29. The Blue
29. The Blue
"Ngit! Ada jamet nyariin lo tuh!" Suara Ragas.
Langit menatap Alaia yang pucat dan berkeringat dingin, lalu ia menetralkan suaranya agar terdengar biasa. Langit berseru ke arah pintu, "Siapa?"
"Bastian."
Usai itu hanya hening yang terjadi. Langit mundur, merapikan celana dengan berat hati. Hasratnya belum terpenuhi dan ini membuat Langit resah sendiri.
Setelah mendengar bunyi sendal Ragas bergerak menjauh dari kamar ini, Langit segera menyuruh Alaia mengenakan seluruh pakaiannya. Alaia mengangguk, langsung memungut benda-benda itu di kasur.
"Aku tinggal bentar ya," ucap Langit.
Cowok itu melangkah pergi dari kamar. Dia keluar dengan keadaan rambut berantakan. Mungkin Langit lupa atau tidak sadar rambutnya acak-acakan akibat diremas Alaia.
Ketika Langit berpapasan dengan Ragas, ia langsung diberi tatapan dan senyum miring oleh sang kakak.
"Wadaw, abis ngapain tuh?" Ragas berucap jahil, matanya melirik badan Langit yang tak terbalut baju, juga celananya yang sedikit melorot.
"Itu rambut sampe berantakan," lanjut Ragas disusul decakan dan gelengan kepala.
Lalu Ragas menyipitkan mata dengan tatapan menuduh. "Mencurigakan...."
Langit mendesah kasar dan menjauh dari Ragas. Ia mencibir, "Urusan orang gede!"
Kening Ragas mengerut, ditemani matanya yang membulat sempurna. "Lo sama gue masih gedean gue!"
"Apanya?" Langit membalas.
Seketika ekspresi Ragas berubah menjadi lebih menyebalkan dari sebelumnya. "Heum... sepertinya saya paham. Ternyata otak kita sama-sama kotor ya."
Langit tak menyahut lagi. Ia melanjutkan langkahnya ke depan rumah untuk menemui tamu yang disebutkan Ragas tadi. Entah ada urusan apa Bastian kemari, yang pasti kedatangannya sangat mengganggu Langit.
Tiba di teras rumah, Langit seketika berhadapan dengan sosok cowok yang tingginya sebatas dagu dia.
Bastian mengenakan kaos putih polos yang dibalut jaket denim hitam sobek-sobek, serta celana jeans selutut hasil mengguntingnya sendiri. Potongannya tidak rapi hingga beberapa benang rontok.
Di depan pagar tinggi itu terdapat beberapa motor besar terparkir bersama para pengemudinya. Langit menyakini itu adalah anggota Bastian, alias Kazute.
Bastian mengangkat kacamata hitam yang ia pakai dan menempelkannya di atas kepala. Dia tersenyum pada Langit, namun senyumnya itu sama sekali tak menerima balasan.
"Apaan?" Langit bertanya. Dari nadanya terdengar jelas bahwa ia tak menyukai kehadiran Bastian di sini.
Langit bersedekap yang membuat otot di tangannya membesar. Dadanya bidang, mungkin membuat Bastian iri karena tak memiliki dada secakep itu.
"Gue langsung to the point aja ye," ucap Bastian. "Lo pilih Lila atau Syadza?"
Pertanyaan itu sontak menimbulkan kebingungan Langit, juga Ragas yang baru datang dan berdiri di dekat mereka. Langit bingung, Ragas bingung, Bastian jadi ikutan bingung.
"Ga jelas lo, Cil!" Ragas menyambar.
"Tau ya. Caper lu," cibir Langit pada Bastian.
"Pilih aja cepetan. Gue itung sampe tiga. Satu... dua... tiga... empat–" Ucapan Bastian tercela karena Langit langsung menyeletuk lagi.
"Ga dua-duanya lah!" Langit menyentak. "Opsinya ga ada yang indah pisan."
"Kalo gitu, kenapa lo deketin Syadza?" Bastian bertanya.
"Gue tau kalo lo modusin Syadza di kampus. Jangan pikir gue bisa diboongin, gue ini punya banyak mata-mata," lanjut Bastian lagi.
"Gue modusin Syadza?" Langit menahan tawa.
"Syadza apaan, Ngit? Spesies langka? Gue jarang denger namanya," ceplos Ragas.
"Selirnya Si Bocil." Langit menjawab.
"Weleh-weleh... lo punya selir, Cil?" Ragas beralih ke Bastian. "Udah punya bini, malah sibuk nyelir! Bener-bener deh, ABG mah beda ya! Banyak banget tingkahnya."
"Ckckck! Salut," puji Langit yang sebenarnya hanya sarkas.
Tujuan Bastian datang ke rumah ini adalah untuk menghajar Langit yang ia nilai telah kurang ajar mengganggu kekasihnya, Syadza. Mendapatkan alamat rumah Langit tidaklah mudah, Bastian sampai harus memohon pada Lila.
Tapi, ketika sudah bertemu Langit, Bastian malah diremehkan oleh kakak beradik tersebut. Malang sekali nasibnya.
"Pulang aja deh sana! Percuma lo dateng, ga bikin berkah, Cil," kata Ragas, santai tapi cukup menohok Bastian.
"Hooh. Lo bikin udara kawasan rumah aing tercemar." Langit menambahkan.
Bastian mengepal tangan hendak meninju dua makhluk di hadapannya ini. Tapi ia tak mampu melakukannya karena sudah keburu ketahuan oleh Langit. Mata Langit melirik tajam tangan Bastian, kemudian menatap bocah itu dengan tatap curiga bercampur senyum jahil.
"Hayo, mau mukul ya!" Langit menyeletuk.
"Bocil ga boleh pake kekerasan. Nanti dimarahin Mama," kekeh Ragas.
"Kalo mau gelut, hayu atuh." Langit seketika memamerkan otot tangannya yang jauh lebih besar dari Bastian.
Langit menatap tangannya sambil berujar, "Mau gue tinju ga? Enak nih, Cil."
Bastian kehilangan nyali untuk sekarang. Rencananya gagal total hanya karena ia tak mampu melawan Langit maupun Ragas. Padahal dua lelaki di hadapannya itu tidak benar-benar akan menghajarnya, hanya menjadikan Bastian bahan candaan.
Ragas memencet otot bisep Langit, lalu bergidik karena ternyata ototnya itu lebih keras dari tahun-tahun lalu. Itu artinya Langit berhasil membentuk badannya sesuai impian dia.
"Kenceng amat!" Ragas memukul lengan Langit. "Wah, kacau nih nanti pas malem pertama—"
"Goblok," selak Langit.
Dua lelaki itu tertawa sambil membayangkan hal serupa di otak masing-masing. Mereka memang selalu terkoneksi satu sama lain.
Sekarang Langit dan Ragas malah bersikap seakan tak ada Bastian di sini. Lantas Bastian merasa makin ciut karena kehadirannya bagai setan yang tidak semua orang dapat melihat.
Kemudian pasangan adik kakak itu berbalik masuk ke dalam rumah, meninggalkan Bastian di sana. Baru beberapa kali melangkah, mereka berdua menoleh ke belakang dan heboh sambil menghampiri Bastian lagi.
"Eh, kelupaan kita ada tamu!" seru Ragas sambil menepuk kening.
Langit terbahak keras, ia tak kuasa melihat tampang Bastian. Pasti sekarang Bastian makin merasa canggung tapi juga kesal. Terlihat dari tatapannya yang tak enak dipandang.
"Udahlah, Dik Bastian pulang aja. Jangan dateng ke sini lagi apalagi cuma buat ngebahas istri muda sama istri tua lo. Ga asik," ungkap Langit.
"Tapi gue mau bilangin lo satu hal, Cil. Lo harus tau, Langit nih magnetnya kuat banget buat cewek-cewek. Hati-hati dua istri lo kepincut, xixixi!" Ragas tertawa senang, disusul oleh Langit.
"Apalagi Syadza sekampus sama lo ya, Ngit?" Ragas bertanya disela tawanya.
Langit mengangguk yang bikin Bastian makin kepanasan. Cowok itu menoleh ke belakang, ke arah kumpulan Kazute dan memberi gestur untuk menyerang Langit serta Ragas. Sayangnya hal tersebut tidak semudah itu terjadi.
Apalagi tiba-tiba muncul seorang gadis imut dari dalam rumah dan menghampiri Langit. Tangan kecilnya meraih kelingking serta jari manis Langit dan ia genggam dengan raut khawatir.
Langit menoleh. Bahkan Ragas dan Bastian, serta beberapa anggota Kazute yang jauh di luar pagar langsung memberi perhatian ke Alaia. Paras Alaia mampu menghipnotis mereka dalam beberapa waktu.
"Kirain Angit pergi," celetuk Alaia.
Kalau ada Alaia, rasanya hati Langit langsung adem, perasaannya juga menjadi tenang. Melihat wajah manisnya pun bagai obat yang mampu menyegarkan jiwa.
"Aku di sini kok." Langit tersenyum lebar.
Alaia memberi kode agar Langit membungkuk. Setelah Langit memenuhinya, Alaia pun mendekatkan bibir ke telinga kekasihnya untuk membisikkan sesuatu.
"Aku mau makan," kata Alaia.
"Oh iya, belom makan ya!" Langit hampir lupa.
Alaia mengangguk dan berucap malu-malu, "Tapi ajarin aku masak ya?"
Langit kemudian berdiri tegap dan berpesan pada Ragas untuk mengusir Bastian. Setelahnya, Langit serta Alaia lari-larian ke dapur untuk bereksperimen.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Zito dan Selly menjenguk Kai di Kepolisian Resor alias Polres. Ini adalah tempat di mana Kai ditahan setelah ditangkap di kediaman keluarga Zito. Untuk beberapa waktu Kai akan menetap di sini, sebelum dinyatakan bebas tak bersalah atau harus menerima hukuman.
"Makanya Om jangan jahat!" Selly menyeletuk.
Zito tersentak mendengar putrinya mendadak ngomel. Ia menegur, "Sel, jangan bicara kayak gitu. Ga sopan."
Di hadapan Selly dan Zito ada Kai yang bergeming dengan kaos oranye di badannya. Pembatas mereka hanyalah meja kosong yang besar.
Sejak Selly melaporkan tindak kejahatan Kai, hari itu juga Kai ditangkap dan diamankan oleh pihak berwajib. Selly senang karena akhirnya orang jahat itu tidak bisa berlaku bebas yang menyakiti hati orang lain.
"Maaf, Papa. Tapi Om Kai jahat, makanya sekarang Om dihukum," tutur Selly.
Kai tidak berkata-kata, dia hanya memberi tatapan nyalang pada dua orang di depannya itu. Batinnya memaki dan berharap Selly maupun Zito segera lenyap dari hadapannya.
Ia sudah cukup stress memikirkan uangnya yang makin menipis. Ia harus membayar ini dan itu, bahkan mencoba menyogok seseorang untuk membebaskannya dari tahanan ini. Tapi semua usaha Kai tak membuahkan hasil yang manis.
"Rumah lo ga ada yang urus. Gue ga bisa," ujar Zito.
"Lo emang ga ada gunanya, To. Kehadiran lo tuh cuma jadi parasit di mana-mana. Percuma lo ke sini, yang ada bikin gue makin kesel! Mendingan lo mati ajalah!" Kai jengkel.
"OM!" Selly tidak terima papanya dimaki seperti itu.
"Sst, Selly," bisik Zito yang meminta anaknya untuk tetap tenang.
"Om bakal nyesel udah jahatin Papa. Om ga tau terima kasih. Inget ya, Om, karma itu nyata!" Selly menimpali penuh kegeraman.
"Anak kecil berisik banget! Ga sopan kamu sama Om. Ga inget kalo Om baik sama kamu, suka beliin kamu hadiah," ketus Kai.
"Iya, itu dulu! Sekarang Om kayak monster. Selly ga suka!" Anak itu membalas.
"Omongan Selly nggak main-main, apalagi aku udah sakit hati banget sama perlakuan Om ke Papa aku!" Selly memukul meja dengan satu tangannya yang terkepal.
"Ayo, Pa, kita pulang aja. Biarin Om Kai nggak diurus siapa-siapa. Egois, sih! Sombong!" cibir Selly yang kemudian menarik Zito untuk ikut dengannya.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Selepas makan dan mandi sore, Langit serta Alaia pindah ke ruang keluarga. Di tangan Langit terdapat sampel undangan yang ia ambil dari atas meja ruang tamu. Sambil berjalan menyusul Alaia, Langit memastikan Ragas sudah meninggalkan rumah bersama motor besarnya.
Tadi Ragas berpamitan untuk menjemput Lana dan lanjut ke basecamp Tongkrongan Dewa. Ragas berpesan agar Langit tidak meninggalkan rumah sampai Bunda kembali.
Di ruang keluarga, Alaia duduk manis di sofa sambil memangku bantal kecil. Langit menghampiri, ia memamerkan sampel undangan tersebut.
"Nih, coba kamu liat." Langit meminta Alaia melihat undangan itu.
Alaia membuka undangannya sambil mengamati bentuk serta tulisan yang tertera di sana. Warnanya cantik, nuansanya enak dilihat mata. Bentuknya pun unik alias tidak pasaran.
Undangan itu memiliki kotak sebagai wadah, dan isinya merupakan kaca akrilik dengan ukiran nama pengantin serta sederet informasi lain tentang pernikahan mereka.
"Aia suka, nggak?" Langit bertanya.
Sambil menoleh Alaia mengangguk. "Aku suka. Cantik."
"Gapapa luarnya item?" Langit nanya lagi, untuk memastikan.
"Angit suka item. Jadi, gapapa." Alaia memberi seulas senyum manis.
Alaia memandangi undangan itu lagi dengan senyum yang enggan susut. Kelihatannya Alaia sangat suka dan tidak sabaran melihat nama dia serta Langit terukir di sana.
Sementara Alaia sibuk melihat undangan, Langit beralih mengambil ponselnya yang bergetar tanpa bunyi. Tercantum sederet nomor yang tak Langit kenal. Ia mengernyit sebelum menerimanya.
"Ya, halo?" Langit menyapa.
"Dengan Langit Shaka Raja?" Suara pria menggema di speaker ponsel Langit.
"Iya, ini saya. Kenapa?"
"Saya dari Dream Organizer ingin mengingatkan besok kita mulai survei lokasi foto pre-wedding ya."
Seketika itu mata Langit bersinar dan senyumnya mengembang. "Siap. Nuhun, Mang!"
Sesudah percakapan berakhir, Langit nyengir ke Alaia. Alaia ikut memamerkan gigi yang membuat Langit semakin gemas padanya. Maka Langit mendekat, langsung mencubit pipi Alaia sampai anak itu menjerit.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Malam itu bulan nampak terang. Di bawah langit terdapat banyak manusia melakukan aktivitas yang beragam.
Lana memantau Ragas yang pergi bergabung bersama beberapa lelaki ditambah dua perempuan. Di tangan Ragas terdapat sebotol bir kosong. Kosong bukan karena sudah ia habiskan, melainkan isinya dibuang Lana.
Sempat terjadi adegan keributan kecil antara Lana dan Ragas di sini. Ragas memang tidak bisa benar-benar marah, ia hanya menanggapi celotehan Lana yang melarangnya mabuk. Pada akhirnya, Ragas mengalah dan harus berbesar hati melihat minuman lezat itu terbuang sia-sia tepat di depan matanya.
Lantas Ragas diberi sorak dan ejekan dari teman-temannya. Mereka tertawa bahagia melihat Ragas ciut di depan Lana. Padahal biasanya dia paling gila mabuk, sampai mendapat julukan Dewa Mabok.
"Woi, Ragas!" Lana menghardik saat cowok itu hendak menyentuh sebotol minuman lain.
Ragas tersentak dan langsung menarik tangannya. "Nggak! Cuma liat-liat, sumpah!"
"Awas kalo sampe berani nyentuh." Lana menunjuk Ragas.
Tampang Ragas makin melas. Ia hanya mengelilingi tempat ini tanpa minum-minum. Sesak rasanya melihat para kawan asik menikmati bir, tapi Ragas tak bisa ikutan. Sedih.
Pun Ragas kembali ke Lana dan duduk di kursi kosong di sebelahnya. Lana mengunyah permen karet di mulut sambil menatap Ragas tanpa bicara.
"Sedikit aja," pinta Ragas, memohon.
Lana menggeleng. "Pesen Bunda, lo harus kurang-kurangin mabok! Jangan susah dibilangin napa. Ini kan buat kesehatan."
"Seret tau." Ragas menyentuh leher.
Lana segera beranjak. Ia melirik Ragas yang masih duduk sambil berujar, "Tunggu di sini."
Cewek itu berjalan entah mau ke mana. Ragas mengamati langkah Lana. Bahkan dilihat dari belakang pun Lana nampak menarik. Rambut hitam yang ujungnya berwarna lavender itu digulung hingga memamerkan leher jenjang Lana.
Lana mengenakan baju berlengan pendek dengan celana jogger panjang dan tas kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana. Simple, membuatnya bebas bergerak ke sana kemari.
Sekian detik berlalu, Lana akhirnya kembali. Kali ini tangannya tidak kosong karena ia membawa sebotol air mineral untuk Ragas.
"Minum." Lana menyodorkan minuman tersebut ke Ragas.
Ragas menerima pemberian itu. Sebenarnya yang ia mau minuman soda beralkohol, tapi sepertinya kali ini Dewi Fortuna benar-benar sedang tidak berpihak padanya.
"Abisin sampe mabok." Lana menahan tawa.
Botol itu sampai diremuk Ragas dan airnya habis tak tersisa. Sesudahnya ia bersendawa dan menyentuh perut. Katanya, "Kembung nih lama-lama!"
"Segitu doang kembung," cibir Lana.
"Biar makin kembung, boleh lah minum yang lain—"
"Nggak." Lana menyela. "Bunda sampe nelponin gue mulu tadi, gue diminta pantau lo. Lo nggak kasian sama Bunda? Katanya sedih Bunda sakit."
Perkataan Lana mengunci bibir Ragas untuk bicara. Cowok itu diam dengan mimik muka perlahan berubah menjadi sendu. Ia menatap Lana, lalu menunduk lagi.
"Iya, iya. Gue mau mabok akua aja." Ragas berkata.
Lana tersenyum lebar dan menepuk ringan kepala Ragas. "Good boy."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Lila menangis di hadapan Dara dan Albert. Ia memohon untuk dipisahkan dari Bastian karena sudah tidak kuat menghadapi situasi yang seperti ini.
Dia tak bisa hidup bersama orang yang sama sekali tidak ia cintai. Perasaan yang dulu Lila beri untuk Bastian, kini sudah menghilang. Yang tersisa hanyalah kebencian.
"Aku mau pisah. Aku ga bisa sama Bastian lagi," ungkap Lila dengan air mata berderai.
"Mama Papa tega liat aku kesiksa terus? Kalian mau aku jadi gila gara-gara Bastian?" Lila terisak.
Lila menyentuh perutnya lalu mengusap air mata yang masih terus berjatuhan. "Aku ga mau hidup sama orang yang udah ngerusak aku. Aku mau bahagia. Bastian bukan sumber bahagia aku."
Dara dan Albert mendengarkan semua curahan hati Lila. Mereka belum menanggapi, membiarkan Lila meluapkan segala sesak di hatinya. Dara setia mengusap bahu Lila demi memberi ketenangan dan kehangatan pada sang anak.
"Aku mau cerai. Aku mau hidup normal lagi. Aku ga mau di rumah sakit terus," ujar Lila.
"Aku stress gara-gara dia, Ma, Pa. Aku capek," lanjut Lila yang tangisnya semakin membesar.
Lila menatap Dara dengan kilat mata penuh permohonan. "Aku ga sanggup hidup sama Bastian. Dia maksa aku terus. Dia ngekang aku."
Ketenangan mereka bertiga harus terusik saat seseorang masuk ke ruangan ini. Dia adalah orang yang menjadi topik pembicaraan Lila. Ya, siapa lagi kalau bukan Bastian.
Bastian datang dengan membawa bingkisan untuk Lila. Senyumnya bagai bencana bagi Lila. Ia sangat tidak suka melihat senyuman itu.
Setelah menaruh bingkisan berisi makanan tadi di atas nakas, Bastian pun mendekat ke Lila. Ia menyapa, "Hai, Sayangku. Cantik banget sih. Tapi kenapa nangis?"
"NGAPAIN LO KE SINI?!" Lila teriak, seperti biasa amarahnya selalu meledak-ledak tiap melihat Bastian.
Dara dan Albert segera melerai. Dara meminta Bastian untuk keluar, tapi anak itu menolak dengan alasan rindu pada Lila. Bastian sampai harus memelas di depan Dara serta Albert agar tidak mengusirnya.
"Kenapa sih Sayang?" Bastian heran.
Lila semakin kejer. Dia menarik tangan Dara dan berseru untuk mengusir Bastian dari sini. Lila kalap, dia memukul-mukul kasur menggunakan tangan juga kakinya.
"PERGI!" Lila menghardik Bastian.
"Kok kamu gitu sama aku? Berani kurang ajar sama suami sendiri?" Bastian menahan tangan Lila yang hendak memukulnya.
"Lo bukan suami gue. Gue mau pisah!" balas Lila, matanya mendelik tajam.
Bastian tertawa sambil menggeleng. "Aku nggak bakal lepasin kamu. Kamu lupa? Udah berapa kali kamu nyoba lepas dari aku, ujung-ujungnya selalu gagal. Itu artinya kamu ditakdirin buat aku, Lila. Percuma kamu marah-marah sekarang, itu nggak bakal ngebuat aku mau pisah dari kamu."
Lila gemas ingin membunuh cowok itu. "Tapi gue ga bahagia sama lo, Bastian! Batin gue kesiksa!"
Bastian melirik Dara dan Albert tanpa sepengetahuan mereka. Ia ingin mencari perhatian dan tak mau terlihat buruk di hadapan kedua mertuanya itu.
"Kamu kenapa sih... padahal aku bersikap baik terus sama kamu. Apapun yang kamu minta, pasti aku penuhin. Sekarang kamu malah minta cerai. Gampang banget ya kamu permainin aku?" Bastian berucap seakan ia yang paling tersakiti di sini.
"Yang ada itu lo yang mainin gue!" sentak Lila, menyecar.
Bastian menggeleng. Ia mengusap wajah dan menghela napas panjang. Cowok itu menampilkan tampang lelah yang bercampur keheranan.
"Kamu begini pasti karena ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari aku, kan?" Bastian menatap Lila. "Ga mungkin kamu tiba-tiba minta pisah. Pasti ini ada yang ga bener."
Kemudian Bastian menyipitkan mata dan menatap Lila curiga. "Kamu punya simpenan ya?"
"Apa sih!" Lila kesal.
"Aku yakin, itu alesan kamu minta cerai kan? Kamu punya pacar di belakang aku." Bastian menuduh. "Ya Allah, kamu tuh bikin aku sakit hati terus, La. Kapan sih mau nerima aku? Aku udah kasih yang terbaik buat kamu. Kamu malah khianatin kepercayaan aku."
"GILA! LO KALI YANG PUNYA SIMPENAN, SAMPE BIKIN DIA HAMIL!" Lila memekik hingga air mata itu meleleh dari ujung matanya.
"Kok nuduh aku? Kamu yang punya pacar lagi, kenapa malah aku yang kena." Bastian terheran-heran.
Dara dan Albert meminta mereka untuk berhenti bertengkar. Albert segera membawa Bastian keluar, sedangkan Dara menenangkan Lila yang makin histeris karena omongan suaminya.
Keributan ini masih terus berlangsung karena Lila tak henti berteriak dan memaki Bastian dari dalam kamar. Mendengar suara Lila bikin Bastian mau tertawa, namun ia menahannya mati-matian sebab di sampingnya ada Albert.
Lalu ekspresi Bastian berubah lagi menjadi lebih suram. Ia menatap Albert yang kemudian berpamitan pergi. "Saya pulang, tiba-tiba ga enak badan. Permisi, Pa."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Pagi itu langit belum cerah, tetapi Alaia dan Langit sudah bergegas meninggalkan rumah. Usai sarapan bersama Bunda beserta Ragas, pasangan calon pengantin itu pamit untuk mengurus sesuatu di luar sana.
"Hati-hati, ya," pesan Bunda.
Alaia dipeluk Bunda. Gadis itu merasakan belaian lembut di bagian kepala. Bunda sangat menyayangi Alaia, rasanya tidak bisa berjauhan darinya dalam waktu lama.
"Dede Gemes gue jangan lupa lo kasih makan. Jangan jajan sembarangan!" seru Ragas.
"Iye!" Langit menyahut.
Ragas dadah-dadah ke Alaia yang tentunya dibalas. Mereka terlihat lucu, bikin Bunda makin senang. Lantas Langit meraih tangan Alaia dan mereka beranjak menghampiri mobil yang terparkir di garasi.
Sambil menoleh ke Bunda, Langit mengucapkan sesuatu. "Nanti aku sekali mau liat rumah."
Bunda mengangguk.
"Cari di deket pantai ya, biar Alaia seneng," sahut Ragas.
Langit melirik kakaknya dan berpikir kenapa Ragas bisa bilang seperti itu. Apa hanya kebetulan, atau sebenarnya Ragas memang tau rahasia Alaia?
Ah, sepertinya nanti Langit harus menginterogasi Ragas. Ditambah lagi Alaia belum—atau mungkin lupa menceritakan perjalanan dia mencari orang tuanya di laut. Berarti tugas Langit adalah menagih itu semua dari mereka.
Setibanya di dalam mobil, Langit maupun Alaia memasang seatbelt kemudian mesin mobil mulai dinyalakan oleh Langit. Bunyi klakson terdengar, dilanjutkan mobil bergerak keluar dari area rumah.
Perjalanan kali ini diisi keseruan Langit dan Alaia yang bernyanyi mengikuti lantunan radio. Alaia tidak tau lagunya, sedangkan Langit tau. Tapi Alaia mencoba mengikuti dengan suaranya yang lembut dan begitu merdu.
Setiap dengar nyanyian Alaia, Langit seakan merasa dirinya berada di atas awan. Nada-nada yang tercipta membuat Langit hampir kehilangan kesadaran karena terlena oleh suara itu.
Bukannya berlebihan, namun setiap manusia yang mendengar nyanyian Alaia, pasti akan merasakan hal seperti yang Langit alami.
"Aia," panggil Langit seraya mengecilkan volume radio.
Alaia menghentikan senandungnya, ia menoleh ke Langit dengan tatapan polos bagai bayi tak berdosa. Bahkan tatapannya pun mampu melemahkan Langit.
Langit memeras pikiran, mencari cara agar Alaia tidak bernyanyi lagi untuk saat ini. Ternyata suaranya memiliki efek berbahaya bila didengar ketika sedang berkendara. Maka pilihan Langit jatuh ke pertanyaan yang ia simpan sejak tadi.
"Gimana perjalanan kamu di laut? Ketemu orang tua kamu nggak?" Langit bertanya.
Alaia menggeleng. "Belum ketemu, Langit."
Lagi, Langit mengajukan tanya. "Terus?"
Lalu mengalirlah cerita Alaia tentang dirinya yang bertemu makhluk sebangsa dia di lautan dalam. Semua kejadian yang dialaminya tak satupun terlewat untuk diceritakan kepada Langit.
Sambil tetap mengamati jalanan, Langit mendengarkannya dengan cukup baik. Tak jarang ia terkagum akan kisah Alaia. Apalagi saat gadis itu berkata bahwa dirinya memiliki nama asli.
Yang paling Langit tidak sangka adalah; calon istrinya ini seorang dewi lautan. Tak sebanding dengan dirinya yang hanya manusia biasa.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Alaia berdiri di tangga dermaga sambil mengucek matanya yang perih akibat terhempas pasir pantai. Langit yang sibuk menyedot air kelapa langsung menaruh buah tersebut di atas meja, kemudian menghampiri gadisnya yang menderita di sana.
Langit mendekat, membawa Alaia duduk di salah satu anak tangga. Cewek itu menunduk sambil menutup mata kiri, dia sama sekali tak mengeluarkan suara.
Maka Langit berjongkok di hadapannya, menyingkirkan rambut panjang Alaia yang menghalangi wajah. Langit bertanya, "Kelilipan?"
Alaia cemberut. Langit menjauhkan tangan Alaia agar berhenti mengucek terus. Kalau mata kemasukan pasir, jangan dikucek. Gesekannya menimbulkan luka di mata yang membuatnya makin merah.
"Mana, sini aku liat matanya." Langit menyentuh wajah Alaia, membuatnya menatap dia.
Sekarang terlihat mata kiri Alaia menyipit karena terjadi iritasi di sana. Langit meringis. Ia menyuruh Alaia berkedip beberapa kali agar perihnya berkurang.
"Tunggu di sini ya, aku cari obat tetes mata." Langit berucap. "Jaga matanya, biar ga kena debu lagi."
Sebelum pergi, Langit melepas jaketnya untuk menutup kaki Alaia karena Alaia mengenakan dress pendek. Ketika angin datang, dress itu selalu hampir tersibak.
Bagian lengan panjang jaket Alaia gunakan untuk melindungi mata dia. Hari-hari lalu Alaia pernah kelilipan juga, namun tidak separah sekarang. Mata Alaia menjadi panas karenanya.
Langit pergi menghampiri tim dari Dream Organizer. Ia bertanya, adakah yang mempunyai obat mata. Beruntung salah seorang fotografer membawa berbagai obat untuk berjaga-jaga bilamana terjadi celaka.
"Saya ada, sebentar ya!" ucap pria yang mengenakan topi putih itu.
Langit mendekat, mengamati pria itu mengubek isi tasnya demi mencari obat mata. Sambil menunggu, Langit menoleh ke Alaia dan memastikan anak itu masih menetap di sana.
"Oh, kayaknya di tas yang satu lagi." Pria tadi berujar, seketika berlari ke mobilnya yang terparkir di dekat mobil Langit.
Langit mengikuti jejaknya. Ketika Langit tidak lagi mengawasi Alaia, seseorang datang menghampiri perempuan itu sambil menatap lengannya yang tidak tertutup apapun.
Seseorang pemilik rambut dengan warna ash blue.
Di lengan kanan Alaia memang nampak mulus tanpa adanya gambar ataupun cacat di sana. Tapi, lelaki itu mampu menerawang simbol bulan yang terlihat samar-samar.
Lelaki tadi berhenti di jarak satu meter dari Alaia. Ia diam, begitu juga Alaia yang belum menyadari kehadirannya karena masih menunduk sambil menutup mata.
"Kamu kenapa di sini? Bukannya daratan bahaya buat kamu?"
Suara berat itu membuat Alaia menengadah, menemukan sosok asing yang tentu tak ia kenal. Ini adalah pertama kali Alaia melihatnya, maka ia bingung harus beraksi seperti apa.
Tidak mendapat jawaban dari Alaia bukanlah masalah besar bagi dia. Dia mengisi kekosongan di samping Alaia, duduk serong menghadap gadis cantik itu.
Dia menyentuh lengan Alaia, jemarinya bergerak menyapu permukaannya. Tangan dia mulus, setipe dengan kulit milik Alaia.
"La Luna," sebutnya.
Alaia bergeser, ia tidak mau disentuh sembarangan seperti itu. Apalagi Langit pernah mengingatkannya untuk waspada terhadap orang yang tak dikenalnya.
Mata indah Alaia bertemu dengan iris kelabu milik lelaki ini. Rambut birunya bergerak-gerak seirama goyangan angin. Karena ditatap Alaia terus, alis lelaki itupun terangkat satu dengan senyum tipis yang membuatnya terkesan lebih cakep.
"Kamu siapa?" tanya Alaia kemudian.
Lelaki tadi tersenyum maklum. "Seharusnya kamu tau. Kamu ga bisa rasain koneksi kita?"
Alaia menggeleng. Ia tidak tau nama lelaki itu, tak juga tau siapa dirinya. Apakah sebangsa dengan Alaia atau manusia seperti Langit.
"Kamu terlalu lama hidup di darat, sampai lupa jati diri kamu." Si Rambut Biru bertutur.
"Aku selalu nunggu kamu pulang. Kamu paham apa itu rindu?" Dia melanjutkan lagi.
Alaia mulai cemas. Ia menoleh ke tempat Langit pergi, melihat cowok itu berjarak cukup jauh darinya. Langit sedang berjalan ke arah dermaga bersama pria bertopi putih tadi, namun sama sekali tak melirik Alaia.
"Ternyata ada banyak kesalahan setelah kamu pergi. Kesalahan yang seharusnya nggak pernah ada," ungkap lelaki ini.
Ia menambahkan, "Sekarang aku mau tes kekuatan pikiran kamu. Kamu liat mata aku, fokus, gunain akalmu buat cari tau namaku."
Alaia takut namun ia tetap melakukannya. Mungkin lelaki ini adalah kunci atas kebingungan Alaia? Mungkinkah orang ini mampu membantu Alaia mengembalikan jati dirinya? Karena selama ini Alaia bertingkah seperti orang bodoh yang sangat berbanding terbalik dengan dirinya yang sebenarnya.
Mata Alaia terpejam. Kepalanya sedikit pusing, bersamaan tubuhnya agak bergetar. Di jauh sana, Langit hampir tiba. Cowok itu melihat Alaia bersama lelaki lain yang membuat Langit bertanya-tanya.
Ketika Langit semakin mendekat, di detik yang sama Alaia berhasil menemukan dua kata yang muncul dalam benaknya. Ia kembali menghadap lelaki ini dan menyebut namanya yang ternyata benar.
"Mavi Aozora."
⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️
Apa kalian setuju Lila-Bastian cerai?
Sebenernya Alaia bego atau pinter?
Menurutmu, Mavi bakal jadi tokoh parasit atau penting?
—————————————————
—————————————————
kamu suka tipe gaun nomor berapa?
1
2
—————————————————
desain rumah mana yang kamu suka? 🏡
1
2
3
—————————————————
—————————————————
haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕
social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid
—————————————————
➡️ READERS ALAÏA WAJIB FOLLOW DI IG! ⬅️
— @alaiaesthetic
— @langitshaka
— @ragascahaya
see you babies 🕊👼🏿
👁 🌚 👁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro