27. Jalan Kita
27. Jalan Kita
Selly sedang seru melakukan tarian di depan kamera ponsel. Ia bergerak sesuai irama musik dan sesekali tertawa karena lupa koreografinya.
Gadis kecil itu berputar, memainkan tangan, juga memamerkan ekspresi yang membuatnya terlihat makin asyik.
Keseruan itu harus terjeda ketika ada tamu datang dan mengetuk pintu tanpa henti. Selly menoleh, kemudian mematikan ponsel dan melangkah cepat keluar dari ruang keluarga.
Derap langkah Selly menciptakan bunyi sendal yang bersentuhan dengan lantai. Sambil mendekat ke pintu ia berseru, "Iya, tunggu!"
Lalu Selly membuka pintu dan menemukan tamu tersebut. Senyum Selly memudar, terlihat tak senang akan kedatangan orang itu.
"Anak bandel," celetuk Kai tiba-tiba.
Selly membulatkan mata, terkejut. "Kok Om ngatain aku?"
"Emang kamu nakal. Sama aja kayak Papa kamu. Pasti diajarin sama dia kan?" ceplos Kai.
Yang Selly rasakan sekarang adalah kesal bercampur malas menghadapi Kai. Wajah Selly menunjukkan ia marah, bahkan anak itu tak segan meninju perut Kai dengan kepalan tangannya yang kecil.
"Om nyebelin!" Selly berseru.
Kai tak peduli. Pukulan Selly sama sekali tak menyakiti perutnya. Pria itu nyelonong masuk, seraya berteriak memanggil Zito untuk keluar.
Selly bertambah dongkol. Ia meraih satu tangan Kai dan menahan orang itu untuk masuk semakin dalam ke rumahnya. "Papa nggak ada!"
"Ada! Om nggak percaya lagi sama kamu," sentak Kai.
Selly terus-menerus mencegah Kai menelusuri rumah ini. Ia tak ingin Kai merusak suasana rumah. Ia tidak rela lantai rumahnya diinjak manusia jahanam itu.
Keberanian Selly membuatnya sama sekali tak kepikiran untuk menyerah melawan Kai. Ia ingat pesan orang tua dan gurunya yang menanamkan ajaran untuk tidak berlaku kurang ajar terhadap orang lain. Tapi, Selly tak bisa menerapkannya pada Kai.
Sebelum Kai mengacaukan isi rumah, Selly dengan cepat menggigit tangan Kai sangat kencang hingga pria itu memekik dan mendorong Selly menjauh darinya.
Selly hampir tersungkur. Ia segera melepas satu sendalnya dan memukul Kai menggunakan benda itu. Selly juga mengusir, "Pergi! Pergi!"
"Berisik!" Kai membentak.
Selly menatap Kai sangat nyalang. Dia berlari ke luar rumah dan berteriak nyaring upaya mengundang warga yang mendengar untuk datang.
"TOLONG! ADA MALIIING!" Selly memekik.
"TOLONGIN SELLY! TOLONG!"
Suara Selly membuat Kai panik teramat sangat. Selly nengok ke belakang, ia bergegas ke pintu untuk mengambil kunci. Gerakan Selly terbilang cepat dibanding Kai.
Setelah berhasil mengambil kunci yang tersangkut di lobang bagian dalam pintu, Selly langsung keluar dan mengunci Kai di dalam rumahnya.
Kai menggedor papan berbahan kayu jati tersebut, tapi tak dihiraukan oleh Selly. Gadis itu malah lanjut teriak memanggil warga hingga mereka berdatangan untuk menolongnya.
"Ada orang jahat di rumah aku. Aku takut, Om!" Selly mengadu pada beberapa pria yang datang.
"Mama Papa kamu mana, Sel?" tanya seorang bapak muda bertubuh kurus.
"Pergi, Om. Aku sendirian," ungkap Selly.
Selly menyodorkan kunci rumahnya, membiarkan mereka yang membuka. "Aku takut, orang jahat itu ngancem-ngancem keluarga aku terus. Kesian Mama Papa aku. Sekarang dia dateng cari-cari Papa sampe masuk ke rumah padahal nggak aku izinin. Itu namanya nggak sopan kan, Om!"
"SELLY!" Kai memanggil, nadanya galak.
Secepat itu Selly bersembunyi di balik tubuh lelaki berbadan tambun. Ia berkata, "Om... boleh pinjem hape? Hape aku di dalem rumah."
"Ini. Pake aja, Sel," ucap lelaki tadi seraya menyerahkan ponselnya ke Selly.
Sembari Selly mengetik nomor darurat, bapak-bapak tadi mulai membuka pintu dan siap bertemu Kai. Selly menjauh, ia menekan ikon bergambar gagang telepon pada layar ponsel dan menunggu panggilannya diangkat.
Di waktu yang bersamaan ketika para bapak itu masuk ke dalam rumah, panggilan Selly pun diterima pihak sana.
"Halo, Pak Polisi!" Selly menyapa.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Sesuai yang dibicarakan Bunda dan Nana kemarin, hari ini mereka pergi ke rumah sakit. Selama di perjalanan, Bunda nampak jauh lebih kalem daripada hari-hari biasa.
Bunda yang terlahir kalem, semakin kalem karena keadaan ini.
Ketika mereka tiba di rumah sakit pun Bunda tetap seperti itu. Beliau lebih banyak tersenyum dibanding berbicara. Nana memiliki banyak pertanyaan dalam benak, tapi tak satupun ia ajukan.
"Nana, di sini ada kantin yang jual makanan enak-enak. Kalo kamu bosen nunggu saya, ke sana aja ya," ujar Bunda.
Nana mengangguk dengan senyum tipis di wajah. "Aku di sini aja, biar kita ke kantinnya bareng."
Bunda terkekeh ringan. "Ya udah. Tunggu ya... kayaknya nggak terlalu lama."
"Iya, Bun," balas Nana.
Pun Bunda berbalik dan berjalan sendirian menuju ruangan Dokter yang biasa ia temui akhir-akhir ini. Nana terdiam di posisinya, lalu menempatkan diri di kursi panjang.
Helaan napas Bunda terdengar panjang kala ia membuka pintu. Kedatangannya diberi sambutan sederhana oleh Dokter cantik bernama Leora itu.
Bunda duduk di hadapan Leora, siap mendengar apapun yang disampaikan Sang Dokter. Ia akan menerima segala yang akan terjadi ke depannya nanti.
Bermenit-menit mereka berbincang serius. Bunda meresapi semua ucapan Leora. Bunda sama sekali tak menyela ataupun menunjukkan sikap tak suka, benar-benar pribadi yang sopan dan baik hati.
Apa yang dituturkan Leora akan Bunda sampaikan ke Ayah, namun tidak ke anak-anaknya. Sesungguhnya Bunda dilema, tapi mungkin akan lebih baik bila hal ini tetap ia simpan berdua Ayah.
"Ibu nggak boleh stress. Nggak boleh terlalu capek, harus lebih banyak istirahat," pesan Leora.
"Satu hal yang bawa pengaruh baik buat Ibu yaitu keluarga. Vibes positif dari mereka pasti bikin Ibu lebih semangat, lebih nyaman, lebih kuat." Leora mengukir senyuman. "Jangan ada yang disembunyiin ya? Demi kebaikan Ibu."
"Saya sering ketemu pasien yang seperti itu. Alesannya takut anak atau orang tuanya stress denger dia sakit. Padahal itu bukan jalan terbaik," tutur Leora.
"Peran keluarga sangat penting. Apapun masalah atau hal berat yang kita alami, pasti tetep butuh peran mereka untuk jadi penyemangat dan penyembuh rasa sakit kita, kan?" Leora berucap lagi.
Bunda terenyuh. Ia menatap Leora seraya mengangguk samar. Lalu Leora menyentuh tangan Bunda, sekadar menepuknya atas dasar menyalurkan kehangatan.
Leora lalu menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Usai mencatat, beliau menengadah melihat Bunda. "Tiga hari dari sekarang jadwal Ibu operasi, ya."
Bunda lagi-lagi memanggut. Setelah pertemuannya dengan Leora berakhir, Bunda segera beranjak dan pamit.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Kejadian di pantai kemarin bikin Ragas tak bisa tidur semalaman. Sekarang dia sedang duduk di dekat kolam sambil melamun memikirkan dua perempuan. Alaia dan Lana.
Cuaca yang sedikit mendung membuat Ragas betah berada di halaman belakang rumah. Karena bila matahari memancarkan terik yang menyengat, Ragas sudah pasti memilih diam di dalam rumah.
"Langit tau ga ya, Alaia ternyata sekeren itu? Penguasa laut?" Ragas bermonolog, dia terheran-heran.
"Gila! Calon adik ipar gue bukan orang biasa!" lanjut Ragas, berseru penuh rasa kagum.
"Terus, calon pacar gue juga kayak avatar!" Ragas menambahkan.
"Eh, pede banget gue nyebut dia calon pacar." Ragas menyentuh kepalanya yang pening. "Ah, tapi gapapalah! Omongan adalah doa, hehehe."
Ternyata reaksi Ragas terhadap kehidupan asli Alaia tidak sesantai Langit. Ketika Langit pertama kali melihat Alaia memiliki ekor, responsnya sangatlah di luar nalar. Biasanya orang akan terkejut bahkan teriak, tapi Langit malah diam seakan apa yang ia lihat hanyalah hal biasa.
Mungkin ketika Ragas melihat Alaia punya ekor, dia akan heboh sampai kehabisan napas lalu pingsan.
Saat ini Ragas sedang serius berpikir tentang Alaia. Saking seriusnya, dia seketika terkejut ketika mendengar suara lelaki muncul dari arah belakang.
Ragas menoleh, melihat Langit datang sambil berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Mimik Langit memperlihatkan dia sedang tak mengerti akan sesuatu.
"Kapan saya pesen?" Langit bertanya.
Di seberang sana, orang itu menyahut. "Ini benar Langit Shaka Raja, kan?"
"Ya bener," kata Langit.
"Iya, beberapa hari lalu Anda bersama pasangan Anda datang ke butik kami untuk memesan gaun dan tuxedo. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa pesanan itu akan selesai dikerjakan dalam waktu dua minggu."
"Ini nipu ya?" celetuk Langit.
Ucapan Langit mencuri perhatian Ragas. Cowok itu beranjak dan mendekati adiknya untuk menguping pembicaraan mereka.
Ragas bicara tanpa suara, "Kenapa? Siapa tuh?"
Langit menatap Ragas dan menyerahkan ponselnya ke dia. "Nah, lo aja yang ngomong."
"Lah, ini siapa, Asu?" Ragas bertanya-tanya.
Langit tak menjawab, malah duduk di tepi kolam tempat di mana Ragas singgah tadi. Ragas menempelkan layar ponsel ke dekat telinga kiri dan bicara pada orang itu.
"Kenapa nih?" tanya Ragas.
Kemudian orang tadi menjelaskan secara detail agar tidak terjadi salah paham. Selama mendengarkan omongan wanita itu, Ragas mendengus sambil menatap Langit. Kakak dan adik itu saling melempar tatap, seakan bicara lewat tatapan.
Sehabis berbincang dan Ragas paham atas semua perkara ini, ia pun mematikan sambungan telepon dan menoyor kepala Langit seraya mengembalikan ponselnya.
"Bolot," cibir Ragas. "Itu orang yang ngurus pakean lo sama Alaia buat nikah nanti. Pikun banget sih, Ngit?!"
"Nikah apaan!" Langit rasa ia tidak memiliki rencana seperti itu.
Ragas berkacak pinggang. Dia menunjuk-nunjuk wajah Langit sambil bertutur, "Gue curiga lo sama Alaia lagi ribut. Lagi marahan ye? Sampe pura-pura ngelupain semua tentang lo berdua. Sampe Alaia kabur dari rumah."
"Bener-bener lo, Ngit!" Ragas hendak menyentil jidat Langit, tapi adiknya sangat cepat menghindar.
"Ga jelas lo!" Langit kesal, merasa difitnah.
"Lo!" cetus Ragas.
Malas ribut, Langit memilih minggat dari sini. Ketika Ragas pengin ikut juga, Langit langsung ngomel dan menyuruh kakaknya itu untuk diam di tempat ini.
"Ga usah ngikut! Muka lo bikin gue kesel," ceplos Langit.
"Angit kok tega sama Aa?" Ragas menyambar, wajahnya sangat melas.
Dengan juteknya Langit keluar dari halaman belakang dan menutup pintu kaca itu. Ia meninggalkan Ragas di sana. Lalu Ragas nemplok di balik pintu, mengamati Langit yang menjauh darinya.
Merasa diperhatikan, Langit nengok sambil melayangkan tatapan tajam. "Jangan liatin gue!" pekiknya.
"Galak pisan!" cebik Ragas.
Terkadang posisi Langit dan Ragas seperti tertukar. Ragas sebagai adik, Langit sebagai kakak. Ragas cenderung lebih cerewet dan menyebalkan seperti seorang adik nakal yang selalu senang membuat kakaknya marah.
Ragas juga yang akan merasa kehilangan bila Langit tak ada di dekatnya. Seakan hidup Ragas hampa tanpa Langit.
Untungnya anak-anak Bunda tidak pernah benar-benar musuhan. Mereka berdua akur dan kompak. Salah satu kekompakan mereka ialah kompak menciptakan keributan.
Layar ponsel Langit masih menampilkan foto dirinya bersama Alaia. Tapi perhatian Langit tidak tertuju ke sana, melainkan ke jam yang tertera.
Hari menjelang sore, Langit khawatir karena Bunda belum pulang.
Cowok itu jalan ke pintu utama rumah. Ketika ia menarik pintu untuk dibuka, di detik yang sama seseorang juga memegang gagang pintu dari luar. Sontak orang itu terkejut karena tangannya tertarik dan badannya ikut bergerak ke depan.
"K-kaget," gumam Alaia.
Jantung Alaia memompa amat kencang saat ia lihat siapa yang muncul di hadapannya ini. Wajah Langit berada sangat dekat dengannya, karena posisi mereka pun hampir tak berjarak.
Langit mundur, memberi jarak satu meter dengan Alaia. Alis tebal Langit bergerak naik, ia menatap Alaia sambil mengingat wajah cewek di galeri ponselnya.
"Siapa?" Langit bertanya, suara beratnya membuat dada Alaia mendesir.
"Alaia," jawabnya.
Nama itu adalah nama yang sejak kemarin disebut-sebut Ragas dan Bunda. Langit menilai, ternyata wujud 'Alaia' seperti itu. Memang cantik, bahkan sangat cantik, tapi Langit tidak mengenalnya meski orang-orang meyakinkan bahwa ia sangat kenal Alaia.
Kini mata Langit tertuju ke tangan Alaia, melihat salah satu jarinya yang disematkan cincin. Langit juga melirik cincin miliknya. Bentuknya beda, tapi entah bagaimana ia jadi teringat video di galeri itu. Video yang menunjukkan ia bertunangan dengan Alaia.
"Boleh masuk, nggak?" tanya Alaia.
Langit mengerjap mata, berhenti berpikir tentang cincin. Ia nanya balik, "Mau ngapain? Cari siapa?"
Alaia bingung harus menjawab apa. Ia memainkan jari pertanda dirinya gugup. Sambil menunduk, Alaia berkata, "Mau makan. Aku laper."
Jawaban Alaia bikin Langit terdiam. Ia masih memandangi Alaia sampai cewek itu mendongak lagi untuk membalas tatapannya. Ketika mata mereka bertemu, kedua jantung mereka berdegup cepat dalam hitungan detik.
Dari tatapan Alaia, terlihat jelas ia rindu Langit. Sayangnya cowok itu tak menyadari. Yang Langit lihat hanyalah mata bulat beriris biru keabuan, dengan tatapan biasa.
Untuk menyudahi momen saling pandang, Langit segera membuka jalan agar Alaia masuk ke rumah. Alaia tersenyum, senyuman yang selalu bikin Langit merasa tenang.
Cewek itu berlarian kecil ke dapur untuk mencari minum karena selain lapar, dia juga haus. Langit mengikutinya ke dapur dan berdiri di ambang pintu sambil bersedekap.
Dalam diam Langit memindai Alaia dari atas hingga bawah, merasa aneh dengan pakaiannya. Bagaimana tidak, Alaia hanya mengenakan kain yang melilit di tubuhnya, seperti seseorang baru selesai mandi dan membungkus badan dengan handuk besar. Alaia juga tidak memakai alas kaki, kaki putihnya itu nampak kotor.
"Lo nggak pake baju?" tanya Langit.
Alaia tertoleh dengan pipi mengembung berisi air. Dia mengangguk sambil menelan air itu. "Nggak ada. Jadinya aku pakai kain yang hanyut di laut."
"Lo abis dari pantai?" Langit memiringkan kepala.
"Iya."
"Lo dari pantai ke sini pake gituan doang?" heran Langit. "Nggak pake sendal juga? Pantai kan jauh."
Terlihat Alaia memberi seulas senyum kecil. "Cuma ini yang bisa aku lakuin biar bisa ketemu kamu."
Ucapan itu berhasil membuat Langit tak bicara lagi. Alaia tertunduk melihat kakinya yang dihiasi abu jalanan serta luka lecet yang jumlahnya tak sedikit.
Alaia menatap Langit takut-takut, ia merasa bersalah. "Aku bikin lantai rumah kamu kotor ya?"
Kemudian Alaia beranjak, ingin keluar dari sini agar Langit tak marah padanya. "Aku pergi dulu, aku mau cari pembersih lantai. Tunggu ya!"
"Nggak usah," cegah Langit. Ia menahan langkah Alaia.
Sentuhan Langit pada lengan Alaia bagai listrik statis yang memberikan efek getaran dalam diri gadis itu. Apalagi saat Langit berkata, "Cuci kaki aja, nggak usah bersihin lantai. Biar gue yang bersihin nanti."
Mata Alaia berbinar. Meskipun Langit tak ingat siapa dirinya, namun ternyata sikap manis Langit terhadapnya masih ada.
"Iya," ucap Alaia, suaranya kecil.
Setelah itu Alaia lari ke toilet untuk membersihkan kaki. Langit menunggu di dapur sambil mengecek makanan apa yang tersimpan di lemari. Ia membuka lemari besar dan menemukan beberapa masakan Bunda.
Langit tak menyadari Ragas baru saja muncul di belakangnya. Tiba-tiba cowok itu hadir di sini dan mengendus aroma masakan Bunda yang selalu membuat perutnya berteriak minta diisi.
"Jadi laper," celetuk Ragas.
"Anjing!" Langit terlonjak kaget dengan kehadiran manusia yang nongol bagai hantu tak diundang.
Melihat Langit terkejut seperti itu bikin Ragas terbahak keras, merasa bahagia melihat adiknya menderita. Ia berseru, "Panik ya!"
Langit sama sekali tak mendengar derap kaki Ragas. Makanya ia tidak menyadari cowok itu ada di sini. Ditambah lagi tadi Ragas bicara tepat di dekat telinga Langit, jelas saja dia kaget.
Kala Langit dan Ragas berseteru adu mulut, Ragas mendadak berhenti ngoceh ketika ia menoleh ke seorang perempuan yang muncul di ambang pintu.
Senyum Ragas melebar, dia langsung lari mendekat seraya menyerukan namanya, "Alaia!"
Ragas memeluk Alaia sangat erat, layaknya seorang kakak yang merindu adiknya. Alaia membalas pelukan itu dan memekik ketika Ragas mengangkat tubuhnya dan berputar-putar sambil berseru senang.
"Alaiaaa!" Ragas begitu bahagia dan lega akhirnya Alaia pulang.
"Abaaang!" balas Alaia, tak kuasa menahan gelak tawa.
Mereka terlihat amat serasi, sampai Langit terlupakan. Cowok itu menutup lemari makan agak kasar sampai menimbulkan suara besar. Wajah datar Langit bikin senyum Alaia perlahan hilang, tampangnya berubah jadi gamam alias takut-takut.
Langit meninggalkan dapur tanpa berucap sepatah kata. Sikapnya membuat Ragas makin senang menggoda agar Langit kesal. "Cembuwu ya? Makanya calon istri jangan sok dilupain... diambil gue kan jadinya."
Ragas tidak tau bahwa Langit betulan lupa Alaia.
Tapi, melihat Alaia semesra itu dengan Ragas ternyata bisa bikin Langit kehilangan mood-nya.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Ini adalah malam yang suram bagi Lila. Seharian ini ia mogok makan dan minum, yang ia lakukan hanya melamun sepanjang hari. Hingga malam tiba, Lila masih tetap seperti ini.
Ia menunggu Langit hadir menemaninya, tapi cowok itu tak kunjung datang. Dara sudah mengingatkan Lila untuk tidak berharap pada Langit, namun omongannya dianggap angin lalu oleh sang anak.
Ketika handle pintu bergerak dan pintu terbuka, Lila kontan menoleh dengan senyum lebar karena ia pikir itu Langit. Ternyata yang muncul malah Bastian.
Bastian tidak sendiri, ia bersama Syadza.
"Malem, semuanya." Bastian menyapa.
Dua orang itu menghampiri Lila dan berdiri di dekat brankar. Tidak lupa Bastian menyalim tangan Dara agar tak dianggap menantu tak beradab.
"Sayangku udah makan, belom? Kok pucet banget?" Bastian bertanya pada Lila.
"Berisik!" Lila menyentak.
Mata Lila beralih ke Syadza, menatap cewek itu dengan tatapan tak suka. Padahal Syadza tidak bertingkah, melainkan bersikap cukup tenang.
"Ih, galak banget," kekeh Bastian seraya mengelus kepala Lila.
Lila marah, tidak suka disentuh Bastian. Dia memukul cowok itu penuh amarah. "Nyebelin! Pergi sana!"
Syadza menyeletuk. "Jangan kasar sama Bastian. Dia udah baik-baik sama lo. Tau diri dikit dong."
"APA! NGGAK USAH NGOMONG SAMA GUE!" Lila membentak Syadza.
Dara segera menenangkan anaknya agar berhenti berucap kasar. "Lila... jangan begitu. Temen kamu cuma ingetin kamu, kamu jangan marah."
"NGGAK!" Lila menatap nyalang ibunya.
Bastian menepuk bahu Dara dan mengusapnya pelan. "Ma, sabar ya. Mama baru tau kan kalo Lila suka nyentak-nyentak begitu? Apalagi sama aku. Tapi gapapa, aku tahan kok sama dia. Kayaknya aku terlalu sayang."
"NGGAK!" Lila menghentak kakinya di kasur, dia semakin kesal.
"Ma, Mama boleh keluar sebentar, nggak? Aku mau ngomong sama Lila." Bastian meminta. "Temen aku juga ikut, soalnya dia terlibat."
Tanpa menunggu persetujuan Dara, Bastian segera mengajak wanita itu keluar dari kamar ini. "Ayo, Ma," ajaknya.
Seraya menunggu Bastian kembali, Syadza diam di tempat sambil mengamati istri pacarnya dengan tatapan tak biasa. Mata Syadza tertuju ke perut Lila yang datar, tidak terlihat seperti sedang mengandung. Mungkin karena usia kandungannya masih sangat muda.
"Lila." Syadza menyebut nama itu sambil sedikit mendekat.
"Bastian itu sayang sama lo. Dia juga sayang gue, tapi dia lebih sayang lo. Lo jangan banyak tingkah gitulah, hargai perasaan dia!" Syadza berkata.
"Jadi orang jangan egois dan munafik." Syadza melanjutkan. "Gue tau lo suka sama orang lain. Tapi bukan berarti lo boleh bersikap kayak tadi ke Bastian. Lebay tau ga?"
"Kalo lo nggak ada rasa sama Bastian, kenapa lo mau dinikahin dia? Alesan hamil di luar nikah? Klise banget kali! Lo bisa kabur, atau ngapain aja biar pernikahan lo sama dia gagal. Tapi yang lo lakuin cuma pasrah," cetus Syadza.
"Emangnya lo nggak mikir, kalo nikah sama orang yang lo benci itu cuma bikin lo stress bahkan depresi." Syadza menatap Lila lagi.
"See? Sekarang lo keliatan kayak orang yang hampir gila. Lo tertekan, kan? Tapi lo nggak tegas. Lo ngebiarin diri lo sakit terus." Syadza masih terus bicara.
"Gue bisa marah karena lo kurang ajar sama Bastian. Tapi ngeliat kondisi lo begini, gue urungin niat gue. Gue nggak sejahat itu." Intonasi Syadza kini lebih rendah.
"Apalagi sekarang gue juga hamil, lebih besar dari lo yang artinya Bastian lebih dulu lakuin itu sama gue," ungkap Syadza.
"Gue nggak peduli!" Lila menutup telinganya, dia tak tahan mendengar omongan Syadza lebih jauh.
"Dengerin dulu. Gue mau ngaku kalo gue deket sama Bastian udah dari lama. Sebelom gue sama dia pacaran pun gue udah sering main sama dia. Gue bilang gini ke lo biar gue lega. Semoga lo maafin gue ya," celetuk Syadza.
Bastian kembali setelah berhasil meyakinkan Dara bahwa ia bisa menjaga Lila di sini. Baru saja masuk, Bastian langsung disuguhi pemandangan Lila yang teriak-teriak di depan Syadza. Syadza tak membalas teriakan itu, ia diam dengan tangan terlipat di atas perut.
"Kenapa lagi sih?" Bastian bertanya.
Syadza menggedik bahu. "Istri kamu marah terus, padahal aku ngomongnya baik-baik."
"Lila, jangan gitu! Kalian berdua tuh harusnya akur, nggak boleh begini!" Bastian berkata. "Haduh, yang pusing aku jadinya."
Teriakan Lila masih terus mengisi ruangan ini, hingga perlahan suaranya berubah menjadi ringisan. Lila menyentuh perut, merasa kram teramat sangat dan nyeri punggung bagian bawah.
"Ah, sakit!" eluh Lila.
"SAKIT!" Lila berteriak, bermaksud minta pertolongan.
Badannya bergetar, juga mulai muncul buliran keringat di permukaan kulit tubuhnya yang dingin. Lila terus meringis kesakitan dan hampir menangis.
"Sayang?" Bastian cemas, ia panik sampai tak bisa berpikir jernih.
Syadza berinisiatif memanggil Dokter lewat tombol pemanggil. Karena Lila meremas perutnya terus, Syadza jadi refleks memegang perutnya juga.
"Bas... jangan panik," kata Syadza. "Tunggu Dokter dateng."
Lalu Syadza bicara ke Lila. "Tarik napas, La. Jangan diremes perutnya! Itu pasti lo kurang gerak, jadinya kram."
Lila menggeleng cepat. Ia rasa ucapan Syadza tak sepenuhnya benar. Lila merasakan sesuatu berbeda di perutnya, begitu sakit sampai ia hampir tidak mampu bernapas.
Berselang detik, Dokter datang bersama Dara dengan raut penuh kecemasan dan kekhawatiran. Saat itulah Lila menangis, bersamaan noda merah muncul dari celananya.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Alaia dan Bunda berduaan di sofa sejak tadi. Ragas dan Langit juga ada di ruang keluarga, tapi mereka duduk lesehan di atas karpet bulu sambil sibuk membicarakan bisnis.
Dua cowok itu melihat-lihat desain tulisan yang biasa digunakan sebagai logo suatu brand. Mereka selalu berselisih dalam memilih logo. Langit suka A, Ragas suka B. Tidak ada yang mau mengalah sampai akhirnya mereka gelut.
Tak seperti Bunda serta Alaia yang tenang seakan dunia milik berdua. Bunda tengah bercerita tentang masa mudanya bersama Ayah, peran Alaia adalah menjadi pendengar yang baik.
"Yang ini aja sih! Lebih cakep daripada logo kafe yang dulu kan?" kata Ragas.
"Ini keramean. Ah, selera lo sama gue jauh beda, Gas." Langit sebal.
"Ya bedalah! Kalo sama, dari dulu Alaia udah gue pepet terus gue nikahin," bisik Ragas agar tidak didengar Bunda maupun Alaia.
"Alaia mulu! Kalo demen ya udah sikat!" ceplos Langit, suaranya yang besar itu bikin dua perempuan tadi menoleh.
"Bener ya?!" Ragas berujar antusias.
Bunda menggeleng samar sambil berdecak pelan. Alaia ikut terkekeh melihat Langit dan Ragas yang daritadi tidak bisa diam sedetikpun. Selalu saja ribut.
Langit kemudian berdiri, dia pergi dari ruangan ini dan disusul Ragas. Sekarang mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang salah satunya ngambek, lalu satunya lagi mencoba merayu.
"Apa lo, gue capek mau molor!" seru Langit.
"Ikutan! Mau kelon," balas Ragas, sengaja memancing Langit untuk ngomel-ngomel terus.
Dari tempat Alaia dan Bunda, terdengar langkah dua cowok itu lari-larian ke lantai atas. Disusul suara pintu dibanting dan teriakan Ragas memanggil Langit. "LANGEEET!"
Dua puluh menit kemudian, rumah makin sepi karena biangnya sudah kembali ke kamar masing-masing. Alaia juga Bunda masih di tempat yang sama. Alaia sangat suka mendengar cerita Bunda, tapi kisah itu harus terjeda karena malam makin larut.
"Nanti Bunda lanjutin lagi ya. Sekarang Alaia bobo dulu," ucap Bunda.
Alaia mengangguk patuh. "Iya. Bunda juga bobo."
Lantas mereka berpisah dari ruang keluarga ke kamar yang berbeda. Namun bukan kembali ke kamarnya, Alaia malah pergi ke tempat lain.
Cewek itu berdiri di depan pintu kamar Langit, membukanya pelan-pelan hanya untuk memastikan Langit sudah terlelap atau belum.
Lampu kamar Langit mati, tapi ada lampu lain yang ukurannya jauh lebih kecil dan mengeluarkan cahaya biru tua. Dari posisi Alaia kelihatan figur Langit sedang tidur.
Alaia masuk, tak lupa menutup pintu kembali. Ia mendekat ke Langit dan duduk di tepi kasur. Wajah Alaia nampak sedikit sendu, entah apa yang sedang ia pikirkan.
"Maaf, aku masuk ke sini nggak izin dulu. Kalo tadi aku ketuk pintu, pasti kamu kebangun," ucap Alaia.
Alaia masih terus memandangi wajah Langit. Sejak tadi siang Alaia menahan untuk mengatakan apa yang ia rasa terhadap Langit karena keadaannya seperti ini —Langit tidak ingat dia.
"Aia kangen." Alaia mengaku.
Alaia menyentuh tangan Langit, merasakan hangatnya tubuh lelaki itu. Padahal baru beberapa hari mereka pisah, tapi rasanya seperti sudah sangat lama. Alaia rindu sekali.
Kemudian Alaia merangkak naik ke kasur, mendekat ke Langit. Alaia membungkuk, rambut panjangnya berjuntai menyentuh badan Langit yang tak terbalut selimut.
"Mmh," gumam Langit dalam tidurnya.
Alaia memegang leher Langit dengan lembut, membuat cowok itu membuang napas berat tanpa sadar. Alaia mencari letak luka gigitannya di sana. Usai ketemu, mata Alaia terpejam bersamaan wajahnya mendekat ke leher Langit.
Kehadiran Alaia di atas badan Langit seketika membangunkannya dan tersentak bukan main sampai jantungnya terasa hampir copot.
"EH, APA NIH?!" Langit refleks berseru. Ia terpaksa mengubah posisinya jadi duduk dan bergeser hingga punggungnya menabrak kepala kasur.
Alaia ikut kaget dan spontan memundurkan kepala dari leher Langit. Ah, padahal sedikit lagi ia berhasil menyentuh luka itu dengan bibirnya.
Senyum Alaia melebar, dia langsung naik ke badan Langit dan memeluknya dengan perasaan senang. "Angit udah bangun!"
Langit menggeliat tak tenang karena Alaia nemplok begitu rekat. Cowok itu menyentuh lengan Alaia, mencoba menjauhkannya dari badan dia.
"Mau leher kamu—"
"GILA LO!" Langit kalut.
"Mau leher...," gumam Alaia seraya menyentuh leher Langit lagi.
"Ya Allah, gue dilecehin di kamar sendiri!"
"Langit." Alaia menangkup wajah Langit, menatap lelaki itu dengan pupil yang membesar. Tatapan Alaia berhasil buat Langit bungkam.
Kecemasan Langit membuatnya berpikir yang tidak-tidak. Ia semakin takut saat Alaia hendak mencium lehernya. Cewek itu memang terlihat manis, tapi ternyata kelakuannya bikin Langit mau meninggal.
Ditambah lagi tekanan pada dada Langit yang bikin jantungnya berdebar-debar tak terkontrol.
Alaia memegang kepala Langit, menahan pergerakan pada bagian itu. Ia sulit berkonsentrasi kalau Langit banyak bergerak.
Lagi-lagi Langit mengacaukan rencana Alaia. Dia memegang pinggang Alaia, mendorong cewek itu sampai jatuh dari kasur dan terjerembab ke lantai.
"Ah!" Alaia mengaduh, badannya menghantam lantai dan rasanya tidaklah enak.
Langit mematung di tempat. Bahkan untuk beberapa saat ia enggan melihat Alaia di bawah sana. Ia tidak tau Alaia meringis kesakitan sambil memegang beberapa bagian tubuhnya, termasuk kepala.
"Sakit...," gumam Alaia sambil mengusap kepala.
Mata Alaia berkaca-kaca karena kepalanya berdenyut setelah membentur lantai granit itu. Bersamaan dengan itu, gemuruh bermunculan di langit yang tandanya hujan akan turun.
"Eh," panggil Langit, curiga Alaia menangis di sana.
Maka Langit bergeser ke tepi kasur, diam-diam mengamati Alaia yang duduk di sana sambil terus menunduk. Ketika guruh menggelegar, Alaia segera menutup telinga. Kemudian Alaia mendongak dan menoleh ke Langit.
"Lo nangis ya?" tanya Langit seraya melihat wajah Alaia dari jarak dekat. Ternyata cewek itu tidak menangis.
"Oh, kirain nangis." Langit berucap lega.
Cowok itu beranjak turun dari kasur, berjongkok di hadapan Alaia. Satu tangannya terulur ke bagian belakang kepala Alaia dan mengusapnya terhati-hati.
"Sakit banget?" Langit bertanya.
Alaia mengangguk. "Aku jadi pusing."
"Sori, tadi gue kelepasan." Langit mengaku salah. "Lagian lo aneh-aneh aja sih. Ngapain mau nyium leher gue? Kalo di sini ada setan, terus gue ga bisa kontrol diri, itu sama aja lo masuk kandang singa."
"Tapikan kamu bukan singa," celetuk Alaia.
"Ya kan perumpamaan." Langit mendengkus.
Alaia menunduk lagi dan menyentuh kepalanya. Bukan hanya kepala, tapi punggung serta sikut Alaia juga sakit dan berdenyut-denyut terus.
Langit ikut meringis ketika Alaia mengeluarkan suara ringisan. Dengan lembut Langit berkata, "Maafin ya?"
Alaia tentu memaafkan Langit. Tapi ada sesuatu yang harus Alaia lakukan agar momen mereka lebih sempurna. Cewek itu malu-malu menatap Langit sambil berucap, "Aku mau peluk kamu, boleh?"
Langit mempertimbangkan dulu sebelum menentukan jawaban. Sampai hampir tiga puluh detik kemudian, Langit baru mendapatkannya. Ia mengubah posisi jongkok menjadi berlutut dan berujar, "Boleh."
Senyum lebar terpajang di wajah Alaia, lantas memeluk Langit dan ternyata pelukannya terbalas.
Dalam kesempatan ini, Alaia melanjutkan aksinya yang sempat tertunda. Sambil menatap luka di leher langit, Alaia menetralkan napasnya yang menderu tak stabil.
Bibir Alaia terbuka sedikit, lalu mendarat tepat di bekas gigitan itu. Dari mulutnya ia mengeluarkan asap biru dan mengembalikan segala ingatan Langit tentang dirinya lewat luka tersebut.
⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️
gimana chapter 27?
Siapa yang kangen liat kegemesan Langit & Alaia?
atau mau aku pisahin lagi mereka???
—————————————————
cover mana yang kamu suka?
nomor 1
tetep nomor 2
nomor 3
—————————————————
yok nilai, bagusan mana? 😂
—————————————————
asap dari mulut Alaia:
—————————————————
haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕
social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid @alaiaesthetic (readers Alaia wajib follow nihh)
see you babies 🕊👼🏿
👁 👄 👁
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro