40. Baby Daddy
40. BABY DADDY?
[Tongkrongan Dewa]
Nemesis: .
Skipper: Apa sis, titit doang
Nemesis: anu
Nemesis: AING OUNYA KABRA BARU!!!
Indigo: iye santuy ae sampe typo gitu
Leza: tlg katakan skrang jgn bikin sy mnunggu,,
Nemesis: TARIK NAPAS DULU MEN
Nemesis: HEUMMM 😲 AHH.... 🤤
Jio:
Nemesis: vespa matic passwordnya???
Leza: YG BELI BAPAKNYA, YG PAMER ANAKNYA
Indigo: yang sombonk pacarnya 😎
Skipper: Taee gue nungguin
Nemesis: awoakowok serius neh
Nemesis: Lila mau dipake anak kazute ^-^
Leza: hah kok KeNaPA cuY!!!
Leza:
Indigo: dapet info dari laskar ye sis? wkwkwkwk
Nemesis: iye, laskar dapet dari temennya lagi
Nemesis: sumpah bocahnya bastian bocor semua gue rasa akwoakwok
Skipper: Lila mau digilir?
Jio: anjay kazute makin hari makin goblok aja wakaka saluteee
Skipper: Geli anjir mainannya begitu
Skipper: Sesukanya gue sama bokep, ttp ajalah kalo yg keterlaluan jgn dibawa ke real life
Skipper: Dalangnya siapa ini
Nemesis: Si jamet nyuruh bocahnya sikat lila
Indigo: parah wkwkwk otaknya bastian skidipapap doang
Jio: sengeselinnya cewek, ga pantes digituin sih
Leza: malang banget nasib janda satu itu
DJ Ajun: Anjimmm gangbang?
Nemesis: yoi, kesukaan lo kan jun 🌚
DJ Ajun: Sst... 🤫
Jio: tolongin aja sih kalo belom telat banget mah
Leza: kita mo ikut campur nih?
Skipper: Rumusan masalahnya apa
Indigo: skip, jgn bikin gua keinget laporan skripsi
Indigo:
Nemesis: @indigo semangat hyunk 👈🏼👉🏼
Leza: emot lo kebalik tolol
Nemesis: gaya baru,,
Indigo: tengkyu 👁👄👁 @Nemesis
Jio: jadi, lila gimana ini men? ? ? ? ? ?
Indigo: laskar bilang bastian ada masalah sm lila & daren
Skipper: Lila dimana biar kita amanin
Jio: @Nemesis
Nemesis: Kayanya udah dibawa ke markas kancute
DJ Ajun: skuY LaNgsUnG cAbuT
Leza: gasss
Skipper: Ragas nga ada za
Leza: skip???
Leza: mksut gua gas jalan gitu anjinc bukan ragas
Skipper: Babi luh
Nemesis: Mau gas apa skip nih 😫
Leza: jgn bikin gue pusing ya babi ☺️
Leza: yuk buruan gerak jgn buang wktu brhrga sy ☺️🙏🏿
⚪️ ⚪️ ⚪️
Di kamar, Langit meringis kala Alaia membersihkan luka pada kening hingga pelipisnya.
Mata Langit terpejam demi menahan sakit, lagi-lagi ia mengaduh karena betapa perihnya. Bulu-bulu Langit sampai meremang sebab merinding. Tadi keadaannya lebih parah, yakni muka Langit berdarah-darah karena luka sayat di beberapa bagian wajah.
"Aw, perih euy." Langit berucap spontan.
Alaia mengusap darah yang muncul dengan penuh penghayatan. Tiap Langit meringis, dia pasti ikutan juga. Bahkan sekarang ekspresi mereka tidak jauh beda.
"Maaf ya, Angit." Alaia merasa salah.
"Gapapa, Aia." Langit memaklumi.
"Aku mau nangis," celetuk Alaia dengan air mata bergelinang di pelupuk.
"Hayu nangis bareng," canda Langit yang kemudian mengeluarkan suara tangis bohongan. "Hue ... hue ...."
"Ih, kamu." Alaia cemberut.
Langit menatap bola mata Alaia yang kebetulan mukanya berjarak sangat dekat dari dia. Dari rautnya kelihatan Alaia sangat serius mengobati luka Langit, tapi lama-lama ia tersipu karena ditatap terus oleh suaminya.
"Jangan diliatin terus ...," bisik Alaia.
"Kenapa?" Langit bertanya.
Alaia sedih tapi tak bisa menahan senyumnya. Ia membalas, "Malu."
Langit tidak tahan melihat betapa imutnya Alaia. Ia memajukan wajah dan langsung mengecup bibir mungil itu sekilas. Walau jarang mengatakan i love you, tapi perlakuan dan tatapan Langit tidak bisa bohong bahwa ia begitu sayang Alaia.
"Abis ini kamu bobo, biar nanti malem nggak terlalu capek." Langit mengingatkan.
"Kita harus stay di bandara tiga jam sebelom pesawat take-off," tambah Langit. "Berarti nanti sore kita berangkat, ya."
Alaia memangguk patuh. "Iya, Langit."
Bila tadi tak ada orang yang bikin Alaia mengamuk di tempat wisata hingga menghancurkan seisi gedung dan membuat ikan-ikan di tangki keluar semua, mungkin acara liburan mereka di pulau ini masih berlanjut hingga beberapa hari ke depan.
Alasan Alaia minta pulang dadakan adalah tidak nyaman di tempat ini. Ia merasa ada sesuatu yang hendak mengancam hidupnya, selain dua pria tadi.
Akar dari masalah ini bersumber dari dua pria jahat yang berencana mengacaukan kehidupan di laut. Alaia murka dan menginginkan ikan-ikan di tangki kembali ke habitat agar tak dirusak manusia. Selain itu, Alaia mau pria tersebut mati atas pikiran busuknya.
Alaia juga menciptakan tsunami kecil yang sengaja ia buat untuk menyeret ribuan biota di gedung agar selamat menuju laut.
Kekuatan Alaia membuat seisi gedung lebur tanpa meninggalkan satupun alat yang layak disimpan ataupun digunakan. Tentu kerugiannya mencapai angka fantastis. Meski demikian, Alaia tak membiarkan pengunjung serta staff-nya mati. Ia menyelamatkan mereka dengan mengirim ombak besar yang membawanya ke daratan.
Alaia yakin tak ada seorangpun yang melihat dirinya berubah wujud. Namun ia tidak bisa melupakan kejadian saat dirinya terpaksa keluar dari air tanpa busana dan mencari Langit sambil menutup tubuhnya dengan benda-benda yang ditemukan, seperti potongan kain dan puing kecil bangunan.
Sekarang ketampanan Langit harus dihiasi enam plester kecil akibat kecelakaan itu.
Langit tertimpa runtuhan kaca yang serpihannya menyayat wajah serta tangan. Ketika terdampar di daratan, ia kesakitan sampai giginya bergemeletak menahan pedih. Namun saat bertemu Alaia, Langit langsung belagak biasa saja seakan tidak ada luka serius.
Akan tetapi Alaia tak percaya. Ia teramat panik melihat muka Langit dilumuri noda merah bagai zombie. Langit tidak peduli pada lukanya, melainkan ia melepas kaus basah dari badan dan meminta Alaia memakainya sebelum tubuh bugil itu dilihat banyak orang.
"Udah. Sekarang darahnya nggak keluar lagi." Alaia tersenyum lega usai menutup sebuah luka sobek di pipi kanan dengan kasa, juga memberi perban di tangan Langit.
Tak sampai di situ, Alaia lanjut merapikan rambut Langit yang setengah basah sehabis mandi, lalu memeriksa apalah ada plester yang kurang rekat atau semuanya sudah aman. Selepas itu, Alaia duduk manis di hadapan Langit dengan senyum natural.
"Hatur nuhun, Neng," ungkap Langit.
Alaia mengangguk. "Aku minta maaf lagi ya, Langit."
"Udah dimaafin. Ga usah ngerasa ga enak gitu ya." Langit membelai rambut panjang Alaia. "Malah aku seneng, kamu makin pinter sekarang. Diajarin siapa bisa ngobatin luka?"
"Diajarin Bunda dan guru aku." Alaia berseru antusias.
Senyum Alaia tertular ke Langit. Pandangan Langit jatuh ke dress warna mauve yang Alaia pakai. Dia membenarkan posisi tali kirinya yang semula merosot ke lengan atas. Langit juga mencoba menarik kain bagian dada agar benar-benar menutupi belahan Alaia.
"Ck, emang begini ya modelnya?" Langit berdecak karena bagian atas dress memang sengaja dibuat untuk memperlihatkan setengah buah dada.
"Nggak tau. Ini hadiah dari Lana ... katanya biar liburan bareng kamu makin seru." Alaia berkata. "Tapi ternyata kamu nggak suka, ya?"
Langit menjawab cepat, "Suka banget kok."
"Terus kenapa kesel?" celetuk Alaia karena ekspresi Langit berubah tidak secerah sebelumnya.
Langit menggaruk leher sebentar. "Terlalu terbuka sampe dada kamu keliatan."
"Ya udah nanti nggak dipake lagi." Alaia membalas seraya memegang tangan Langit untuk diusap.
"Gapapa pake, tapi di depan aku aja." Langit terkekeh, seketika rasa kesalnya hilang.
Alaia adalah sosok penurut apalagi terhadap Langit yang notabene merupakan suaminya. Ia akan memenuhi apapun yang Langit minta selama dirinya sanggup melakukan. Untungnya Langit juga tau diri, ia tak pernah meminta sesuatu yang berlebihan.
Kini Alaia beranjak menarik koper ke dekat Langit. Alaia menidurkan koper dan membuka ristletingnya, lalu mengambil sebuah paperbag kecil yang belum dibuka olehnya. Ini kado dari Lana dan Ragas yang diberi untuk Alaia secara dadakan ketika mereka berpisah di bandara.
"Tolong bukain," pinta Alaia pada Langit.
Langit mengambil benda itu dan melepas staples yang menjalar panjang mengunci paperbag. Setelahnya, Langit menyerahkan kado itu ke sang pemilik. Alaia sangat senang tiap diberi sesuatu oleh orang lain.
"Ah, apa ini?" Alaia penasaran ketika mengeluarkan isi kado.
Mata Langit terbuka sangat lebar dan hidungnya kembang kempis dalam dua detik. Ia merampas kain itu dan melebarkannya untuk melihat bentuk secara keseluruhan. Ada tiga pasang lingerie, masing-masing memiliki tipe dan warna yang berbeda.
"Cantik!" Alaia berbinar, menerima hadiah itu penuh sukacita.
Lalu dia memamerkan wajah manisnya yang tak bisa Langit tolak. Kata Alaia, "Mau cobain ... boleh?"
⚪️ ⚪️ ⚪️
Mavi keluar dari kedai makanan sambil menggenggam koran edisi minggu lalu yang ia pinjam. Dia duduk di kursi berbahan kayu seraya membaca headline yang tertera jelas di lembar utama.
Kerangka Manusia Ditemukan di Laut
Jemari Mavi membuka lembar demi lembar sampai menemukan berita yang sangat membuatnya penasaran. Pada halaman tersebut dijelaskan bagaimana penemuan itu terjadi dan sejak kapan mayatnya mengendap di sana.
Mavi membaca satu kalimat dengan pelan, "Berdasarkan hasil forensik, diketahui kerangka ini berjenis kelamin perempuan dengan usia diperkirakan remaja atau menuju dewasa."
Meski bentuknya sudah tidak utuh karena tulangnya banyak terpisah, namun para penyelidik mampu mengetahui identitas pemilik kerangka itu karena mempunyai petunjuk yang cukup.
Seperti yang kita ketahui, pemiliknya adalah Syadza Gita, orang yang dilaporkan hilang di sekitar pantai beberapa bulan lalu.
Bagaimana mereka bisa mengetahuinya? Menurut National Museum of Natural History, laki-laki cenderung memiliki tulang dan permukaan sendi lebih besar serta lebih kuat, juga perkembangan tulang yang lebih banyak di bagian perlekatan otot.
Panggul merupakan petunjuk paling jelas terkait jenis kelamin kerangka, karena perbedaan bentuk yang disesuaikan untuk melahirkan. Bedanya antara tulang panggul lelaki dan perempuan dapat dilihat dari lekuk panggul, ceruk panggul dan tulang kemaluan.
Mavi melotot saat membaca satu percakapan, "Diyakini ia diserang makhluk laut. Ini bukan hiu."
Cowok itu memindahkan arah pandangnya ke depan, menatap laut yang berkilau terkena paparan mentari. Ia sedang berpikir sebelum kembali melanjutkan bacaannya. Dimulai dari sekarang, perasaan Mavi tidak enak.
Mavi berucap dalam hati, "Pasti manusia akan mencari tau tentang makhluk ini."
Ia menutup koran dan beranjak untuk mengembalikannya ke kedai. Usai itu Mavi berjalan cepan ke dermaga dan berdiri di ujung dengan mata menyipit karena silaunya matahari. Rambut biru Mavi bergerak ketika ia sentuh dan diacak pelan.
"La Luna di mana?" Ia bergumam.
⚪️ ⚪️ ⚪️
3 hari kemudian.
Alaia dan Langit sudah tiba di rumah sejak dua hari lalu. Mereka baru bisa bepergian keluar rumah setelah istirahat penuh karena penat sehabis melakukan banyak perjalanan jauh dalam waktu berdekatan.
Rencananya siang ini mereka akan menjenguk Ragas yang masih dirawat di rumah sakit. Ketika baru mengetahui berita ini, Langit tidak kaget lagi. Ia sudah tau kebiasaan buruk Ragas pasti akan berujung seperti ini— namun kakaknya itu selalu menyepelekan hal tersebut.
Langit terbangun bersamaan Alaia yang menyalakan kran wastafel. Perempuan itu berdiri di hadapan cermin sambil membasuh mulutnya sehabis gosok gigi. Alaia mengelap muka menggunakan handuk kecil, kemudian menutup kran dan kembali ke kasur.
"Angit," panggil Alaia dengan manja.
Langit merentangkan satu tangan yang artinya meminta Alaia masuk ke dalam pelukannya. Alaia naik ke kasur, lalu menjatuhkan diri ke badan Langit. Tubuh kecilnya didekap oleh Langit seperti yang selalu Alaia suka.
"Aku pusing, tadi perutnya sakit juga." Alaia mengadu.
"Masuk angin?" Langit bertanya.
"Mungkin," gumam Alaia dengan raut sedih. "Apa ini bahaya?"
"Nggak, Sayang." Langit mengelus kepala Alaia dan turun mengusap punggung.
Mata Langit masih beler alias mengantuk. Ia menenangkan Alaia yang gelisah karena badannya terasa tidak enak. Alaia menenggelamkan wajah di lekuk leher Langit sambil menahan mual yang lagi-lagi datang.
"Sarapan dulu ya?" Langit menawarkan, suaranya setengah berbisik.
Alaia menggeleng pelan seraya makin melekatkan diri ke Langit. Ia tidak mau lepas bahkan jauh-jauh dari kekasihnya. Tingkah kolokan Alaia membuat Langit terkekeh karena sangat paham apa yang cewek itu inginkan.
Dia cuma mau berduaan bersama Langit untuk beberapa menit sampai suasana hatinya membaik.
Ternyata hingga berjam-jam terlewat, mood Alaia masih belum stabil. Sekarang mereka suka berpindah tempat ke rumah sakit untuk melihat keadaan Ragas yang masih belum sadar. Dia koma berhari-hari seperti sedang melakukan simulasi meninggal.
Langit berdiri di dekat brankar sambil memencet-mencet selang yang mengalirkan cairan intravena ke tubuh Ragas. Ia menyeletuk penuh ancaman, "Bangun ga lo."
Bunda menatap Ragas. "Tuh, dede kamu udah pulang. Biasanya nyariin Angit terus."
"Sombong amat diem mulu." Langit menyambar lagi.
Alaia yang duduk di sofa itu mengeluh sakit sambil memeluk bantal. Dia meringis ketika kepalanya pening hingga pandangan menjadi tidak fokus dan sesekali menghitam. Alaia memanggil Langit yang langsung disamperi sang suami dengan sigap.
"Masih pusing?" Langit duduk di sampingnya sembari menyeka keringat di pelipis Alaia.
Alaia menaruh kulit pisang yang isinya sudah ia telan semua ke space kosong di samping. Langit meraih kulit pisang itu untuk dilempar ke tempat sampah. Sehabis ini Langit berniat mengantar Alaia ke dokter.
Bunda mengamati Alaia, tentu beliau ikut khawatir. "Alaia tidur aja di situ kalo nggak kuat ... pake selimut biar nggak kedinginan."
"Nih, Bunda ada kain," tutur Bunda sambil berjalan menghampiri tas bawaannya dan mengambil kain putih berbahan tipis nan lembut untuk diberikan ke Alaia.
Langit menerima kain itu dan membalutinya ke badan Alaia. Baru saja Alaia rebahan, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan muncul Lana dari baliknya. Lana membawa belanjaan berisi minuman dan makanan. Ia diperbolehkan bawa barang tersebut setelah mendapat izin dari pihak rumah sakit.
Yang pertama kali Lana temukan ada di ruangan ini adalah Ragas, Alaia, Langit dan Bunda. Ayah tak ada di sini karena beliau baru akan gabung nanti sore setelah urusan kerjaannya selesai.
Dalam minggu ini Ayah akan kembali ke laut karena beliau memiliki tanggung jawab sebagai kapten kapal.
"Hah, pengantin baru udah balik? Kok cepet banget honeymoon-nya?" Lana menyeplos tanpa aba.
"Ada kendala dikit. Nanti dilanjut lagi," balas Langit.
"Oh, sesi satu udah kelar, next time lanjut sesi kedua ya?" Lana terkekeh riang.
Setelah menaruh barang bawaannya ke atas nakas, Lana beralih menyamperi Alaia yang terkulai lemas sambil meringkuk dalam selimut. Langit setia mengusap kepalanya supaya Alaia tidur, tapi cewek itu malah terus membuka mata.
"Lana," sapa Alaia dan tersenyum simpul.
"Hey, kenapa? Kok lemes banget," heran Lana.
Langit menyeletuk, "Bawaan orok."
"Serius?!" Lana melotot lebar. "Sumpah, udah jadi? Beneran? Ih gue seneng banget!"
Bunda ikutan heboh karena Lana teriak-teriak seperti itu. Tapi rasa bahagia mereka harus terkubur lagi karena Langit menggeleng yang artinya ucapan dia tadi hanya bercanda.
"Belom." Langit berujar disusul tawa miris.
Lana membuang napas berat tapi tak menunjukkan ia kecewa. Malah Lana memberi semangat pada dua orang itu, terlebih Alaia yang nampak letih tak bergairah. Alaia sangat menyukai pribadi Lana yang menyenangkan.
"Al, gue boleh ngomong sesuatu nggak?" tanya Lana kemudian.
Alaia mengangguk. "Boleh."
Kemudian Alaia beranjak duduk dan Lana memeluknya seraya membisik sesuatu yang tentunya hanya bisa didengar oleh Alaia. Katanya, "Alaia, lo bisa sembuhin Ragas. Tolong banget."
Lana melepas pelukan itu dan Alaia manggut lagi. Mereka saling lempar pandang tapi bukan sembarang tatapan. Lewat tatapan tersebut mereka seakan sedang berbincang membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan Ragas. Kelakuan mereka membuat Langit serta Bunda bertanya-tanya.
Dua menit setelah itu, Lana mengajak Bunda meninggalkan kamar semata-mata agar Alaia bisa melancarkan aksinya. Langit tetap di sana untuk menemani Alaia atas permintaan istrinya.
"Aku mau liat-liat jajanan di sini, kayaknya ada yang baru. Sekalian mau beli sesuatu yang lain," ucap Lana sambil menggandeng Bunda keluar dari kamar.
Semenit setelahnya, Alaia berjalan mendatangi Ragas yang tak gerak sedikitpun. Langit berada di dekatnya dan menunggu apa yang akan Alaia lakukan. Semoga bukan hal yang mengerikan.
"Angit, apa ini boleh dilepas?" Alaia bertanya sambil menyentuh masker oksigen di muka Ragas.
Langit mengerjap sekali. "Boleh, tapi jangan lama."
Alaia meyakinkan ia tak akan lama-lama membiarkan Ragas bernapas tanpa bantuan nasal. Alhasil Langit melepas masker bening itu dan membiarkan Alaia melakukan apa yang menurutnya baik. Langit mundur, memalingkan wajah ketika Alaia menyentuh bibir Ragas.
Mulut Ragas terbuka sedikit, lalu Alaia membungkuk untuk mendekatkan bibirnya ke bibir Ragas.
Sambil terus menghapus jarak antar bibir, Alaia ikut membuka mulut dengan mata terpejam. Lewat mulut itu Alaia menghisap semua sakit di badan Ragas, persis kejadian saat Langit pingsan akibat mabuk berat.
Sesudah itu Alaia mengembalikan masker oksigen ke tempat semula dan berbalik mendekati Langit.
"Tunggu aja ya, pasti nanti Abang bangun." Alaia berkata.
Delapan menit kemudian, Lana dan Bunda kembali dengan membawa bungkusan putih berisi satu benda yang Lana beli untuk Alaia. Ia menyodorkannya ke Alaia dan berkata, "Sebelom cek ke dokter, coba lo tes pake ini dulu. Ini akurat sembilan puluh sembilan koma sembilan persen."
"Ini apa?" Alaia mengernyit.
Lana pun menjelaskan dan seraya itu Alaia juga membaca instruksi yang tertera di kemasan benda tersebut. Kemudian ia pergi ke toilet di dalam kamar ini dan menoleh ke Langit yang menatap Alaia penuh harap.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Lila memekik di kamar dan telah menghancurkan banyak barang hingga berserak di lantai. Daren ada di sini dari satu jam lalu karena khawatir terjadi apa-apa pada Lila yang sejak beberapa hari lalu sangat sensitif akibat perlakuan bejat Kazute.
Malam itu, tepatnya tiga hari lalu, Lila diculik dan dibawa ke markas Kazute. Dia ditelanjangi di sana lalu dijadikan boneka oleh cowok-cowok bajingan yang haus akan sex. Lila tidak mampu melawan karena tulangnya terasa remuk semua.
Yang paling membuat Lila sakit adalah Bastian ada di sana namun tak menolong. Mantan suaminya itu hanya duduk sambil mengangkat kaki dan menikmati anggur merah ditemani sebungkus rokok.
"Aaah!" Lila berteriak, memukul kepalanya berulang kali.
Daren menahan tangan Lila agar berhenti menyakiti diri sendiri dan berkata bahwa semuanya akan membaik seiring berjalannya waktu. Ya, Daren paham apa yang Lila rasakan sekarang, tapi ia juga ingin Lila berhenti menghajar dirinya terus.
Ketika sedang fokus pada Lila, ponsel Daren berdering yang membuat paha kirinya bergetar. Ia mengambilnya dari saku celana dan melihat siapa yang menelepon. Tanpa minat menjawab, Daren langsung menolak panggilan itu.
Padahal pacarnya sangat merindukan Daren.
Tangis Lila bertambah lagi saat ia ingat dirinya ditolong anak-anak Tongkrongan Dewa sebelum Kazute semakin menyakiti dengan menghujam bagian sensitifnya menggunakan alat-alat keras.
Ketika dalam situasi tersebut, lagi-lagi Lila mengingat Langit. Selalu Langit yang terlintas dalam benaknya. Entah bagaimana, ia berharap ada Langit di sana dan menjadi pahlawan untuk dia.
"Sakit!" Lila menepuk keras dadanya.
Daren merebut vas kecil berbahan tanah liat yang hendak Lila banting. Kemudian lelaki itu memeluk Lila agar berhenti membuang benda-benda dan teriak seperti orang kesetanan. Daren menenangkan, mencoba membuat Lila lunak padanya.
"Udah ya, La. Jangan gini terus." Daren berkata.
"Lo ga ngerti! Gue sakit, gue dilecehin banyak cowok. Gue ga bisa lupain itu semua, lama-lama gue bisa gila!" Lila menyentak.
"Tapi kalo lo mikirin itu terus, lo bisa makin stress, La. Kenapa lo ga coba ikhlasin aja?" cetus Daren.
"Lo pikir gampang?" Lila membalas sengit.
Daren baru akan berujar tapi langsung diselak Lila. Cewek itu menyambar, "Emang bener ya, cuma Langit yang bisa ngertiin gue. Orang lain—termasuk lo—cuma bisanya ngebacot doang ga pake mikir. Nyebelin!"
"Pergi aja sana!" Lila mengusir. "Lo bikin gue makin kesel!"
Daren mengernyit. "La, gue cuma pengen nemenin lo."
"Ga butuh. Lo jahat, sama aja kayak temen-temen lo itu! Ternyata lo anggota mereka dan deketin gue buat ngejebak gue," ceplos Lila.
"Nggak! Gue udah keluar dari Kazute jauh sebelom masalah ini ada. Sumpah, La." Daren melontar tegas.
"Terserah. Gue udah capek berhubungan sama cowok brengsek kayak lo dan mereka. Semuanya cuma bikin gue sakit hati. Kenapa sih kalian harus hidup? Kenapa nggak mati aja?" Lila mengepal tangan.
"Gue masih di sini nemenin lo karna ini kemauan gue, bukan rencana Kazute atau apalah. Jangan mikir gue sama kayak mereka, La."
Lila menggeleng, menganggap itu hanya omong kosong. "Bodo. Omongan manusia ga ada yang bisa dipercaya."
Lalu Lila beranjak dan menarik Daren untuk ia seret ke pintu. Daren diusir Lila tanpa bicara baik-baik. Cewek itu terlanjur kesal, ditambah lagi mood-nya sudah kacau sejak kemarin. Bawaannya marah terus.
"La—" Daren enggan pergi dari sini.
"Gue ga mau diganggu!" Lila menghardik dan langsung membanting pintu, lalu dikunci dua kali.
Daren tak memaksa untuk dibukakan pintu oleh Lila. Ia bungkam di sana seraya menghela napas dalam-dalam dan membuangnya dalam sekali embusan. Daren berbalik, berpikir bahwa Lila memang belum membutuhkannya. Apalagi ternyata Lila masih terbayang Langit.
Mungkinkah perjuangan Daren akan dimulai dari sekarang?
⚪️ ⚪️ ⚪️
Ragas membuka mata setelah berhari-hari tidur. Ia melirik ke kiri dan kanan, tak melihat ada manusia selain dirinya di sini. Sepi sekali.
Ia memejam lagi sambil garuk-garuk bagian perut yang gatal. Ketika mau duduk, Ragas tersentak karena badannya seperti mati rasa. Kemudian ia bergumam, "Aduh ... atit."
Ragas tidak tau bahwa Langit, Lana dan Bunda bersembunyi di bawah brankar agar tidak dilihat dirinya. Mereka membekap mulut sambil mendengar Ragas meracau sendiri. Langit menahan tawa saat Ragas kesal karena mau minum tapi gelasnya jauh.
"Sstt!" Lana menyuruh Langit diam karena cowok itu yang paling tidak bisa berhenti menertawakan Ragas.
"Ih Allah, suara bocah ketawa itu ya?" Ragas panik kala ia dengar tawa kecil yang berasal dari Langit.
"Ah, pada ke mana sih ini? Iseng pisan sendirian di sini ...," kata Ragas.
Bunda makin membekap mulut karena muka merah Langit sangat lucu. Lana juga mulai tak kuasa meredam tawanya. Ditambah lagi celetukan Ragas yang ketakutan karena berpikir ada hantu anak kecil di dekat dia.
Awalnya rencana mereka untuk mengejutkan Ragas hampir berhasil. Tapi semuanya nyaris gagal karena Alaia tiba-tiba keluar dari toilet sambil menunduk dengan rambut panjang menjuntai ke depan. Badannya kecil, terbalut kain putih milik Bunda.
Ragas kaget, begitu juga orang-orang yang sembunyi di bawah sana.
Langit tersentak, ia terperajat sampai kepalanya membentur besi brankar. Dia berbisik, "Anjir, istri aing kok begitu."
"Eh? Langit, lo di sini ya?!" Ragas mendengar suara Langit.
Lana menepak bahu Langit supaya tak berisik. Langit mengangguk sambil mengusap kepalanya dan menahan tawa mati-matian. Ia lalu mencoba memberi kode ke Alaia agar tak membocorkan keberadaan mereka, tapi sepertinya Alaia tidak nalar.
Alaia mengibas rambut ke belakang dan nyengir lebar seraya berlari kecil menghampiri Ragas. Ia tersenyum senang melihat kakaknya sudah siuman. "Abang!" sapanya.
Lalu Alaia beralih melirik tiga orang yang berjongkok di dekat brankar. Ia menyeletuk tanpa dosa, "Kalian ngapain di situ?"
Ragas seketika heboh karena tadipun ia yakin ada Langit di sini. Mereka yang sedang jongkok kini berdiri dan terbahak-bahak. Rencana mengagetkan Ragas gagal, tapi tetap seru karena lelaki itu sempat panik mendengar tawa misterius.
Lana dan Ragas mulai adu mulut, sementara itu Bunda pergi ke toilet untuk buang air kecil. Alaia berdiri di dekat Langit sambil memegang test pack yang sudah ia gunakan tadi. Langit memandangi Alaia, meminta alat itu untuk dilihat hasilnya.
Alaia menggeleng.
"Kenapa?" Langit bingung.
"Bingung," ungkap Alaia.
"Tadi udah lakuin kayak yang Lana bilang, kan?" Langit memastikan lagi.
Alaia mengangguk. Ia menggigit jari setelah menyerahkan alat itu ke Langit. Langit melihat layar kecil pada test pack digital, menunjukkan ikon loading. Bukan cuma Langit yang menunggu sampai berdebar-debar, tapi Lana dan Ragas juga merasakannya.
Langit buang napas berat sambil sesekali melirik Alaia yang juga menatap dia. "Bentar lagi muncul hasilnya," ucap Langit.
Mereka semua mendadak hening karena tak ada satupun yang bersuara. Langit masih anteng mengamati countdown pada layar tadi, hingga bermenit-menit terlewat. Tak lupa Langit merapalkan doa dan harapan dalam hati. Apapun hasilnya, ia pasti terima.
Kesunyian itu berubah menjadi riuh ketika Langit teriak usai melihat hasil tes Alaia. Bunda yang baru keluar dari toilet sampai terkejut. Langit membuka mata lebar-lebar, membaca ulang satu kata yang muncul di layar sampai matanya berjarak sangat tipis dari test pack.
Pregnant. Begitu tulisannya.
⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️
M
1 - 3 kata buat SKYIA?
1 - 3 kata buat LANAGAS?
1 - 3 kata buat LILA?
1 - 3 kata buat CERITA ALAÏA?
—————————————————
salah satu hal yang kita pelajari dari chapter awal sampe 40 adalah ... Langit dan Alaia terus melangkah maju, tapi Lila masih muter-muter di masa lalu. jiaaah~
—————————————————
—————————————————
—————————————————
—————————————————
haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! maaf karena cerita ini jauh dari kata sempurna, tapi semoga bisa menghibur dan pesan baiknya tersampaikan ke kalian! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga ya 🙏🏿🤍
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕 tapi jangan mengandung spoiler ok 😂😭👍🏼
follow instagram aku @radenchedid biar tau info & updatean terbaru yaaah 🍒🤍🍃🌸
—————————————————
—————————————————
↘️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ↙️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya
🍒🌿🎀 see you my babygeng! 🌸🍃🧜🏻♀️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro