Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

32. Satu Bintang

32. SATU BINTANG

Apa yang membuat banyak orang tidak menyukai Lila?

Lila pernah berpikir kenapa orang-orang banyak menyimpan rasa sebal padanya. Tapi Lila cuek saja, karena ia pun tak suka mereka.

Malam ini menjadi malam menyenangkan baginya karena mulai detik ini Lila bebas dari alat-alat medis yang bergerayang di badan. Apa yang Lila tunggu akhirnya terwujud, yaitu kembali ke rumah.

Tubuh Lila yang lemas membuatnya terpaksa memakai kursi roda dan Dara-lah yang membantunya mendorong benda tersebut. Di pelukan Lila terdapat sebuah boneka panda ukuran sedang yang diberikan oleh Dokter Yura.

Yura bilang, ini sebagai hadiah darinya karena Lila berjanji untuk lebih banyak berpikir positif dan akan berusaha mencari kebahagiaan lewat caranya sendiri.

Albert –papa Lila– nampak semangat menggeret koper merah muda yang berisi barang-barang milik Lila selama anaknya menginap di rumah sakit ini.

Ketika mereka tiba di basement tempat parkir mobil, Albert segera menyalakan mesin Fortuner-nya dan membuka bagasi untuk menaruh koper tadi.

Sambil mengangkut barang-barang, Albert bertanya pada Dara, "Ma, Bastian belum ada kabar?"

Mendengar nama Bastian disebut, senyum Lila perlahan pudar. Dara yang peka terhadap perubahaan mood anaknya langsung memberi kode pada Albert untuk tidak membahas Bastian.

Albert sadar atas kesalahannya, beliau seketika menghampiri Lila dan berusaha mengembalikan senyum itu. "Sayang, besok kita mau ke mana, nih? Jalan-jalan bertiga ya?"

Lila mengembungkan pipi seraya merengkuh bonekanya. Ternyata cara membuat Lila murung sangatlah mudah, dengan menyebut nama Bastian pun dia automatis kesal.

"Mau ke pengadilan." Lila berkata.

Dara dan Albert saling melempar pandang dengan maksud tertentu. Mereka bertatapan seakan tengah melakukan telepati. Lalu Albert mengangguk, mengiyakan ucapan Lila.

"Setelah itu aku mau party di rumah." Lila berucap lagi.

Albert terlihat khawatir. "Tapi kamu masih harus banyak istirahat. Buat beberapa waktu ke depan, party-nya ditunda dulu gapapa ya?"

Lila menggeleng lemah. "Mau party."

"Sayang...." Dara mengusap kepala Lila dari belakang. "Ini demi kesehatan kamu. Kalo kamu drop lagi, emangnya mau balik ke rumah sakit?"

Lila cemberut.

"Kalo Lila nurut, Papa bakal penuhin permintaan kamu. Apapun itu selain party dan kegiatan lain yang bikin fisik kamu drop," tutur Albert.

Pupil Lila membesar. Ia menatap Albert dan berucap, "Bener ya, Pa?"

Albert mengangguk yakin. "Bener."

Lila tersenyum lucu dan meminta Albert lebih dekat. Anak itu membisik sesuatu pada ayahnya yang membuat Dara penasaran. Tapi ternyata ucapan Lila bikin Albert bingung.

Lepas itu Lila memamerkan cengirannya lalu berujar, "Pasti Langit dan Bunda seneng. Hihihi."

⚪️ ⚪️ ⚪️

Kai duduk meringkuk di dalam sel bersama segelintir pria yang tak ia kenal. Tumben sekali mereka semua tenang, biasanya berisik dengan obrolan dan nyanyian yang tercipta.

Bukan hanya mereka, tapi sipir yang biasanya lalu lalang pun kini tak terlihat. Benar-benar sepi. Dinginnya malam menambah rasa kelesah karena hawanya berbeda dari malam-malam lain.

Kai beranjak, ia berjalan ke pintu besi yang terkunci rapat. Dari sini Kai bisa lihat jendela besar di ujung sana, menampilkan langit pekat yang tak menunjukkan adanya gemerlap cahaya.

Melihat langit segelap itu membuat Kai teringat Alaia. Entah bagaimana ia bisa tiba-tiba mengingat anak itu. Rasanya seperti ada sesuatu yang janggal, tapi Kai tak paham.

"Dingin ya, Bro," celetuk seseorang.

Kai menoleh tanpa menyahut apapun. Dari sekian banyak orang yang ditahan di polres ini, hanya Kai yang enggan berbaur. Dia merasa orang-orang itu tak sepadan dengannya.

Kai malas berhubungan dengan mereka.

Akibat dirinya dikurung di tempat ini, Kai jadi tidak bisa mencari uang. Ia kesulitan mengumpulkan harta, bahkan kekayaan yang sudah ia tanam sejak belasan tahun harus lenyap begitu saja.

Kai benci semua orang yang membuatnya sengsara seperti ini, termasuk Alaia.

"Kalo Paman udah bebas, Paman bakal cari kamu. Kamu harus tanggung jawab atas semua kerugian yang Paman terima. Enak aja kamu seneng-seneng di luar sana," batin Kai bercuap.

Persis sehabis Kai berpikir demikian, langit langsung mengeluarkan bunyi keras yang membuat semua manusia tersentak mendengarnya. Gemuruh yang kuat menandakan hujan lebat akan segera datang, bersama kilatan dan petir-petir yang saling sambar.

Angin yang masuk lewat celah jendela membuat kertas-kertas di dekat meja penjaga seketika beterbangan. Kai melihat kejadian itu tapi tak melaporkan pada siapapun.

"Haha, berantakan. Sukurin!" Kai menertawakan dalam hati.

Sambil mengamati jendela di jauh sana, Kai mengetuk pelan jeruji besi dengan kuku tangan. Ia bosan. Sampai tiba-tiba terdengar bunyi letupan dari langit-langit ruangan ini yang disusul pecahan lampu jatuh ke lantai.

Dalam sekejap tempat ini menjadi gelap.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Alaia menunggu Langit kembali, tapi cowok itu tidak kunjung datang. Ragas yang diminta jemput Alaia juga tak terlihat batang hidungnya. Alaia benar-benar sendiri di sini.

Segala bentuk rasa bercampur-campur dalam dirinya. Takut, sedih, khawatir, bingung, dan emosi negatif lainnya seakan mengunci Alaia.

Semua itu mengakibatkan gelombang laut meninggi serta bergerak cepat dan deburannya terdengar lebih ngeri. Bulan di atas sana perlahan tertutup awan tebal, membuat pencahayaan di dermaga semakin tipis.

Hanya ada setitik cahaya yang berpendar tipis dan terlihat samar di angkasa. Satu bintang. Ibarat Alaia di antara kegelapan.

Derap kaki berbalut sepatu terdengar dari arah belakang. Alaia menoleh kala orang itu menyebut namanya, "Amatheia La Luna."

Mavi mendatangi Alaia, berdiri tepat di sisi kiri. Sambil melirik Alaia ia bertanya, "Esne bene?" (Kau baik-baik saja?).

Alaia menggeleng.

"Aku sebenarnya tau. Dilihat dari perubahan laut dan langit, itu menjawab semua pertanyaanku." Mavi berujar.

"Tapi aku hanya ingin memastikan, apa yang sedang kamu pikir." Kini Mavi menatap Alaia. Tatapannya yang lembut membuat orang lain merasa aman berada di dekat dia.

"Apa ini tentang Langit? Manusia yang kamu sebut pasanganmu?" Mavi bersuara lagi.

Alaia membalas tatapan Mavi dan lagi-lagi ia memanggutkan kepala. Katanya, "Iya, tentang Langit."

Senyum Mavi terukir tipis. Ia memandang jauh ke luasnya laut di hadapan dia. Nampak gelap dan menyeramkan karena minimnya cahaya.

"Aku sudah memperingati dia." Mavi menuturkan.

Alaia kembali melirik Mavi. "Apanya?"

"Hubungan kalian nggak akan pernah bisa bertahan lama karena itu melanggar hukum alam." Kali ini Mavi berujar tegas.

Ungkapan Mavi menimbulkan tanya dalam benak Alaia. "Kenapa kamu bilang itu ke Langit?"

"Karena dia harus tau. Dia manusia, kamu bukan. Nggak ada sejarahnya kaum kita bersatu dengan manusia. Karena kalau itu terjadi, dunia bisa hancur." Mavi menatap tajam Alaia.

Sejenak Mavi diam sambil menarik napas panjang. Ia mengamati pergerakan awan seraya berkata, "Sejarah terbesar di dunia kita adalah tentang kamu. Kamu, satu-satunya pemilik darah dari dua bangsa yang saling bermusuhan. Mermaid dan siren. Nggak ada satupun makhluk di laut yang bisa lawan kekuatan kamu."

"Kamu mau buat sejarah baru lagi? Tentang hubungan kamu dengan manusia itu?" Mavi menilik Alaia dengan mata sedikit menyipit.

Bila pernikahan Alaia dan Langit terjadi, sudah pasti kegemparan akan muncul lagi. Karena itu mengartikan anak keturunan mermaid, siren dan manusia akan muncul di bumi.

"Mavi," panggil Alaia.

"Ya." Mavi menyahut.

"Apa kamu yang bikin sifat Langit berubah ke aku?" Alaia bertanya.

Dengan lugas Mavi membalas, "Iya. Aku yang buat dia seperti itu. Itu bagus, La Luna. Itu artinya dia berpikir demi kehidupan kalian di waktu yang akan datang."

Alaia rasanya mau menangis. Bukan cara seperti itu untuk memperingati Langit. Omongan Mavi pasti membuat Langit terjebak dalam pikiran yang tak berujung dan mengakibatkan Langit kalut.

Melihat wajah Mavi membuat Alaia ingin marah. Ia meredam sisi siren-nya dan mengalihkan pandang dari lelaki itu.

Alaia mengemu, "Me solum relinquatis." (Tinggalkan aku sendiri).

Tanpa banyak protes, Mavi mundur dan berpijak meninggalkan dermaga. Ia sadar apabila dirinya melawan perintah Amatheia La Luna, itu sama saja ia menyerahkan diri untuk dijadikan mangsa.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Bastian masuk ke dalam bar yang terletak di dekat pantai bersama anggota Kazute yang ikut. Bersamaan itu, beberapa anak Tongkrongan Dewa juga datang.

Mereka mudah dibedakan bila dilihat dari penampilan. Tongkrongan Dewa rata-rata mengenakan pakaian serba gelap. Sementara Kazute lebih bervariasi; seperti warna putih, biru, pink, merah, tapi kebanyakan dibalut jaket jeans sobek-sobek.

"Eits, sabar dong." Skipper mencegah salah satu bocah Bastian yang berniat menyelak jalannya.

"Bopung kebiasaan nih! Nyerobot teros," cetus Nemesis.

Bastian melirik judes Nemesis dan teman-teman. Ia juga tidak peduli pada anggotanya, yang penting Bastian masuk duluan dan ingin melihat Syadza yang katanya bekerja di sini.

Indigo mengamati anak-anak Kazute, namun tak menemukan Laskar. Ternyata benar yang dikatakan temannya itu bahwa ia keluar dari Kazute. Ia lalu ditarik oleh Nemesis. "Cepetan, itu Leza manggil."

Nemesis dan Indigo menghampiri Leza yang berdiri di dekat tiang tempat penari seksi berakrobat. Mereka berseru melihat tontonan itu dan juga sesekali bersiul.

"Tahan, Men!" Nemesis menggoda Skipper yang kelewat fokus mengamati salah satu penari.

Kala Nemesis berbalik mencari sesuatu yang lebih keren dari pole dance, ia menemukan adegan lebih panas antara seorang perempuan dan lelaki yang asik bercinta di sebuah sofa.

"Cok! Liat, tuh," seru Nemesis seraya mengundang teman-temannya untuk melihat ke sana.

Setelah Nemesis amati lebih dalam, ia mengerjap matanya dan baru menyadari sesuatu bahwa itu adalah orang yang ia kenal. Seketika Nemesis heboh dan kehebohannya tertular ke Skipper, Leza, juga Indigo.

"Langit bukan sih?" Skipper tidak yakin akan apa yang ia lihat.

Nemesis bergerak cepat ke sana, di detik yang sama ketika Syadza beranjak dan menyentuh ritsleting celana Langit untuk dibuka. Pemandangan itu membuat mata Nemesis terbuka sangat lebar dan sontak menambah kecepatan langkahnya.

"Syadza!"

Bukan, itu bukan Nemesis yang memanggil. Melainkan Bastian yang memergoki mereka tiga detik lebih awal dari Nemesis.

Langsunglah Bastian menjauhkan Syadza dari Langit, lanjut memukul Langit yang kondisinya makin parah karena matanya merah dan tingkat kesadarannya sangat tipis.

"Heh! Apa-apaan lo!" Nemesis maju, tidak terima Langit dihajar seperti itu.

Bastian nengok dengan tampang marah. "Ini bajingan ga pernah berenti ganggu pacar gue! Kemaren godain Syadza di kampus, sekarang mau ng*we di sini! Anjing, goblok, ga ada otak!"

Syadza panik. Ia menahan Bastian yang hendak menghajar Langit lagi, dan itu menimbulkan kemarahan Bastian yang makin bertambah.

Nemesis serta yang lain mendekati Langit untuk memastikan cowok itu sadar atau tidak. Ternyata dugaan Nemesis benar bahwa Langit mabuk. Melihat Langit mabuk seperti itu adalah hal yang baru kali ini disaksikan anak-anak Tongkrongan Dewa.

"Telepon Ragas!" Nemesis meminta tolong pada temannya.

Kemudian Nemesis mengamankan Langit dari Bastian dan juga Syadza. Bastian hendak meninju Langit, tapi seketika mukanya ditampol Skipper dan juga perutnya ditendang cowok itu.

"Langit mabok, dia ga sadar digrepe-grepe cewek lo! Goblok!" Skipper ngamuk.

"Bisa banget lo nyebut temen gue ga ada otak, tapi lo sendiri lebih tolol!" Skipper mendorong Bastian, menciptakan gaduh di bar ini.

"Lo juga samanya!" Skipper menunjuk Syadza. "Jadi cewek jangan kegatelan! Langit udah mau nikah, lo ga usah cari perkara!"

"Mulut lo dijaga, Bro!" Bastian membalas Skipper. "Berani ngatain Syadza, lo berurusan sama gue."

"HALAH, CUIH!" Skipper meludah ke arah Bastian. "Ngomong tuh sama ludah gue. Bocah boyot."

Bastian mengepal tangan bersiap melayangkan pukulan ke Skipper. Ia hampir berhasil memukul, tapi gerakan tangannya meleset dari target. Skipper melangkah maju lagi, ia mengangkat dagu tapi matanya mengarah ke bawah karena Bastian lebih pendek darinya.

"Apa? Dipikir gue takut sama lo? Muka lo tuh anjrit tau ga!" Skipper menghempas tubuh Bastian lagi.

"Sebelom lo nyerang orang lain, cari tau dulu sumber masalahnya! Cewek lo macem lonte begitu masih aja dibela." Skipper menyetus lagi.

"Lo ga tau apa-apa! Langit emang suka sama cewek gue, dia nyari kesempatan pas gue ga ada! Syadza yang bilang sendiri." Bastian marah.

"HAHAHA!" Skipper tertawa keras.

Lalu Skipper beralih menatap sengit Syadza. "Kepedean lu. Sejak kapan selera Langit turun drastis begitu."

"Kalo mau halu, liat-liat dulu objeknya. Malu kan kalo ketauan temennya. Lo dibanding calon istri Langit tuh bagai ujung langit dan dasar laut. Jauh." Skipper melanjutkan. "Sori sori aja ye. Gue ngomong begini supaya lo buka mata lebar-lebar, biar sadar diri."

"Masih ga sadar diri? Berarti lo sama aja kayak Bastian. Sama-sama goblok. Otaknya di selangkangan." Skipper tersenyum miring.

Selama Skipper mengoceh di depan Bastian, Nemesis serta Indigo sudah membopong Langit keluar dari area ini. Langit seperti mayat yang baru saja mati, karena ia sama sekali tak meracau. Berbeda dengan Ragas yang tiap mabuk pasti menyeletuk aneh-aneh.

Ketika Nemesis dan Indigo sibuk mengurus Langit, teman-temannya yang di dalam bar asyik bertengkar dengan Bastian serta Syadza.

"Gue udah telepon Ragas. Katanya dia di sini, tapi gue ga tau di mananya," cetus Jio.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Ragas menemui Alaia di dermaga setelah keliling di sekitar pantai hampir setengah jam. Langit tidak bisa dihubungi, bikin Ragas kalang-kabut mencari Alaia. Beruntunglah Ragas ke dermaga yang akhirnya ia berjumpa dengan cewek itu.

"Dede," panggil Ragas.

Alaia yang masih muram itu menoleh dan berusaha untuk tersenyum tapi rasanya sulit, yang ada dia malah hampir menangis lagi.

"Kenapa? Si Langit mana?" Ragas bertanya.

Alaia menggeleng, ia tidak tau Langit pergi ke mana. Ia cemas dan resah memikirkan itu sejak tadi. Bahkan ketika Ragas datang pun rasa takut itu masih membungkus Alaia.

"Mau pake ini ga?" Ragas menawarkan jaketnya untuk Alaia.

"Nggak," tolak Alaia dengan intonasinya yang halus.

Ragas pun mengajak Alaia untuk pergi, tapi anak itu tidak mau. Jelas saja tak mau. Alaia tidak akan tenang sampai ia mengetahui keadaan Langit yang pergi tanpa bilang tujuannya ke mana.

Sambil menyalakan layar ponsel, Ragas mencari kontak Langit lagi. Siapa tau kali ini panggilannya diterima. Namun sayang, usaha Ragas tetap berujung sia-sia.

"Belegug sia, Langit. Kabogohna ditinggalkeun sorangan di dieu. Huh, hayang nakol." Ragas menggerutu.

Sebuah panggilan masuk membuat Ragas semringah. Awalnya ia pikir Langit, ternyata bukan. Ada nama Jio terpampang di layarnya.

"Elpiji!" Jio menyambar secepat kilat.

"Naon, Ji?" Ragas bertanya.

"Adek lo nih, mabok parah! Hampir ngesex sama cewek, terus sekarang ribut sama Bastian!"

"Hah!" Ragas tersentak karena sebelumnya ia tak pernah lihat ataupun mendapat kabar Langit mabuk-mabukan. "Di mana, anying?"

"Bar deket pantai, yang dulu kita pernah ke situ. Lo di mana, Gas?"

"Gue di pantai! Tungguin ya, langsung ke sono nih." Ragas berucap cepat dan langsung mengakhiri percakapan.

Ia segera menarik Alaia karena tidak mungkin membiarkan cewek itu sendirian di dermaga yang gelap tanpa orang di sekitarnya. Alaia bergerak terhati-hati karena takut terpeleset sebab langkah Ragas terbilang cepat.

"Kita mau ke Langit. Tempatnya di deket sini kok," kata Ragas.

Alaia mengangguk, menuruti ke manapun Ragas membawanya. Selama di perjalanan menuju bar itu, perasaan Alaia sangatlah aneh dan membuatnya bingung bercampur risau. Ragas bisa rasakan telapak tangan Alaia yang seakan beku.

Ketika sampai di depan bar, mereka berdua langsung bertemu Langit yang direngkuh oleh Nemesis serta Indigo. Langit hampir terjerembab bila teman-temannya tak sigap menahan badan dia.

"Buset! Nanaonan ieu?!" Ragas mendekat, ia merebut Langit dari dua cowok tadi.

Langit sengaja direbahkan di lantai. Matanya terpejam rapat, ia benar-benar kehilangan sadar sepenuhnya. Alaia bertelut di dekat Langit dan memegangi jemarinya yang dingin.

"Kalo tadi Nemesis telat ngeliat Langit, beuh! Udah masuk tuh ke ceweknya Bastian." Indigo berseru.

"Gila ya, mau nanina di tempat umum." Nemesis tak habis pikir. "Lagian tumben pisan Langit ke tempat ginian. Kenapa ya?"

"Ya Allah Dede," decak Ragas. "Ajaran siapa sih mabok-mabokan? Makanya jangan ikutin jejak gue!"

Alaia menyentuh leher Langit yang terdapat noda merah-merah. Ia memiringkan kepala, sepertinya bingung noda apa itu.

"Langit luka-luka," adu Alaia pada Ragas.

Ragas, Nemesis dan Indigo serempak melirik leher Langit. Nemesis hampir terbatuk karena tadi Alaia menyebut jejak hickey itu luka.

Ya, mungkin memang luka. Luka isapan Syadza.

"Wow, baru tuh. Masih merah seger," ceplos Nemesis.

"Itu cupangan, Alaia." Indigo memberi tau. "Tau kan kalo orang pacaran? Kalo udah nafsu banget pasti cium-cium leher, terus diisep. Nah, itu yang di leher Langit isepan orang."

Alaia mengerutkan kening, tidak percaya dengan omongan Indigo. Ia memandang mereka begitu sedih. "Langit punya pacar lagi?"

"Goblog sia, Go! Ga usah lo jelasin begitu, sian Dede Alaia...." Ragas menegur Indigo.

"Eh iya— maap atuh, Dede," sesal Indigo.

"Angit," gumam Alaia sambil menyentuh pipi Langit dengan telunjuk. "Kamu punya pacar selain aku ya?"

Ragas, Nemesis, juga Indigo segera menghentikan pikiran itu dari otak Alaia. Mereka ikutan cemas karena Alaia salah paham. Pun Nemesis membeberkan apa yang tadi terjadi pada Langit.

"Langit digodain Syadza, sampe hampir having sex. Gue yakin banget dari awal yang mulai tuh Syadza! Langit kan mabok banget, Syadza-nya sadar seratus persen." Nemesis berujar.

Alaia menyeletuk, "Aku ga suka orang lain main-main sama Langit."

"Marahin, Al!" Nemesis memanasi Alaia.

"Hajar! Cepetan! Orangnya di dalem tuh," sambar Indigo.

Ragas menepuk pipi Langit dengan keras. Ini bisa dibilang Ragas sedang menampar Langit berulang kali. Tujuan Ragas adalah membangunkan adiknya, tapi pengaruh minuman membuat Langit blackout.

Alaia menatap Ragas, Nemesis dan Indigo secara bergantian. Ia berkata, "Aku perlu waktu sama Langit. Boleh nggak?"

Mereka memahami ucapan Alaia dan bergegas meninggalkan keduanya di sana. Tiga cowok itu masuk ke bar, ikut menambah kerusuhan yang terjadi antara Tongkrongan Dewa dan Kazute.

Alaia berdiri, ia meraih kedua tangan Langit dan menyeretnya hingga menepi dari sekitaran pintu masuk bar. Mereka pindah ke samping bangunan dan jauh lebih sepi karena tidak seorang pun melintas di sini.

Tubuh Langit tergeletak di atas lantai yang dingin dan tentunya kotor. Alaia memberi sentuhan pelan di pipi Langit, kemudian jemarinya berhenti di bibir. Bibir Langit cerah, namun kali ini sedikit lebih gelap.

Alaia membuka bibir Langit, lalu membungkuk dan mengarahkan wajahnya mendekat ke wajah tampan itu. Saat bibir keduanya hampir menyatu, Alaia buka mulut dengan mata terpejam.

Gadis itu menghisap semua yang membuat Langit tak berdaya seperti ini. Ketika melakukan itu, terlihat adanya sesuatu berbentuk asap biru keluar dari mulut Langit dan masuk ke Alaia.

Usai itu, Alaia hanya perlu menunggu beberapa saat hingga kondisi Langit kembali normal dan membuka mata. Alaia sangat berharap Langit tidak mendiaminya lagi. Ia ingin Langit bersikap biasa, bukan dingin seperti tadi.

Tiga menit berlalu, mata Langit terbuka dan melihat Alaia di atasnya. Alaia mundur sedikit, takut bila tiba-tiba Langit mengusirnya lagi dengan alasan sedang pengin sendiri.

Alaia tersenyum kikuk, darahnya tersirap melihat Langit meliriknya terus tanpa jeda. Cowok itu bangun, duduk serong menghadap Alaia. Mata Langit masih terus tertuju ke dia, justru tatapannya lebih mendalam.

"Aku ke sini karena takut kamu kenapa-napa." Alaia berucap sebelum Langit bertanya.

"Maaf aku lancang tolongin kamu padahal tadi kamu bilang ga butuh aku," lanjut Alaia.

Suara Alaia sampai bergetar hanya dengan bicara pada Langit, sedangkan biasanya ia tak pernah setakut ini. Alaia pun menunduk, bingung harus berbuat apa. Pikirannya buntu.

Langit yang tak kunjung berucap hanya akan membuat Alaia tambah ciut. Cowok itu diam, ikut tertunduk sebentar. Ia kembali menatap Alaia namun cewek itu masih pada posisi yang sama.

Merasa kehadirannya tak diinginkan, Alaia berniat pergi dari hadapan Langit. Tapi Langit menahan Alaia, ia meminta gadis itu untuk menetap.

"Mau ke mana?" Langit bertanya, suaranya sedikit serak.

Alaia menggeleng. "Ga tau. Kamu diem mulu bikin aku takutc... aku ga mau kamu marah lagi karena aku ikutin kamu terus."

"Enggak marah," ucap Langit.

"Tapi tadi kamu pergi gara-gara aku. Terus kamu ke tempat ini, ketemu cewek yang gangguin kamu. Dia cium-cium kamu, kalian hampir having sex. Aku makin takut, Angit." Alaia berujar pelan, suaranya agak tertahan.

Langit tak bisa mengingat bagian dirinya digoda perempuan hingga hampir melakukan hal yang berbahaya. Otaknya tidak mampu mengembalikan ingatan itu karena tadi posisi Langit sedang dalam keadaan 'kacau'.

"Aku ga suka kamu begitu sama orang lain. Aku sedih, aku mau nangis tapi malu." Alaia memberenggut, matanya merelap dengan genangan air yang hendak jatuh ke pipi.

"Aia...." Langit merasa bersalah, ia menyeka sudut mata Alaia yang mengeluarkan sebulir air.

"Kamu kalo kesel sama aku jangan pergi ke tempat ini lagi. Aku ga mau kamu punya pacar selain aku," tambah Alaia.

Alaia menunduk sambil menyembunyikan wajah dari Langit. Ia menghapus air matanya dengan buku tangan, tapi air mata itu malah terus-menerus meleleh. Ia menangis dalam diam, karena sejak tadi Alaia menahan rasa sesak di dada.

Langit bergeser, tangannya terulur mengusap punggung Alaia. Lelaki mana yang tidak ikut sakit melihat kekasihnya menangis di hadapannya karena kesalahan yang ia perbuat?

"Maaf," ungkap Langit.

Alaia mendongak, mukanya nampak imut walau dibanjiri air mata. Ia berucap lirih, "Kamu ga marah lagi?"

"Aku ga marah ke kamu. Marahnya ke diri sendiri," celetuk Langit.

"Kenapa marah ke diri sendiri?" heran Alaia.

"Karna gagal jaga perasaan kamu, bikin kamu nangis." Langit berujar.

Bahkan sejak awal Langit bingung dengan dirinya. Apa yang Mavi katakan tadi sempat berhasil menghasut Langit, hingga cowok itu bersikap yang tak semestinya ke Alaia. Langit tidak bermaksud seperti itu, ia hanya gelisah... takut kehilangan Alaia, namun belum menemukan cara untuk memecah masalahnya.

Alaia terenyuh dan perlu belasan detik untuk menghentikan tangisnya. Ia menarik napas lalu membuangnya seraya mengukir senyum kecil. Ia memamerkan senyum manis itu ke Langit, bikin dada Langit menghangat.

"Aku ga nangis lagi. Jadi, Angit ga boleh marah ke diri sendiri." Alaia berkata.

Seketika itu pipi Alaia dicubit Langit, hal yang selalu cowok itu lakukan tiap gemas padanya. Sekali lagi, Langit meminta maaf karena ia benar-benar salah telah bersikap seperti itu pada Alaia.

Alaia memaklumi, ia juga mengerti alasan Langit mendiaminya tadi karena Mavi. Ketika ia hendak memeluk Langit, Alaia malah mundur lagi karena melihat jejak merah di leher Langit.

"Kenapa?" Langit bingung. Karena mata Alaia mengarah ke lehernya, maka Langit menyentuh sisi kiri lehernya ini. "Ada apaan?"

"Kata mereka itu bekas ciuman cewek itu... aku sebel liatnya," sungut Alaia.

"Seriusan? Aku beneran dicium orang?" Langit ikutan panik.

Segera ia beranjak dan mengajak Alaia ikut. Langit ingin meminjam rest room di dalam bar, tapi Alaia tidak akan bisa ikut karena tak memiliki akses masuk. Jadi, Langit meminta gadisnya menunggu di luar.

Langit tidak tau di tempat ini ada teman-temannya beserta sang kakak. Ketika mereka melihat Langit, tentu semuanya kebingungan karena beberapa menit lalu Langit mabuk berat— lalu sekarang nampak segar seperti buah yang baru dicuci.

Tepat setelah Langit menghilang dari pandangan Alaia, seorang perempuan muncul dan mendatangi Alaia dengan senyum tipis di wajah.

"Pasti lo pacarnya Langit." Syadza menebak.

"Cantik banget ya... cocok sama Langit yang ganteng selangit," lanjut Syadza. "Wow, pengulangan kata."

"Tapi sori banget, tadi Langit abis makeout sama gue. He's such a good kisser. Bibirnya soft banget, manis lagi." Syadza terkagum.

"Haruskah gue bangga bisa cobain bibir Langit? Bukan cuma bibir sih. Gue juga hampir cobain itu... eum, hehe." Syadza cekikikan.

Alaia belum memberi respons atas semua celetukan Syadza. Ia menunduk sedikit, menatap perut Syadza yang terlihat sedikit buncit karena di dalamnya terdapat calon bayi.

Kemudian Alaia kembali menatap Syadza. "Kamu bangga bertingkah murahan di depan Langit?"

Syadza tertampar omongan Alaia. Ia sampai tak berkutik dan kehilangan kata untuk membalasnya. Alaia memang begitu, seringkali bicara asal ceplos tapi omongannya benar.

Hormon ibu hamil membuat Syadza kesal bercampur sedih. Ia sakit hati akan ucapan Alaia, tapi tidak bisa marah— malah mau menangis sekencang mungkin.

Alaia membiarkan Syadza pergi. Namun Alaia tak membebaskan cewek itu dari hukuman atas kesalahan yang ia perbuat terhadap Langit.

Mumpung Syadza sendiri, Alaia rasa ini aman bagi dia untuk menjalankan rencananya.

Sambil berjalan searah dengan Syadza, Alaia mengeluarkan lantunan kecil yang terdengar amat merdu. Nyanyiannya tidak memiliki lirik, hanya gumaman namun begitu memanjakan telinga.

Syadza terpukau, ia berhasil masuk dalam perangkap Alaia. Ini bukan nyanyian biasa, melainkan nyanyian Siren— sosok yang mampu menyelakakan manusia lewat suara indahnya.

"Hmmm...." Alaia bergumam panjang tapi bernada. 🎶

Gadis itu jalan lebih dulu, sementara Syadza mengikutinya di belakang. Mereka bergerak menuju bibir pantai. Sedikit lagi sampai.

Ombak laut bergulung tinggi, diiringi angin kencang. Semakin lama berjalan, akhirnya kaki mereka menyentuh air laut yang datang menghampiri.

Syadza tersadar ketika nyanyian itu terhenti. Dia tersentak saat mengetahui dirinya berada di dekat laut, juga panik melihat gelombang besar yang seakan ingin menelannya.

"Aku mau kamu bayar kesalahanmu lewat ini." Alaia mempertajam tatapnya, seketika membawa Syadza masuk ke air dan menariknya menuju kedalaman ratusan meter.

Wujud Alaia berubah. Matanya memancarkan cahaya biru. Rona ekornya lebih gelap, serta kuku panjang dan taringnya muncul bersamaan.

Kali ini Syadza tidak bernasib seperti Lila. Alaia mengeluarkan sinyal pemanggil bangsa siren, membangunkan mereka yang sigap memenuhi perintah Sang Dewi.

Alaia menyerahkan Syadza yang sejak tadi meronta-ronta karena kehabisan oksigen untuk bernapas. Lalu Alaia pergi, renang menjauh dari para makhluk tersebut.

Perlahan tapi pasti, darah mulai berhamburan menyatu dengan air laut.

⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️

mana yang lebih cocok buat Alaia?
untuk acara formal gitu...

1

2

—————————————————

mana yang "Langit" banget?

1

2

3

—————————————————

⚠️ IMPORTANT ⚠️

kalian semua udah tau kalo Alaia itu anak dari Raja Siren dan Ratu Mermaid. aku mau jelasin sedikit tentang perbedaan mereka, karena pasti ada beberapa yang belum paham.

[penjelasan ini berlaku di cerita ALAÏA aja ya, nggak sama persis seperti di dunia nyata— ataupun di kisah lain].

MERMAID: makhluk legendaris yang setengah wujudnya mirip manusia dengan paras super cantik (kalau tampan berarti Merman), punya ekor unik, baik hati, manis, cerdas, dan selalu memberi vibes positif bagi siapapun.

SIREN: sedikit mirip mermaid, tapi ini versi negatifnya. siren memiliki insting membunuh. siren menggunakan nyanyian mereka sebagai daya tarik untuk membuat manusia terbuai dan terhipnotis, lalu mereka biarkan tenggelam bahkan mati di lautan.

Alaia punya darah dari dua makhluk tersebut, makanya dia bisa berubah layaknya monster kalau ada sesuatu yang ia rasa mengancam hidupnya.

walau dia anak dari Raja dan Ratu, tapi Alaia bukan seorang Putri. dia Goddess. Goddess itu Dewi; tahta tertinggi pada perempuan.

—————————————————
—————————————————

haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro