7. Hanya Alaia
FOLLOW INSTAGRAM AKU: alaiaesthetic & radenchedid (cadangan). Biar engga ketinggalan info tentang ceritaku! 🤍
7. Hanya Alaia
Alaia berenang dengan cepat di laut. Ia tak menemukan kawanan lumba-lumba. Ke mana mereka semua?
Alaia cemas sekali.
Ia terus berenang tanpa mau menyerah. Alaia tak akan membiarkan pemburu itu membawa satupun lumba-lumba. Hati kecilnya tidak rela.
Setelah sekian menit berkelana di dalam air, akhirnya Alaia menemukan apa yang ia cari. Ada tiga ekor lumba-lumba di jarak beberapa meter darinya. Segeralah Alaia menghampiri.
Alaia menyentuh badan salah satu lumba-lumba, membuatnya berbalik dan mendekati Alaia. Alaia masih belum paham cara berkomunikasi dengan mamalia ini, tapi ia merasa paham apa yang mereka rasakan.
Lantas Alaia memberi isyarat lewat pergerakan tangan yang berarti; "Di sana ada kapal besar penangkap lumba-lumba. Mereka mencari kalian. Kalian harus bersembunyi, jangan sampai mereka lihat!"
Seakan mengerti maksud pesan yang Alaia sampaikan, lumba-lumba itu langsung menjauh dan berenang ke arah bawah. Alaia ditinggal sendirian.
Namun sekarang Alaia menjadi lebih tenang. Pemburu itu tak akan menangkap apapun. Sekarang waktunya Alaia kembali ke Langit.
Ia berenang menuju dermaga. Dari bawah air, terlihat refleksi Langit yang menunggu sambil duduk di ujung dermaga.
Langit yang sedang menunduk itu otomatis melihat figur Alaia mendekat. Cewek itu menyembulkan kepala ke permukaan.
"Lo ke sana, gue juga ke sana." Langit menunjuk tepi pantai.
Dermaga lebih tinggi di atas permukaan laut dan Langit yakin Alaia tak akan bisa menggapainya. Jadi, ia meminta gadis itu untuk berenang ke tepi.
Langit berlari, seperti berlomba-lomba bersama Alaia siapa yang akan tiba duluan di sana. Tidak lupa Langit memungut sendal Alaia yang tergeletak di dermaga.
Langit harus melangkah lebih besar lagi untuk cepat mendekat ke Alaia. Sebelum Alaia mencapai bibir pantai, Langit menyuruhnya untuk berhenti.
Cowok itu jalan sampai kakinya bertemu dengan air laut. Langit terus berjalan hingga air itu mencapai pinggangnya.
Alaia berhenti berenang. Ia bingung bagaimana cara untuk kembali ke daratan bila kakinya tidak ada. Tanpa Alaia sadari, tubuhnya menginginkan kaki itu kembali. Maka, ekor itu perlahan berganti menjadi sepasang kaki.
Alaia berdiri dan berhadapan dengan Langit. Ia nyengir lucu, tapi Langit seketika melotot lebar-lebar. Lagi-lagi dia syok karena Alaia.
"Ya Allah Gusti nu Agung—" Langit terkesiap melihat Alaia tanpa busana.
Alaia menunduk untuk melihat badannya. "Wah, ke mana ya bajuku?"
"ANJIR, ILANG?!" Langit tersentak.
Gadis itu menggaruk pipi dan mencoba mengingat ke mana pakaiannya pergi. Ia juga berpikir, apakah pakaiannya menghilang akibat kakinya berubah menjadi ekor? Atau bagaimana?
Cepat-cepat Langit melepas hoodie hitam dari badannya. Ia menyerahkan benda basah itu kepada Alaia untuk dipakai.
Alaia sempat kesulitan memakainya karena hoodie itu menjadi berat ketika basah. Langit pun membantu memasangkan ke badan mungil Alaia. Ia memastikan bagian bawah Alaia tertutup.
Setelah hoodie itu melekat di Alaia, Langit mengajaknya pulang.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Lila takut bila Bastian benar-benar mau memulai perang dengan Langit.
Hujan deras menghalangi Lila untuk mencari Langit. Dia juga kesulitan menghubungi Bastian karena sinyalnya jelek.
Sekarang Lila terdiam di suatu tempat untuk berteduh, tapi pikirannya sama sekali tak bisa tenang. Segala hal negatif berputar-putar dalam benak Lila.
Lila cukup mengenal Bastian. Ia tau betul Bastian selalu serius dengan semua ancamannya. Itulah yang membuat Lila cemas bila Langit menjadi sasaran pacarnya.
"Aduh, sinyalnya kenapa harus ilang sih?" Lila menggerutu, melihat perubahan sinyal di ponselnya menjadi no service.
Ia melirik ke kiri dan kanan, hanya menemukan dua lelaki di sekitarnya. Mereka sama-sama berteduh di kedai kosong ini. Sepertinya dua orang itu berteman.
Lila memberanikan diri untuk mendekat. Ia menyingkirkan rasa gengsi dan malu. Keadaan memaksanya untuk bersikap seperti ini pada orang yang bahkan tak ia kenal.
"Permisi, boleh minta tolong?" Lila berujar.
"Iya, kenapa?" Salah satu cowok menyahut.
"Sinyal kalian bagus, nggak? Sinyal gue ga ada, padahal harus hubungin seseorang karena urgent banget." Lila berkata.
Mereka berdua serempak mengecek ponsel. Beruntungnya kartu mereka sama-sama memiliki sinyal, meski tak sebagus sebelum hujan datang.
"Ada. Mau minjem?" Cowok yang memakai baju putih itu menawarkan.
"Boleh?" Lila memamerkan ekspresi termanis sepanjang masa.
Cowok tadi mengangguk dan menyodorkan ponsel miliknya pada Lila. "Pake aja."
"Makasih ya!" Lila menerima ponsel itu.
Ia lalu mundur dua langkah sambil mengetik nomor Bastian. Kemudian ia memanggil dan menunggu Bastian menerima. Lila harap Bastian mau mengangkat. Ia takut Bastian menolak panggilannya karena cowok itu tak kenal nomor yang Lila pakai.
Tut-tut-tut— Bastian menolak panggilan.
"Ck," decak Lila. Ia mencoba sekali lagi.
Setelah tiga kali ditolak, akhirnya Bastian menerima panggilan itu.
"Bas, ini Lila." Lila yang pertama membuka percakapan.
"Iya, tau." Bastian menyahut.
Lila mengerutkan kening. "Tau dari mana?"
"Aku liat kamu. Bagus ya, makin liar kamu di belakang aku. Itu cowok-cowok mau dipukulin sekarang apa nanti?" Bastian berujar dengan tenang.
Jantung Lila seperti hampir mental dari tempatnya. Ia otomatis was-was dan matanya bergerak melirik ke beberapa titik, siapa tau ia menemukan Bastian.
"Kamu di mana?" Lila bertanya, suaranya merendah.
"Otewe samperin kamu."
"Nggak. Ga usah!" Lila melarang.
"Jangan larang aku."
"Kalo kamu ke sini, aku bener-bener ga mau lagi berhubungan sama kamu ya, Bas! Ga usah macem-macem!" Lila panik.
"Haha." Bastian tertawa mengejek.
"Aku ga kenal mereka. Kamu ga usah nyari perkara!" Lila setengah berteriak, membuat dua cowok tadi spontan memberi tatap.
Secepatnya Lila mematikan sambungan telepon dan mengembalikan ponsel itu ke sang pemilik. Ia berkata, "Makasih, ya. Block aja nomor yang tadi. Sorry ngerepotin!"
Kemudian Lila berlari meninggalkan kedai dan tak peduli tubuhnya menjadi basah akibat diserbu air. Padahal baju Lila tipis, bisa-bisa pakaian dalamnya terterawang kalau bajunya basah.
"LILA!" Panggilan kematian.
Lila menoleh, menemukan Bastian ada di sana. Berdiri di dekat kedai yang semula Lila tempati. Bastian memberi kode gerakan tangan yang artinya 'cepet ke sini!'.
Karena Lila tak mau, maka ia menggeleng. Bastian malah kesal dan kakinya bergerak menuju kedai tadi. Bastian berniat menemui dua cowok itu.
Tanpa basa-basi, Bastian langsung melesatkan satu pukulan ke wajah cowok yang memakai hoodie merah gelap. Tentu saja dia terkejut bukan main.
Temannya yang memakai baju putih itu segera mendorong Bastian untuk menjauh.
"Apa-apaan lu?!" Si baju putih marah.
Melihat kejadian tersebut Lila langsung berlari ke sana. Ia harus menghentikan Bastian agar tak ada korban 'salah sangka' lainnya. Tiba di sana, Lila menarik Bastian keluar dari kedai.
"Udah gila kamu, Bas!" Lila kesal.
"Kamu ga pernah puas sama satu cowok," balas Bastian.
"Jangan ngawur!" sentak Lila.
"Ngawur dari mana? Liat nanti malem, selingkuhan kamu itu bakal aku bikin ancur." Bastian berucap disusul tawa jahat.
"Jangan bawa-bawa Langit!" Lila memukul dada Bastian.
"Telat. Siapa suruh lama ngerespon chat aku? Ditelpon juga ga angkat. Nyesel ya?" Bastian mengejek.
"Emang kamu tau alesan kenapa aku lama ngerespon? Aku ga pegang hp dari tadi! Aku ga tau ada notif dari kamu!" Lila berseru membela diri.
"Aku keliatan peduli ga?" Bastian menyahut, seperti biasa ia selalu menyebalkan bila mood-nya sedang buruk.
Lila tidak tahan, dia mau nangis.
"Aku bisa batalin buat nyamper Langit. Tapi pake syarat," ungkap Bastian.
"Syarat apaan lagi?" Lila terlihat lelah.
Bastian menjawab, "Kayak biasa. Petting."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Langit merelakan jok mobilnya basah. Daripada kelamaan menetap di pantai, mereka berdua bisa masuk angin.
Meski terlihat fokus menyetir, sebenarnya pikiran Langit tak berhenti mengarah ke Alaia. Dia bingung setengah hidup, kenapa Alaia bisa memiliki ekor layaknya mermaid. Rasanya seperti mimpi, tapi nyata.
Setelah menempuh perjalanan yang ditemani hujan deras, akhirnya mereka tiba di rumah. Mobil Langit terparkir di depan dan ia segera keluar bersama Alaia yang menyusul.
"Bunda?" Langit memanggil, tapi tak ada sahutan.
"Ragas?" Sama, tidak ada yang menyahut juga.
Setelah Langit cek, Ragas sedang tidur pulas dan Bunda pun sama. Mereka berada di kamar masing-masing.
Langit kembali menghampiri Alaia yang diam di depan pintu. Ia mengajak Alaia ikut bersamanya. "Langsung mandi, ya," ucap Langit.
Alaia mengangguk. "Kamu juga?"
"Iya, yuk bareng." 🤡
"Ayo," sahut Alaia.
Makhluk sejenis Alaia ini pasti mudah sekali diculik. Kepolosannya membuat Langit tak habis pikir. Ia jadi penasaran, apa saja yang telah dilakukan Kai pada Alaia.
"Iya bareng, tapi beda tempat. Lo di situ, gue di kamar mandi satunya." Langit membalas.
Langit menuntun Alaia ke kamar mandi. Setelah Alaia masuk, ia pun menutup pintu tanpa dikunci dan menunggu sebentar di luar.
Satu menit, dua menit, lima menit ... belum terdengar suara air jatuh. Langit jadi penasaran, Alaia ngapain di dalam sana.
"Al, udah mandi belom?" Langit bertanya.
"Ga tau...," jawab Alaia.
"Hah?" gumam Langit. Ia spontan membuka pintu dan melihat Alaia terdiam tanpa hoodie di badannya.
Mata Langit ternodai untuk yang ke sekian kali.
"Ga ada air, aku bingung." Alaia berkata.
"Oalah." Langit pun paham. Ia memutar kran shower dan air itu datang menyerbu.
"Hujan?" Alaia tersenyum lebar.
"Bukan, oneng," celetuk Langit. "Dah sana mandi yang bener. Jangan keluar sebelom gue balik bawain baju."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Langit lebih dulu selesai mandi dan sampai detik ini Alaia belum kelar. Entah anak itu betah di kamar mandi atau merasa senang seperti sedang hujan-hujanan.
Bunda berada di dapur, baru saja menyeduh teh hangat untuk anak-anaknya. Ragas masih molor, bahkan dia ngorok saking pulasnya. Faktor hujan membuat kamar Ragas jadi lebih dingin dan nyaman.
Sore ini Bunda memasak kari ayam yang aromanya sangat menggugah selera. Ini merupakan makanan kesukaan Langit dan Ragas sejak kecil.
"Bun," sapa Langit sambil mengacak rambutnya yang basah.
Ia mendekati Bunda yang sedang masak. "Beuh, bentuk ayamnya indah bener kayak Bunda."
"Bunda disamain sama ayam nih?" Bunda menyahut.
Langit cengengesan. "Masih lama, Bun, matengnya?"
"Bentar lagi, Ganteng. Tuh, minum dulu tehnya." Bunda menunjuk secangkir teh di atas meja.
"Alaia belom selesai?" tanya Bunda.
Langit menyesap teh itu dan setelahnya ia menjawab, "Belom, Bun."
Tiga detik berselang, Langit teringat sesuatu. Ia langsung menaruh cangkir itu ke meja dan ngibrit keluar dari dapur.
"Baju buat Alaia di mana, Bun?" Langit bertanya sambil terus berjalan.
"Di sofa, sekalian handuknya!" seru Bunda.
Langit kelupaan untuk memberikan pakaian kepada Alaia. Pantas saja Alaia tidak kunjung keluar dari kamar mandi, karena tadi Langit berpesan; Jangan keluar sebelom gue balik bawain baju.
Sampai di sana, Langit membuka pintu dan melihat Alaia berdiri di bawah rintik shower sambil bersenandung pelan. Matanya terpejam. Suaranya lembut dan merdu sekali. Langit sampai merinding, juga terpana untuk sesaat.
"Alaia," panggil Langit.
Langit masuk, ia mematikan shower dan nyanyian Alaia ikut berhenti. Mereka berdua sama-sama mematung di sana. Rambut panjang Alaia menutupi dadanya, tapi tetap saja ini sangat menguji iman Langit.
Langit berucap dengan suara rendah, "Mau janji sesuatu sama gue nggak?"
"Apa?" Alaia bertanya.
"Jaga badan lo. Jangan sampe orang lain liat lo kayak gini. Cukup gue aja," ujar Langit.
⚪️ ⚪️ To Be Continued... ⚪️⚪️
⬇️⬇️⬇️
pilih mana outfit yang kamu suka!
1. Si Manis, Alaia🧜🏻♀️
2. Langit, katanya kayak style pakboi🤑
3. Ragas, nax motor & kang mabok🍻
4. Lila, lumayan manis.🍯
5. Bastian, si pencari keributan🥊
⬆️⬆️⬆️
Terima kasih udah baca ALAÏA!!!
Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa😍🧜🏻♀️
instagram: @radenchedid
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro