37. Wheezy
37. WHEEZY
Empat hari kemudian.
Langit dan Alaia menunda bulan madu mereka sampai kondisi Alaia benar-benar membaik. Rencananya hari ini mereka akan meninggalkan rumah dan pergi dengan maskapai penerbangan yang berjadwal di malam hari. Sejak kemarin Langit sudah menyiapkan segala kebutuhan mereka untuk menetap beberapa hari di sana. Langit tidak sibuk sendiri, ia dibantu Alaia, Bunda, Ragas dan tentunya Ayah. Seru sekali gotong royong bersama keluarga.
Matahari di luar sana menembak sinarnya ke jendela kamar. Alaia menyibak gorden, membuat cahaya terang memapar tepat ke wajah Langit. Cewek itu sudah bangun dan mandi sejak satu setengah jam lalu. Ia juga membantu Bunda di dapur, tak seperti Langit yang masih tepar.
"Angit!" Alaia menarik selimut, membuat benda itu tersingkir dari tubuh Langit yang hanya mengenakan celana panjang. Lucunya celana itu naik sebelah hingga mencapai lutut.
Alaia beringsut ke kasur, ia jalan menggunakan dengkul. Saat tiba di dekat Langit, Alaia duduk bersila sambil memainkan jemari Langit yang bersih. Kukunya pendek setelah Alaia minta untuk dipotong. Melihat cincin di jari manisnya membuat Alaia tersenyum lucu.
Ia teringat pertemuan pertama mereka. Kala itu Langit memakai cincin hitam dan gelang-gelang hitam. Kalungnya juga hitam. Sekarang semuanya berubah dan tanpa sadar itu bikin penampilan Langit jauh lebih cakep.
Langit melenguh ketika menyadari ada sesuatu memencet-mencet kukunya. Mata Langit terbuka sebelah, menemukan tiny wife-nya ada di dekat dia. Dalam sekejap Langit berbalik ke kanan dan memeluk kaki Alaia.
Dengan wajah kantuknya Langit bergeser-geser sampai kepalanya mendarat di paha Alaia dan wajahnya menghadap perut yang tertutup baju.
"Pagi," ucap Langit, bergumam di perut itu.
"Pagi, Langit." Alaia membalas. "Besok-besok ga boleh bobo terlalu malem ya ... nanti kamu kurang tidur."
Langit mengangguk dengan mata tertutup. Jemari Alaia menyapu rambut Langit yang berantakan. Cowok itu selalu senang tiap rambutnya dimainkan Alaia, apalagi jika kepalanya diusap-usap.
"Mandi atuh," celetuk Alaia.
Ucapan Alaia membuat Langit membuka mata dan tersenyum lebar. Ia menyahut dengan logat Sunda, "Ih, udah bisa ngomong atuh-atuh?"
Alaia cekikikan malu. "Aku sering denger kamu bilang atuh jadinya aku ikutin."
Langit terkekeh seraya beranjak duduk di depan Alaia. "Apa lagi yang sering kamu denger?"
Sebelum menjawab, Alaia berpikir dulu. "Hooh?"
Melihat Langit tersenyum dengan muka bantal adalah pemandangan yang sangat lucu di mata Alaia.
"Apa lagi, apa lagi?" Langit penasaran.
"Um ... belegug," sahut Alaia.
"Waduh," kaget Langit yang disusul tawa. "Selain itu."
"Goblog sia." Alaia tersenyum makin lebar.
Langit menepak keningnya dan menertawakan diri sendiri. Ternyata benar, tidak boleh sembarangan bicara kasar pada orang lain apalagi bila didengar anak kecil. Alaia bukan anak kecil, namun isi pikirannya masih jauh lebih suci daripada Langit.
"Aku kasar ya kalo ngomong?" Langit bertanya diselingi tawa ringan. "Sampe kamu ingetnya yang jelek."
Alaia menggeleng karena kurang paham. "Oh, yang aku sebutin itu kata-kata ga bagus ya ...."
Sepertinya mulai sekarang Langit harus menyaring omongannya. Ah, tapi bagaimana dengan Ragas yang hobi sekali mengajak Langit tempur?
"Aia," panggil Langit. "Aku ga larang kamu buat ikutin aku. Tapi kamu ambil sisi positifnya aja ya? Sifat atau kebiasaan jelek aku jangan kamu tiru."
Alaia mengangguk patuh. "Iya, Langit."
"Aku juga belajar buat kurangin sifat jeleknya," ungkap Langit. "Apalagi sekarang aku udah jadi suami. Bentar lagi, semoga, jadi ayah. Hehehe."
Tawa Alaia terdengar sangat riang dan ia seketika menangkup kedua pipi Langit. "Amin."
"Amin paling serius," balas Langit dengan senyum ganteng.
Selang tiga menit, Alaia turun dari kasur sambil menarik Langit ke arah kamar mandi yang berada di pojok kamar. Memang benar, Langit harus diseret ketika malas mandi.
"Angit mandi ya, aku mau ke Bunda lagi." Alaia berkata.
Langit menahan Alaia yang barusan berbalik badan dan bergegas ke pintu. Cowok itu memutar tubuh Alaia agar menghadapnya, kini mereka saling berpandangan. Setiap Alaia melihat Langit, pasti matanya berbinar.
"Cipika cipiki dulu." Langit menyeletuk.
Alaia tergelak. Kemarin itu Bunda kedatangan tamu yang merupakan teman-temannya semasa kuliah. Awalnya semua terasa biasa sebelum mereka pamit pulang yang kebetulan di depan rumah ada Langit bersama Alaia dan Ragas. Langit ditarik salah satu teman Bunda yang bibirnya sangat merah, lalu pipi kiri dan kanannya dicium sambil wanita itu berkata, "Cipika-cipiki sama Dede Langit!"
Sambil ketawa-ketiwi, Langit serta Alaia saling menempelkan pipi kanan dan kiri. Selepas itu, Alaia pamitan dari kamar. Tidak lupa ia dadah-dadah ke Langit.
"Hati-hati, Sayang. Masak yang enak ya!" seru Langit.
"Aku udah bikin ayam fillet diajarin Bunda. Angit harus cobain nanti yaa!" Alaia menyahut dari luar kamar.
"Pasti, Aia!" balas Langit bersemangat.
⚪️ ⚪️ ⚪️
DOR!
Ragas terkejut setelah dirinya berhasil membuat confetti meletup. Padahal itu adalah properti yang sudah disiapkan untuk merayakan anniversary ke sekian Tongkrongan Dewa yang diadakan dua hari lagi. Bisa-bisanya diledakkan Ragas sebelum waktunya.
"Anying, kaget aing!" Ragas terperajat.
Semua anggotanya ternganga melihat potongan kertas kecil berbahan logam itu beterbangan di udara. Ada banyak sekali, sampai sisa-sisa yang berjatuhan memenuhi lantai.
Nemesis yang sedang mangap karena hendak melahap tahu bulat, tiba-tiba tersedak saat satu potongan kertas menyusup ke mulut. "Weleh!" Ia melepehkan benda pipih tersebut.
"Ragas, rusuh banget ih!" Lana memarahinya.
Lana ada di tempat ini atas dasar permintaan Ragas. Karena Ragas butuh tangan perempuan yang apik dalam hal mendekorasi ruang. Sekaligus Lana sangat mudah menyumbangkan ide-ide kreatif.
"Ga sengaja atuh, Neng." Ragas menyahut, ia menjauh dari confetti.
Teman-temannya tertawa keras. Mereka sudah sangat kebal menghadapi Ragas yang tingkahnya seringkali nyeleneh. Untungnya confetti itu bukan benda langka yang jarang ditemui.
Bukan cuma masalah confetti yang meledak, tapi juga balon-balon dan dekorasi lain yang mereka beli rata-rata berwarna pink. Ini sama saja seperti akan merayakan acara anak gadis.
"Na, bilangin tuh cowok lo ... tangan sama kakinya suruh diem. Petakilan banget sih!" ceplos Skipper.
"Bukan petakilan! Itu confetti pengen gue elus-elus, tapi gue terlalu nafsu akhirnya gue kebablasan ledakin dia." Ragas menyambar yang diakhiri ekspresi nelangsa.
Lana berdiri dari sofa dan meletakkan gunting serta pita-pita. Ia bercekak pinggang, lalu satu tangannya terangkat ke udara dengan telunjuk bergerak-gerak yang artinya meminta Ragas datang mendekat.
"Sini lo." Lana memerintah.
Semua mata menilik Ragas sambil mengikik tertahan. Mereka cengengesan melihat Ragas mendatangi Lana dengan wajah semelas itu, seperti akan menghadap dosen galak. Huh, dada Ragas berdebar-debar hebat.
"Katanya mau lebih dari temen." Lana berucap yang seketika mengundang riuh dari anak-anak Dewa.
"Iya, mau—"
Lana menyela, "Tapi usaha lo belom keliatan, tuh. Masih ngeselin dan buang-buang duit gara-gara confetti-nya meledak."
"Itu nggak sengaja," ungkap Ragas.
"Tanggung jawabnya mana?" Lana melipat tangan di depan dada, juga mengangkat dagu.
Ragas menggaruk kepala seraya melirik teman-temannya yang menahan tawa. Mengesalkan sekali mereka di mata Ragas. Pun Ragas mengangguk atas omongan Lana dengan seringaian lebar di bibir.
"Oke, abis ini langsung cabut ke tokonya." Ragas berucap antusias. "Beli pake duit sendiri, bukan uang kas. Gapapa aing rugi dikit asal semuanya aman."
Lana tersenyum miring. "Nice! Gitu dong, Pak Ketua."
Ragas nyengir seraya mengacak rambut Lana dan kembali berbaur dengan teman-temannya. Ia mengajak beberapa untuk ikut ke toko penjual perlengkapan party, tapi hal tersebut membuat Lana kesal lagi.
"Agas, inget kan bentar lagi kita harus ke bandara nganter Langit sama Alaia?" Lana berucap setengah teriak agar Ragas dengar.
Lelaki itu nengok. "Inget dong!"
Masih ada waktu satu jam untuk bantu-bantu Tongkrongan Dewa di sini. Sebelum jam tujuh malam, Lana dan Ragas sudah harus kembali ke rumah dan mengangkut Langit serta Alaia untuk dibawa ke bandar udara.
"Terus ngapain ajak yang lain buat ke toko? Buang-buang waktu," celetuk Lana. "Pergi sendiri aja biar cepet."
Ragas diam sambil berpikir. Ia mau saja pergi sendiri, namun kali ini Ragas ingin melanggar ucapan Lana. Dia dengan cekatan meraih Lana dan dipegang erat tangannya. Cowok itu membawa Lana keluar dari basecamp sambil terbahak-bahak mendengar celotehannya.
"Kamu aja yang ikut! Temenin atuh," kekeh Ragas. "Biar bisa berduaan."
Xixixi....
⚪️ ⚪️ ⚪️
Kepadatan kota mengurung Lila dan Daren di tengah kemacetan. Sejak perkenalan mereka di mall beberapa hari lalu, sekarang dua manusia itu resmi berteman.
Sebetulnya Daren sudah tau Lila karena dulu temannya yang tak lain adalah Bastian merupakan pacar Lila. Tapi, karena sebelumnya ia tidak pernah bertemu Lila secara langsung, maka kemarin Daren memastikan namanya dengan cara berkenalan.
Lila menyedot matcha green tea latte sambil menatap lurus mobil-mobil di depannya dan sesekali memandang langit malam. Satu tangan Lila menyentuh paha untuk diusap berulang kali. Ia memakai rok super pendek hingga pahanya itu terpampang hampir secara keseluruhan.
Daren hampir tidak bisa fokus menyetir karena kelakuan Lila yang seperti memancingnya terus. Beruntunglah Daren masih bisa menahan diri dan menepis hawa nafsu tersebut.
"Lama banget sih," decak Lila sambil menatap rambu lampu lalu lintas yang memancarkan cahaya merah.
Daren memegang rem tangan, bersiap tancap gas setelah lampu hijau menyala. Masih ada beberapa puluh detik hingga berganti warna. Lila melirik Daren yang fokus menatap jalanan, ia usil menyentuh tangan kiri Daren lalu membawanya ke paha dia.
Cowok itu tersentak. Ia spontan menarik tangannya menjauh dari paha Lila.
Daren berdeham. Ia menatap ke jalanan lagi dan mulai menjalankan mobil. Lila mengeluarkan ponsel untuk sekadar menjelajahi timeline Instagram. Setiap hari ia selalu stalk akun Langit dan sering menangis lihat postingannya yang berisi tentang Alaia. Hati Lila sakit melihat Langit lebih sayang Alaia.
Sehabis Lila menyegarkan timeline, muncullah nama dan wajah Ragas di deretan stories. Lila langsung membukanya dan mengerutkan kening. Pada story itu ada gambar jalanan dengan tulisan; "Otw bandara nganter pasutri baruuu @langitshaka 😎✈️"
Seketika itu Lila berucap ke Daren tanpa berpikir panjang, "Ren, kita ke bandara ya. Please banget, sekarang!"
"Ga jadi nonton? Bentar lagi filmnya mulai." Daren membalas.
"Ga usah!" Lila menyahut tergesa-gesa.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Sebelum pergi ke bandara, Bunda dan Ayah memeluk serta mencium dua anaknya yang akan melesat ke negara lain. Dua orang tua itu tidak ikut mengantar sampai bandara. Mereka berpesan pada Ragas untuk tidak kebut-kebutan membawa mobil.
Selama di perjalanan, mobil ini diisi keseruan yang tak ada habisnya. Setiap Ragas dan Langit bicara, pasti Alaia maupun Lana tertawa. Omong-omong, Lana ikut sesuai permintaan Bunda. Bunda bilang, biar Ragas tidak keluyuran sehabis dari bandara.
"Alaia, ngantuk ya?" Lana bertanya pada cewek di sebelahnya.
Alaia mengangguk. "Iya, Lana."
"Uuu ... sini sandaran ke gue," ucap Lana seraya menarik Alaia untuk dipeluk dari samping.
Langit nengok ke belakang untuk melihat Alaia yang bersandar ke badan Lana dengan mata terpejam.
Ia mengulurkan tangan ke Alaia untuk memegang paha, lengan dan kening hanya untuk memastikan apakah badannya panas lagi seperti kemarin.
Lana ikut menyentuh pipi serta dahi Alaia. "Anget, Ngit."
Langit mengangguk. "Biarin aja tidur."
"Cecian Dede Gemes ...," celetuk Ragas. "Jadi pengen peluk."
Secepat kilat Langit menampar lengan Ragas dengan punggung tangan. Lumayan juga pukulan Langit. Ragas sampai mengaduh keras karena rasanya cukup sakit dan suaranya pun memekak telinga.
"SAKIT, PELEH!" Ragas spontan mengomel.
"Mamam! Tuman sih," balas Langit dengan judesnya.
Ragas berdecak. "Gue ramal, lo bakal jadi bapak-bapak ganas yang suka ngehukum anak."
"Nggak!" Lana menyambar cepat, tidak setuju. "Langit itu manis, galaknya ke lo doang. Lo rese sih!"
"Aku ndak rese, Yayang." Ragas membalas santai.
"Gas, ih!" Lana menepak bahu Ragas karena kesal tiap Ragas bicara belagak imut seperti itu.
Sekarang mobil diisi oleh keributan Lana dan Ragas. Kasihan Alaia yang terganggu dengan kebisingan mereka. Anak itu sampai terbangun dan memaksakan mata untuk tetap terbuka. Ia memandang ke luar jendela, menyadari rintik gerimis mulai turun.
"Angit ...," panggil Alaia.
Semuanya diam hingga mobil menjadi sunyi. Langit berbalik badan dan menatap Alaia yang sepertinya tidak nyaman dengan kondisi tubuh yang kurang fit. Padahal tadi pagi Alaia sangat ceria, lalu mendadak lesu lagi.
"Iya, kenapa?" Langit bertanya.
"Laper," kata Alaia.
Langit langsung berseru ke Ragas, "Cari resto yang bisa take-away, Gas! Kanjeng Ratu mau makan."
"Siap, laksanakan!" Ragas melaju penuh semangat mencari restoran cepar saji di sekitar jalan ini. Jalan Raden IX.
Setelah satu jam berlalu, mobil milik Langit sudah tiba di bandara. Mereka berempat memasuki lobby dan bertemu banyak orang asing. Hujan turun ringan, tapi cukup menambah dinginnya udara.
Lana membantu Alaia menggeret koper karena anak itu masih sibuk menghabiskan cheeseburger. Ragas memimpin jalan, Langit setia berjalan di belakang Alaia sambil sesekali iseng mengecup rambut panjangnya yang lebat.
"Lo yang mau pergi, gue yang deg-degan. Takut ketemu bule terus ga ngerti bahasanya," celetuk Ragas ketika mereka berpijak di eskalator.
"Ngomong sunda weh biar dia ikutan teu ngarti." Langit menyeringai.
"Pinter ih Dede aing yang masih wangi kembang!" Ragas menyolek dagu Langit, bikin adiknya marah-marah ke dia.
Semuanya nampak menyenangkan dan berjalan lancar sebelum Lila menyerang. Dari antara mereka berempat tak ada satupun yang kepikiran akan didatangi nenek lampir itu. Benar-benar di luar dugaan. Cewek itu datang terpogoh-pogoh sehabis berlari dari parkiran sampai ke lantai atas demi mengejar Langit. Di belakangnya ada Daren mengikuti.
"Langit!" Suara Lila menggema, membuat empat orang itu serempak menoleh.
"Ape nih? Ada yang manggil tapi ga ada wujudnya!" Ragas bertanya-tanya, berakting tidak lihat Lila.
"Ah, Ratu Drama dateng." Lana mendelik malas.
Sesaat mereka tak lagi menapak di eskalator. Terjadi hening karena mereka saling pandang dengan raut bingung. Lana agaknya terkejut Lila datang bersama Daren, begitu juga Daren yang baru menyadari ada Lana di sini. Rasanya canggung sekali.
Lila langsung menarik Langit menjauh dari Alaia, Ragas dan juga Lana. Alaia tidak suka Langit dipegang Lila, maka ia memisahkan dua orang itu dan memeluk lengan Langit.
"Sana!" Lila menghempas bahu Alaia.
"Kunaon sia!" Langit menghalau Lila yang hendak menyerang Alaia lagi.
"Caper mulu." Lana kelihatannya makin sebal.
"Gue perlu beli popcorn sama tisu ga nih? Biasanya bakal ada adegan kumenangiiis kan, La?" Ragas berkata yang tersirat sindiran untuk Lila.
"Kalo dia nangis, gue ketawa paling kenceng di sini." Lana menimpali.
Lila tak peduli pada semuanya, kecuali Langit.
"Kamu mau ke mana?" Lila bertanya ke Langit, tapi sewot. "Ga boleh ke mana-mana ya! Apalagi sama cewek ganjen ini!"
"Hih, lo tuh tujuan hidupnya apa sih?!" Lana mendorong Lila. "Suka banget gangguin Langit sama Alaia. Kekurangan belaian cowok? Cari aja di luar, jangan suami orang!"
"Gue ga ada urusan sama lo, gue ga pernah usik lo!" Lila membalas tajam.
"Lo macem-macem sama Alaia itu udah termasuk ngusik gue. Mau gue hajar lo di sini?" Lana maju lagi, auranya galak.
"Hajar aja!" Lila menantang.
Sebelum memulai, Lana berseru ke Langit. "Ngit, lo pergi sana sama Alaia. Cepet!"
Langit merangkul pinggang Alaia dan berjalan cepat menjauh dari mereka semua. Alaia menggigit burgernya sambil bertanya-tanya pada Langit kenapa Lila menganggu terus. Sayangnya Langit tak bisa menjawab sebab ia pun bingung mengapa Lila seperti itu.
Dua cowok itu panik akan terjadi keributan di sini. Apalagi sekarang Lana mulai menampar, meninju dan menjambak rambut Lila sampai lawannya itu memekik keras yang mengundang perhatian banyak orang. Lila memukul tangan Lana, tapi malah makin ditarik rambutnya hingga rontok beberapa helai. Segeralah dua perempuan itu dilerai oleh Ragas dan Daren.
"Sialan, jablay!" Lila kepalang kesal dan melotot tajam ke Lana.
Daren menahan Lila sambil berkata, "Udah ah, La. Jangan ribut di sini."
Lana yang dijaga oleh Ragas itu tak membiarkan Lila bebas begitu saja. Ia mau mencakar wajah Lila, tapi dicegah Ragas dengan cara memeluk dari belakang. Kalau tidak begitu, Lana bisa lepas.
"Lonte! Ga punya malu!" Lana mencibir keras.
"Lo lonte! Jamet kampungan," cetus Lila tak mau kalah.
"Bodoh! Lo udah ditolak mentah-mentah sama Langit tapi masih gatel ngejar-ngejar. Tebel banget tuh muka udah kayak dempul lo!" sentak Lana.
"Jangan songong lo ya! Itu hak gue buat rebut Langit dari tangan pelakor!" Lila melotot.
"Nggak salah? Lo yang jelas-jelas mau rebut Langit dari Alaia. Ngaca, dong! Liat, lo itu apa dibanding Alaia!" Lana terheran-heran.
"Bacot!" Lila teriak.
"Mau-mauan ngejual diri ke laki orang. Situ murah amat," semprot Lana menohok.
"Bangsat, bisa diem ga? Kalo ga tau apa-apa jangan bertingkah!" Lila meracau lagi.
"Siapa yang nggak tau drama receh lo ini, Lila?!" Lana membalas dengan intonasi lebih tinggi. "Lo itu udah dicap jelek sama orang-orang. Masih ga tau diri?"
"Stop! Mereka cuma iri sama gue!" Lila kelimpungan dihina seperti itu.
Lana tertawa keras, begitu juga Ragas yang tak kuasa mendengar ucapan Lila. "Pantesan Langit muak sama lo. Ternyata otaknya udah ga bener!"
"JALANG!" Lila geram, dia sampai mengepal tangan.
Karena keributan itu, sekuriti pun datang dan menghentikan pertikaian tersebut. Lila ditarik Daren supaya berhenti melawan Lana, tapi tetap saja cewek itu teriak-teriak memaki. Ragas menyeret Lana serta memintanya berhenti berantem.
"Di sini mah ga seru, Na. Nanti aja culik dia ke tempat sepi," bisik Ragas sambil jalan menjauh dari Lila.
Tiga puluh detik kemudian, Lila melintas di depan Lana dan Ragas sambil lari-larian mengejar dua orang yang pergi tadi. Lila tak segan meneriaki nama Langit sampai suaranya terdengar ke mana-mana.
Daren lelah mengejar. Ia diam di tempat namun bukan mengamati Lila, melainkan melihat Lana yang nampak sangat akrab dengan Ragas.
Setelah yakin keberaniannya terkumpul, Daren menghampiri Lana seraya menepuk bahunya satu kali. "Lana," panggilnya.
Kepala Lana tertoleh. "Eh? Lo ga ngejar pacar lo tuh? Pacar kedua, atau—"
"Lila cuma temen." Daren meralat.
"Oh." Lana mengangguk singkat.
Pandangan Daren teralih ke Ragas. Ia menatap lelaki itu dengan banyak pertanyaan terselip di pikiran. Daren tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya tentang siapa Ragas bagi Lana.
"Lo yang bikin Lana patah hati ya?" Ragas bertanya yang langsung diberi cubitan di pinggang oleh Lana.
Ragas memamerkan tampang tengilnya pada Daren sembari merangkul cewek di sampingnya. "Anaknya udah happy sama gue. Doain lancar sampe hari H ye."
"Ragas!" Lana berbisik marah.
"Sst." Ragas menempelkan telunjuknya di bibir Lana.
Daren tersenyum kaku, merasa makin awkward. Ia teringat percakapannya dengan Lana dulu yang mengatakan bahwa gadis itu punya kewajiban menjaga hati seseorang. Ternyata Ragas-lah orang yang Lana maksud.
"Longlast ya. Semoga lancar." Daren memberi senyum pada keduanya.
"Amin!" Ragas berseru senang.
Sambil menatap Lana, Daren berkata dalam hati yang tentunya hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. "Kenapa gue nggak rela Lana punya cowok? Padahal dulu gue yang nggak peduli sama dia, sampe gue gantungin, terus gue bikin sakit hati gara-gara jadian sama yang lain."
Sempat terjadi perang batin antara mereka. Lana sibuk dengan pikirannya, seperti yang Daren lakukan. Mereka sama-sama melempar tatap namun tak bertahan lama.
Daren menarik napas dalam, kemudian pamit dari hadapan mereka. Kepergian Daren membuat Lana bungkam. Ia tertunduk, seketika punggungnya diusap Ragas berulang kali.
"Sori ya tadi. Gue ga suka liat cowok yang udah jelas bikin lo galau mulu, malah tiba-tiba muncul dengan tampang sok kalemnya." Ragas menyambar.
"It's okay, Gas." Lana menyahut.
Ragas melirik Lana yang masih menunduk entah memikirkan apa. Ia pun bertanya, "Pasti masih kerasa nyeseknya ya? Pasti lo lagi flashback tentang kalian dulu."
"Nggak, dih!" Lana mengelak.
"Jujur aja gapapa kali." Ragas tertawa renyah. "Masih suka mikirin dia?"
Lana menatap Ragas yang lebih tinggi darinya, kemudian menggeleng patah-patah. Melihat jawaban Lana membuat Ragas lagi-lagi ketawa. Tapi kali ini terdengar sedikit dipaksa.
"Jawaban lo ragu," tutur Ragas.
"Nggak, Gas," ujar Lana.
"Ragu. Pikiran lo bercabang ke dia," ungkap Ragas lagi.
Lana berdecak karena ia sendiri bingung bagaimana cara menjelaskan perasaannya ke Ragas. Ia memang terkadang memikirkan Daren, namun bukan berarti ia masih menyimpan rasa untuk cowok itu. Ah, rasanya sulit.
"Kalo gue bilang nggak, ya nggak." Lana memandang lelaki itu.
Ragas terkekeh seraya menepuk satu pipi Lana. Entah penglihatannya benar atau tidak, tapi mata Lana sedikit berkaca.
"Gue tetep nunggu, Na." Ragas berkata setelahnya. "Nunggu lo ikhlasin Daren, terus terima gue."
"Gue udah relain Daren. Beneran, Gas. Kok ga percayaan sih?" Lana gemas.
Mata Ragas memincing. "Awas ye kalo masih labil. Gue mau cari avatar yang lain."
"Ga boleh!" Lana menyentak.
Ragas mengerutkan kening. "Kenapa?"
"Avatar lo cuma gue." Lana berucap pelan, tapi empat kata itu cukup membuat Ragas tersenyum lepas tanpa beban.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Burger Alaia habis bersamaan Lila datang menghampiri Langit lagi. Alaia menoleh ke belakang, tak melihat Lana ataupun Ragas di sana. Lantas Alaia mengeratkan rengkuhannya pada lengan Langit.
Langit berdecak ringan, menatap Lila bosan. "Kenapa lagi?"
"Kita perlu ngomong." Lila berkata.
"Ngomonglah," sahut Langit cenderung cuek.
"Berdua." Lila meminta, sembari menyentuh tangan Langit.
"Nggak. Di sini aja, di depan istri gue." Langit berujar tegas seraya menepis tangan Lila agar tak menyentuhnya.
Alaia diam di sana, melihat Lila yang juga meniliknya. Kemudian Lila mencari udara banyak-banyak untuk dihirup dan ia buang dalam sekali hela. Ia perlu menenangkan diri sebelum bicara bersama Langit. Apalagi jantungnya selalu heboh tiap bertatapan dengan lelaki tampan itu.
"Ngomong yang sopan. Gue bakal langsung pergi kalo lo ngehina Alaia," peringat Langit.
Lila manggut.
"A—aku mau jujur sama kamu, Ngit." Lila sedikit tergagap, faktor gugup berhadapan dengan mantan kekasihnya.
"Hm." Langit bergumam.
"Aku nggak bisa lupain kamu. Setiap hari selalu kepikiran. Selalu keinget masa-masa dulu." Lila mencurahkan isi hati. "Sakit rasanya pas tau kamu udah nikah. Kamu bikin aku hancur, Ngit."
Langit mengernyit dalam. "Kok jadi gue yang bikin lo hancur?"
"Iya. Kamu tinggalin aku demi dia." Lila berujar sambil melirik Alaia cukup sinis.
Alaia menatap Langit, lalu kembali mencermati tiap omongan yang Lila beberkan. Tangan Langit menggamit jemari Alaia, memberi rasa tenang untuk perempuannya. Langit yakin, Alaia tak suka pada Lila yang selalu bicara macam-macam tentangnya. Tapi, Langit harus meladeni Lila agar tidak terjadi keributan di bandara oleh teriakan Lila yang melengking.
"Jangan ngarang. Alaia bukan opsi ke dua. Dia satu-satunya," tutur Langit.
"Kamu lupa ya? Dulu pernah bilang mau nikahin aku. Kamu bilang mau sama-sama terus sampe tua nanti. Tapi kamu malah nikah sama cewek lain," lirih Lila.
"Gue ga lupa, cuma keadaannya udah beda. Lo yang bikin semuanya kacau, kan?" tanggap Langit.
"Tapi kita bisa balik lagi kayak dulu. Pasti kamu masih simpen perasaan buat aku, kan ...." Lila menahan desakan tangis.
Langit berujar cepat, "Nggak."
"Nggak salah lagi." Lila mencoba menghibur diri.
"Jangan maksain kehendak orang." Langit masih bisa menahan marah.
"Aku mau kok nikah sama kamu. Dulu aku anggep kamu bercanda ... sekarang aku tau kalo kamu serius," celetuk Lila yang masih terus memohon cinta Langit.
"Udah telat, La. Gue udah ketemu sama yang jauh lebih baik." Langit menyetus.
Akhirnya pertahanan Lila runtuh. Ia menangis tersedu-sedu dan sesekali menyeka air mata. Alaia bingung, ia hanya bersandar ke lengan Langit sambil tetap memeluk satu tangannya. Bila Lila bertingkah berlebihan, cakar Alaia siap menerkamnya.
"Kenapa sih kamu ga bisa terima aku lagi? Apa karena aku udah ga perawan? Aku janda?" Lila terisak kuat.
Langit menggeleng. "Bukan. Gue ga pernah mikir ke arah sana. Ini cuma soal perasaan gue, La. Lo ga bisa maksa gue buat balik sama lo lagi."
"Bohong!" Tangis Lila makin menjadi.
"Gue udah nikah. Buat apa lo masih ngejar?" Langit membalas lagi.
"Karena aku cinta sama kamu!" Lila mengusap air mata. "Aku sadar, dulu aku salah besar pernah duain kamu. Aku nyesel banget, Ngit. Please, sekarang maafin aku. Kita ulang lagi semuanya dari awal."
Langit tidak mau. "Udahlah, lo jangan begini terus. Ga capek mikirin orang yang sama sekali ga mikirin lo?"
Lila menggeleng. "Aku yakin kamu pasti bakal balik ke aku lagi."
"La, di luar sana pasti ada cowok yang jauh lebih segalanya dari gue, yang bisa terima keadaan lo. Ga mungkin ga ada," tutur Langit.
"Tetep aku maunya kamu." Lila kukuh.
"Berenti pikirin gue. Itu cuma buang-buang waktu lo." Langit mengatakan.
"Nggak bisa, Langit ...," rintih Lila yang teramat sedih.
"Lo sebenernya bisa, cuma nggak mau berusaha." Langit mengimbuh.
Lelaki itu menambahkan, "Simpen kenangan dulu, jangan lo ungkit lagi karna gue nggak suka. Tolong hargai Alaia sebagai istri gue."
Tanpa menunggu respons dari Lila, Langit segera bergegas pergi bersama Alaia. Mereka melewati Lila yang menangis kejer sampai mukanya bersimbah air mata. Hatinya pedih, luka yang tertoreh di sana tak kunjung sembuh— malahan makin melebar.
Tidak terima dengan keadaan ini, Lila pun mengejar Langit lagi dan langsung memeluk erat tubuh tegap itu tanpa mau melepas. Langit tersentak, begitu juga Alaia.
"Lila!" Langit kesal, ia menyingkirkan tangan Lila yang melingkar di pinggangnya.
"Nggak bakal aku lepas sebelom kamu terima aku lagi!" Lila nekat bertingkah seperti itu di depan Alaia.
Alaia mundur, ia mempertajam tatapnya kala melihat Lila. Langit sudah berusaha menjauhkan Lila dari badannya namun tetap saja cewek gila itu menghampiri lagi sambil teriak dan menangis.
Orang-orang mulai menjadikan mereka sebagai tontonan. Langit bertambah kesal, ia terpaksa berlaku kasar dengan mendorong Lila hingga hampir terjerembab di lantai.
Alasan Langit melakukan itu adalah Alaia. Alaia murka, matanya sempat mengeluarkan sinar putih sekilas yang merupakan tanda tidak baik. Sinar putih adalah sisi Amatheia La Luna ketika amarahnya tak bisa ditampung lagi— alias amat sangat marah. Bila sinar itu berubah merah, berarti Alaia membenci mangsanya.
Langit memeluk Alaia sekaligus membekap mulutnya ketika cewek itu hampir mengeluarkan auman besar.
"Aia," panggil Langit di telinga Alaia. "Tahan, Sayang."
Lila mengurungkan niatnya untuk mendekati Langit karena tatapan Alaia sangat sengit yang tertuju padanya. Tatapan itu bikin bulu roma Lila berdiri serempak. Bahkan kini Lila menjauh dan mengalihkan pandangannya.
Alaia menggeram tapi suaranya pelan karena bekapan Langit. Ia masih kesal dan tak henti menatap Lila. Rasanya ingin melahap Lila sampai mati di detik ini juga.
Namun atas kesabaran Langit yang terus memanggil Alaia dan juga menenangkannya, akhirnya jiwa makhluk polos itu kembali.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Dua hari berlalu.
Perjalanan Langit dan Alaia lancar. Mereka menempuh tiga penerbangan, melintasi dua benua dalam kurun waktu nyaris 16 jam. 6 jam transit, dan melampaui jarak 7536 mil.
Pasangan yang baru menikah itu masih tidur pulas karena mengalami jet lag atau mabuk pascaterbang. Semalam Alaia sempat muntah sampai kehilangan nafsu makan. Tapi sekarang sepertinya keadaan dia dan Langit sudah membaik.
Langit bangun tepat pukul sepuluh pagi waktu setempat. Ia mendapati Alaia masih lelap dan tak akan tega membangunkannya. Lelaki itu memberi kecupan singkat sebelum pergi membersihkan diri.
Temperatur di tempat ini jauh berbeda dengan tempat asal Langit. Saking dinginnya, Langit mengurungkan niat untuk mandi. Ia hanya gosok gigi dan cuci muka.
Sebelum kembali menghampiri Alaia, lelaki pemilik iris coklat itu mencari santapan untuk mengisi perut. Ia membuka barang bawaannya, kemudian mengambil sebungkus roti dan dua kaleng minuman bervitamin. Langit tidak akan makan sendiri karena tentunya ia mengajak Alaia.
Bahan sarapan itu Langit taruh di atas nakas yang disediakan oleh pihak resort hotel pada tiap kamar. Ia naik ke ranjang untuk merapati jarak dengan Alaia. Lelaki itu duduk di dekat Alaia sambil sedikit membungkuk dan mengamati wajah cantik tersebut.
Telunjuk Langit ditekuk, lalu ditempelkan di pipi Alaia dan ia usap begitu lembut. Tak pernah sedetikpun Langit bosan menatap Alaia. Seraya itu Langit menoleh ke jendela untuk melihat langit yang tak begitu cerah atau bisa dibilang agak mendung.
"Aia," panggil Langit sambil memencet kedua pipi Alaia dengan satu tangan.
Perempuan itu melek setelah hampir lima menit Langit menunggu. Alaia melenguh sembari menggaruk lehernya yang tercetak bekas sesapan Langit. Usai itu, Alaia duduk dan berkedip beberapa kali sampai pandangannya lebih jernih.
Langit memandangi Alaia lagi tanpa bicara. Tatapan itu selalu mendalam dan didasari ketulusan yang begitu nyata. Ketika sadar dirinya ditatap terus oleh Langit, Alaia lantas mesem-mesem karena salah tingkah.
"Ayu tenan kamu, Dek." Langit memuji.
"Auramu itu loh ... adem pisan," lanjut Langit, "aku kalo ngeliatin kamu bawaannya tenang."
Alaia memang tidak begitu paham bahasa Langit yang campur-campur. Namun ia yakin, kata-katanya itu bukanlah sesuatu yang buruk. Jadi, Alaia mengucapkan terima kasih.
"Makan dulu ya," ajak Langit setelahnya.
Momen manis nan hangat memalut mereka begitu lekat. Kebahagiaan selalu terpancar tiap kali mereka bersama, meski sesekali badai datang yang mencoba merusak tapi selalu gagal. Rasa cinta mereka sulit diungkapkan dengan hanya sekadar kata.
Alaia siap menerjang arus deras bila sewaktu-waktu semesta memaksanya berhenti mencintai Langit. Begitupun Langit yang sudah menelan kenyataan bahwa Alaia berbeda alam dengannya. Langit sadar dengan menikahi Alaia itu berarti ia harus menerima konsekuensinya.
Kira-kira satu jam setelah melaksanakan sarapan yang telat dan berganti pakaian, Langit bersama Alaia meninggalkan kamar untuk menikmati keindahan alam terbuka yang dibuat makin sempurna dengan keberadaan laut.
Airnya yang bening bak kristal membuat Alaia ingin sekali berenang di sana. Ia lari-lari kecil menginjak pasir hingga kakinya menyentuh air. Langit membiarkan Alaia main di sana, lagipula keadaan sekitar mereka tidak ramai.
Deburan ombak seakan mengejar Alaia yang masih anteng main-main di tepian. Awalnya air hanya sebatas mata kaki, sekarang meninggi hingga sedengkul Alaia. Sepertinya laut ingin Alaia nyebur.
"No." Alaia bicara sambil menatap air karena gelombangnya membuat kaki dia terendam hingga mencapai paha.
Dua detik kemudian, air surut lagi lalu menciptakan banyak buih yang meninggalkan jejak sekilas di pasir. Sambil tetap berdiri di posisinya, Alaia menutup mata dan mulai bersenandung merdu yang disambut oleh kawanan burung di udara.
Hmm.... 🎶
Ini adalah nyanyian pembawa rasa bahagia, bukan bencana. Hanya alam serta makhluk laut yang mampu membedakan sisi mermaid dan siren yang dimiliki oleh Amatheia La Luna.
"Suarana alus pisan ... meni ngeunaheun didengena," celetuk Langit yang berada di belakang Alaia.
Alaia berhenti dan berbalik ke belakang. Kepalanya sedikit miring ke sisi kiri saat bertanya, "Artinya?"
"Suara kamu bagus, enak didengernya." Langit menerjemahkan.
Alaia melangkah dua kali hingga jarak mereka menipis. Tangannya melingkari pinggang Langit, lalu menyembunyikan wajah di dada bidang sang suami. Aroma tubuh Langit adalah kesukaan Alaia.
"Kamu juga enak," ceplos Alaia.
Langit baru saja membalas pelukan Alaia dan mendadak matanya membeliak terkejut. "Apanya enak?"
"Kamunya." Alaia menjawab. "Enak peluk Angit."
Lelaki itu membuang napas lega disusul tawa ringan. Ia pikir otak Alaia mulai ternoda dengan hal yang iya-iya. Hampir saja Langit salah paham.
"Kalo gitu, nanti malem pelukin Angit sampe puas ya," kekeh Langit.
"Iya!" Alaia berseru.
Selepas itu mereka sama-sama bungkam sambil tetap berpelukan. Dagu Langit bertumpu di kepala Alaia, sedangkan Alaia terlihat begitu tenang mendengar irama jantung Langit. Degupnya tidak jauh beda dari ritme jantung Alaia yang keras dan terburu-buru.
Dari ujung mata, Langit melihat sesosok perempuan berdiri di dekat mereka. Ia spontan menoleh lalu memandangnya sejenak. Alaia menyadari pergerakan Langit dan ikut menengok ke sumber tersebut.
Pelukan mereka terlepas, kemudian kompak berbalik ke arah perempuan tadi. Orang itu memiliki kulit dark tan dengan mata hijau kebiruan, serta rambutnya ikal hitam mencapai pinggang. Cantik sekali.
Saat matanya menatap iris biru terang milik Alaia, dia tersentak dan tiba-tiba menyetuh dada sambil membungkuk sopan. Dia berujar, "Goddess."
Adegan ini pernah terjadi saat pertama kali Alaia berkunjung ke kota di bawah laut. Makhluk di sana menyambutnya begitu ramah dan memanggilnya Goddess alias Dewi. Lalu sekarang kejadian itu terulang lagi.
Perempuan asing itu menghampiri dengan wajah sumringah dan binar di mata. Dia lalu melirik salah satu lengan Alaia, menemukan simbol bulan samar-samar. Langit mengernyit, ia tak bisa melihat simbol itu karena dia bukan penghuni laut.
"Amatheia La Luna." Orang itu menyebut nama Alaia.
Alis Langit terangkat satu dan bertanya-tanya siapa perempuan itu. Mungkinkah teman Alaia? Tapi ... Alaia sendiri tidak mengenalnya.
Dia berkata, "Hauʻoli loa wau i kēia manawa ʻoe." (Saya sangat senang kamu di sini.)
"Hah?" Langit keceplosan.
Alaia membalas dengan tenang, "Mahalo." (Terima kasih).
"Kamu ngerti? Hebat ih!" Langit tercengang.
Gigi Alaia yang rapi terpampang ketika ia merasa senang mendapat pujian dari Langit. Setelah beberapa lama kembali ke lautan, Alaia menyadari dirinya mampu mengerti banyak bahasa dari negara manapun. Sayangnya Alaia kurang menguasai kosakata bahasa daerah seperti Bahasa Sunda.
Dua perempuan itu kembali berbincang menggunakan bahasa yang sangat asing di telinga Langit. Ia sama sekali tak bisa menangkap maksud pembicaraan mereka. Bahkan sekarang Langit terabaikan oleh keduanya.
"ʻO Aramoana koʻu inoa." Ia berujar. "Hiki iaʻu ke manaʻo i kou alo i ke kai. Maʻoliʻoli wau i hele ʻoe i ka home. Ua lilo mākou i ka manaolana no ka mea ua manaʻo mākou ua make ʻoe. Pono mākou iā ʻoe, mai ʻoluʻolu ʻoe e hele hou aku."
Arti dari ucapannya adalah;
"Namaku Aramoana. Aku bisa merasakan hadirmu di laut. Aku sangat senang kamu pulang. Kami hampir kehilangan harapan karena mengira kamu sudah mati. Kami membutuhkanmu, tolong jangan pergi lagi."
Raut Alaia berubah menjadi serius, persis lawan bicaranya. Langit tidak paham apapun jadi dia memilih diam daripada merusak suasana. Lalu Alaia mengulurkan tangan menyentuh bahu Aramoana, ia mengusapnya lembut upaya memberi rasa tenang.
"He aha i hana ai?" Alaia menanyakan apa yang terjadi pada mereka.
Aramoana menjawab, "ʻAʻohe oʻu alakaʻi. Hoʻomau mau ʻia mākou e nā Sirens." (Kami tidak memiliki seorang pemimpin. Kami selalu diserang bangsa Siren.)
Alaia menarik tangannya dari bahu Aramoana dan berpikir keras kenapa di setiap lautan yang ia kunjungi memiliki kasus yang sama. Ke mana para pemimpin itu? Kenapa mereka tak menjalankan tugas dengan semestinya?
Ini membuat Alaia teringat usahanya yang mencari keberadaan orang tua dia. Sampai sekarang ia tak menemukan mereka dan sama sekali tidak bisa merasakan kehadiran mereka di laut. Alaia sedih, tapi juga bingung apa yang sebetulnya terjadi hingga makhluk-makhluk itu tak kunjung menampakkan diri.
Sekali lagi Alaia bertanya. "Auhea ke 'Lii a me ka Moiwahine?" (Di mana Raja dan Ratu?)
Aramoana menautkan alisnya yang tebal, ia agaknya terkejut mendengar pertanyaan Alaia. "ʻAʻole ʻoe i ʻike?" (Kamu tidak tau?)
Alaia menggeleng. Ia menoleh sekilas ke Langit dan kembali menatap lekat Aramoana. Langit bersedekap, ia menunggu Aramoana bicara meski dirinya tidak tau apa yang mereka bahas. Pokoknya Langit manggut-manggut saja.
Mimik Aramoana menjadi sedih seraya ia menunduk. Reaksinya yang seperti itu membuat Alaia mulai berpikiran macam-macam. Langit mengamati mereka dan bertanya dalam hati, "Kok jadi pada murung begitu?"
Aramoana membeberkan informasi yang selama ini tidak diketahui Alaia. Ia bertutur panjang yang bila diterjemahkan adalah seperti berikut;
"Cerita ini berawal dari Ratu Mermaid yang mengandung anak hasil hubungan gelapnya dengan Raja Siren. Itu kabar terburuk yang pernah kami dengar karena siren adalah musuh terbesar kami. Banyak sekali mermaid yang meminta Ratu membunuh janinnya, namun Ratu memilih mempertahankan kamu meski konsekuensinya ia dibenci semua makhluk lautan."
"Ratu meyakinkan bahwa kamu bukan anak yang pantas dihina dan dilenyapkan. Kamu memiliki posisi lebih dari kedudukan ratu ataupun raja, kamu juga yang akan membawa kehidupan baru di lautan karena kamu punya kuasa dan kekuatan. Sayang, tidak seorangpun peduli pada omongannya."
"Kenapa kamu harus dibunuh? Karena bila kamu lahir, maka para petinggi akan mati— termasuk ibumu. Tapi, Ratu merelakan semuanya demi kelahiranmu."
⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️
—————————————————
—————————————————
haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕
social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid
—————————————————
➡️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ⬅️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya
see you my babygeng! 😼👍🏼
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro