Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42. Insecure

42. INSECURE

Tadi sore Alaia, Ragas dan Bunda mengantar Ayah sampai ke pelabuhan. Ragas yang baru keluar dari rumah sakit langsung jalan-jalan karena teramat suntuk berhari-hari tidak keluar ruangan. Sebelum berpisah tadi, Ayah memeluk Alaia dan memberi banyak pesan serta wejangan untuk pernikahannya bersama Langit.

Kini mereka bertiga sudah kembali ke rumah. Langit belum pulang padahal waktu sudah memasuki malam. Alaia menunggunya di teras sambil memakan es krim dan tak berhenti mengamati pagar.

Setelah bermenit-menit terlewat, Alaia memilih masuk dan mendatangi Ragas yang berada di ruang keluarga. Cowok itu lagi pacaran via telepon. Alaia duduk di samping Ragas, memberi seulas senyum tipis dengan tatapan agak mengantuk.

"Dede bobo aja sana ... palingan bentar lagi Langit sampe," celetuk Ragas.

Alaia menggeleng. "Es krimnya belom abis."

"Oh iya." Ragas melirik es krim yang Alaia genggam. "Abisin dulu atuh."

Setelahnya Ragas asyik berbincang lagi dengan Lana. Alaia tidak menyimak meski Ragas berada tepat di dekatnya. Cewek itu diam sambil menikmati es krim dan sesekali menilik jendela yang memperlihatkan halaman depan rumah.

Alaia menunduk, bersamaan itu terdengar bunyi klakson khas mobil Langit. Perempuan yang sedang hamil itu lari keluar, menemukan mobil Langit sedang bergerak masuk ke halaman rumah. Ia tersenyum lebar karena akhirnya sang suami pulang.

Sambil menunggu Langit memarkirkan mobil ke dalam garasi, Alaia mencari tempat sampah untuk membuang stik es krim. Sesudah itu ia balik lagi ke teras dan Langit baru saja muncul dari garasi.

"Angit!" Alaia menyapa.

Langit merentangkan tangan dan langsung peluk Alaia. "Sayaaang."

Rasanya semua lelah di tubuh Langit seketika lenyap setelah bertemu Alaia. Nyaman sekali memeluk perempuan itu sampai Langit berat untuk melepasnya. Sekarang mereka terlihat seperti pasangan yang baru bertemu setelah bertahun-tahun terpisah.

Sehabis puas mendekap Alaia, kini Langit mengajaknya masuk ke rumah. Keduanya beranjak ke kamar karena Langit mau mandi, Alaia juga sudah mengantuk dan ingin segera tidur. Sambil berjalan ke sana, Langit menceritakan hari-harinya ke Alaia.

Semua Langit beberkan tanpa terkecuali, termasuk Ally yang mengajaknya ketemuan.

"Kamu mau ketemu dia?" tanya Alaia.

"Liat besok aja," kata Langit.

Setibanya di kamar, Langit menaruh tas di gantungan dekat meja belajar dilanjutkan melepas pakaian atas. Alaia duduk di tepi kasur sembari memerhatikan Langit yang sibuk sendiri. Cowok itu nengok ketika dirinya hendak masuk ke kamar mandi.

"Naha ih ngeliatin terus?" Dia merasa aneh dengan tatapan Alaia.

Alaia tersenyum simpul sambil menggeleng.

"Mau ikut?" tanya Langit.

"Nggak." Alaia menolak.

"Tungguin ya, aku mandinya ngebut nih."

Maka Alaia merebahkan diri di kasur, sementara itu Langit masuk ke kamar mandi. Alaia memegang perutnya dan ia usap pelan sambil memejamkan mata. Ucapan Langit tentang Ally terngiang.

Alaia sedikit cemas karena di luar sana pasti Langit bertemu banyak perempuan.

Ia memeluk guling sambil terus memikirkan Langit. Rasa kantuknya mendadak hilang dan berganti dengan rasa tidak tenang. Mungkin ini hanyalah hal sepele bagi Langit, lantas Alaia hanya bisa memendamnya sendiri.

Sampai Langit keluar dari kamar mandi, Alaia masih pada posisinya. Ia hidup, tapi seperti orang mati yang sama sekali tak gerak. Ketika Langit menyebut namanya pun Alaia tidak menyahut.

Langit datang dan membungkuk untuk mengecup kening Alaia. "Cepet banget udah bobo."

"Belum." Alaia menyambar dengan mata tertutup.

Langit terkekeh. "Oh, belom ... kirain udah."

Lalu Langit tiduran tepat di samping Alaia. Karena cewek itu membelakangi Langit, maka dia merengkuhnya dari belakang sembari mendaratkan bibir di bahu Alaia. Langit mendusel-dusel dengan menghirup wangi di sekitar leher istrinya.

Alaia tidak merespons.

Maka Langit berpindah ke seberang Alaia supaya bisa lihat wajahnya. Alaia tadinya melek, tapi ketika menyadari Langit muncul di depan dia, dia langsung tutup mata lagi. Langit rebahan di situ dan menatap Alaia sangat lama.

"Tadi udah makan?" Langit bertanya.

Alaia mengangguk sekilas. Mukanya tenang sekali padahal ada banyak sesuatu yang ia pikirkan. Saat Langit mengelus pipinya dengan telunjuk, Alaia spontan buka mata tapi kemudian ia pejam lagi.

"Aku belom makan, nih," ucap Langit.

Sekarang Alaia benar-benar membuka mata. Dia membalas tatapan Langit dan berucap setengah berbisik, "Sana makan."

"Mau nemenin nggak?" Langit mengajak.

Alaia ingin sekali menemani, tapi kali ini pilihannya tidak sesuai kemauan dia. Dengan berat hati Alaia menggeleng yang artinya menolak permintaan Langit. Lelaki itu tidak protes meski ia sedikit bingung karena biasanya Alaia mau-mau saja memenuhi keinginannya.

"Ya udah, aku makan dulu. Aia bobo aja ya," ujar Langit.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Pagi sekali Langit sudah pergi membawa mobil bersama Alaia yang duduk manis di sebelahnya. Pada pangkuan Alaia ada Pibi yang ia bawa. Kali ini Alaia lebih banyak diam, berbeda dengan hari-hari biasa yang cukup bawel dan suka bertanya.

Matahari belum menampakkan wujud secara utuh. Udara terasa dingin dengan angin kencang yang membuat deretan pohon di tepi jalan menari hingga daunnya melayang-layang dan berhaburan di aspal.

Langit menoleh ke Alaia, melihatnya sedang menatap Pibi. Boneka gurita itu menampilkan wajah marah. Apakah ini kode untuk Langit?

"Aia kenapa?" tanya Langit.

"Nggak," sahut Alaia.

"Diem terus dari tadi." Langit mulai merasa adanya hawa tidak enak.

Alaia tak menjawab. Ia mengalihkan pandang ke depan, melihat penampakan laut yang jaraknya sudah makin dekat. Inilah alasan mengapa Alaia ikut Langit padahal suaminya mau pergi ke kampus. Sebenarnya Alaia hanya numpang karena tujuannya adalah pantai.

Alaia merindukan rumah aslinya.

Tidak lebih dari lima menit, mobil Langit berhenti di area parkir. Alaia membalik bonekanya menjadi ekspresi senyum dan menaruhnya di atas dashboard.

"Dadah, Angit." Alaia pamit seraya turun dari mobil.

Langit menyusul dan menghampiri Alaia yang nyelonong begitu saja. Cewek itu berhenti ketika Langit memanggil. Lantas Alaia memutar badan dan berdiri di depan Langit tanpa mengeluarkan suara.

"Nanti sore aku jemput," tutur Langit.

Alaia memanggut singkat. "Iya."

Langit sangat tau ada perbedaan dari raut wajah Alaia. Sejak malam perempuan itu tidak seceria biasanya, malah sekarang kelihatan suram tapi berusaha ditutupi. Langit bisa merasakan itu.

"Aia lagi mikirin apa?" Langit bertanya selembut mungkin.

"Kamu," jawabnya.

Dahi Langit sedikit mengerut. "Kenapa? Kalo aku ada salah, langsung bilang aja. Jangan diem."

"Nggak ada salah. Angit baik," pungkas Alaia.

"Terus kenapa kamu murung gitu?" heran Langit.

Alaia membuang lelah lewat napasnya yang terdengar berat. Sekarang dia tersenyum dan menyentuh tangan Langit untuk digenggam. Katanya, "Nggak murung kok. Aku seneng nih."

"Aia ...," ringik Langit.

Tangan Alaia memegang satu pipi Langit, ia mengelusnya perlahan sambil menatap kedua bola mata itu. "Ternyata kamu ganteng banget ya."

"Kamu mah." Faktanya Langit malu-malu kucing bila dipuji Alaia.

"Kamu disukain banyak orang, kenapa kamu maunya sama aku?" Alaia terkekeh pelan.

"Mana ada aku disukain banyak orang. Yang suka sama aku kamu doang jadinya aku pilih kamu aja." Langit menjawab dengan diselingi canda.

Banyak yang naksir Langit, tapi dia tidak menyadarinya.

Alaia tersenyum getir. "Kalau nanti kamu ketemu manusia dan kamu sayang dia, apa kamu tetep mau sama aku?"

"Eh kok ngomong gitu?" Langit agaknya terkejut.

Alaia menggeleng. Dia masih mencoba tersenyum meski matanya mulai berkaca-kaca. Kemudian Alaia menunduk dan mengusap mata. Jemarinya basah setelah bertemu buliran air yang Alaia halau agar tidak jatuh ke pipi.

"Alaia," panggil Langit seraya memegang bahu istrinya supaya mau mendongak.

"Aku nanya aja." Alaia berkata, suaranya sedikit bergetar.

"Kamu dari semalem diem mulu gara-gara mikirin ini ya?" Langit membawa beberapa helai rambut Alaia yang menjuntai ke depan untuk diselipkan ke belakang telinga.

Langit lalu menarik Alaia ke dalam peluknya dan membelai kepalanya untuk memberi ketenangan bagi sang istri. Langit tidak paham kenapa Alaia bisa kepikiran tentang ini, sedangkan dia tahu bahwa Langit sangat menyayanginya.

"Takut." Alaia cemberut, akhirnya air mata itu terjun dari tempatnya.

"Atuh ih, jangan mikir gitu." Langit menambah eratannya dan juga mengecup pucuk kepala Alaia.

"Aku nggak pinter kayak kamu. Aku juga bukan manusia kayak kamu," lirihnya.

"Kata siapa kamu nggak pinter? Kamu itu jauh lebih pinter dari aku. Harusnya kamu sadar," imbuh Langit.

"Dari awal kita ketemu, aku terima kamu yang bukan manusia, kan? Terus kenapa kamu tiba-tiba takut?" Langit resah, kini ia memegang kepala Alaia hingga cewek itu menengadah menatapnya.

Dada Langit selalu pengap tiap Alaia menangis di depannya, apalagi dia yang menjadi alasan tangis itu datang.

"Maaf, Langit." Alaia berupaya meredam tangisnya.

"Aku yang minta maaf. Aku bikin kamu ga tenang sampe nangis gini." Langit menyeka jejak air mata Alaia.

Tatapan Alaia sangat tulus dan penuh kasih ketika memandangi Langit. Langit pun demikian. Memang benar, mata dan hati tidak bisa bohong.

"Aku berlebihan ya?" sesal Alaia.

Langit menggeleng. "Nggak, Aia."

"Aku takut kamu nggak suka karena aku nangis terus." Alaia menunduk.

"Aku nggak pernah kepikiran buat berenti sayang kamu cuma gara-gara kamu nangis," papar Langit.

"Jangan takut ekspresiin diri kamu di depan aku. Tetep jadi Alaia yang apa adanya ya?" Langit menenangkan seraya memberi sentuhan lembut di wajah hingga kepala.

Selain memberi rasa tenang untuk Alaia, Langit juga mengelus perut Alaia penuh perasaan. Di dalam sana ada makhluk kecil yang akan Langit beri segala cintanya. Hanya Alaia serta calon buah hati mereka yang selalu mengisi hati dan pikiran Langit. Tak pernah sedetikpun Langit berpikir untuk mengganti posisi Alaia seperti yang istrinya takutkan.

"Aku sayang kalian," ungkap Langit.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Bastian mengunyah permen kaki sambil berdiri di ambang pintu kamar kos Lila.

Lila menimpuk Bastian dengan sepatu tapi lelaki itu masih saja mematung di sana. Sepatu, sendal, botol, bahkan benda-benda lain sudah banyak berserak di lantai hingga tak terhitung jumlahnya. Bastian tertawa melihat tingkah bodoh Lila yang seperti itu.

"Terus aja lempar. Nanti tinggal gue bakar semuanya," cetus Bastian.

"PERGI!" Lila membentak.

Bastian menyeringai seraya melempar gagang permennya dan masuk ke kamar. Lila teriak, tapi sama sekali tak diindahkan oleh Bastian yang kini menutup pintu lalu menguncinya. Bastian menghampiri Lila yang berdiri di tengah ruang, langsung membekap mulutnya agar berhenti memekik.

"Bisa diem ga?" Bastian berucap rendah dengan terselip nada ancaman.

Lila berusaha keras menjauhkan tangan Bastian dari bibirnya. Setelah terlepas, ia lagi-lagi berseru nyaring. "Kenapa sih lo ganggu gue mulu? Gue mau muntah liat muka lo!"

Tangan Lila dengan enteng menampar Bastian, juga memukul badannya berkali-kali. Bastian tidak melawan malahan tertawa dengan maksud meremehkan pukulan Lila yang sama sekali tak menyakitinya. Saking kesalnya Lila mau nangis.

"Sstt, udahan dong." Bastian menahan kedua tangan Lila. "Jangan berisik, nanti didenger tetangga."

"PERGI!" Lila teriak di depan muka Bastian.

"Oke, abis ini pergi. Tapi sebelomnya gue mau minta jatah dulu." Bastian memamerkan senyum nakal yang sangat menakutkan.

Lila kalut, dia mau kabur tapi pergerakannya dicegah Bastian. Ketika Bastian baru akan menyentuh pakaian Lila, ia mendadak berhenti dan memandangi Lila dengan ekspresi penuh kebingungan. Tatapannya turun ke beberapa bagian sensitif perempuan, kemudian tersenyum kecut.

"Nggak jadi deh. Lo udah dipake banyak orang." Ucapan Bastian merendahkan Lila.

Sekali lagi, Lila menampar mantannya itu dan kali ini tepat di bibir. "Kurang ajar ya mulut lo!"

"Fakta, Bos." Bastian menyahut.

Di detik itu juga Lila menangis. Rasa ingin membunuh cowok di hadapannya itu tapi fisiknya sudah terlalu lelah menghadapi berbagai masalah yang menghampiri. Bastian tidak merasa bersalah, melainkan terkekeh tanpa beban.

"Makanya, jangan pernah sia-siain rasa sayang gue ke lo," papar Bastian.

"Kalo lo buat gue kecewa, gue bakal bikin hidup lo nggak tenang sampe seterusnya." Bastian melanjutkan seraya membelai pipi Lila.

"Gue nggak mau lo bahagia tanpa gue, Delila."

Ketika rasa cinta perlahan berubah jadi benci. Awalnya sangat sayang, lama-lama dibuang layaknya sampah. Semula dibanggakan, kini dianggap paling hina. Begitulah kira-kira perubahan yang terjadi dalam diri Bastian terhadap Lila.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Mavi menemani Alaia yang sendirian karena ditinggal Langit ke kampus. Keduanya berdiri di tepi pantai dan membiarkan air laut menerpa kaki mereka hingga mencapai betis.

"Luna," panggil Mavi.

Kepala Alaia tertoleh ke Mavi. Ia memberi senyum segaris dan itu cukup menenangkan hati Mavi yang sejak hari-hari lalu mengkhawatirkan dirinya. Alaia tak tau bahwa lelaki berambut biru itu sangat peduli terhadap dia.

"Kapan kamu siap menetap di lautan?" Mavi mengajukan pertanyaan yang ingin sekali Alaia hindari.

"Duniamu di sana, bukan di daratan," tambah Mavi.

Alaia merunduk dan mengamati pergerakan air yang membasuh lembut kalinya. Lalu ia menjawab Mavi, "Duniaku di dua tempat. Laut dan darat."

"Hanya laut, darat tempat kita singgah bukan menetap." Mavi mengoreksi.

"Mavi, kamu sedikit ngeselin. Aku itu udah nikah sama Langit, jadinya aku nggak bisa tinggal lama-lama di lautan. Aku harus berbagi waktu sama suamiku," cakap Alaia.

"Menikah?" Mavi terkesiap. "Kamu nekat!"

"Ini pilihan aku." Alaia membalas lagi.

"Itu pilihan terburuk, La Luna. Apa kamu nggak mikir bagaimana keadaan kita di waktu yang akan datang?" Mavi bertanya-tanya.

Alaia membuang napas gusar. Ketakutan Mavi memang tak jauh-jauh dari kehidupan di laut. Iya, Alaia sangat paham, tapi bukan berarti apa yang Alaia lakukan menjadi selalu salah di mata Mavi. Alaia tetap memenuhi kewajibannya sebagai pemimpin di laut dan istri untuk Langit.

Bila saatnya Alaia harus pulang, ia akan ke sana. Kemudian kembali lagi ke Langit. Begitulah kehidupan yang harus Alaia jalani setelah resmi menjadi pasangan seorang manusia.

"Aku mohon, kembali ke laut. Jangan buat laut marah karena ulah nakalmu, La Luna." Mavi kalang kabut.

Alaia menggeleng samar. "Mavi, kamu lupa ya?"

"Apa?" Mavi mengernyit.

"Aku punya kuasa di lautan." Ucapan Alaia membuat Mavi tak menemukan kata untuk membalasnya.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Langit menuruni anak tangga usai berkonsultasi dengan dosen pembimbing. Di tangannya ada banyak lembaran kertas yang menumpuk setebal novel ratusan halaman, ditambah beberapa buku lain. Kalau Langit merupakan tokoh kartun, mungkin sekarang kepalanya sedang mengeluarkan asap.

Tugas-tugas yang sempat tertunda untuk dikerjakan kini sudah banyak yang Langit bereskan. Besok dia akan lanjut bertempur dengan tugas lain. Langit cukup puas karena tadi ia berhasil mengeluarkan pendapat, ide dan gagasannya dengan sangat baik dalam presentasi hingga sesi tanya jawab.

"Eh, sori!" Langit spontan berseru ketika tidak sengaja bertubrukan dengan seseorang.

Cowok itu tertawa renyah seraya menepuk bahu Langit. "Gue yang meleng. Duluan ya, Lang!"

Temannya itu sedang buru-buru. Langit hanya mengangguk dan lanjut ke parkiran mobil sambil beberapa kali membalas sapaan orang yang melintas di dekatnya. Semua yang Langit lihat memang sedang sibuk dengan kerjaan masing-masing.

Sampai di parkiran, Langit berhenti di jarak tiga meter dari mobilnya. Di sana ia menemukan Ally berdiri sambil bersedekap di depan mobil Langit. Ketika menyadari Langit datang, tampang cewek itu seketika berseri-seri.

"Hey." Ally menyapa.

Langit tersenyum canggung. "Eh, lo lagi."

Sembari mengeluarkan kunci dan memencet tombol unlock, Langit bergerak ke pintu kiri lalu membukanya. Cowok itu menaruh barang bawaannya ke jok, kemudian menutup pintu lagi. Dia memandang Ally dan terjadi adegan saling tatap beberapa detik.

"Kenapa?" Langit bertanya mengapa makhluk itu ada di sini.

Ally menyodorkan sebotol minuman dingin ke Langit. "Buat lo."

Kebetulan Langit haus, jadi dia menerima pemberian Ally. Setelah mengucapkan terima kasih, dia membuka penutupnya yang masih disegel, lalu diteguk hingga menyisakan sedikit air.

Ally tidak berkedip saat mengamati Langit meminum air itu. Cakep banget, pikirnya.

"Abis ini lo langsung balik?" tanya Ally.

"Iya. Istri nunggu di rumah," jawab Langit.

Ally tertawa kecil. "Pasti seru ya, nyampe rumah langsung disambut pujaan hati. Hahaha."

Langit ikut terkekeh. "Begitulah."

"Istri lo udah ngisi?" Ally ternyata sangat penasaran.

"Puji Tuhan, Alhamdulillah. Udah." Langit menyahut.

Ally senyum senang dan memberi ucapan selamat. Kemudian ia menunduk, memandang perutnya yang tertutup hoodie tebal. Ally kembali menengadah sambil merapikan rambutnya untuk digulung.

Langit terdiam dengan mata melirik ke wajah dan leher Ally, lalu mengalihkan pandangan.

"Ayo kita main tebak-tebakan," celetuk Ally bertepatan ia selesai mengikat rambut.

"Menurut lo gue jomblo atau bukan?" Ally menahan senyum.

Langit menyipitkan mata. Dari penampilan Ally yang sederhana dan terkesan cuek, sepertinya dia bukan cewek yang suka tebar pesona sana-sini. Ah, Langit tidak tau. Dia baru bertemu Ally kemarin.

"Jomblo kali," ceplos Langitz

"Salah!" seru Ally, "kita sama, milih buat nikah muda."

"Oh, udah nikah?" Langit merasa tertipu oleh opininya sendiri.

"Yap, tapi ... nggak berjalan mulus," ucap Ally disertai cengiran miris.

Ally belum siap menceritakan kisahnya pada orang baru.

Langit tercenung sesaat. Dia mengamati Ally yang kini memegang perut dan diusap pelan-pelan. Ally nyengir, ia nampak bahagia memiliki bayi di dalam sana. Meski suaminya mengabaikan dia, tapi Ally sama sekali tidak menyimpan dendam.

"Berapa bulan?" Langit menatap perut Ally.

"Empat." Ally menjawab.

"Oh, pantesan nggak ketara. Kirain itu ... sorry, buncit," ungkap Langit.

Ally tertawa. "Kenapa harus pake sorry sih."

"Takut menyinggung," kekeh Langit.

Perempuan itu memandang Langit dengan tatapan penuh arti. "Nggak kok."

Tiba-tiba satu tangan Ally terulur ke rambut Langit, ia menyingkirkan sesuatu berbentuk kecil yang tersangkut di situ. Langit mundur selangkah, ia mengibas rambutnya hingga kotoran itu hilang.

"Tadi ada daun kecil." Ally tertawa pelan.

Angin berembus kencang yang diikuti awan gelap mulai muncul. Dedaunan beterbangan di sekitar mereka, juga pasir jalanan berhamburan menyatu dengan udara. Langit bersiap masuk ke mobil karena was-was hujan akan turun.

"Em, Langit." Ally memanggil tepat saat Langit baru membuka pintu mobil.

"Ya?" Langit menoleh.

"Hati-hati ya," ucap Ally yang disusul senyum manis.

⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️

menurutmu, apakah Ally baik?

kalian kalo jadi Alaia bakal sedih atau seneng suaminya dideketin banyak cewek?

——————————————

——————
——————————————

Terima kasih banyak sudah baca Alaia!!! Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🧜🏻‍♀️💗

kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕 tapi jangan mengandung spoiler ok 😂😭👍🏼

follow instagram aku @radenchedid biar tau info & updatean terbaru yaaah 🍒🤍🍃🌸

—————————————————
—————————————————

↘️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ↙️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya

🍒🌿🎀 see you my babygeng! 🌸🍃🧜🏻‍♀️

BAAAAYY!! 💞💞💞

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro