44. Jika Aku Pergi
support aku dan cerita ALAÏA dengan cara vote & comment sebanyaknya yaa! jangan lupa follow wattpad-ku jugaaa hihi. thank you so much 💜
baca secara keseluruhan ya, jangan ada yang di-skip.
— HAPPY READING MY BABYGENG —
44. JIKA AKU PERGI
Kobaran api membesar bersamaan Lila dengan berat hati melempar foto terakhir yang ia pegang. Itu merupakan foto dirinya bersama Langit yang sama-sama mengenakan seragam SMA. Bertahun-tahun Lila menyimpannya, lalu hari ini ia harus merelakan benda tersebut hangus hingga tak berjejak.
Lila mundur, kembali mendekat ke Daren yang berdiri di belakangnya. Daren menepuk bahu Lila dan meremasnya ringan. Dia melakukan itu karena melihat mata Lila berkaca-kaca hendak menangis.
Nampak biasa saja, membakar barang-barang yang Lila sebut kenangan. Tapi, rasanya sesak sekali mengetahui kenangan itu hanya bisa diingat dalam pikiran, tanpa bisa menyentuhnya lagi.
"Gue juga baru putus sama Kyra." Daren berucap tiba-tiba.
"Keliatannya gue santai aja, padahal nyesek juga. Tapi gue harus bisa ikhlasin soalnya gue yakin Kyra bakal dapet yang jauh lebih pantes buat dia. Gue ini nggak ada apa-apanya," lanjut Daren.
Sambil menatap percikan api yang beterbangan di udara, Daren kembali berkata, "Lo pernah ngerasain harus ngelepas seseorang demi kebaikan dia?"
Lila diam, ia tak menjawab dan malah sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Gue sayang Kyra. Ga mungkin gue ga sayang cewek sebaik dia. Emang gue sama dia pernah pacaran, tapi kenyataannya dia diciptain bukan buat gue." Daren memiringkan kepala. "Lo ngerti, kan?"
Cewek di samping Daren itu mengusap muka dan membuang napas perlahan. Ketika Daren membicarakan Kyra, maka Lila terbayang sosok Langit terus-menerus. Sesekali juga bayangan Bastian muncul dalam benak.
"Persis kayak lo sama Langit. Lo boleh nyimpen perasaan buat dia, tapi lo harus tau batesan. Dia udah punya istri, La." Daren bertutur.
"Nggak usah omongin itu." Lila membalas ketus.
"Lo tau Langit udah nikah. Dia ga bakal balik ke lo lagi. Apa yang lo harap dari dia?" sambar Daren yang kata-katanya hanya membuat Lila tertohok.
Lila mengalihkan arah pandang dari api ke Daren. Ucapnya, "Gue udah terbiasa sama dia, Daren. Sewaktu gue sama Bastian gue tetep nggak bisa lupain Langit!"
"Gue tau di sini gue yang salah. Gue pernah bikin Langit sakit hati sampe nggak bisa kasih gue kesempatan lagi. Tapi gue cuma pengen dia paham kalo gue susah lepasin dia buat siapapun ...," lirih Lila.
"Gue sampe stress banget mikirin ini. Iya, gue egois. Gue nggak tau harus ngapain. Gue udah berkali-kali minta maaf ke dia tapi nggak ada perubahan— Langit tetep bersikap seakan gue ini orang asing." Lila menambahkan.
Intinya, Lila terjebak dalam penyesalan yang sulit ia benahi sendiri.
Daren tercenung sebentar seraya mengamati Lila yang mengelap air matanya. Lila melepas beban di hati dengan cara menangis di hadapan Daren. Untuk beberapa saat Daren benar-benar kunci mulut sampai tangis Lila reda.
"Seandainya dulu gue nggak ketemu Bastian. Pasti gue bahagia banget hidup sama Langit tanpa ada Alaia." Lila mengungkapkan dengan suara lebih kecil.
"Kalo lo sayang Langit, kenapa waktu itu lo pilih Bastian?" tanya Daren.
"Dulu gue masih labil banget, Ren. Gue mikirnya punya pacar kayak Bastian itu seru karena dia hampir tiap malem ajak gue pergi dan temen-temennya itu semacem bad boys semua." Lila menjawab.
"Dulu, bagi gue Bastian itu keren. Dia sering kasih gue kejutan dan hadiah, bawa gue motoran malem-malem keliling suatu tempat, cium gue, peluk gue, pokoknya gaya pacaran dia beda jauh sama Langit."
Lanjut Lila, "Langit itu manis ... dia nggak seliar Bastian."
Daren terbatuk lalu berdeham. Ia mengerutkan kening sambil tetap menyimak cerita Lila. Kalian ingat kan, Daren pernah satu angkatan dengan Langit di sekolah. Tapi saat itu Daren tidak terlalu mengikuti kisah asmara Langit bersama Lila, ia hanya sekadar tau siapa itu Langit Shaka Raja karena terlalu sering dibicarakan anak-anak kelas.
"Lo suka cowok yang liar?" celetuk Daren.
Lila mendesah lelah sembari duduk di atas tanah yang bertabur dedaunan kering. Dia sulit untuk mengeluarkan seluruh isi hatinya, bahkan menjawab pertanyaan Daren pun ia bingung.
"Iya kali ... ah, ga tau. Gue suka Langit."
"Berarti sampe sekarang lo masih labil, bukan cuma dulu." Daren memberi kesimpulan. "Udah gede, harus bisa konsisten."
"Lo nggak ngerti perasaan gue." Lila melirik tajam Daren.
Api di hadapan mereka masih menyala dan benda-benda di dalamnya sudah hangus menjadi abu. Lila menunduk, ia menekan kepalanya menggunakan dua tangan sambil tutup mata. Dalam hatinya, Lila menyerukan nama Langit seakan lelaki itu mendengar.
"Ya udah, itu bagus lo akuin kesalahan lo. Sekarang lo harus bener-bener lepasin Langit. Jangan ganggu dia sama istrinya," papar Daren.
Lila menggeleng. "Berat banget, Ren. Gue masih nggak rela."
"Belajar buka hati lo buat orang lain, La." Daren berucap kemudian.
"Gue masih trauma sama Bastian. Gue takut sakit hati lagi," tanggap Lila.
Daren berjongkok di samping Lila dan menengadah menatap langit yang sedikit mendung. Ia membalas kata-kata Lila sambil tetap mengarahkan matanya ke atas sana. "Suatu hari nanti lo pasti ketemu sama cowok yang bisa ngobatin semua luka lo."
"Ga mungkin ga ketemu. Pegang omongan gue," ujar Daren.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Pesan singkat dari Ally bikin Alaia kepikiran sampai tidak jadi tidur. Suaminya sudah terlelap sejak tiga jam lalu dan kini sore telah berganti malam. Langit tidur dengan posisi mendekap satu tangan Alaia sehingga cewek itu sulit bergerak.
Meski Langit sudah menjelaskan bahwa dirinya tidak meminta foto apapun pada Ally, tapi Alaia masih tak bisa tenang.
Bila bukan Langit yang meminta, itu artinya Ally yang kemungkinan sengaja mengirim foto dirinya telanjang dada dengan maksud tertentu. Lagipula, apa tujuan dia menggoda suami orang? Apa dia ingin memulai pertempuran dengan Alaia?
"Miw." Langit bergumam, memanggil kesayangannya.
"Iya," sahut Alaia.
"Sini aja." Cowok itu masih terpejam tapi tau ketika Alaia hendak menjauh dari badannya.
"Aku mau mandi," ucap Alaia.
"Ikut." Langit membalas.
Alaia menggeleng yang disusul menarik tangannya dari Langit. Ia beranjak duduk dan turun dari ranjang. Langit membuka sebelah matanya, menatap Alaia yang sedang berjalan ke kamar mandi.
"Sayang," panggil Langit dengan suara berat dan serak. Ini merupakan suara naturalnya yang sangat khas.
"Nggak mau, kamu bikin sakit terus." Alaia memberenggut dan langsung kabur masuk ke tempat tujuannya.
Langit tertawa pelan lalu kembali menutup mata. Karena Alaia menghilang, jadi Langit berpelukan dengan guling. Nyamannya suasana kamar membuat dia enggan berpisah dari kasur, dan menjadi lebih sempurna ketika Alaia mulai bersenandung merdu.
Tiga menit terasa tiga detik ketika kita menutup mata dalam keadaan sangat mengantuk. Langit merasakannya ketika tiba-tiba ponsel berbunyi yang mengharuskan dia bangun. Lelaki pemilik senyum manis itu mengambil ponsel dari pojok kasur untuk melihat siapa yang menelepon.
Langit menyentuh ikon hijau, maka dia bersama orang itu bercakapan. Tidak terlalu lama karena sebelum Alaia selesai mandi mereka sudah mengakhiri sambungan telepon. Sekarang Langit menjalankan ibu jarinya di atas layar sentuh untuk mengirim chat ke orang itu.
Saat Alaia keluar dari kamar mandi, Langit seketika mematikan layar ponsel dan menyapa sang istri yang kini berjalan ke arahnya.
"Aia seneng!" Alaia berseru.
"Kenapa?" Langit menyahut dengan senyum semringah.
"Kita mau ke pantai." Wajah cantik itu nampak cerah seperti rembulan di langit.
Alaia berbalik badan, ia mendatangi lemari dan mengambil pakaian. Usai itu, dia masuk lagi ke kamar mandi untuk memakainya. Padahal sah-sah saja melakukannya di depan Langit.
Senyum Langit pudar. Ia kembali menyalakan ponsel dan chatting dengan orang tadi. Gerakan jarinya cepat seperti dikejar-kejar hantu.
Beberapa menit berselang, Langit mengubah posisinya menjadi duduk di tepi kasur dengan kedua kaki menapak lantai. Alaia datang, langsung Langit minta untuk mendekat. Dia menurut dan berdiri di hadapan Langit.
Langit memeluk pinggang ramping itu dan menempelkan setengah mukanya ke dada Alaia. "Maaf, Aia," katanya.
"Maaf kenapa?" Alaia menyentuh rambut Langit yang berantakan.
Sekarang Langit menatap Alaia dan sorotan matanya menyiratkan rasa bersalah. "Aku ingkar."
Alaia membalas tatapan itu tanpa mengeluarkan suara, hanya memberi waktu bagi Langit untuk menjelaskan maksud dua kata itu. Tampang Langit makin sedu karena tidak tega membuat Alaia kecewa.
"Aku nggak bisa temenin kamu ke pantai," ungkap Langit.
"Kenapa?" Alaia membalas.
"Tadi baru diingetin temen aku. Besok ada tugas yang harus diselesaiin pagi. Jadinya sekarang aku harus kerja lembur bagai kuda lagi. Abis ini mau ketemuan sama mereka di kafe," tutur Langit.
Alaia memberi seulas senyum dan mengangguk singkat. "Nggak apa-apa, Langit."
"Maaf," sesal Langit.
"Kamu tenang aja ... masih ada besok atau hari lain." Anak itu memperlebar senyumnya, padahal ia bersedih karena tidak jadi pergi.
"Tapi kamu lagi pengen banget ke sana, kan?" Langit menyentuh satu pipi Alaia, mengusapnya lembut sambil menatap lekat kedua matanya yang cantik.
Kini Alaia mengangguk.
"Dari kemaren nggak jadi terus gara-gara aku." Langit peluk Alaia lagi, diam-diam ia merasa kesal pada dirinya sendiri.
"Nggak apa." Alaia membalas begitu tenang.
Setelah melewati momen ini, Alaia meminta Langit untuk bebenah. Langit beranjak dan bergegas mandi lalu bersiap-siap pergi meninggalkan rumah. Nanti dia pasti pulang larut malam, kemudian besok pagi sudah melesat lagi ke kampus.
Selagi Langit mandi, Alaia mengamati kilau bintang dari balik kaca bening. Ia berdiri di dekat jendela besar kamarnya sambil menerawang jauh mengenai suatu hal. Satu tangannya mengelus perut dengan begitu lembut, kemudian terukir senyum tipis di wajah.
"Nggak jadi pergi sama Langit. Ya udah, liat bintangnya dari sini aja ...," ucap Alaia.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Mobil Langit sudah terparkir rapi pada lahan kosong di depan kafe. Dia masuk ke sana dan melirik ke setiap sudut untuk mencari teman-temannya. Lima detik kemudian satu tangan terulur ke udara untuk mengundang Langit ke situ.
Dia berjalan melewati beberapa meja yang dihuni pengunjung lain. Tak sedikit mata tertuju padanya karena terpukau akan paras Langit. Seperti namanya, Langit sangat memesona.
"Sorry ya, Ngit! Kita bener-bener butuh peran lo di sini." Ayu berucap tepat saat Langit baru saja menempelkan bokong di kursi.
Langit mengangguk paham. "Santai, Yu."
"Alaia marah, nggak?" Hujan cemas.
"Nggak," jawab Langit.
"Sian amat yang mau pacaran." Cowok di sebelah Hujan menyambar. "Sabar, ditunda dulu ye, Lang."
"Nggak enak banget nyebutnya 'Lang'. 'Ngit', gitu!" Ayu protes.
"Biarin napa, Yu! Lagian lidah gue udah akrab banget nyebut dia Lang." Vijay berkata.
"Woo!" Ayu melempar gumpalan struk Vijay. "Gue kan jadinya keinget mantan."
"Yang mana tuuuh? Gilang, Elang, Galang, Bolang atau siapa?" Vijay ingin tahu.
"Kepo!"
"Ayu fuckgirl ih, simpenannya banyak pisan. Pasti hobi ninggalin pas lagi sayang-sayangnya." Langit mengejek.
"Astagfirullah, kamu ini berdosa banget. Ayu tuh cewek paling kalem sedunia, nggak pernah jahat ke cowok," balas Ayu.
"Tampang lo nggak meyakinkan, Yu," celetuk Vijay.
Sambil mengobrol membahas macam-macam topik, empat anak itu mulai mengeluarkan tugas dan siap memutar otak agar kerjaan cepat selesai. Bukan hanya sambil ngobrol, mereka juga minum-minum. Langit memesan coklat panas karena entah mengapa minuman itu membuatnya teringat pada Alaia.
Di beberapa menit awal semuanya aman tanpa ada kendala. Tapi keseruan mereka agak terganggu saat seseorang datang, langsung peluk Ayu kuat-kuat karena dirinya merasa senang ada Langit di sini.
Bisa kalian tebak siapa yang datang? Mudah sekali.
"Dih, bumil beneran ke sini, bukannya tidur aje di rumah! Perut lo tuh liat, gue ngeri copot di jalan." Vijay menyambar secepat itu.
"Mana bisa perut copot, Oon!" Ayu memencet kening Vijay dengan ujung pulpen.
"Di rumah bosen banget. Nggak seru sendirian terus," ungkap Ally.
Ally menatap Langit dan mengisi kursi kosong di sebelahnya. Langit tak bisa tersenyum pada orang yang telah membuat istrinya bersedih serta hampir salah paham. Bahkan kini Langit mulai menunjukkan sikap tak nyaman akan kehadiran Ally.
"Hey, seneng banget ketemu lo di sini." Ally menyapa Langit. "Lo pasti kaget ya ada gue. Seneng ga?"
"Biasa aja," sahut Langit.
"Masa, sih? Boong ah. Hehehe." Ally terlalu percaya diri untuk berkata seperti itu.
Tanpa mengindahkan perkataan Ally, Langit meraih beberapa buku yang berserak di meja dan juga mengambil tumpukan kertas berisi sekumpulan kalimat panjang. Matanya sedikit menyipit ketika membaca tulisan itu di bawah pencahayaan yang tak begitu terang.
"Lampunya kurang terang ya, Ngit?" Hujan memang peka terhadap sesuatu.
"Iya, Jan," jawab Langit.
Lantas Hujan bergerak meninggalkan kursi dan mencari seseorang yang bekerja di kafe ini. Selain pengertian, Hujan memiliki sifat yang berani memulai percakapan dengan orang baru. Ia merupakan pribadi yang terbuka serta ramah pada siapapun.
Sementara Hujan pergi, Langit, Ayu dan Vijay sibuk membahas persoalan yang akan mereka cari jawaban serta jalan keluarnya. Ally tidak ikutan karena dia bukan anggota kelompok Langit. Kehadirannya bagai parasit yang tak berguna.
Lampu yang awalnya sedikit redup, kini mendadak menyala lebih terang setelah Hujan mendatangi salah satu pegawai. Cewek pemilik rambut sebahu berwarna pink itu kembali ke kursi dengan cengiran yang membuat lesung pipinya timbul.
"Makasih, Hujan Badai Halilintar!" Ayu mencubit gemas pipi Hujan. "Mata gue langsung cling pas lampunya berubah."
"Gantengnya Langit makin keliatan jelas," ceplos Ally.
Langit melirik sekilas ke arah Ally dan enggan menanggapi ucapannya. Ia masih gondok atas kejadian tadi sore. Entah atas dasar apa Ally berlaku seperti itu.
"Gue kira tadi lo mau bawa Alaia. Untungnya nggak ya," celetuk Ally lagi.
"Emangnya kenapa kalo Langit bawa Alaia? Lo nggak bisa godain dia, ya? Jiahaha!" Hujan terbahak.
"Hujan!" Ayu melotot. "Kalo ngomong suka bener ih. Hehehe."
Ally tersenyum seraya memainkan ujung rambut panjangnya. "Bukan gitu. Alaia kan nggak sekampus sama kita. Jadinya aneh kalo ada orang asing di sini."
"Lo juga aneh. Lo nggak sekelompok sama kita, tapi malah nimbrung di sini. Ngapain?" Hujan membalas.
"Emang nih bumil gabut bener. Padahal lebih enak rebahan di rumah," cetus Vijay.
"Mau ganjen ke Langit ya, Ly?" Ayu menahan tawa. "Jangan macem-macem di depan Hujan. Di-bash abis-abisan lo sama dia."
Ally mengusap perutnya dan memasang tampang yang menurut dia paling imut. Katanya, "Jangan galakin gue dong ... nanti bayi gue sedih."
"Siapa yang galakin lo. Lo udah dewasa pasti pahamlah apa maksud omongan gue sama Ayu," ketus Hujan pada Ally seraya meraih kertas yang disodorkan Langit.
"Masa suami orang lo puji-puji begitu, terus seneng karna Langit ga bawa istrinya. Sadar diri, lo udah bersuami. Jangan bikin gue sensi deh," kesal Hujan.
Ally cemberut lalu menunduk sambil mengelus perut menggunakan telunjuk. Langit sama sekali tidak ikut dalam percakapan itu karena ia lebih mengutamakan tugas agar cepat selesai. Ia anteng menggunakan laptop sambil sesekali membaca tulisan di selembar kertas dan buku.
"Mana suami lo, Ly?" Vijay bertanya.
Jawab Ally, "Nggak tau. Anggep aja gue nggak punya suami. Gue pengen cari yang baru."
Hujan dan Ayu ketawa mendengar penuturan Ally. Nyatanya semenjak kenal Langit, Ally berani bicara seperti tadi. Sebelumnya boro-boro berkata semacam itu. Malahan tiap malam galau terus memikirkan sang suami.
Ally mengaduh saat merasakan getaran di sekitar perut hingga pinggul. Dia meringis pelan seraya memegang perutnya yang makin membesar, lalu mengusap-usap bagian bawah.
Perempuan itu berucap pelan sambil menatap perut, "Kamu ngapain di dalem situ? Nendang-nendang ya?"
Ah, Langit jadi kangen Alaia.
Ally menyentuh tangan Langit dan seketika lelaki itu menoleh. Mata Ally mengamati wajah Langit untuk beberapa sekon, kemudian pandangannya turun ke perutnya yang berisi calon bayi. Kening Langit mengerut tipis karena tak mengerti apa tujuan Ally.
"Gue udah lama banget nggak ketemu suami gue. Gue kangen dimanjain, terlebih dielus-elus perutnya." Ally berujar.
"Tolong gue ya, Ngit. Lo pasti ngerti maksud gue," lanjut Ally. "Apalagi lo calon ayah juga."
Dia tidak merespons cepat, sampai akhirnya Ally meraih satu tangan Langit dan dibawa ke perutnya. Darah Ally tersirap hingga menimbulkan debaran hebat dalam dada. Efeknya lebih parah ketika Langit memberi gerakan pelan di perut itu. Meski sangat singkat, namun cukup berarti untuk Ally.
"Sayang ... itu papa kamu." Ally berkata pada janinnya.
"Sembarangan anying!" Langit menyeplos sebal.
"Langit, jangan ngomong kasar di deket anak gue. Dia tuh udah bisa dengerin omongan orang," tegur Ally.
"Ya udah, jauh-jauh sana," usir Langit, "lagian gue nggak minta lo buat duduk di deket gue. Pede banget lo duduk di situ."
"Galak banget sih." Ally bete.
"Nih, gue ingetin lagi. Jangan chat sembarangan ke gue. Istri gue lagi hamil, dia sensitif banget." Langit berkata. "Apa-apaan ngirim foto ga pake baju. Mau gue santet?"
Hujan, Vijay dan Ayu terbahak keras mendengar celotehan Langit. Meski terlihat bahagia karena Ally dimarahi Langit, tapi Ayu menyesal juga sebab dialah yang memberitahu keberadaan Langit di sini. Itupun karena Ally bertanya ada siapa saja di kafe.
"Gue cuma butuh sosok suami ... lo lupa ya, Ngit?" Ally memandang Langit sedih.
"Terus? Hubungannya sama aing apa?" seloroh Langit.
"Lo kan suami." Ally menunduk lagi.
"Dia suami Alaia, bukan suami lo." Hujan menyambar. "Mau jadi pelakor? Hina amat tujuan lo. Mentang-mentang lagi hamil jadi seenaknya sama Langit pake alibi kangen suami. Kalo kangen ya lo cari suami lo, bukan embat laki orang!"
"Say it louder, Sis!!!" Ayu gemas mendengar omongan Hujan.
"Gue ogah temenan sama orang yang kepengen rebut milik orang lain. Sehebat apa lo sampe punya pikiran kayak gitu?" Hujan menatap Ally sangat tajam.
"Gue nggak bakal terima kalo sampe ada yang nyakitin Alaia. Gue emang bukan temennya, gue cuma tau Alaia sebagai istri Langit, tapi gue yakin banget dia orangnya sebaik itu. Nggak pantes diginiin sama cewek semacem lo, Ly," imbuh Hujan.
Kemudian Hujan beralih menatap Langit. "Ngit, gue tau lo nggak mungkin ngebiarin istri lo nangis gara-gara ini cewek, kan?"
"Heh, denger gue ga?" Hujan memukul meja tepat di hadapan Ally. "Jaga sikap lo. Jangan incer Langit mulu. Muka lo cantik tapi percuma kalo sifat kayak dajjal."
"Hujan bersabda." Vijay terkekeh. "Lanjutkan!"
Ally berdecak dan tidak suka diceramahi seperti itu. Maka dia berkata, "Ini hidup gue, Jan. Gue berhak cari kebahagiaan sendiri. Jangan nilai gue sesuka lo."
"Omongan lo itu berlaku kalo cara lo cari kebahagiaan bukan lewat suami orang." Ayu membalas.
"Kok kalian malah belain Alaia daripada temen sendiri?" heran Ally.
"Ngapain kita bela yang salah, bego. Gitu aja ditanya," semprot Hujan.
Selepas itu Hujan bangkit, dia mendatangi Ally dan minta bertukar tempat. Lebih baik Langit duduk bersebelahan dengannya daripada harus diganggu terus oleh Ally. Sekali lagi, Hujan mengerti apa yang Langit inginkan— yaitu berjarak jauh dari Ally.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Jam sebelas lewat empat puluh dua menit Langit baru tiba di rumah. Tugas kelompok sudah selesai, tapi sejujurnya Langit tak begitu puas mengerjakannya karena Ally bikin dia kurang berkonsentrasi. Ada saja yang cewek itu lakukan untuk mendapat perhatian Langit.
Langit kesal? Tentu saja.
Sebuah notifikasi muncul pada baris teratas. Langit membuka lock ponselnya dengan scan wajah, kemudian membaca isi pesan yang diterimanya.
Ally:
Hey, udah sampe rumah? Langsung istirahat ya 💖
Bayi gue happy banget kalo gue di deket lo 🥺🥺
Besok harus ketemu lagi oke? Tapi jangan ketauan Hujan, dia berisik banget huhu
Langit mendengkus kasar. Kenapa selalu ada perempuan yang berusaha masuk ke dalam hubungannya dengan Alaia? Sebelumnya Lila, lalu Syadza, dan sekarang Ally. Maka ia langsung mencari sesuatu pada layar dan ketika ketemu Langit memilih tulisan berwarna merah.
Block Contact.
Sambil mematikan layar ponsel, ia melangkah ke kamar untuk melihat istrinya yang ternyata sudah terlelap. Langit membersihkan badan terlebih dahulu sebelum mendekat ke Alaia.
Usai berganti pakaian, Langit naik ke kasur dan mengamati wajah Alaia yang sangat tenang. Langit membelai kepalanya, turun ke pipi, lalu berhenti saat menyadari sesuatu.
Posisi tidur Alaia adalah miring yang artinya setengah wajah dia bertemu bantal, setengahnya lagi tidak. Wajah yang menyentuh bantal itu tertutup rambut dan perlahan Langit singkirkan agar tak mengganggu rasa nyaman Alaia dalam tidurnya.
Langit terdiam ketika menyadari bulu mata Alaia basah. Sarung bantal yang berdekatan dengan mata Alaia pun lembab seperti dia habis menangis dan airnya merembes ke situ.
"Aia," panggil Langit begitu lembut.
Alaia baru tidur beberapa menit sebelum Langit kembali. Kini ia buka mata saat merasakan sentuhan di sekitar kepala. Matanya sendu, memandangi Langit yang duduk di dekatnya.
"Maaf, keganggu ya?" ucap Langit tak enak hati.
Senyum Alaia terukir tipis. Ia berucap sangat pelan, "Nggak keganggu."
Langit berbaring di samping Alaia dan saling melempar tatap. Kini kelihatan jelas mata Alaia agak bengkak atau lebih tepatnya sembab. Langit mulai gelisah serta perasaannya tidak tenang.
"Kamu abis nangis?" Langit bertanya.
Alaia bungkam sesaat. Ia lalu bergerak hingga jaraknya dengan Langit menjadi hampir tak ada. Langit memeluk Alaia, memberi kehangatan untuk istrinya yang mungkin sedang tak baik-baik saja.
"Aia kenapa?" tanya Langit.
Alaia menggeleng samar. Kemudian ia berkata tanpa menjawab Langit, "Aku hampir ketiduran."
"Kalo ketiduran kenapa?"
"Nggak ketemu kamu. Pasti besok pagi kamu udah pergi sebelom aku bangun." Alaia menjawab.
Langit mengecup pucuk kepala Alaia dan meminta maaf karena belum bisa menghabiskan lebih banyak waktu seperti hari-hari sebelumnya. Bahkan kelanjutan liburan mereka terpaksa ditunda hingga satu bulan lebih. Alaia cukup pengertian meski akhirnya ia bersedih karena makin kerasa Langit tak selalu hadir untuknya.
Dalam rengkuhan Langit, Alaia menahan desak air mata yang hendak mengalir lagi. Namun napas Alaia yang tersendat membuat Langit menyadari dan menunduk untuk melihat wajah itu. Mata Alaia berkaca-kaca, senymnya terlihat getir.
"Sayang ...." Langit mengusap air mata yang hendak jatuh. "Kenapa?"
"Aku mau itu." Alaia berucap.
"Apa?" Langit berucap sembari merapikan beberapa helai rambut Alaia yang menempel ke mukanya.
"Mau liat langit bareng kamu," pinta Alaia. "Dari jendela aja, nggak usah ke pantai."
Langit makin merasa bersalah karena keinginan itu belum bisa ia wujudkan. Padahal Alaia hanya sebatas ingin ke pantai bersamanya, dia sama sekali tak meminta sesuatu yang berlebihan.
"Aia mau ke pantai sekarang nggak?" Langit bertanya.
"Nanti kamu capek."
"Nggak. Belom ngantuk juga kok," jawab Langit. "Pergi sekarang ya? Aku ambil jaket dulu buat kamu."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Alaia mengeratkan jaket saat angin berembus kencang menghampiri mereka. Langit setia di samping Alaia dan selalu siaga menjaga istrinya. Di sekitar mereka sangat sunyi tak ada seorangpun yang lewat.
"Nggak ada tukang jajanan." Langit menyeletuk.
"Udah terlalu malem," sahut Alaia yang diselingi kekeh ringan.
"Besok-besok ke sini lagi deh, biar kamu bisa jajan." Langit menyahut.
Alaia mengukir senyum manis seraya menggeleng. "Jalan-jalan berdua kamu kayak sekarang udah cukup."
"Bukannya Aia pengen jajan juga?" Langit ingat ucapan Alaia tadi sore.
"Iya, tapi lebih penting bareng kamu."
"Kamu téh kalo ngomong manis pisan." Langit tersipu.
Alaia berdeham pelan dan tersenyum lagi. Ia mengeratkan genggamannya pada Langit dengan mata tertuju lekat ke manik cokelat milik suaminya. Bola mata Langit mempunyai warna yang Alaia suka, sama halnya Langit yang menyukai iris biru Alaia.
"Mau peluk kamu." Alaia meminta.
Cowok itu segera membuka tangan dan membiarkan Alaia masuk ke pelukannya. Mata Alaia terpejam, menikmati tiap detiknya bersama Langit. Ia bisa rasakan debar jantung Langit yang kencang, juga tenggelam dalam lembutnya usapan dia.
Lalu Alaia berjinjit seraya menyentuh wajah Langit dengan satu tangan. Langit menunduk, kemudian menerima kecupan di pipinya dari Alaia. Mata Alaia berbinar ketika menatap Langit lagi.
Senyum Alaia perlahan lenyap, berganti dengan bibirnya yang bergetar menahan tangis. Langit terkejut, ia bertanya apa yang terjadi pada Alaia, tapi cewek itu masih diam dan kembali memeluk Langit lebih erat.
"Kenapa, Aia?" Langit mengusap punggung Alaia berulang kali.
"Sejak ada Baby Skyia, aku nggak bisa terlalu lama di daratan. Aku harus pulang," ungkap Alaia dan suaranya sangat melirih.
"Aku harus tinggalin kamu." Alaia terisak.
Napas Langit tercekat, entah harus bicara apa. Kalau Alaia diharuskan kembali ke laut, Langit tidak mungkin melarang. Memang berat sekali rasanya, tapi ia sadar bahwa kehidupannya dan Alaia jauh berbeda.
"Berapa lama?" Langit tidak sesemangat tadi.
"Aku nggak tau." Alaia menjawab.
Kini Langit menatap Alaia. Keduanya sama-sama menyimpan banyak kata yang ingin disampaikan, tapi lidah mereka kelu untuk berucap. Bisa Alaia lihat dengan jelas bahwa mata Langit mulai berkaca, tetapi cowok itu menahannya sangat kuat.
"Kalau nggak ada aku, kamu harus tetep baik-baik ya. Jangan terlalu sering begadang." Alaia berkata.
Gigi Langit beradu di dalam sana. Rahangnya mengeras, juga mata dan wajahnya makin panas. Alaia menyentuh rambut Langit, turun ke wajah, leher, lalu berhentu di dada. Alaia teringat kata-kata yang pernah Langit ucap ketika mereka belum menikah.
"Kamu bilang di sini ada aku." Alaia menatap dada Langit. "Apa nanti berubah bukan aku lagi?"
Langit menggeleng. Suaranya berat saat berkata, "Tetep kamu."
"Bener ya!" Alaia tersenyum lucu, bikin Langit makin merasakan sesak di dadanya.
"Bener," balas Langit, kini mulai serak.
Menyadari ada yang berbeda dari tatapan Langit, lantas Alaia peluk tubuh itu dan membiarkan momen ini berlangsung sedikit lebih lama. Langit bernapas di leher Alaia, ia menarik dalam-dalam aroma tubuhnya yang selalu bikin kangen.
Rengkuhan Langit tak berhenti hingga bermenit-menit terlewat. Dia diam terus, sama sekali tak bicara walau sekata. Bibirnya menyentuh pipi serta kening Alaia, kemudian kembali menyembunyikan wajah di lekuk leher jenjang itu.
Sampai akhirnya ... pertahanan Langit runtuh. Air matanya menitik sebagai tanda terlalu takut kehilangan Alaia.
⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️
————————————————
————————————————
mau berbagi kebagaiaan. ini sempet heboh beberapa hari lalu karena Patrick (visual Langit) notice kita!!! finally dia tau siapa itu Langit Shaka Raja hihihi 💖 thanks to Babygengz!
Terima kasih banyak sudah baca Alaia!!! Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🧜🏻♀️💗
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕 tapi jangan mengandung spoiler ok 😂😭👍🏼
follow instagram aku @radenchedid biar tau info & updatean terbaru yaaah 🍒🤍🍃🌸
—————————————————
—————————————————
↘️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ↙️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya
🍒🌿🎀 see you my babygeng! 🌸🍃🧜🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro