48. Something From The Past
48. SOMETHING FROM THE PAST
Kabut tebal muncul di tengah samudra didampingi awan gelap yang menutup sinar mentari. Makhluk laut memiliki kepekaan tajam terhadap perubahan yang terjadi di sekitar mereka, tak terkecuali Mavi Aozora.
Lelaki itu tengah berenang santai bersama kawanan lumba-lumba saat ia sadari kegelapan datang merenggut cahaya yang menembus laut. Mavi berhenti, ia memadah ke arah permukaan air. Di detik yang sama, para mamalia tadi mengeluarkan suara dan sinyal untuk bersembunyi.
Dari arah bawah, Mavi tersentak melihat beberapa siren muncul dan semakin meringis panik saat mendengar suara mereka yang mengerikan.
Selain siren, mermaid juga berkeliaran namun tak ada satupun yang berani berenang ke arah atas. Memang jiwa siren lebih barbar dibanding mermaid. Dan alasan mereka serempak keluar dari tempat persembunyian karena merasa Dewi Lautan sedang dalam bahaya.
Hanya sekejap waktu, suasana di sini menjadi chaos. Bangsa siren tidak bisa bersikap tenang karena mereka tercipta sebagai pembunuh brutal tanpa memiliki kasih. Sangat berbanding terbalik dengan bangsa mermaid yang begitu mencintai kedamaian dan sekarang tengah berpikir harus melakukan apa.
"Jangan!" Suara Amatheia La Luna alias Alaia menggema, namun wujudnya tak terlihat.
Ia melarang siapapun untuk naik ke permukaan. Geramannya membuat bangsa siren mengurung niat untuk menyerang manusia dan bergegas turun sebelum nyawa mereka dibuat lenyap dalam hitungan detik oleh Sang Dewi.
"Ini urusanku." Alaia berkata tegas.
Sesaat kemudian, mereka bubar dan benar-benar menghilang dari pandangan Alaia. Cewek itu masih sembunyi di kegelapan dan terus mengawasi keadaan di daratan dengan cara mempertajam sensitivitas terhadap apapun yang Langit rasa meski jarak mereka jauh.
Di lain tempat— tepatnya di tepi pantai, Langit dihadapkan dengan situasi yang sangat menegangkan baginya. Lila mendadak nangis sambil bertanya tentang siapa Alaia. Mungkin tak akan menjadi masalah besar bila Lila tidak teriak di depan banyak orang.
"Jawab!" Lila memaksa. "Alaia itu makhluk apa? Kenapa dia punya ekor?!"
Ragas menunduk sambil mengusap wajah dan mengintip untuk lihat tampang terkejut bercampur bingung dari raut orang-orang itu. Langit sempat menegang serta tergagap, tapi kemudian dia berusaha sesantai mungkin agar keadaan tak memburuk.
"Lo halu, ya!" Langit menyeletuk.
"Nggak!" Lila memekik.
"Hantu kali yang lo liat. Masa Alaia, sih?" sambar Ragas.
Langit menambahkan, "Lo terlalu syok jadinya mikir ke mana-mana."
Beberapa orang menyetujui omongan Langit maupun Ragas karena mereka tidak percaya akan keberadaan makhluk legenda itu. Mereka berasumsi kemungkinan Lila melihat ikan besar tapi karena terlalu panik, pikirannya jadi menyebar ke segala sesuatu termasuk hal mistis.
"Demi Tuhan, tadi itu ada mermaid!" Lila kesal karena tiada yang memercayainya.
Lalu Lila berlari mendekati air dan teriak-teriak di sana upaya memanggil makhluk tadi. Lila menjerit frustrasi sebab gelombang laut mulai meninggi disusul gemuruh kuat dari langit. Warga sekitar mulai berpencar karena tak ingin diterpa hujan.
"La, udah mau hujan. Kita cari tempat yuk," ajak Daren sambil menyentuh lengan Lila.
"Nggak!" Cewek itu menolak keras.
Ragas mendekat, tak seperti Langit yang berdiri di jarak belasan meter dari Lila. Cowok itu tak mampu berpikir jernih, apalagi cuaca telah berubah seperti ini. Ia sudah paham pasti sebentar lagi akan terjadi amukan laut yang disebabkan oleh kemarahan Alaia.
"Nggak ada putri duyung, La. Adanya ikan duyung alias dugong." Ragas memberitahu.
"TAPI YANG GUE LIAT TADI BENERAN PUTRI DUYUNG." Lila meledak, dia keki karena orang-orang beranggapan dirinya berbohong.
Sesudah Lila berkata demikian, kilat memenuhi langit disertai petir saling sambar. Gemuruh berkumandang keras hingga gendang telinga serasa hampir pecah. Langit menunduk, dia memejamkan mata rapat-rapat sebagai reaksi spontan.
"Jangan, Alaia. Di sini banyak manusia." Langit mengirim telepati yang entah didengar atau tidak.
Bukannya berhenti, gulungan ombak malah bertambah tinggi dan hujan perlahan turun. Langit masih terus menyerukan nama Alaia, dia memohon agar istrinya tak menyakiti siapapun. Bukan keselamatan Lila yang Langit pikirkan, melainkan keselamatan Alaia.
Langit khawatir tak cuma Lila yang mencurigai keberadaan Alaia, melainkan sejumlah manusia lainnya.
"Tapi dia nyebelin. Aku nggak suka." Suara Alaia masuk ke pikiran Langit begitu sopan tanpa hambatan.
Kenyataannya Lila di mata Alaia bagaikan mangsa yang harus dibuat mati mengenaskan. Rasa benci Alaia terhadap Lila begitu kental dan tak bisa ditahan. Anehnya, bila Alaia berada di daratan, dia masih sanggup mengontrol emosinya terhadap Lila.
Daren menarik Lila untuk berteduh dan tak mau mendengar ocehannya yang meminta untuk dilepas. Lila berontak, tapi Daren terus menyeretnya hingga mereka menjauh dari air laut. Keduanya bergerak menuju saung untuk melindungi diri dari guyuran hujan.
Ragas mengitari pandangan ke sekitar, mendapati para pengunjung pantai sedang berteduh— malah ada yang bergegas pulang karena takut terjadi bencana besar. Langit menghampir Ragas, dia meminta kakaknya untuk ambil mobil dan dibawa ke tepian.
"Tolong ambil mobil, Gas, siapin juga kain di jok belakang. Gue tunggu di sini sekalian manggil Alaia." Langit berujar.
Ragas mengangguk dan lari kencang ke parkiran mobil. Langit berjongkok, menyentuh air dan menyerukan nama Alaia dalam hati. Agak susah memanggil Alaia bila sedang marah seperti ini. Kalau Langit nekat nyebur ke laut, tubuhnya akan kalah diterjang ombak besar.
Mobil yang Ragas kendarai mulai mendekat. Langit terus memanggil Alaia dan meminta untuk datang. Anak itu tidak kunjung muncul padahal Ragas sudah hampir tiba. Perasaan Langit menjadi tidak tenang disusul jantungnya berdetak lebih-lebih kencang.
"Ayolah, Aia ...," mohon Langit yang hampir putus asa.
"Eh, awas!" Ragas berteriak keras karena dia tidak bisa mengontrol kendali mobil yang bergerak kencang ditambah lagi terpaan angin cukup kuat.
Adiknya nengok dan terkejut bukan kepalang melihat benda besar itu datang menghampiri, alhasil tubuh Langit tertabrak mobil dan langsung terkapar di atas pasir.
Ragas menginjak rem dadakan, wajahnya sangat syok. Langit memejamkan mata, rohnya seakan pergi sebentar lalu balik lagi. Kemudian dia bangun dan langsung memukul kaca mobil. "Bego! Untung nyawa aing ada sembilan."
Ragas merasakan ngilu di beberapa bagian badan akibat menyaksikan Langit terhantam mobil tapi anak itu malah biasa-biasa saja. "Ga sakit, Ngit?"
"Sakitlah, bloon!" Ternyata Langit tidak perlu drama meraung-raung kesakitan, malahan ngomel terus. "Biru-biru nih badan gue besok!"
Kini mobil berhenti di dekat Langit dan posisi mobil itu menghalangi pandangan para manusia yang berada di saung. Jadi, tak ada yang bisa lihat Langit melakukan apa di situ.
Kemudian secara tiba-tiba makhluk cantik itu menyembul ke permukaan dengan tubuh telanjang secara keseluruhan. Alaia terkejut saat Langit mengangkat tubuhnya dan langsung dibawa masuk ke mobil. Langit menutup pintu, lalu meraih kain lebar untuk menutupi badan Alaia.
Tanpa buang-buang waktu, Ragas tancap gas dan mobil melesat cepat meninggalkan pantai. Ragas duduk sendirian di depan, sementara Langit dan Alaia di jok baris kedua. Tiga orang itu basah-basahan di dalam mobil.
"Nggak ada yang liat Alaia, kan?" Langit bertanya.
Ragas menjawab, "Ada. Gue sama lo doang."
Embusan napas Langit menandakan ia lega. Cowok itu masih memeluk Alaia yang badannya terbalut kain milik Bunda. Kebiasaan Bunda yang selalu menyediakan kain di tiap mobil akhirnya sangat berguna untuk situasi genting seperti sekarang.
"Aia," panggil Langit seraya mengusap kepala Alaia yang basah.
Perempuan itu menengadah, menatap wajah cemas Langit. Sebenarnya Alaia masih sangat kesal karena Lila, tapi kehadiran Langit di dekatnya mampu membuatnya merasa lebih baik. Meski kemarahannya perlahan susut, tapi Alaia belum mau meredakan gelombang laut dan hujan badai.
"Mau pake baju nggak? Ada pakean kamu di sini," ucap Langit.
Alaia menggeleng dan memilih diam sambil membalas rengkuhan Langit. Ragas melirik sepasang suami istri itu dari spion tengah, lalu dia berdecak kagum saat melihat Alaia. Pikirnya dalam hati, "Bener kata Lana ... laut bisa tunduk sama Alaia."
"Cewek aing avatar, istri Langit apaan dong ya?!" Ragas masih sibuk dengan pikirannya.
Langit menggigil padahal AC mobil tak menyala. Bukan cuma Langit, Ragas pun bergedik karena tubuhnya menerima rangsangan dingin berlebih. Lain halnya dengan Alaia yang biasa-biasa saja.
"Lila bilang dia liat kamu." Langit memberitahu hal yang sudah Alaia ketahui lebih dulu.
"Iya. Aku datengin dia," ucap Alaia.
"Kenapa?" tanya Langit.
"Aku nggak suka Lila. Jiwa sirenku mau bunuh dia tapi nggak jadi karena ada manusia lain," ungkapnya.
"S-s-siren?" Ragas tergagap.
Langit maupun Alaia menoleh ke Ragas secara barengan. Lelaki itu membuka mata sangat lebar dan mulutnya mangap dengan keterkejutan. Dia bergumam lagi, "Siren?!"
"Gue langsung keinget Siren Sungkar," cetus Ragas, mukanya linglung tapi panik juga.
"Itu Shireen, Gas. Jangan bikin gue mukul lo ye," ceplos Langit.
"Siren itu monster laut berwujud duyung. Karena monster, jadi wujudnya lebih seram dari mermaid." Alaia menjawab kebingungan Ragas.
Lagi, Ragas membulatkan mata semakin lebar.
"Mulut lo jangan nyebar ya, Gas. Rahasia nih!" Langit mengingatkan.
"Wow, oke. Rahasia aman terkendali kok!" Ragas menyahut penuh antusias.
Ragas masih butuh banyak kejelasan tentang asal-usul Alaia. Tapi ia tak akan bertanya sekarang karena Ragas pun masih tau batas. Kelihatannya Alaia butuh ketenangan dari Langit, maka Ragas tidak akan mengganggunya dulu.
Alaia mendesah gelisah sambil meringik pelan. Langit mengusap punggung Alaia, lanjut mengelus kepalanya. Karena Alaia bergerak-gerak tidak tenang, Langit pun bertanya, "Kenapa?"
"Perut aku." Alaia berkata.
Langit melirik perut Alaia, lantas menyentuhnya. Ketika Langit membelai perutnya, kegelisahan Alaia lenyap dan dia kembali tenang. Matanya terpejam seraya bersandar ke bahu Langit.
"Setiap hari aku semakin ngerasain perbedaan Baby Skyia," kata Alaia.
"Apa tuh?" Langit penasaran.
"Dia mau Papiw ada di deketnya terus. Mau kamu elus perut aku." Alaia tersenyum manis. "Kamu lihat kan, dia cepet besar."
"Iya, gedenya cepet banget. Dugong emang gitu ya kalo hamil perutnya lebih gede dari manusia biasa?" heran Langit.
"Karena kehamilan aku nggak cuma—" Alaia berhenti bicara. Dia membekap mulut dan wajahnya memerah malu. Dia hampir keceplosan.
"Nggak cuma apa?" Langit bertanya, dia bingung karena digantungi Alaia.
Alaia menggeleng cepat. Dengan manja ia memeluk Langit dan tak mau menjawab suaminya yang menanyakan itu terus. Alaia tergelak lucu, sementara Langit mohon-mohon untuk dijelaskan. Ragas yang melihat adegan mereka hanya bisa tersenyum miris karena dirinya bagai angin di sini.
"Ih, Aia ... kasih tauuu." Langit memelas. "Jangan bikin kepikiran atuh. Deg-degan nih jadinya."
"Nggak boleh kasih tau sekarang," ungkap Alaia seraya memainkan dagu Langit untuk dipencet-pencet.
"Roman-romannya Alaia hamil paus nih." Ragas melontar cepat.
"Amit-amit, Goblog!" omel Langit.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Lila kembali ke kos dengan penampilan urakan. Rambutnya setengah kering, sangat acak-acakan karena terkena hujan dan angin. Pakaiannya juga belum kering seutuhnya. Daren ada di sini, dia langsung ngibrit ke kamar mandi untuk membasuh diri.
Cewek itu menghampiri lemari nakas dan ia buka tergesa-gesa sampai isinya berantakan. Lila mencari sesuatu yang sudah cukup lama tak ia lihat. Lila begitu berharap benda tersebut masih tersimpan olehnya.
"Mana sih!" Lila menggerutu, dia kalang kabut.
Kemudian dia beralih ke lemari besar berisi pakaian. Ia membuka laci kecil dan mengeluarkan semua barang yang tersimpan di situ. Rata-rata berisi kartu ucapan ulang tahun, serta perhiasan pemberian orang tua Lila, seperti anting, gelang, cincin dan kalung.
"Ketemu dong ...," gumam Lila penuh harap.
Dia membuka berbagai kotak kecil dan tak menemukan satupun yang dicari. Kesal, Lila mencak-mencak lalu mengeluarkan laci itu dan dilempar ke lantai. Bunyi benda jatuh mengejutkan Daren yang sedang sabunan.
"Kenapa, La?" Daren berseru dari dalam bilik kamar mandi.
Lila memekik dan menghentak-hentak kaki. Lalu dia menendang beberapa kotak, tapi mendadak tercenung ketika melihat kilau kecil yang terselip di antara tumpukan kartu ucapan ulang tahun.
Dia berlutut seraya memungut benda tersebut dan napasnya tertahan kala ia lihat gambar yang tercerak di sana. Cepat-cepat Lila beranjak ke depan cermin untuk menatap refleksi diri. Lantas Lila mengangkat benda tadi dan lagi-lagi dia teriak histeris.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Satu hari kemudian.
Lana sedang mencoba minuman yang dibuat oleh Nenek. Pemandangan di depannya berupa jendela besar yang menyajikan langit pagi. Bau tanah menyeruak, pertanda hujan akan segera turun lagi.
Seraya mengembungkan pipi karena mulut dipenuhi susu, Lana keluar dari ruangan itu dan menghampiri Nenek yang tengah mengelap kaca-kaca pada pigura di meja. Wanita tua itu selalu rajin membersihkan benda yang ia pikir akan berharga sepanjang waktu.
Cucu kesayangan Nenek duduk di sampingnya, kemudian menaruh gelas yang sudah kosong ke atas meja. Lana meraih bantal sofa untuk dipangku, lalu mengambil salah satu pigura yang di dalamnya terdapat foto dia semasa kecil sedang dipeluk Nenek.
"Nenek cantik banget," puji Lana.
Nenek tertawa pelan. "Masa sih ...."
"Iya! Pasti Mama mirip Nenek ya?" Pertanyaan Lana menyebabkan senyum Nenek menjadi sedikit miris.
"Mama kamu itu campuran Nenek dan Kakek. Manis, hidungnya mancung, bibirnya kecil ... persis kamu." Nenek menjawab.
Lana tersenyum tipis dan mulai merasakan panas di mata. Ia bergumam, "Tiap aku kangen Mama, aku nggak tau gimana bilangnya."
Nenek terdiam menatap sang cucu. Ketika beliau hendak meletakkan kain lap ke meja, Lana tiba-tiba memeluknya sambil tutup mata. Anak itu sangat pintar menghalau air mata meski dadanya sangat sesak saat ini.
"Nenek jangan pergi ya," pintanya.
"Nanti aku mau cari kerjaan lain biar kita nggak terlalu bergantung sama gaji pensiunan Nenek. Aku mau bikin Nenek seneng," lanjut Lana.
Nenek terharu mendengar perkataan itu dan ini bukan yang pertama kali Lana meminta beliau untuk jangan pergi. Tanpa Lana tau, Nenek selalu meminta pada Tuhan untuk memberinya waktu sedikit lebih lama sampai dirinya bisa menyaksikan sang cucu tumbuh berkembang menjadi seseorang yang jauh lebih sukses darinya.
Namun bila waktunya cepat berlalu ... Nenek sangat yakin Lana mampu berdiri dengan ataupun tanpanya.
"Nenek selalu doain kamu. Pasti Lana bisa jadi orang sukses," tutur Nenek seraya menepuk paha Lana.
"Amin!" seru Lana.
Sembari mencerita beberapa hal, Lana dan Nenek lanjut bersih-bersih pigura hingga selesai. Usai benda-benda itu digantung kembali ke dinding dan dipajang di meja khusus, mereka beranjak ke kamar atas permintaan Nenek.
Ini adalah kamar nenek dan di ruang sebelah merupakan kamar Lana. Untuk kali ini, Nenek membiarkan cucunya tidur di samping dia sambil lanjut bercerita tentang sesuatu yang bikin Lana senang. Tentang hari-hari di kampus, tentang Ragas, kucing tetangga, Alaia, Langit, bahkan Bunda pun tak terlupakan.
Nenek mendengarkan semua yang Lana ucap dengan senyuman kecil dan mata tertutup. Bahkan hingga Lana selesai bercerita, Nenek tetap menutup mata, enggan membukanya lagi.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Untuk kali pertama, Langit tidak mengizinkan Alaia pergi ke laut. Dia teramat takut Lila berbuat macam-macam di sana, apalagi Lila memiliki sifat keras kepala dan sangat berpendirian teguh atas keinginannya.
Langit sudah cukup mengenal Lila bukan cuma dari luarnya, tapi dalamnya pun dia tau. Dia sudah hapal kelemahan dan kelebihan cewek itu. Terlebih, Langit bisa memahami gelagat Lila ketika menginginkan sesuatu.
"Ini pisangnya Langit." Alaia meletakkan sepiring pisang bakar bertabur parutan keju dan meises buatannya untuk sang suami.
Bunda tersenyum lebar. "Alaia hebat ih! Udah jago masak-masak ya ...."
Alaia tertawa kecil. "Terima kasih, Bunda, tapi aku nggak hebat. Aku masih belajar."
Bunda mencubit ringan satu pipi Alaia kemudian menyuruh perempuan itu untuk duduk menunggu Langit selesai mandi. Ragas juga sedang mandi, tentunya berbeda tempat dengan Langit. Seraya itu Bunda membuka kulkas dan menggapai buah-buahan yang tersimpan di sana.
"Bunda abis beli anggur hitam buat Alaia." Bunda menaruh buah itu ke atas meja.
Wajah Alaia berbinar. "Aku suka anggur hitam."
"Iya, makanya Bunda beli lagi. Langit bilang semalem kamu abisin anggur hitam sampe dua piring full." Bunda terkekeh. "Bunda seneng kamu doyan anggur ... karena anggur punya banyak manfaat buat ibu hamil, asal jangan dikonsumsi terlalu banyak ya."
"Anggur itu bisa cegah anemia selama hamil, kurangin kram otot, juga bisa tingkatin kekebalan tubuh." Bunda membeberkan informasi penting tersebut.
Sekitar lima menit berlalu, Ragas datang sambil berlarian kecil dan disusul Langit. Mereka duduk di kursi masing-masing. Langit berada di samping Alaia, langsung menyantap pisang bakar yang rasanya melebihi ekspektasi dia. Enak banget.
Tadi ketika baru bangun tidur, Langit merintih kesakitan karena terdapat luka lebam di badannya oleh sebab insiden tertabrak di pantai kemarin. Untungnya tak ada luka serius. Meski Langit cuek terhadap sakitnya, namun Alaia yang sangat peduli sampai begitu sedih.
"Langit tumben mau pisang bakar. Biasanya ga mau, maunya sosis!" Ragas menyeletuk dan dia selalu berisik ketika bicara.
"Tengah malem Langit minta pisang bakar ... tapi aku baru bisa bikinin sekarang." Alaia menjawab.
"Ngit, lo ngidam?" Ragas menahan tawa setelah meraih setangkup roti bakar.
Ya, Langit memang mengidam. Ini disebut sebagai 'sindrom kehamilan simpatik'. Fenomena tersebut terjadi ketika ikatan batin suami dengan sang istri semakin kuat, maka gejala yang dialami juga lebih intens. Bisa saja Langit ikutan mual, moody, sangat sensitif, tapi untungnya dia hanya tertular ngidam.
"Alaia yang hamil, gue yang pengen ini itu." Langit menyahut sambil menusuk satu potong pisang menggunakan garpu.
"Itu wajar, Angit ... gapapa, nikmatin aja. Biasanya nanti gantian Alaia lagi yang ngidam." Bunda tergelak ringan. "Kamu siapin diri aja, siapa tau permintaan istri kamu aneh-aneh. Hihihi."
"Baru kemaren Alaia minta aku tahan napas satu jam di laut." Langit membalas dan belum sadar ia salah membicarakan ini di depan Bunda.
"Buat apa tahan napas di laut?" Bunda mengernyit, tapi juga terkekeh.
"Biar bisa hidup di laut," sahut Alaia.
Langit yang sedang terbuai oleh pisang bakar seketika terbatuk keras sampai rasanya mau mati. Ia baru tersadar akan apa yang sedang dia, Bunda dan Alaia bahas. Pun Langit mengambil segelas minum untuk langsung diteguk hingga habis.
"Kesian." Alaia mengusap punggung Langit. "Aku ambil minum lagi, ya."
Ragas ketawa ngakak hingga suaranya hilang. Dia geleng kepala sambil menunjuk wajah Langit, lalu menepuk keningnya sendiri. "Bego," cibir Ragas tanpa suara.
Hari minggu memang paling seru menghabiskan waktu untuk bersantai sebelum kembali beraktivias di esok hari. Bunda berencana mengajak Ragas ke King Café untuk mengontrol keadaan di sana sekalian mengambil beberapa menu baru untuk dibawa ke rumah.
Hanya Ragas yang Bunda ajak karena kehamilan Alaia membuatnya mual berada di mobil dalam perjalanan jauh. Maka, Alaia dan Langit menetap di rumah. Pada kesempatan itu, Langit berpikir istrinya bisa renang di kolam tanpa ketahuan Bunda.
Sebelum hari berganti siang, Ragas serta Bunda sudah melaju ke King Café. Alaia berselonjor di sofa dan kakinya Langit angkat ke pangkuan dia untuk dipijat. Alaia keliatan senang menerima pijatan itu.
"Abis ini mau renang?" tanya Langit.
"Mau." Alaia menjawab.
Langit mengangguk samar dan kembali memijat. Namun bukan Langit namanya kalau tidak usil. Dia secara sengaja menyentuh telapak kaki Alaia dan jari tangannya bernari-nari di sana. Lantas Alaia terbahak geli.
"Angit!" Alaia menggerak-gerakkan kakinya.
Momen itu berlangsung bermenit-menit lamanya. Seusai itu, mereka berpindah ke halaman belakang rumah. Alaia bersiap untuk berenang, sementara Langit menonton saja. Namun bila nanti Alaia minta ditemani renang, Langit akan sigap turun ke air.
Kehangatan mereka terganggu ketika pintu digedor kencang dari luar dan langsung terbuka lebar. Seseorang masuk padahal belum mendapat izin dari pemilik rumah. Dia berseru nyaring memanggil Alaia juga Langit.
"Lila," sebut Langit seraya beranjak dari tempat untuk melihat keadaan di dalam rumah.
Ketika Langit muncul, Lila seketika lari ke halaman belakang dan berhenti saat melihat Alaia yang tengah melucuti pakian atas hingga menyisakan bra.
Dia menatap Alaia sambil berucap ketus, "Lo bukan manusia!"
"Maneh keur naon didieu?" Langit menarik Lila agar keluar dari halaman itu, tapi Lila memekik karena tak mau diusir.
Lila serta Langit menciptakan kegaduhan di sini. Mereka saling adu mulut, apalagi Langit makin geram karena Lila enggan menurutinya. Cowok itu lebih banyak mengoceh dibandingkan Lila yang menggeleng terus agar Langit berhenti memarahinya dan membiarkan dia menghampiri Alaia.
"Mau ngapain sih? Kalo lo macem-macem ke Alaia, gue bisa marah banget sama lo, La!" Langit memperingati.
"Nggak macem-macem!" Lila hampir menangis, dia paling tidak bisa dimarahi Langit. "Lepasin, Ngit ... tangan aku sakit kamu pegang kenceng banget!"
"Cepet ah!" sentak Langit.
"Nggak mau!" Lila makin degil.
Langit menoleh ke Alaia dan meminta istrinya masuk ke kamar. Alaia menurut. Ketika ia hendak melangkah ke pintu kaca dan melewati Lila, cewek berponi itu dengan liciknya menendang kaki Alaia hingga terhuyung dan hampir jatuh bila Langit tak cepat menangkap.
"Anjing, sia! Nyari perkara mulu idup lo!" Langit menatap nyalang Lila.
Lila tak berani menatap Langit. Tapi, dia dengan penuh tenaga merebut Alaia dari Langit dan dibawa menuju kolam. Langit mengejar untuk mencegah perbuatan Lila, namun kemudian Lila terjerembab ke tepi kolam akibat tubuhnya dihempas Alaia.
Tak menyerah, Lila bangkit lagi dan kali ini dia menggenggam kedua tangan Alaia seraya menariknya ke arah kolam lalu sama-sama terjun ke sana.
Byur!
Langit tersentak dan tubuhnya membeku kala wujud Alaia berubah menjadi mermaid. Dia terlambat menghalau Lila.
Di dalam air, Lila masih memegang tangan Alaia dan matanya mengarah ke ekor cantik yang benar-benar nyata di hadapan dia. Lila tak bisa berekspresi apapun. Alaia memandangi cewek di depannya itu dengan kedua bola mata yang mulai mengeluarkan sinar, delikannya tajam menghunus retina Lila.
Lila makin mengeratkan pegangannya pada tangan Alaia, kemudian ia menunduk untuk melihat kalung yang terpasang di lehernya. Ini adalah kalung yang kemarin Lila cari di kos. Kalungnya mirip punya Alaia, pembedanya ada di bagian ekor.
Milik Alaia merupakan ekor mermaid, sedangkan punya Lila adalah ekor dengan ujung tombak di tengahnya.
Sekian detik kemudian, dua kalung itu sama-sama memancarkan cahaya berbeda warna. Kalung Alaia berkilauan indah dan terang, sementara kalung Lila hanya menyemburkan cahaya merah.
Saat Lila menutup mata, sekelebat ingatan muncul dalam benak. Ingatan masa lalu yang sama sekali tidak ia ketahui asalnya dari mana. Lila tak pernah mengalaminya, namun cuplikan itu tidak henti berkeliaran di otak.
Raungan Ratu Siren ...
Kemurkaan Raja Siren ...
Perselisihan antara kaum Mermaid dan Siren ....
Hingga muncul sosok wanita berambut hitam pekat dan memiliki ekor gelap. Ratu Siren. Dia memegang kalung persis punya Lila dan berkata, "Putriku, ayahmu membenci kita karena Ibu sakit dan kamu lahir cacat. Waktu Ibu berakhir di sini ... Ibu terpaksa membunuhmu dan rohmu akan kusimpan dalam kalung ini lalu kubuang ke daratan, agar suatu hari ataupun di masa depan, kau lahir kembali dalam wujud berbeda."
"Supaya tidak ada bangsa laut yang berniat membunuhmu ... termasuk ayahmu sendiri, Raja Siren."
⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️
——————————————
——————————————
berikut kelakuan beberapa couple kita
⚠️⚠️ BONUS: hot scenes SKYIA ⚠️⚠️
——————————————
——————————————
Terima kasih udah baca Alaia!!!
Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa😍🧜🏻♀️
• follow instagram kami okeee!
@radenchedid @alaiaesthetic @langitshaka @ragascahaya
• twitter (kalo mau mutualan jgn lupa mention ak)
@radenchedid
🤍⚡️🧜🏻♀️ see you babygeeeeng 🌧✨🌷
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro