarin gue," sambar Kai.
Kali ini Zito tidak mengatakan apapun. Temannya yang satu itu memang sangat keras dan susah sekali dinasihati. Apa yang Zito katakan jarang didengar oleh Kai.
Kai terlalu menyebalkan untuk hidup di dunia.
"Gue ga bakal nyerah. Besok gue cari lagi Alaia, sampe ketemu! Harus ketemu!" papar Kai menggebu.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Hidup Ragas sepi kalau tidak ada Langit.
Dia duduk selonjoran di sofa sambil memainkan ponsel. Bunda tidak kelihatan di sini, mungkin beliau sudah masuk ke kamar.
Ragas sibuk chatting dengan teman tongkrongan, sampai televisi dikacangi oleh dia. Sekarang bukan Ragas yang menonton tv, melainkan tv menonton Ragas.
Ragas:
Wassap brobro
Jio:
hai meng
Nemesis:
Apa kbr sahabat
Leza:
Kemane aja lu gas, ngilang dr kemaren
Jio:
sibuk ngenski ye gas
Ragas:
Sini lu ke rmh bawain makanan
Gue lg atit
Nemesis:
Ututu atit apa agas
Ragas:
Jomplang dali motol ☹️
Jio:
mampus goblok akwoakwok
Skipper:
Langganan ye gas, gpp lama2 akrab lu sm aspal
Nemesis:
Kok masih idup gas
Leza:
Ini langit kali nih, ragas udah tenang ye ngit?
Skipper:
Innalillah🤲🏿
Ragas:
Tai
Nemesis:
Simulasi meninggal
Jio:
tolol anjing akwokwko
Sungkem dulu gas biar dosa lu berkurang
Skipper:
Ga ngaruh, dosa ragas udah di atas rata2
Ragas:
ASEDEKONT**
Nemesis:
Ngegasnya keluar
Skipper:
Namanya jg ragas, raja ngegas
Leza:
Ragas kalo kalem aneh
Nemesis:
Kayak psikopat kan
Leza:
Iye, takut tbtb dimakan w
Skipper:
Bentar lg kita dimakan
Ragas:
Tu tau
Leza:
Aww tatut,,
Indigo:
GAS, BASTIAN MAU NYAMPER LANGIT
GAS, BASTIAN MAU NYAMPER LANGIT
GAS, BASTIAN MAU NYAMPER LANGIT
Nemesis:
Apeni kenape ni
Leza:
Kenapa go?
Jio:
ap mksutt
Skipper:
Nyari mati awokwokwk
Nemesis:
Diketawain langit lu bas..bas..
Ragas:
NGAKAKAKA
Biarin aje bocil
Indigo:
Ngaceng
Ngakak kenceng
Nemesis:
Go, lu beneran indigo ye bisa tau bastian mau nyamper langit
Indigo:
Kaga anying wkwkkwkw temennye ngasi tau gua
Skipper:
Temennya cepu anjingg
Jio:
temennye pasti ngakakin bastian
Nemesis:
Samperin balik kuy
Ragas:
Tunggu gua nyet
Nemesis:
Iye, sembuh dulu syg
Ragas:
Siap yang
Nemesis:
Lopyu ayangie
Jio:
SKIP SKIP
Skipper:
Ape
Jio:
bukan manggil lu bego 😭
Skipper:
TOLOL
Jio:
ELU
Ragas:
Lu smua goblok gua doang pinter
Leza:
Burem ga kebaca
Ragas:
ANYING SIA
⚪️ ⚪️ ⚪️
Hari makin larut, Langit dan Alaia masih di tempat yang sama. Gadis itu duduk membelakangi Langit, posisinya bersandar ke badan Langit.
Satu tangan Langit berada di atas perut Alaia, jemarinya dimainkan gadis itu. Pandangan Alaia ke depan, tepatnya ke hamparan laut.
"Langit," panggil Alaia.
"Hm?" Langit menyahut, disusul menelan sosis pada gigitan terakhir.
"Apa kamu punya ekor?" tanya Alaia.
Langit terkekeh kecil. "Nggak. Gue manusia normal, asli seratus persen."
Alaia terdiam lagi. Ia berpikir dulu sebelum bicara kembali. "Aku ga normal ya?"
Pertanyaannya tak mendapat jawaban dari Langit. Cowok itu diam, yang terdengar hanya deru napasnya, itupun samar-samar.
Karena Langit tak menjawab sampai keadaan mendadak hening, Alaia pun mengubah posisinya. Ia duduk tegap dan berputar menghadap Langit. Sekarang, ia bisa melihat wajah ganteng itu dari jarak yang dekat.
Tatapan Langit selalu membuat jantung Alaia berpacu hebat. Ibarat ikan mental ke daratan ... bergerak cepat tidak bisa diam.
"Kamu ga mau jawab?" tanya Alaia.
"Lagi mikir." Langit menyahut.
Bayangkan mendengar suara berat Langit dari dekat, ditambah lagi tatapannya mengarah ke matamu terus. Seperti itu yang sedang Alaia rasakan sekarang.
"Lo normal, bedanya lo bisa berubah jadi dugong—" Langit berhenti sejenak. "Maksud gue duyung, mermaid lah tepatnya."
"Lo mermaid atau siren ya?" Langit malah bingung.
Alaia menggeleng, ikutan bingung. "Aku ga tau. Apa yang aku tau?"
Segera Langit mengambil ponsel yang sengaja ia taruh di atas rerumputan, tepat di dekat pahanya. Langit bertujuan mencari artikel tentang mermaid dan siren di internet.
Sementara Langit mencari, Alaia menunggu dengan tenang. Jajanan mereka masih ada, sisa satu sosis bakar. Alaia ingin mencicipnya tapi ia mengurungkan niat tersebut —merasa tak enak hati.
"Nih." Langit menemukan artikel yang dicari.
Ia membaca tulisan yang tertera di sana, "Mermaid itu makhluk berwujud setengah perempuan cantik dan setengah ikan."
"Siren juga sama, bedanya...," ucap Langit, menggantung. "Bedanya siren jahat. Mereka ngincer nelayan buat dibunuh, senjatanya tuh suara mereka. Mereka punya suara yang merdu banget, yang bisa ngehipnotis nelayan."
Alaia meringis. "Aku nggak kayak gitu...."
Langit mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ke Alaia. "Tapi gue pernah denger lo nyanyi. Sumpah suara lo enak, Al."
"Tapi aku nggak bunuh siapapun." Alaia ketakutan sendiri.
"Masa?" Langit sengaja membuat Alaia cemas.
Alaia mengangguk cepat. "Kamu harus percaya... aku nggak begitu."
Langit menahan tawa. Dia menaruh ponselnya ke tempat semula, lalu melipat kedua tangan seraya sedikit mencondongkan badan ke Alaia. Jarak mereka makin menipis.
"Kok panik banget?" tanya Langit.
"Takut kamu mikir aku bohong, terus ga mau sama aku lagi," kata Alaia.
Langit tertawa singkat. Terkadang tutur kata Alaia membuatnya ingin terbahak, apalagi kata-katanya yang barusan. Seakan Alaia dan Langit memiliki hubungan lebih dari teman.
"Langit percaya," ucap Langit. "Di dalem hubungan itu harus saling percaya."
Alaia tersenyum manis. Gadis itu memandang cowok di hadapannya ini dan tiba-tiba berkata, "Aku suka Langit."
Senyum Langit terukir spontan. "Kenapa suka?"
"Karena itu kamu," jawab Alaia, ekspresinya polos sekali.
Langit tidak bisa menahan tawa lagi. Apapun yang Alaia katakan terasa lucu bercampur menggemaskan. Ia menyeletuk, "Kenapa gemesin banget sih?"
Alaia berkedip sekali. "Aku?"
"Iya, siapa lagi yang ada di sini selain kita," balas Langit.
Alaia menunduk sebentar, lalu menengadah lagi untuk melihat Langit. Pipinya bersemu merah, ini menandakan Alaia sedang salah tingkah.
"Dada aku rasanya aneh diliatin kamu." Alaia berkata.
"Gimana rasanya?" tanya Langit.
"Sedikit pengap, geter-geter, perut aku jadi ga enak juga." Alaia menjelaskan sebisanya, tapi mengakibatkan panas di muka. "Aku malu...."
Senyum Langit semakin lebar. Tanpa mengeluarkan suara lagi, Langit meraih satu tangan Alaia untuk ditempelkan ke dadanya. Telapak tangan Alaia menyentuh dada Langit yang terlapis hoodie.
Langit menekan tangan Alaia agar cewek itu bisa merasakan getaran di sana. Jantung Langit berdetak cepat, ritmenya lebih cepat dari biasanya. Alaia terdiam, meresapi irama itu.
"Jantung lo gini juga ga?" Langit bertanya.
Alaia menatap Langit. Ia mengangguk sebagai jawaban. Lantas Langit menurunkan tangan Alaia dari tempat awal dan mengamati gadis itu dengan tatapan mendalam.
"Itu kenapa?" Alaia ingin tau.
"Ga kenapa-napa, itu normal." Langit menjawab, padahal ia tau ada penjelasan lebih tentang ini.
Kemudian Langit mengalihkan arah mata ke bungkusan berisi sosis. "Abisin. Mau kan?"
Alaia memamerkan senyum manisnya lagi. "Bagi dua, ya?"
"Buat lo aja, gue udah kenyang."
Mata Alaia berbinar. "Terima kasih, Langit."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Kai baru saja tiba di rumah. Rumahnya cukup besar dan luas, termasuk mahal dari antara rumah-rumah lain di sekitarnya.
Dia memiliki banyak harta tapi sangat pelit terhadap Alaia. Padahal, tanpa Alaia hidup Kai susah dan serba kekurangan.
Zito langsung pamit, ia enggan mampir ke rumah temannya ini. Zito membawa motor karena jarak rumahnya dengan Kai tak begitu jauh, hanya menyita waktu kurang dari sepuluh menit untuk tiba.
Setelah Zito menghilang dari pandangannya, Kai menggerutu pelan sambil masuk ke rumah. Semenjak Alaia pergi, Kai tinggal sendirian di sini. Tapi... ada ataupun tidak ada Alaia, rasanya tetap sepi karena gadis itu selalu Kai kurung di sebuah ruangan.
Ia sudah cukup umur untuk membangun rumah tangga, tapi Kai sama sekali tak berminat melakukannya. Dia lebih senang hidup sendiri dan membahagiakan dirinya sendiri.
Kai membanting diri ke sofa dan terdiam sebentar. Tak lama kemudian, ia tersenyum miring. "Alaia ga bakal bisa lepas dari gue. Liat aja."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Malam ini rencana Bastian untuk mendatangi Langit gagal total. Ia tidak menemukan keberadaan Langit dan ujung-ujungnya ia menyalahi Lila atas semua ini.
Sekarang Bastian datang ke rumah Lila. Ia bersikap sopan pada kedua orang tua Lila, bahkan izin membawa Lila keluar rumah untuk sebentar.
Lila menolak, namun mengingat ancaman Bastian seketika membuat pertahanannya runtuh.
Ketika mereka tiba di taman sepi yang terdapat di perumahan ini, Lila langsung menepis tangan Bastian dan mundur dua langkah.
"Mau ngapain?" Lila berkata penuh penekanan.
"Kamu nyuruh Langit ngumpet dari aku kan?" Bastian berucap, lebih tepatnya menuduh. "Ngaku!"
"Apa sih?!" Lila jelas saja mengelak.
"Kebangetan kamu, La. Segitunya belain Langit. Aku ini pacar kamu!" Bastian marah.
"Belain apa? Jangan ngada-ngada lah, Bas! Udah malem jangan bikin orang pusing!" cetus Lila.
"Ga usah drama." Bastian menyahut lagi.
Lila makin terheran-heran. "Apanya yang drama? Kamu yang dari awal kayak orang kesetanan, aku nggak tau apa-apa!"
"Nyaut terus!" sebal Bastian. "Sekarang kasih tau aku Langit di mana. Cepet!"
"Ga tau!" Lila membalas.
"Lila!" Bastian gemas, kedua tangannya mengepal kuat. "Nurut aja kenapa sih?! Tinggal jawab Langit di mana, abis itu aku pergi."
"Aku ga tau Langit di mana!" Lila mau nangis saking kesalnya.
"Kamu tau tapi pura-pura ga tau." Bastian masih saja mengikuti pikirannya yang salah.
"Terserahlah. Mau bilang apa juga percuma. Capek ngomong sama kamu," ungkap Lila.
Kala Lila hendak meninggalkan tempat, Bastian mencekal dan melarangnya untuk pergi. "Kasih tau dulu, baru aku bolehin pulang."
"Dibilang ga tau, kok maksa mulu sih?! Aku ga tau Langit di mana! Ga semua hal aku tau kali!" Lila sudah tidak bisa menahan lagi.
"Tetep ga mau kasih tau nih?" Bastian mengangkat satu alisnya. "Mau aku hukum pake apa? Mau aku sebar—"
"Diem, Bas! Kamu tuh makin lama makin ngeselin!" Mata Lila berkaca-kaca.
"Kamu yang ngeselin," balas Bastian, seraya mencengkram lengan Lila. "Aku ga bakal lepasin sampe kamu kasih tau di mana Langit."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Jam sembilan lewat lima menit, Langit terbangun dari tidurnya. Dari celah gorden, terlihat awan mendung di luar. Ia meraih ponsel, menemukan notifikasi dari Bunda yang diterima setengah jam lalu.
Bunda:
Bunda sm ragas lg di RS 🏥 Sepi bgt
Jgn lupa sarapan ajak si cntik y
Dengan menggunakan satu tangan, Langit segera membalas pesan dari Bunda.
Langit:
Iya bun
Bunda:
Mau dibawain ap gntng
Langit:
Martabak
Bunda:
Pagi2 mna ada yg jual mrtbk,,
Langit:
🥺👉🏿👈🏿
Bunda:
Banyak mau lau
-ragas kasep
Langit:
Gue pukul lu
Bunda:
No no jgn brntm
Bunda:
Sarapan dlu syg
Langit:
Siap ibu negara
Langit meninggalkan kamar, ia pergi ke kamar mandi untuk cuci muka. Mandi? Belakangan saja. Yang penting isi perut dulu.
Setelah selesai berurusan dengan kamar mandi, Langit beranjak lagi. Sambil jalan ke dapur, ia celingukan mencari Alaia. Anak itu tak kelihatan wujudnya.
"Masih molor kali," pikir Langit.
Maka Langit berniat mengunjungi kamar Alaia terlebih dahulu, sebelum menjelajahi dapur. Seperti yang Bunda pesankan tadi, Langit harus mengajak Alaia sarapan.
Belum sempat ke kamar Alaia, langkah Langit terinterupsi ketika telinganya menangkap suara air. Suaranya berasal dari taman belakang rumah.
Lelaki itu menggunakan langkah besar untuk cepat tiba di sana. Pintu taman yang terbuat dari kaca terbuka setengah, menandakan ada orang yang berkunjung.
Mata Langit membulat saat ia lihat seseorang menyembul dari dalam kolam. Lalu orang itu menyelam lagi, ekornya bernari di bawah air, juga rambut panjangnya berkibaran indah.
"Alaia?" Langit mendekat ke kolam.
Alaia berbalik, ia berenang dengan posisi telentang. Dia juga bersenandung, walau hanya gumaman tapi terdengar begitu merdu.
Gadis itu belum menyadari kehadiran Langit. Namun saat Alaia membuka mata, ia agak tersentak melihat Langit berdiri di tepi kolam. Alaia pun berbalik badan lagi dan berenang menghampiri Langit.
"Langit! Aku baru tau kamu punya laut di rumah," ucap Alaia.
"Ini bukan laut, anjir." Langit menyahut.
"Itu—" Dada Alaia bikin Langit salah fokus. "Ya Allah, masih pagi!"
"Iya, masih pagi." Alaia malah menyahut dengan senyum tanpa beban.
"Pagi-pagi udah bikin bangun!" celetuk Langit.
"Aku ga bermaksud bangunin kamu. Kalo mau tidur lagi, tidur aja...," ujar Alaia.
Langit tak berkata-kata. Ia berjongkok tepat di depan Alaia dan berucap, "Jangan lama-lama, takutnya keburu Bunda sama Ragas pulang."
Alaia mengangguk. "Iya, aku sebentar lagi selesai."
Terjadi hening di beberapa detik setelahnya. Langit mengamati ekor Alaia terus, sementara Alaia memandangi wajah Langit secara diam-diam.
"Mau ditemenin renang ga?" Langit menawarkan.
"Mau," sahut Alaia.
Lantas, Langit melepas kaos dari badannya. Ia telanjang dada, memamerkan perutnya yang terbentuk hasil olahraga. Pemandangan ini membuat jantung Alaia kumat lagi.
Langit turun ke air, ekspresi datarnya bikin meleleh. Ganteng banget!
Alaia menjauh, berenang ke sisi kanan kolam. Langit tidak ikutan, dia menunggu Alaia kembali. Saat Alaia berbalik, Langit menyelam dan renang mendekat ke cewek itu.
Kedua tangan Langit bergerak meraih pinggang Alaia. Ia menariknya untuk didekap, tapi malah Alaia yang duluan memeluk Langit.
Keduanya naik ke permukaan, masih dengan posisi yang sama. Perlahan Alaia melepas pelukan, tapi tangan Langit masih mengunci badannya sehingga Alaia tak bisa ke mana-mana.
Wajah mereka dekat sekali dan ini sungguh menyiksa Langit. Sekuat mungkin cowok itu menahan godaan yang benar-benar besar.
"Inget, cuma boleh begini sama Langit." Langit membisik Alaia.
Alaia mengukir senyum kecil. "Aku inget terus."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Hujan deras turun sejak Langit dan Alaia meninggalkan taman, kurang lebih lima belas menit yang lalu.
Mereka sudah mandi dan sarapan. Sekarang keduanya berada di ruang keluarga, duduk berdua di sofa. Langit di pojokan, Alaia di tengah.
Bunyi krauk-krauk yang berasal dari Langit membuat Alaia menoleh. Cowok itu sedang anteng makan kacang telur sambil menyaksikan tayangan kartun.
"Mau?" Langit menawarkan kacang.
Alaia tersenyum lebar, tentu tak menolak. Ia mendekat, lalu mengambil satu butir kacang dari toples. Bagi Alaia, rasanya enak tapi pedas.
Kemudian Alaia beranjak, mau pergi ke dapur untuk mengambil minum. Langit segera mengubah posisinya jadi tiduran di sofa. Wadah kacang ia letakkan di atas meja.
Tak lama setelah itu, Alaia kembali sambil berlarian kecil. Dress pendeknya bergerak-gerak, seirama dengan gerakan rambutnya juga.
Melihat Langit tiduran, Alaia berniat untuk duduk di sofa seberang. Dia tidak sadar akan tatapan Langit tak berhenti tertuju padanya.
Langit pun menutup toples isi kacang telur dan menaruhnya di atas meja. Dia bangun dari sofa, mendekat ke Alaia yang sedang tertawa melihat tingkah The Powerpuff Girls di televisi.
Kedatangan Langit membuat Alaia bergeser sampai ke ujung sofa. Secara tiba-tiba Langit mengangkat kaki Alaia, otomatis posisi Alaia jadi selonjoran di sofa.
"Bunda sama Ragas baru bisa pulang kalo ujan reda," ungkap Langit.
Bunda tidak mau mengambil risiko untuk berkendara di saat cuaca menakutkan seperti ini. Apalagi yang mengendarai mobil adalah Bunda, bukan Ragas. Jadi, Bunda memberi tahu Langit bahwa mereka akan telat kembali ke rumah.
Tapi Bunda tidak tau, anak bungsunya di rumah mulai menganu....
Langit naik ke sofa, sedikit merangkak ke Alaia, lalu menjatuhkan badan ke tubuh mungil itu dan memeluknya.
"Pinjem badanmu bentar." Langit berucap.
⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️
Terima kasih udah baca ALAÏA!!!
Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa😍🧜🏻♀️
instagram: @radenchedid
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro