47. Mermaid
jangan lupa bintang dan comment yaa!
tolong nanti baca sampe abis, sampe author's note, jangan ada yang di-skip. thank you!
— HAPPY READING, BABYGENG —
· · ·
47. MERMAID
Selly menopang dagu karena jenuh menunggu obrolan Zito dan Kai berakhir.
Mereka berada di sebuah ruangan dengan meja di tengahnya. Seperti biasa, Kai memakai kaus tahanan. Pipinya lebih tirus dengan tatapan kuyu yang tak bersahaja. Rambutnya mulai tumbuh panjang sampai menutupi daun telinga.
"Gue cuma mau bilang itu. Alaia nggak bakal dateng sampe kapanpun. Dia trauma sama lo, Kai." Zito berujar.
"Semuanya gara-gara lo sok bikin laporan kayak gini. Makin ribet urusan gue!" Kai memukul meja penuh rasa kesal.
Kemudian Kai menunjuk Zito dan mengacung-acung tangannya dengan sangat tidak sopan. "Lo bikin ancur hidup gue. Lo ngerusak semuanya! Lo lupa kalo dari awal kita pernah cari duit bareng-bareng di laut, demi bisa makan? Bajingan lo, To! Tega banget jeblosin gue ke penjara!"
"Kalo nyatanya lo salah, kenapa gue harus diem? Udah bertahun-tahun gue pantau perlakuan lo ke Alaia. Bukannya lebih baik, malah makin seenaknya." Zito membalas.
"Sebenernya gue capek nanggepin lo karna lo nggak pernah ngerti. Bisanya marah-marah dan nyalahin gue terus. Tujuan gue ke sini cuma buat ngabarin kalo Alaia nggak bakal dateng, jadi lo nggak perlu bahas yang lalu-lalu." Zito membeberkan.
Pria itu beranjak dari kursi dan diikuti Selly. Kai berdiri juga, dia melarang Zito untuk pergi dari tempat ini. Bahkan saking banyaknya pikiran, Kai sampai teriak-teriak serta menggerutu sendiri.
"Lo ga boleh pergi gitu aja!" Kai berseru.
Selly mengernyit. Lalu Zito membalas, "Gue banyak urusan. Kerjaan lagi banyak."
"Pamer lo?!" Kai menghentak lagi, padahal bukan itu maksud Zito. "Oh, duit lo udah makin banyak sekarang? Pesugihan ya? Sinting!"
"Om yang sinting!" Selly terpancing marah.
Kai beralih menilik Selly. Dia tersenyum, tapi terlihat menyeramkan macam psikopat. Bayangkan saja seseorang senyum lebar namun matanya melotot dengan tatapan tajam. Seperti itulah tampang Kai.
"Anak kecil jangan songong sama Om. Mau Om pukul kamu?" Kai mengancam.
"Ga takut!" tantang Selly.
Zito menggenggam lengan Selly dan membawa putri tersayangnya itu menjauh dari jangkauan Kai. Lelaki yang usianya sudah matang namun belum kunjung menikah itu bertambah kesal melihat Zito beranjak menuju pintu. Ia mencak-mencak hingga napasnya terengah.
"Zito! Kasih gue duit, kek! Gue pengen makan makanan mahal!" Dia berkata dengan nada membentak.
Selly mendongak untuk melirik ayahnya, kemudian menggeleng. "Jangan, Pa. Dia jahat sama Papa."
Seakan tak mendengar jeritan Kai, Zito tetap berlalu dan lama-kelamaan wujudnya bersama Selly hilang terhalang tembok tebal. Kai melengking panjang persis seseorang yang sedang frustrasi merasa beban hidupnya terlalu berat tanpa tau bagaimana cara keluar dari belenggu itu.
Di luar ruang pertemuan, Zito berpapasan dengan seorang sipir yang kelihatannya hendak menemui Kai. Zito mengangguk dengan senyum ramah, begitupun Selly. Anak perempuan yang memiliki gigi gingsul itu terkekeh saat sipir tadi melambaikan tangan ke arahnya.
Gedung ini cukup besar nan luas. Akses masuknya tidak mudah karena harus mendata diri, memeriksa kesehatan, menyerahkan kartu tanda pengenal, serta segelintir persyaratan lainnya. Sekarang Zito dan Selly sudah keluar dari sana. Mereka berlomba-lomba ke mobil karena hujan turun deras.
"Selly mau Papa anter ke rumah atau ikut ke tempat kerja?" tanya Zito ketika mereka sudah masuk ke mobil.
"Mau pulang aja, aku mau temenin Mama di rumah. Tapi nanti ke Indomerat dulu ya, Pa! Aku mau beli bahan buat bikin snack sama Mama," ungkap Selly dengan wajah ceria yang bikin Zito ikut senang.
"Siap, bisa diatur!" Zito berseru lalu mereka high-five alias tos.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Langit berjalan santai meninggalkan kelas. Outfits yang ia kenakan kali ini berupa kaus hitam lengan panjang, jogger hitam, dipadukan dengan sneakers putih. Auranya lebih bersinar daripada hari kemarin.
Tadi pagi Langit menerima chat dari seseorang yang tak dikenal. Seorang perempuan dan mengaku sebagai adik tingkatnya di kampus. Anak itu tak berani menyebut nama sebab tujuan dia mengirim pesan ke Langit untuk mengungkapkan perasaan.
Begini isinya,
08-111-0690:
Hai Kak Langit! I have a crush on you :)
Maaf aku lancang chat kakak. Aku cuma mau confess walau ngga berani kasih tau namaku, lagipula aku insecure karena ga secantik bidadari. Kita satu kampus dan kamu katingku hehehe. Kalo liat kakak di kafetaria akutuh ga bisa berenti senyum.. kakak ganteng banget lebih ganteng dari selebgram! Aku suka mikir kakak itu makhluk yang terbuat dari apa kenapa cakep bgt dan pas senyum manisnyaaaa sampe ke luar angkasa 😭🤲🏼
Aku ga akan minta apa-apa selain tetep jaga kesehatan karna aku perhatiin akhir-akhir ini kakak murung terus ... semoga kembali ceria 🤲🏼 kamu moodboosternya aku dan temen-temenku hehe
May Jesus bless you and your family 💜
Kala itu Langit tak membalas banyak, tapi kata-kata yang ia sampaikan sangat berarti untuk gadis tadi. Intinya, Langit berterima kasih dan menghargai perasaan dia. Langit juga berpesan untuk jangan sering-sering merasa insecure karena setiap perempuan memiliki kecantikan tersendiri tanpa harus dibandingkan oleh apapun.
Sebentar lagi Langit tiba di tempat tujuan, yaitu perpustakaan untuk mengecek adakah buku yang ia butuhkan. Namun mendadak Langit berhenti padahal belum sampai di sana. Ternyata karena dua orang muncul di depannya dan menghalangi jalan.
"Ini Langit yang kamu maksud?" Lelaki itu bertanya pada cewek di sampingnya.
Ally mengangguk. "Iya, Zen."
Langit menyipitkan mata dan merasa ada yang tidak beres. "Kenapa nih?"
Zen bukan mahasiswa di kampus ini. Dia datang untuk menemui Langit setelah mendapat persetujuan dari Ally. Dari beberapa menit lalu mereka berkeliling mencari Langit dan baru ketemu sekarang.
"Bro, thanks udah jaga Ally selama gue nggak ada. Tapi sekarang gue udah balik, tolong jangan deketin dia lagi. Jangan jadi perusak rumah tangga orang," ungkap Zen.
Langit membuka mulut tanpa mengeluarkan suara. Dia mengamati dua manusia itu dengan mimik terbingung sepanjang hari ini. Kemudian Langit bertanya, "Hah, nggak salah orang?"
"Nggak." Ally menyambar.
"Ya Tuhan Yang Maha Esa." Langit menengadah sebentar, lalu kembali melihat dua orang tadi. "Drama apa lagi ini?"
"Mau nuduh gue apaan lagi lo? Gila ya, hidup gue diusik sama jablay berkedok istri orang terus." Langit kesal.
Ally mengerucut bibir. "Padahal lo yang mulai, Ngit ...."
"Mulai apa, setan?" cecar Langit, gemas mau mengeluarkan segala kata-kata kasar.
"Jangan kasar sama Ally. Kesian dia," tegur Zen. "Gue suaminya dan nggak pernah sekalipun marah ke Ally. Tapi lo yang cuma orang biasa malah segampang itu galakin dia. Jangan kurang ajar sama perempuan, Bro."
"Lo ga kenal gue, jadi udah pasti lo belain Ally. Dia ngomong macem-macem ke lo, kan? Udah kebaca pikiran cewek lenjeh kayak dia. Gue udah sering ngalamin ini dan gue nggak bangga. Malah gondok banget, anjing." Langit bicara sampai mengepal tangan.
Zen menilik Ally sekilas dan menilai omongan Langit benar tentang Ally yang semalam bercerita banyak soal dirinya. Zen tidak tau kebenaran dari cerita itu, namun tanpa sadar ia lebih memihak Ally dan enggan memercayai omongan orang lain. Bahkan sekarang dia bingung harus menanggapi Langit secara serius atau tidak.
Ally tersenyum kecut. "Zen, Langit emang suka begitu kalo ngomong. Tapi sebenernya dia baik kok. Sama aku tuh dia baik banget makanya aku jadi mulai suka. Maaf ya, Zen, aku nggak bermaksud nyinggung kamu."
"Kamu tetep orang pertama di hati aku," tambah Ally seraya memeluk lengan Zen.
Langit menatap Zen penuh keanehan. "Lo ga marah istri lo bilang begitu?"
Zen mengangkat satu alis dan menggeleng. "Marah buat apa? Ini bukan salah Ally. Ini salah gue yang pernah ninggalin dia sampe akhirnya Ally ketemu lo."
"Wow, goblok sekali Anda." Langit terkagum.
"Laki lo itu baik, Ly. Lo bukannya bersyukur malah nambahin dosa. Pikirin perasaan dia sama anak lo tuh." Langit mengingatkan.
"Mmh," gumam Ally tak peduli. "Oh iya, soal anak ... gue bingung nanti dia mirip Zen atau Langit."
Langit speechless. Dia kehabisan kata untuk memaki. Dia tarik napas dalam-dalam dan diembus perlahan. Langit tidak boleh terbawa marah sampai melewati batas. Ia harus menjaga sikap karena dirinya pun punya istri yang sedang mengandung.
"Sabar," batin Langit. "Tapi ini orang emang kayak anjing banget ... Ya Allah."
"Hubungan kalian sejauh apa, Ly?" Zen bertanya, caranya bicara menyatakan dia makin sakit hati namun disembunyikan dari hadapan sang istri.
"Nggak jauh, singkat malah. Sesingkat umur Ally." Mulut Langit enteng sekali.
"Jahat," ambek Ally.
Langit tidak tahan lagi. Diliriknya arloji hitam di tangan dan menyadari waktunya terbuang sia-sia hanya untuk meladeni Ally maupun Zen. Dia menatap mereka sejenak sebelum akhirnya mengusir, "Minggir! Aing mau lewat."
"Please, stay here." Ally menahan Langit.
"Hush!" Langit menepis tangan Ally. "Tangan lo haram."
"Ih, lo pikir gue babi." Ally merengek.
"Ya, mirip." Langit menyeletuk lagi.
"Kok gitu sih!" Ally menggerutu. "Ngambek ah! Sebagai gantinya lo harus penuhin kemauan gue. Gue ngidam pengen main sama lo, Ngit. Sehari ini aja."
"KAGA! Sekate-kate lo kalo ngomong," sentak Langit.
Sambil melenggang dari tempat, Langit berbalik dan jalan mundur untuk bicara ke mereka. Ucapnya, "Berenti usik gue kalo ga mau istri gue turun tangan!"
"Bisa apa sih istri lo?" Ally menghina Alaia.
"Sedot roh lo sampe ke akarnya," balas Langit sambil melotot.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Sebelum balik ke rumah, Langit berkunjung ke pantai untuk memenuhi janjinya pada Alaia. Barang bawaannya ia tinggal di mobil, beserta pakaian Alaia yang sengaja ia simpan di situ untuk berjaga-jaga bila istrinya mau ikut pulang.
Langit berjongkok, kedua tangannya menepak permukaan air sambil dalam hati memanggil Alaia.
Hari ini langit sangat cerah sehingga air laut berkilauan cantik dan menjadi lebih bening. Sambil menunggu Alaia datang, Langit bangkit lagi untuk melepas sepatu dan menggulung celana. Jejak kakinya menapak di pasir, ia berjalan sampai lutut bertemu air.
Gelombang kecil hadir menghampiri Langit, disusul bayangan mermaid berenang ke arahnya. Senyum Langit otomatis terukir dan tidak nanggung-nanggung cakepnya. Ia merelakan celananya basah saat dirinya lanjut berjalan hingga air menggapai pinggang.
Percuma Langit gulung celana.
"Amatheia," sapa Langit sedetik setelah kepala Alaia menyembul ke permukaan.
Alaia nyengir lebar. Ia membalas, "Hai."
Langit maju lagi, ia memegang tengkuk Alaia dan langsung mengecup bibir itu. Seraya berciuman, Alaia memeluk Langit kemudian ditarik untuk menyelam bersama. Posisi Alaia telentang, Langit ada di atasnya.
Pada detik-detik awal Langit masih bisa menahan napas. Tapi tak lama kemudian, dia mulai kelabakan. Ciuman itu lepas dan Langit cepat-cepat naik ke permukaan untuk cari udara. Alaia tertawa melihatnya.
Usai itu Langit turun. Alaia menggenggam tangan Langit, lelaki itu ia bawa menuju kedalaman puluhan meter. Langit panik, dia tak bisa bertahan ke sana tanpa alat pengaman.
"Kamu aman karena ada aku." Alaia berkata.
Terkadang Langit merasa kalimat-kalimat Alaia jauh lebih manis dan romantis. Tidak seperti dirinya yang tak cukup pintar merangkai kata penuh cinta, malahan lebih sering mengoceh dengan logat andalannya yaitu Sunda.
"Blup blup blup ...," ucap Langit.
Dia mau bilang 'Aku ga bisa' tapi yang keluar malah gelembung. Alaia tergelak, namun ia memahami maksud Langit. Maka Alaia mengajak ke atas dan memberi Langit waktu untuk ambil napas banyak-banyak.
Kepala Alaia keluar dari air, memerhatikan Langit yang ngos-ngosan akibat jantungnya berdebar terlalu kencang. Alaia pun berujar, "Maaf, aku maksa kamu, Angit."
Langit terbatuk sebelum menyahut. "Nggak, kamu cuma pengen ajarin aku tahan napas lama. Akunya yang payah."
Alaia menggeleng. "Kamu nggak payah. Kamu cuma manusia."
Perempuan itu menatap Langit penuh makna, mereka saling bungkam dan merasakan tubuh melayang-layang mengikuti alur gelombang laut. Ucapan Alaia tadi melekat di otak Langit. Kamu cuma manusia. Itulah perbedaan terberat di antara mereka.
"Aku mau pulang ke rumah Bunda." Alaia membisik.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Bunda bahagia Alaia datang setelah pergi dua minggu lamanya. Beliau mendekap Alaia sangat lama, mengalirkan kehangatan untuk anaknya ini. Bunda juga mengusap perut Alaia dan menyadari ukurannya cepat mengembang.
"Dulu waktu hamil dua bulan, perut Bunda nggak sebesar ini. Ini dua kali lebih besar," ucap Bunda seraya menyentuh perut Alaia.
Alaia mengerut dahi. "Apa ini bahaya, Bunda?"
"Sama sekali nggak bahaya, Sayang." Bunda tersenyum senang, wajahnya berbinar-binar.
Pun Bunda menurunkan dress Alaia yang semula disingkap. Bunda berkata, "Jangan bilang ke Langit dulu. Nanti aja kalau udah bisa di-USG."
"USG?" Alaia memiringkan kepala.
"Alat buat mendeteksi perkembangan janin. Lewat alat itu, kita bisa liat pergerakkannya di dalem perut." Bunda menjawab penuh sukacita.
Alaia takjub. "Aku nggak sabar mau liat."
"Bunda juga!" Bunda cekikikan dan terlihat begitu antusias menanti kehadiran cucu pertama.
Sambil bersenandung senang, Bunda membuatkan susu hangat untuk Alaia. Tadinya Alaia pengin bikin sendiri tapi dicegah Bunda dan diminta tetap duduk anteng di kursi. Maka Alaia menunggu seraya menyomot sebutir anggur hitam dari keranjang buah di tengah meja makan.
Dari dapur terdengar derum motor Ragas memasuki halaman rumah. Itu motor Ragas, tapi yang mengendarai Langit. Kemudian kedengaran lagi suara motor lain yang menyusul dari belakang.
Dua lelaki itu baru tiba dari supermarket menggunakan dua motor berbeda. Langit memakai motor baru Ragas, sedangkan kakaknya pakai motor lama. Sebagai kakak yang baik, Ragas terpaksa mengalah dan merelakan pacar barunya ditunggangi sang adik.
"Misi, paket!" Ragas berseru ketika ia jalan masuk ke rumah.
Mereka membawa tas belanjaan berisi kebutuhan Alaia berupa; buah-buahan, beberapa box susu ibu hamil, es krim, keju, coklat, serta sejumlah makanan lainnya.
Langit nyelonong masuk ke dapur dan menaruh box susu di dalam lemari. Belanjaan yang lain ia simpan di kulkas karena butuh pendingin agar tidak meleleh ataupun membusuk. Sementara itu Ragas sibuk mengeluarkan barang-barang dari tas yang ia pegang.
"Ngit, telor kita retak!" Ragas terkaget melihat salah satu telur putih di dalam kotak ternyata retak.
"Atuh ngilu," ringis Langit.
Bunda dengan sigap mengambil mangkuk kecil untuk menyelamatkan telur itu. Ragas memberinya ke Bunda, langsung ditaruh ke wadah tersebut. Kata Bunda, "Langsung dimasak aja deh. Biar Bunda masakin."
Alaia barusan selesai minum susu. Dia turun dari kursi, menghampiri Langit untuk diraih tangannya. Ia berucap pelan, "Pusing, mau ke kamar."
"Hayu." Langit bergerak cepat meninggalkan dapur bersama Alaia menuju kamar mereka.
Sampai di kamar, Alaia merebahkan diri dan menutup mata. Langit ada di sampingnya, mengamati sang istri yang nampak kelelahan. "Kalo di darat, kamu cepet capek ya?" tanya Langit.
Alaia manggut. "Iya, Angit."
"Besok ada festival di pantai dari pagi sampe malem. Aku mau ke sana sama anak-anak lain," tutur Langit, "kamu ikut aja ya, biar sekalian ke laut."
Alaia manggut disertai tersenyum.
Langit mengangkat dress Alaia, namun membiarkan selimut menutupi kakinya. Darah Langit berdesir hangat kala mengelus perut itu. Senyumnya tersungging, matanya terpejam merasakan betapa halus kulit Alaia.
Kemudian Langit tengkurap dengan kepala sejajar dengan perut Alaia. Ia mengusapnya memakai ujung hidung, lalu cengar-cengir sendiri. Langit sangat lucu bila sedang bertingkah seperti itu.
"Kangen ih ... kamu gedenya cepet banget padahal baru dua minggu kita nggak ketemu." Langit bicara pada perut.
"Baby Skyia," panggil Langit. "Kamu punya kaki atau ekor?"
"Sehat-sehat ya, Ayang." Langit masih terus ngobrol dengan calon bayinya meski belum bisa mendengar.
Selanjutnya Langit berpindah memeluk Alaia dan kepalanya mendarat di dada istrinya. Alaia mulai pengap, apalagi payudaranya tambah besar akhir-akhir ini. Namun ia membiarkan Langit nemplok di situ untuk beberapa saat.
Langit selalu manja bila berduaan bersama istrinya itu. Tangannya menyusup ke dalam baju, ia memegang satu buah dada Alaia lalu meremas pelan dan dimainkan bagian tengahnya.
"Sakit tau." Alaia meringis.
"Bengkak ya," ujar Langit.
"E-em," gemam Alaia seraya mengangguk.
Langit menunduk, ia bernapas di dada Alaia, lanjut naik ke leher dan menaruh jejak bibir di situ. "I miss you," ungkapnya.
Alaia minta Langit menatapnya hingga wajah mereka sangat dekat. Keduanya tatap-tatapan dan tertawa tanpa alasan. Lantas Langit menempelkan mukanya di pipi kanan Alaia, ia menghirup aroma lembut yang selalu menjadi favoritnya.
"Aku belom kasih tau kamu nih," celetuk Langit sembari menjauhkan wajahnya lagi.
"Apa?" tanyanya.
"Rumah kita hampir jadi, tinggal nentuin tema sama warnanya. Aia suka warna apa?" ucap Langit.
"Aku suka warna laut, pink dan ini," jawab Alaia yang kemudian menunjuk dress-nya.
"Ini warna apa? Ungu atau abu? Atau ungu keabu-abuan?" Langit bingung melihat warna pada pakaian Alaia.
"Aku mendadak buta warna." Cowok itu menertawakan kebodohannya.
Alaia ikut tergelak. Sekarang mereka malah sibuk membahas warna baju Alaia. Langit terlalu niat sampai googling demi menemukan jawaban. Ia mencari tau dengan cara membuka artikel berisi daftar nama dari segala warna di bumi. Saking banyaknya Langit jadi makin pusing.
"Apapun warnanya, yang penting ...." Alaia menggantung kalimat dia.
"Minumnya teh botol sroso." Langit menyambar.
"Bukan!" Cewek itu protes. "Yang penting rumahnya udah jadi. Gitu maksud aku, hehehe."
"Oooh, begicu yah ...." Langit menahan tawa bicara seperti itu.
"Iyah." Alaia menjawab, makin imut karena matanya bulat lucu.
Langit menaruh handphone ke atas kasur dan beranjak duduk di dekat Alaia. Ia melamun sebentar entah memikirkan apa. Langit menyentuh kepala, lanjut menggaruk perut. Dia melirik Alaia yang juga sedang memandanginya tanpa henti.
"Kok tiba-tiba aku pengen seblak," celetuk Langit.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Sabtu pagi, Langit mengajak Alaia jalan santai keliling taman yang ada di perumahan ini. Tadi Ragas ada di sini, namun sudah hilang ketika jogging bersama anak tetangga. Anak itu perempuan dan masih duduk di bangku SMP.
Setelah Alaia mengeluarkan banyak keringat, Langit menyudahi acara mereka lalu kembali ke rumah. Semula Langit pikir Alaia akan lelah berlebihan karena diajak jalan-jalan. Tapi ternyata ... anak itu malah senang dan mau lagi.
Kegiatan mereka tak sampai di situ. Setelah mandi dan selesai bersiap-siap, Langit, Alaia serta Ragas pamit ke Bunda untuk lanjut ke pantai. Di dalam perjalanan, Alaia ketiduran. Sampai di pantai, ia langsung terjun ke air namun wujudnya tak dilihat Ragas karena cowok itu sedang pergi membeli minuman di kafe.
Langit menghampiri Ragas yang baru saja kelar beli-membeli. Kakaknya menyodorkan satu ke Langit dan diterima dengan baik.Ragas berucap, "Tadi karyawan kafenya bilang, dua hari lalu ada ombak tinggi banget hampir lenyapin kafe."
"Terus dari kemaren cuacanya malah cerah banget, padahal ini musim hujan." Ragas terkekeh. "Alam emang misterius ye, nggak ketebak."
Andai Ragas tahu kala itu sempat terjadi amukan badai karena Alaia marah pada Langit.
Lama-kelamaan suasana pantai menjadi ramai. Yang awalnya sepi, kini orang-orang berdatangan. Ada pengunjung biasa, ada juga yang datang untuk mencari uang. Langit lihat sebuah mobil muncul membawa watersports yaitu Flyboard dan Jet Ski.
"Wah, asik tuh!" Ragas terpesona melihat dua jenis permainan tersebut.
Hanya berselang detik, Langit dan Ragas serempak menghampiri bapak-bapak pemilik alat itu. Ragas menyapa dan kedatangannya disambut hangat oleh mereka. Ternyata bila dilihat dari dekat, tiga pria itu tidak terlalu tua— mungkin sepantaran Kai.
"Ini disewa, Om?" tanya Ragas sambil melirik alat olahraga tadi.
"Iya! Mau coba?" Pria yang mengenakan kacamata hitam itu menyahut.
"Berapaan?" Ragas mengamati dua pria lain yang tengah memindahkan tiga jet ski ke bibir pantai.
"Untuk jet ski, tiga ratus ribu per dua puluh menit." Dia menjawab.
Ragas beralih menatap alat yang satu lagi. "Kalo flyboard?"
"Agak pricey ... sekitar delapan ratus lima puluh," jawabnya lagi. "Dua puluh menit juga."
Mata Langit menyipit. Lalu dia dan Ragas saling pandang penuh arti. Tanpa perlu berpikir terlalu panjang, mereka mengangguk dan setuju untuk menyewa alat-alat tadi. Langit meneguk minumannya sampai habis, kemudian ia buang ke tong sampah berbahan kayu yang tersedia di dekatnya.
"Harganya kurangin dikit atuh, Kang, nyewa dua nih. Saya punya aura penglaris tau!" Langit menawar pakai iming-iming.
Pria itu nampak semringah dan mengacungkan dua jempol. "Oke deh. Siap, Dek!"
Sambil bersiap-siap, Ragas mendengarkan instruksi bapak-bapak itu. Langit memantau lautan, sangat berharap Alaia tidak naik ke permukaan karena cewek itu terlalu peka bila suaminya menyentuh air laut.
"Gue flyboard ya!" Langit berseru karena alat itu cuma tersedia satu, sedangkan jet ski banyak.
Keduanya mengenakan helm dan pelampung karena keselamatan adalah yang paling utama. Usai perlengkapan siap, Langit maupun Ragas menghampiri alat yang mereka mau dan beberapa pengunjung pantai mulai mengamati keduanya. Ini pertama kalinya Langit main flyboard dan ia tak yakin bisa menyeimbangi badan.
Langit jalan ke air hingga sebatas pinggang untuk mengenakan sepatu yang menyatu dengan alat itu. Ia dibantu dua orang karena memakainya lumayan sulit, sampai Langit harus berendam. Ketika Ragas sudah melesat bersama jet ski-nya, Langit baru mulai beraksi.
Pada percobaan pertama, Langit nyungsep karena kehilangan keseimbangan.
Di percobaan kedua, Langit jatuh lagi.
Sekali lagi Langit mencoba dan kakinya masih gemetaran sampai tidak mampu terbang bersama flyboard itu. Ragas terbahak keras, dia tak kuasa melihat Langit kesusahan memakai alat tersebut. Bahkan orang-orang yang menyaksikan ikut terkekeh.
Dari kedalaman laut, Alaia berenang-renang dan menengadah melihat semburan kencang dari alat yang Langit gunakan. Senyum Alaia terukir tipis seraya ia mengeluarkan sinar biru dari telapak tangan, kemudian mengirim gelombang kecil ke Langit.
Langit yang tadinya tak percaya diri, kini ia sanggup berdiri tegap di atas flyboard dan melayang tinggi hingga semua yang melihat sontak terperangah.
"Woohoo!" Ragas berseru sambil melirik adiknya.
Langit yang usil itu secara tiba-tiba dia mendatangi Ragas dan sengaja melewati kakaknya dari atas sampai Ragas meringis sakit di bagian punggung. "Aduuuh, nyeri pisan! Bebengok sia! Ari beungeut kawas jalma alim, ari kalakuan leuwih ti jurig!"
Mereka have fun menikmati permainan itu sambil menunggu teman-teman yang lain datang. Tanpa mereka sadaripun suasana pantai bertambah ramai. Jarang sekali pantai ini seramai sekarang. Moga saja para manusia sadar diri untuk tidak meninggalkan jejak berupa sampah agar makhluk laut tak marah.
Setelah selesai bermain, Langit dan Ragas mengembalikan safety devices, lalu mereka bergegas ke mobil untuk berganti pakaian. Langit tak menyangka ia akan bertemu orang yang sudah berbulan-bulan tidak pernah kelihatan. Kejadiannya sangat cepat dan di luar dugaan.
Lila muncul di hadapan Langit, bersama Daren yang mendampinginya.
"Ya ampun, akhirnya kita ketemu lagi." Lila terharu. "Ternyata itu kamu yang terbang-terbang tadi? Pantesan kayak familiar ...."
Ragas cengengesan melihat muka Langit yang masam. Ia berkata pada Lila, "Gimana kabar hati, La? Udah waras belom?"
Lila masih menatap Langit sambil merapikan rambut. Ia memegang dada, merasakan degupnya masih sama tiap kali melihat Langit. Di sampingnya, Daren mendengkus pelan.
"Gue lagi tahap move on ... tapi kalo ketemu Langit lagi basah-basahan gini, rasanya gue ambyar lagi." Lila menjawab Ragas sambil cemberut.
Daren berdeham, ia memalingkan wajah ke arah lain. Ragas sangat memahami situasi ini. Ada sepasang mantan yang bertemu, kemudian calon pacar si cewek mulai cemburu. Bagaimana, ya, bila di sini ada Alaia?
"Hehe, bercanda." Lila terkekeh sendiri. "Langit, aku sekarang lagi belajar buka hati buat Daren. Tolong restuin ya!"
"Iya, direstuin Langit kok." Ragas yang menyambar.
"Ta-tapi ...." Lila tergagap seraya menepuk sekali pipi Langit dan cowok itu langsung mengusapnya menggunakan bahu. "Kamu kenapa makin cakep sih, Ngit?"
"Jelas dong! Calon daddy muda gitu loh." Ragas lagi yang bicara. Ia terlalu mengerti bahwa Langit enggan ngobrol dengan makhluk di hadapannya itu. Maka, Ragas saja yang mewakili.
Sinar muka Lila redup seketika. "Alaia hamil?"
"Yoi," jawab Ragas.
Lila menunduk, dia manyun sambil menatap pasir. Kemudian Lila menghela napas sangat dalam untuk menenangkan diri. Lidahnya kaku saat berkata, "Congrats."
Ragas bertepuk tangan seraya bersorak. Ia memuji Lila, "Hebat, La! Lanjut terus ya proses move on-nya, jangan mau kejebak di masa lalu terus! Masa depan lo bakal lebih cerah kalo lo pinter pilih jalan."
Lila mau menangis, antara sedih dan senang. Tatapannya untuk Langit tak berubah dari dulu. Tetap dilapisi kasih sayang.
"Ngomong dong ... biar aku nggak galau mikirin kamu yang diemin aku mulu," celetuk Lila sembari menyentuh lengan Langit sekilas.
"Kalo nggak mau ngomong, ya udah, peluk." Lila merentangkan tangan, hendak mendekap Langit tapi cowok itu langsung menjauh untuk menghindar.
"Langit!" Lila pundung lagi.
Karena ngeri badannya dipegang-pegang Lila, Langit memilih kabur sambil lari kencang. Lila tercenung dan memandangi Langit sambil mengerucut bibir. Daren menepuk bahu Lila dan menahan perempuan itu untuk mengejar Langit.
"Ngit!" teriak Ragas memanggil adiknya.
"Gue duluan ya. Selamat berbulan madu!" Ragas pamitan dan langsung berlari meninggalkan Lila serta Daren.
Demi menghibur Lila, Daren mengajak dia bermain watersports seperti yang dua cowok tadi lakukan. Supaya irit, mereka hanya menyewa satu jet ski untuk berdua.
Selama masa pendekatan, banyak hal yang telah mereka lakukan bersama. Semua perbuatan baik dan tulus yang Daren beri untuk Lila, ternyata masih kurang bagi janda satu itu. Lila butuh bukti berupa aksi bila Daren benar-benar mau serius dengannya.
Seperti ... melamar?
Alasannya simple saja, Lila tidak mau hamil di luar nikah lagi. Kalau bisa, dalam waktu dekat Daren harus memberinya cincin!
Mesin sudah menyala dan Lila memeluk Daren sangat erat karena sebenarnya dia agak takut terhadap laut. Kalian ingat kan, dulu Lila pernah hampir tenggelam dibuat Alaia, sampai koma di rumah sakit.
Daren melaju kencang tanpa kira-kira. Di belakangnya, Lila makin mengeratkan pelukan sambil memekik histeris. Lila belum sadar ketika terjadi kebocoran tipis pada pelampungnya. Udara keluar perlahan hingga benda oranye itu samar-samar mulai menciut.
Kala Daren berbelok cukup tajam, ia lepas kendali sehingga jet ski berputar terbalik dan keduanya jatuh bersamaan ke laut. Tubuh Daren langsung naik ke permukaan, sedangkan Lila masih berada di bawah karena air masuk ke pelampung lewat bolongan kecil di sana.
Pelampung menjadi berat sehingga Lila terperosok turun dan terlampau panik sampai tak bisa melepas pelampung dari badan.
Ini detik-detik yang menegangkan bagi Lila. Dia tidak pandai berenang, ditambah lagi Lila panikan. Daren yang menyadari Lila hilang dari pandangannya itu langsung melambaikan tangan ke lifeguard untuk meminta pertolongan.
Sepasang mata bersinar dari gelapnya laut dalam.
Rambutnya berkibaran seiring ia berenang meninggalkan kawasan gelap sambil bersenandung merdu. Lila mendengar suara itu, refleks menoleh ke kiri dan kanan.
Insting Alaia mengatakan ada manusia yang aromanya memancarkan sesuatu negatif dan membuat dia kesal. Matanya bagai teropong, memindai sekitar dan mencari mana makhluk itu. Ketika Alaia melihatnya, tato bulan di lengan dia otomatis berubah menjadi merah.
Mode Siren menyala tanpa bisa Alaia halau karena ketika ia berada di laut, kekuatannya jauh lebih besar bila dibanding saat dirinya di daratan. Keadaan makin parah karena Alaia ingat bahwa Lila selalu ingin merebut Langit darinya.
Taring serta cakarnya keluar, disusul Alaia menghampiri Lila dan membuat cewek itu membuka mulut sangat lebar. Lila mau teriak namun tak bisa. Rasanya dia mau mati melihat ekor besar bergerak begitu jelas di depan mata.
Alaia hampir berhasil menyerang, tapi ia seketika bergerak turun dan bersembunyi saat dua pria dewasa muncul untuk menolong Lila. Mereka menarik Lila sampai ke tepian dan memberi pertolongan pertama agar cewek itu bisa bernapas normal.
Banyak orang mengerumuni Lila, dan Daren mendekat untuk melihat kondisinya. Lila masih syok akan apa yang barusan ia saksikan di dalam air. Ia beranjak duduk, menatap takut-takut air laut yang nampak tenang.
Dari kejauhan, Langit dan Ragas bertanya-tanya apa yang terjadi. Mereka nimbrung ke situ, lantas terkejut kenapa Lila terlihat seperti korban yang baru saja diselamatkan dari tenggelam. Namun firasat Langit menjadi buruk karena Lila tak henti memandang laut.
"Me— mermaid," gumam Lila dengan bibir gemetaran hebat dan getaran itu menyebar ke seluruh tubuh.
"Mermaid?" Mereka bertanya-tanya.
"Ada mermaid?!"
"Hah, di mana ada putri duyung?"
Ragas diam-diam menyolek Langit dan mereka melempar pandang penuh kode. Mereka seakan sedang bicara lewat pikiran. Ragas mengkhawatirkan Alaia, sama halnya dengan Langit.
Sekian detik berlalu, Lila menatap Langit. Ia berdiri menghadap mantannya dan tiba-tiba menangis. Perasaan Langit makin kacau, jantungnya seperti terhantam godam dalam sekali detik. Ragas ikut cemas, sedangkan Daren serta orang-orang asing itu menjadikan mereka tontonan karena penasaran.
Lila mengumpulkan keberanian untuk berseru nyaring di hadapan banyak orang. Katanya, "Langit, jawab jujur. Alaia itu makhluk apa? Dia bukan manusia, kan!"
⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️
⚠️⚠️⚠️
udah chapter segini, kalian siap Alaïa tamat nggak?
😾💁🏿♀️
⚠️⚠️⚠️
WAKTUNYA PENYEGARAN 💅🏼✨🌷🎐💐
————————————————
————————————————
Terima kasih banyak sudah baca Alaia!!! Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🧜🏻♀️💗
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕 tapi jangan mengandung spoiler ok 😂😭👍🏼
follow instagram aku yaaah @radenchedid 🍒🤍🍃🌸
—————————————————
—————————————————
↘️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ↙️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya
🍒🌿🎀 see you my babygeng! 🌸🍃🧜🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro