25. Badai Rasa
25. BADAI RASA
Matahari belum menampakkan wujud sepenuhnya ketika beberapa orang berlarian menghampiri lelaki yang terdampar di tepi pantai dengan kondisi tak sadar.
Badannya basah semua, matanya terpejam rapat, dengan luka di leher berbentuk dua bulatan kecil. Warga meyakini itu adalah gigitan makhluk laut, entah ikan atau apa.
Bibir Langit membiru, kulitnya dingin bagai mayat. Ketika tubuhnya hendak dibopong warga, ia tiba-tiba membuka mata dan tersentak melihat banyak wajah di hadapannya.
"Eh, udah sadar!" Seorang pria berseru lega.
"Syukurlah...." Temannya menyahut.
Alis tebal Langit bergerak hampir menyatu. Ia beranjak dari posisi telentang menjadi duduk. Matanya mengarah ke laut dan perahu kecil yang terombang-ambing di dekat dermaga. Lalu ia menengadah melihat orang-orang tadi.
"Saya gapapa," ucap Langit.
Pria baik hati itu menawarkan, "Kamu mau ke tempat saya dulu? Biar dibuatin sarapan sama istri saya."
Langit menolak dengan halus. "Nggak usah, Pak, makasih. Saya mau langsung pulang."
Kemudian Langit bangkit berdiri. Kepalanya sedikit pening, mungkin efek sehabis tiduran di atas pasir yang datar tanpa bantal. Apakah itu alasan logis?
Langit berpamitan, dia jalan menjauh dari posisi tadi sambil membersihkan butiran pasir yang menempel di lengannya. Langit juga meringis ketika ia menyentuh leher bagian kanan karena adanya luka di sana.
"Ngapain gue ke sini? Main perahu nggak jelas, ujung-ujungnya terdampar udah kayak apaan," gumam Langit.
Sambil menggaruk betisnya yang gatal akibat pasir-pasir itu, Langit menoleh ke kiri di mana ia lihat seseorang berdiri di sana sambil mengarahkan kamera ke arahnya.
"Mas, abis renang?" Orang itu bertanya.
Langit memincingkan mata, memperjelas indera penglihatannya ke arah orang tadi. Ketika dia menurunkan kamera dari depan wajah, saat itulah Langit langsung ingat orang itu.
"Lo yang waktu itu kan!" ceplos Langit.
Lelaki tadi bingung, ia mendekat ke Langit seraya mengamati wajah ganteng itu. Dia menatap Langit sambil mengingat sesuatu.
"Oh... lo yang ngambil kamera gue kan, Bro?" Lelaki itu berucap. "Gara-gara lo nih gue harus beli kamera baru!"
Seketika ekspresi Langit berubah menjadi linglung. "Kenapa gue ambil kamera lo?"
"Lah, malah nanya! Lo yang marah-marah ke gue, padahal gue cuma fotoin cewek itu. Sampe kamera gue lo ambil, ga tau lo kemanain tuh kamera." Lelaki tadi berbicara sampai bibirnya monyong-monyong alias sewot.
"Balikin dong! Tapi ga usah bawa-bawa jalur hukum. Gue males banget!" celoteh Si Lelaki.
Langit terdiam sejenak. Dengan heran ia bertanya, "Cewek mana?"
"Yang waktu itu lah! Mukanya mirip bule, taunya warga lokal," celetuknya.
"Yang mana sih? Lo ngomongin siapa?" Langit kebingungan sendiri.
"Pikun!" Dia mencibir Langit.
"Ayolah, balikin kamera gue, Bro. Gue udah mulai tobat nih, gue udah ngurangin fotoin cewek. Sekarang gue fotoin cowok, lo salah satunya." Lelaki itu berucap lagi.
"Lo keren, Bro. Photogenic. Cakep banget," kekehnya.
"Najis." Langit merinding.
Ia kembali berjalan dan langkahnya disusuri lelaki itu. Orang yang tak Langit kenal itu sibuk memotret dirinya secara diam-diam. Langit risih, dia merasa diintai dan ini membuatnya tidak tenang.
"Apus foto gue," desis Langit, lirikannya begitu sengit. "Mau gue ambil lagi kamera lo, terus gue ancurin?"
Ucapan Langit bikin orang itu terkejut dan refleks mendekap kameranya agar tak direbut. "Lo galak tapi pikunan. Sebenernya lo orang tua tapi baby face ya, Bro?"
"Apaan sih! Random amat," omel Langit, kesal.
Langit mempercepat langkahnya menjauh dari orang tadi. Ia pikir orang itu tidak mengikutinya, tapi dugaan Langit salah besar. Kala ia menoleh, ia dikejutkan dengan tingkah orang asing itu.
Dia secara tidak sopan menyentuh lengan Langit dan ia remas pelan. Dia merasakan otot bisep yang membuatnya kagum. Langit melotot, langsung menampol muka orang itu sampai tercengang penuh keterkejutan.
"Nanaonan sia teh?!" sentak Langit.
Belum sempat lelaki itu berucap, Langit segera lari ke parkiran mobil. Dia makin merinding kalau lama-lama berada di dekat orang itu. Lebih baik ia pulang.
Tiba di dalam mobil, Langit menyalakan mesin dan menunggu sebentar untuk melaju. Omong-omong, ia mengorbankan joknya menjadi basah akibat terkena celananya.
Setelah siap, Langit bersama mobilnya melesat pergi dari pantai menuju rumah. Dia tidak sabar ingin mandi dan makan karena perutnya mulai meraung minta jatah.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Keadaan Lila terbilang tidak baik. Ia menjadi sangat sensitif dan mudah marah. Ia akan teriak bila ketenangannya diganggu, bahkan tak segan mengamuk kalau apa yang ia inginkan tidak dituruti.
Dara berdiri di samping brankar, mengusap rambut panjang Lila penuh kelembutan dan kasih sayang. Ia tidak tega melihat putrinya tertekan seperti ini. Dara begitu yakin semua ini terjadi semenjak Lila menikah dengan Bastian.
"Sayang, hari ini mau sarapan apa?" Dara bertanya.
Lila diam, enggan menjawab meski hanya dengan bahasa tubuh. Ia membiarkan ibunya berbicara tanpa ia beri respons.
"Sebutin apa yang kamu mau, nanti Mama beli. Biar kamu bisa minum obat," ucap Dara disusul senyuman. "Atau mau Mama masakin?"
Lila masih tetap diam. Ia selalu menolak bila disuruh makan dan minum obat. Semalam Albert sampai harus memaksa Lila dengan keras agar mau makan, hingga anaknya itu menangis sampai teriak-teriak.
Kalau Lila begini terus, pasti akan menganggu kondisinya. Dara khawatir, ia tak mau putrinya semakin parah.
"Lila... jawab Mama dong," pinta Dara, ia bersedih.
Wanita itu menunduk, menyentuh perut Lila yang terbalut selimut. Dara berucap, "Kalo kamu nggak makan, kasihan bayi kamu."
"Kamu inget apa pesen Dokter? Kamu harus makan teratur karena kondisi janin kamu rentan banget, Sayang." Dara berujar. "Makan, ya?"
Setelah sekian menit ia bungkam, akhirnya sekarang Lila mengeluarkan suara meski sangat minim. "Nggak."
"Sedikit aja, biar kamu ada tenaga," ungkap Dara.
Lila menggeleng, ia tidak mau.
"Apa mau ditemenin Bastian? Biar Mama telepon dia buat ke sini. Tadi Bastian bilang dia bakal nyusul soalnya lagi nggak enak badan," tutur Dara.
"Nggak." Lila menyahut ketus, dia jengkel kalau mendengar nama Bastian.
Helaan napas Dara terdengar berat. "Mama harus apa biar kamu mau makan?"
Lila tidak langsung menjawab, malahan kembali mengunci mulutnya. Tatapannya lurus ke depan dengan pandangan kosong, membuat Dara lagi-lagi cemas. Beliau merasa tidak tenang kalau Lila selalu bersikap seperti ini.
Sejak kemarin Lila tidak berhenti memikirkan lelaki yang dulu merupakan pacarnya. Iya, Langit. Lila tak berhenti berpikir bagaimana untuk bisa bersatu lagi dengan Langit dan bagaimana agar Langit batal menikah.
Lila memikirkannya sampai stress sendiri.
"Ma," panggil Lila tanpa menggerakkan matanya.
"Iya, Sayang?" Dara menyahut.
"Aku mau makan." Lila berucap.
Rasanya keresahan Dara seketika sirna. Matanya menyiratkan rasa bahagia hanya karena Lila mau makan. Ia dengan antusias bertanya, "Mau makan apa?"
"Apa aja," jawab Lila.
"Oke, Mama pesen sekarang ya." Dara bergerak cepat untuk memenuhi keinginan Lila, tapi anaknya itu mencegah Dara untuk pergi.
Lila memandang Dara tanpa adanya ekspresi di wajah dia. Ia menuturkan, "Aku mau makan kalo ada Langit. Aku mau yang bawain makanannya dia, bukan orang lain."
Dara membalas tatapan Lila dengan sedikit bingung. "Kamu mau sama Langit?"
Lila mengangguk. "Mau Langit ada di sini temenin aku terus."
"Tapi kenapa harus Langit, Sayang? Dia pasti sibuk. Dia harus urus banyak hal buat pernikahannya kan?" Dara berujar.
Ternyata ucapan Dara merupakan sumbu api yang membuat Lila seketika menyambar dengan kegeraman. Matanya terbuka lebar, tatapannya nyalang seperti hendak menyerang Dara. "LANGIT GA BOLEH NIKAH!"
"LANGIT PUNYA AKU." Lila menambahkan.
"LANGIT PUNYA AKU!" Sekarang Lila teriak, dia kesal hingga menggigit tangannya sendiri begitu kencang sampai wajahnya perlahan menjadi merah.
"Sayang! Ya Allah." Dara panik.
Lila yang histeris itu tak berhenti memekik sampai suaranya memekak telinga Dara. Wanita itu berusaha menenangkan Lila, tapi yang ada anaknya malah makin menjadi.
"Iya, iya Langit punya kamu. Iya Langit nggak nikah," celetuk Dara seraya menahan Lila untuk berhenti menyakiti diri sendiri.
Lila melirik Dara cukup tajam. "Bener ya."
Dara takut salah bicara, tapi inilah satu-satunya cara agar Lila diam dan tak menggigit tangan sendiri. Dengan berat hati Dara menjawab, "Iya, bener, Sayang."
"Langit harus nikahin aku." Lila berkata.
Dara lagi-lagi membuang napas berat, kali ini terdengar lelah. "Kamu istri Bastian. Jangan bilang kayak gitu."
"Langit harus nikahin aku!" Suara Lila meninggi. "HARUS NIKAHIN AKU!"
"Lila—" Ucapan Dara terhenti karena anaknya menampar dia lalu menatapnya tanpa rasa bersalah.
"Jahat," cetus Lila pada ibunya sendiri. "Jahat. Jahat. Jahat!"
"Lila...." Dara hampir menangis. Bukan karena ditampar, tapi karena Lila bertingkah seperti bukan dirinya.
"JANGAN PEGANG!" Lila marah ketika Dara menyentuh tangannya.
"Orang jahat," desis Lila, memandang Dara dengan ekspresi jijik yang amat sangat kurang ajar.
"PERGI!" Lila mengusir. "INGET YA, BASTIAN BUKAN SUAMI AKU. JANGAN SUKA NGADA-NGADA."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Tanpa Alaia sadari, semakin lama bentuk ekornya makin cantik. Sisiknya berkilauan indah dengan cahaya yang bisa berubah-ubah ketika berada di bawah pancaran sinar mentari dan bulan.
Ia memiliki tanda alami di bagian lengan kanan yang akan muncul setiap Alaia kembali ke laut. Warnanya menyesuaikan warna pada ekor dia.
Tanpa sepengetahuan siapapun, tadi Alaia memerhatikan Langit yang dihampiri warga sekitar untuk ditolong. Dengan matanya yang mampu melihat objek sampai jarak sangat jauh, Alaia mengamati Langit hingga masuk ke mobil dan pergi meninggalkan pantai.
Dadanya sesak, sebetulnya berat melepas Langit untuk ini. Alaia takut jika nantinya Langit berakhir bersama yang lain. Tapi ia meyakinkan diri bahwa hati Langit hanya untuknya, meski untuk sekarang ia hanyalah orang asing bagi Langit.
Kini Alaia kembali menyelam bersama lumba-lumba yang merupakan temannya. Alaia memanggil mamalia itu dengan menyebutnya Lumy.
Alaia menyentuh bagian atas badan Lumy sambil tersenyum. "Tetep di samping aku ya!"
Meski ia selalu memamerkan senyum lebar ke makhluk manapun, sebenarnya Alaia menyimpan kesedihan. Terlebih ia baru saja mengambil satu keputusan yang mengharuskan Langit lupa tentang dia.
Alaia tau, Langit tak akan mengingat siapa dirinya. Langit tidak akan memikirkannya lagi. Yang terpenting, kesedihan Langit tidak bertambah dengan kepergian Alaia. Cowok itu hanya akan fokus pada kondisi Bunda.
"Pasti Langit bingung kalo ada orang yang omongin aku." Alaia berucap, kemudian ia menepuk keningnya. "Kalo Bunda atau Ragas nanyain aku gimana ya?"
"Yah, seharusnya aku bikin mereka semua lupain aku!" Ia berkata pada Lumy sambil tertawa kecil.
Lumy hanya mengeluarkan suara yang terdengar seperti tawa imut. Alaia senang sekali mendengar suaranya karena membuat hati tenang.
"Nggak apa, aku sengaja cuma bikin Langit lupain aku. Itu sementara, sampai aku balik lagi ke sana." Alaia bercerita pada Lumy.
"Cuma itu yang bikin aku tenang." Alaia melanjutkan.
"Setiap Langit mikirin aku, aku pasti pengen langsung temuin dia. Buat sekarang, aku nggak bisa. Aku mau cari keluargaku," ungkap Alaia lagi.
"Aku salah ya, Lumy?" Alaia bertanya. "Aku sayang Langit, tapi aku juga harus tau siapa orang tuaku."
"Langit pernah nanya, aku ini mermaid atau siren. Sekarang aku jadi mikirin itu... sebenernya aku ini apa," tutur Alaia.
"Jadi, aku mau cari tau jawabannya. Aku butuh bantuan kamu, Lumy," celetuk Alaia sambil melirik temannya itu.
Lumy mengeluarkan suara dan memberi gestur yang hanya dimengerti oleh Alaia. Lalu lumba-lumba itu bergerak lebih cepat mendahului Alaia, seperti memimpin jalan.
Dilihat dari fisik Alaia, Lumy sangat tau bentuk ekornya itu berbeda dari makhluk sejenis Alaia yang lain. Malah hanya Alaia yang memiliki tanda bulan di lengannya.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Waktu masih menunjuk pukul setengah delapan. Sejak tadi Langit tidur lagi setelah mandi dan sarapan. Cowok itu mendengkur halus dan wajahnya begitu tenang.
Luka di lehernya bertambah merah seperti mulai bengkak. Dia belum menyadari, mungkin saat bangun nanti Langit akan bertanya-tanya kenapa ada luka seperti itu di lehernya.
Langit bergerak memeluk gulingnya yang dingin karena sejak tadi tidak disentuh olehnya. Ia sangat suka guling. Andai Langit ingat bahwa ia pernah menjadikan seorang perempuan sebagai guling terhangat yang pernah ada.
Lima belas menit berlalu, Langit terbangun setelah mendengar suara Ragas dari luar kamar. Kemudian terdengar derap kaki mondar-mandir di depan sana.
"Aduh, ngantuk bang— ah!" Langit yang sedang meregangkan otot itu tiba-tiba mengaduh ketika luka itu terjepit di antara lekukan leher.
Langit menyentuh lehernya, meraba luka tadi sambil meringis kecil. Ia beranjak dari kasur, jalan ke depan cermin untuk melihat kondisi lehernya itu.
"Waduh," ringisnya.
Langit menekan lukanya, kemudian meringis lagi. Ia mendekat ke cermin, mengamati lebih jelas bentuk luka yang terpampang di sana.
"Sakit men," kata Langit. "Ini kayak cupangan tapi ada gigitan nancep di situ."
"Siapa yang berani gigit leher gue diem-diem?!" Langit bertanya-tanya.
"Masa iya hantu laut?" gumamnya. "Anjir, gue ga bisa inget."
Langit tak habis pikir dengan adanya luka tersebut. Ia beralih menghampiri kotak P3K yang menempel di tembok kamar. Langit mengambil obat merah yang botolnya terbuat dari beling. Bunda bilang obat ini sangat ampuh meski awalnya akan menyiksa dengan kepedihan tiada tara.
Bulu kuduk Langit meremang. Dia bergidik ketika membuka penutup botol obat merah tadi. Sambil jalan ke depan cermin, ia menuangkan setetes obat di ujung jari dan mulai mengusapnya di luka itu.
Di detik berikutnya Langit mengerang sambil mengepal tangan. Rasa perihnya membuat badan Langit panas, sampai wajah dan jantung dia ikut terkena efeknya.
"YA ALLAH ROH GUE KAYAK DISEDOT," geramnya.
Ternyata rasa pedih itu berlangsung tidak lama. Sisanya hanya denyut di bagian luka dan tak menjadi hal yang lebih menyakitkan bagi Langit.
Usai itu, Langit keluar dari kamar sambil bersiul dan mengacak rambutnya yang belum sempat disisir setelah mandi tadi.
"Heh, Tuyul. Alaia mana?" Ragas menyambar.
Langit menoleh. "Hah?"
Ragas mematikan layar ponselnya yang semula menampilkan ruang chat dia bersama Lana. Ia beralih ke Langit yang menatapnya dengan satu alis terangkat.
"Itu guru privatnya dateng, tapi dianya ga ada. Gue udah keliling rumah tetep ga nemuin Alaia." Ragas berkata. "Lo umpetin di kamar ya? Wah, ngadi-ngadi lu!"
"Apa anjir?!" Langit mencegah Ragas untuk masuk ke kamarnya.
"Ngumpetin apaan, orang gue nggak ngapa-ngapain di kamar," kata Langit.
"Lo ga liat Alaia?" tanya Ragas, mendelik curiga.
"Alaia apaan sih! Ngomong yang jelas." Langit ngomel jadinya.
Siapa yang tidak pusing ketika baru keluar kamar langsung diajukan pertanyaan yang kita tidak mengerti dan tak tau maksudnya.
"Lo yang nggak jelas, Bagong! Gue tanya Alaia mana malah nanya Alaia apaan," celetuk Ragas.
"Ya lagian nanyain ke gue, gue mana tau." Langit membalas tak peduli.
Cowok itu berlalu dari hadapan Ragas sambil berkata, "Itu guru salah alamat kali."
Ragas mengerutkan kening, ikutan bingung karena ucapan Langit. Padahal Langit tau bahwa dalam minggu ini Alaia akan kedatangan guru private agar dia bisa menimba ilmu dengan baik. Lalu sekarang Langit malah bicara seperti itu.
Mata Ragas menyipit, ia memiringkan kepala sambil melihat merah-merah di leher Langit. Celetuknya, "Abis ngapain lo sampe leher merah begitu!"
"Ngapain kek," balas Langit.
Ragas mengikuti langkah Langit dari belakang. Dia nanya lagi, "Maneh abis mantap-mantap sama Alaia ya? Status lo berdua masih tunangan! Jangan lo apa-apain dulu, biar ga berabe."
Langit nengok ke Ragas ketika kakaknya itu berdiri tepat di samping dia. "Lah, kapan gue tunangan?"
"Lah!" Ragas refleks berseru setengah teriak.
Lalu Ragas menunjuk tangan Langit yang di salah satu jarinya tersemat cincin. "Tuh, cincinnya masih ada. Jangan sok lupa lo. Gue sumpahin beneran lupa nyaho sia."
Langit mengangkat tangannya dan melihat cincin itu. "Dih, ngelucu. Ini mah cincin biasa, bukan tunangan."
"CANGKEMMU BIASA." Ragas esmosi.
Kemudian Ragas menyentuh kepalanya sambil berpikir keras. "Alaia ilang, terus lo belagak lupa tentang Alaia. Ini rencana lo buat ngerjain gue? Lo mau ngeprank gue, Anak Setan?"
"Jangan main-main, tolol. Buru panggil Alaia balik, itu gurunya nungguin dari tadi." Ragas menyuruh.
Makin lama omongan Ragas bikin Langit pusing. Ia menggaruk kepala dan melipir ke arah dapur. "Au ah, keder aing."
Ragas pun menyahut keras, "Maneh teu jelas pisan! Balikin Alaia dulu cepetan!"
"LO YANG GA JELAS," teriak Langit. "Lama-lama gue timpuk lu, Gas."
"Timpuk nih!" Ragas menantang.
Seketika itu Langit meraih panci yang tergantung di salah satu tembok dapur dan keluar menghampiri Ragas. Kaget melihat Langit bawa-bawa panci, Ragas langsung kabur sambil tertawa keras.
"Sini lo, anying!" sentak Langit.
"Tangan kosong kalo beraneee!" seru Ragas, mengejek.
Langit semakin naik pitam dan melempar panci sembarangan hingga tercipta bunyi berisik. Mereka kejar-kejaran di sana, menciptakan gaduh di pagi hari.
Langkah Langit bertambah kencang mengejar Ragas yang nyelonong ke kamar Bunda. Bunda yang sedang menata rambut di depan cermin sampai terkejut bukan main.
"AMPUN!" Ragas teriak saat Langit mendorong dia ke kasur dan meniban punggungnya. "BUNDAAA."
"Modar sia!" Langit memiting kedua tangan Ragas ke belakang, sampai abangnya itu meringis. Senyum licik Langit muncul, dia semakin gencar menyiksa Ragas.
Tingkah kedua putranya bikin Bunda tergelak. Ia mendekat ke ranjang dan meminta mereka berhenti ribut —meski keributan itu tidak serius.
Bunda senang akan kehadiran anak-anaknya itu. Tapi tetap saja ada yang kurang karena Alaia tak ada di sini.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Langit menatap cewek di hadapannya dengan tanpa gairah. Sangat flat, sama sekali tak ada rasa senang di matanya.
Di tangan Langit terdapat tempat makan berisi masakan Bunda. Langit membawanya dari rumah sebagai titipan orang tuanya.
Kalau bukan permintaan Dara yang sampai menangis ketika bertelepon dengan Bunda, Langit tak akan mau ke rumah sakit. Lebih baik ia menemani Bunda di rumah.
"Cepet." Langit meminta Lila melahap makanan yang ia sodorkan.
Lila menatap sendok itu. Ia berkata, "Tiup dulu."
"Ini ga panas." Langit berucap.
"Tiup aja," kata Lila sambil memamerkan pupil matanya yang membesar.
"Mau gue suapin apa nggak?" Langit memberi pilihan yang bikin Lila cemberut.
Sambil mengerucutkan bibir, Lila menggeleng. Dia tidak mau makan kalau Langit bersikap tak manis padanya. Ia mundur, kembali rebahan yang semula duduk.
Langit menaruh sendok itu ke tempat makan dan mendengkus kasar. Ia beranjak, menaruh bekal itu di atas nakas dan berjalan menuju pintu.
"Mau ke mana?" Lila bertanya, takut ditinggal Langit.
"Pulang. Ngurusin lo buang waktu," cetus Langit bagai pisau yang menusuk dada Lila.
Lila tersentak. Ia meremas selimut seraya duduk lagi dan berseru lantang, "Ga boleh pulang! Harus tetep di sini!"
Langit membuka pintu. Bunyi pintu membuat Ragas dan Lana yang menunggu di kursi kompak menoleh.
Langit baru akan bergabung dengan mereka tapi langkahnya terhenti karena Lila menangis sambil menyerukan nama Langit begitu melengking.
"JANGAN PULANG!" teriak Lila.
Akibat pintu terbuka, suara Lila terdengar sampai ke luar. Ragas bertanya, "Itu istri dakjal kenapa?"
"Ck," decak Langit.
Cowok itu nengok ke belakang, melihat Lila yang hendak turun dari brankar untuk mengejar Langit. Segera Langit menghampirinya lagi dan menyuruh dia untuk tidak meninggalkan brankar.
"Makanya makan ya makan, jangan bertingkah! Gue mau cepet pulang, mau urusin Bunda di rumah," cetus Langit.
"Ga boleh pulang!" Lila menyahut. "Pasti kamu mau ketemu Alaia. Ga boleh! Ga boleh nikah!"
"APA SIH GOBLOK!" Langit marah, dia makin kesal berada di sini.
Mendengar suara keras Langit membuat Ragas spontan beranjak dan masuk ke kamar rawat Lila. Lana menetap di luar, ia membiarkan Ragas jalan sendiri. Sebenarnya ia muak bila harus bertemu Lila.
"Ngit, ngapa sih?" Ragas bertanya seraya menutup pintu.
Lila menangis tersedu-sedu dan menunduk karena takut dimarahi Langit. Ragas mendekat, mencoba menempatkan diri sebagai penengah agar tak terjadi keributan di sini.
"Ngomong sesuka lo mulu! Mau gue pulang, gue nikah, mau ngapain kek itu hak gue!" Langit berseru. "Jangan larang gue mulu, percuma, lo ga penting."
"Jangan galakin aku, Langit...," lirih Lila.
Dada Langit bergetar, urat-urat di tangannya timbul. Rasanya mau menghajar apapun untuk meluapkan amarahnya. Langit juga bingung, kenapa dia bisa semarah ini hanya karena omongan Lila. Biasanya dia mampu menahan diri, apalagi terhadap Lila yang pernah mengisi hatinya.
"Kamu jadi kasar gara-gara Alaia! Makanya jangan nikah sama dia! Batalin aja!" ceplos Lila menggebu-gebu.
Ragas memapar, "Lo jangan bikin Langit makin marah napa! Diem, mending makan tuh! Masakan Bunda enak banget, sayang kalo dianggurin."
"Berisik," celetuk Lila sambil melirik Ragas tak suka. "Maunya ngomong sama Langit, bukan sama lo."
"Dibaikin ngelunjak!" seloroh Ragas.
"Sama abang gue aja lo ga sopan. Ya udah, jangan minta gue ke sini lagi. Mau nyokap lo mohon-mohon sekalipun, gue ga bakal terpengaruh. Terserah mau lo teriak, nangis, ngamuk di sini itu bukan urusan gue." Langit menyetus tajam.
Kemudian Langit melenggang pergi, keluar dari sana dan menutup pintu secara kasar. Ia melintas di depan Lana yang membuat cewek itu bertanya dalam hati.
Saat Ragas keluar dan menyusul Langit, Lana makin bertanya-tanya. Ia beranjak, tapi belum berminat menghampiri dua lelaki itu karena merasa ada yang salah di sini.
"Gue balik sendiri. Mood gue lagi ga bagus," ucap Langit dan Ragas langsung berhenti mengejarnya.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Bunda menerima pemberian dari seorang wanita yang bertamu ke rumahnya. Wanita itu adalah orang yang sama yang memberikan Bunda buah tangan dari Thailand beberapa waktu lalu.
Dia Nana, istrinya Zito.
"Makasih banyak ya!" Bunda berucap senang.
Nana mengangguk. "Sama-sama, Bun. Ini aku bikin bareng Selly, katanya bagi aja ke temen Mama soalnya kue kita banyak."
"Selly udah pinter bikin kue ya...," kekeh Bunda.
"Iya, dia suka banget kalo aku ajak bikin kue. Dia bilang mau jadi chef." Nana tertawa kecil.
"Amin." Bunda selalu mendoakan segala tujuan yang baik.
Dua wanita itu sangat asyik berbincang sesekali melontarkan gurauan yang mengocok perut. Jarak usia mereka tak begitu jauh, sekitar delapan tahun. Nana sangat nyaman bila sedang bersama Bunda, bahkan ia sudah anggap sebagai kakaknya.
"Langit sama Ragas lagi nggak di rumah ya?" tanya Nana setelahnya.
"Iya, mereka lagi ke rumah sakit, ada temennya yang dirawat di sana." Bunda menjawab.
"Pantesan rumah sepi," celetuk Nana.
Bunda terkikik lagi. Ini sudah biasa terjadi bila ada yang bertamu dan menyadari rumah sepi, pasti karena Langit dan Ragas tidak ada di sini.
Nana meraih minuman dingin dari atas meja dan diteguk. Bunda diam, matanya mengarah ke lantai dengan pikiran melayang ke suatu hal. Nana menatap Bunda seraya menaruh kembali gelas itu ke tempat awal.
"Na," panggil Bunda.
Nana menelan minumannya sembari mengangguk. "Iya, Bun."
"Besok kamu sibuk apa?" tanya Bunda.
Nana menjawab, "Aku di rumah aja. Kenapa?"
"Besok bisa antar saya? Seenggaknya ada yang nemenin saya," kata Bunda.
Seakan mereka saling terikat, Nana langsung mengerti apa yang Bunda butuhkan. Hanya dengan lewat tatapan, Nana secepat itu paham.
"Besok telepon aku aja, biar aku langsung ke sini. Nanti aku bawa mobil sendiri." Nana berkata.
Bunda tersenyum lega. "Makasih, ya."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Bingkisan untuk Bunda sudah tertata rapi. Lana menaruhnya di jok belakang. Ia tak sabar untuk memberinya ke Bunda dan berharap beliau mau menerima.
Kini Lana menatap jalanan seraya menghabiskan gigitan terakhir kentang gorengnya. Ia menaruh wadah bekas kentang ke dalam kantong kertas, menumpuknya bersama wadah-wadah lain.
"Minta ya," celetuknya seraya meraih cola milik Ragas.
Sementara Lana sibuk dengan camilan, Ragas malah kelihatan tengah memikirkan sesuatu sampai keningnya mengerut. Lana menyedot minumannya sambil melirik cowok di sampingnya itu.
"Gas," panggil Lana yang tak mendapat jawaban karena saking seriusnya Ragas berpikir.
"Minum dulu, Bos." Lana menyodorkan cola tadi ke Ragas.
Sebelum bibir Ragas bertemu sedotan itu, Lana menarik colanya lagi yang membuat Ragas menoleh. "Hayo, mikirin apa? Fokus sama jalanan dong!"
"Maunya fokus sama lo aja," sahut Ragas.
"Hih, orang lagi serius." Lana kembali menatap lurus ke jalanan sambil meneguk cola.
"Ini udah gue seriusin. Kapan mau official-nya? Sebut tanggalnya cepet! Biar gue persiapin semuanya," ceplos Ragas disusul kekehannya yang terdengar menyebalkan.
"Pret! Nyetir dulu yang bener, baru boleh omongin itu sama gue." Lana membalas.
"Anjay! Lampu ijo nih?" Ragas menatap Lana sekilas.
Lana tak bisa menahan senyumnya. Tapi ia selalu bisa bersikap cool demi menyembunyikan rasa itu. Entahlah, Lana telanjur nyaman berteman dengan Ragas. Ragas baik, walau sikap tengil dan selengean-nya sering bikin Lana ngomel-ngomel.
Ragas meminta colanya dan Lana berikan ke dia. Cowok itu tidak mau memegang, maunya Lana yang pegang.
"Nah, gitu dong. Biar so sweet ngalahin Langit sama Alaia," kata Ragas.
Lana mendelik seraya menjauhkan cola itu dari Ragas. "Langit cocok begitu. Kalo lo nggak."
"Gitu banget nih calon pacar." Ragas menyahut.
"Heh apa-apaan!" Lana protes.
"Oh, salah? Terus apa dong? Calon istri?" Sekarang Ragas nyengir lebar yang seketika pipinya ditepuk oleh Lana.
Bicara soal Langit dan Alaia membuat Ragas teringat kejadian di rumah dan di kamar rawat Lila tadi. Tawanya perlahan reda hingga sirna tak terdengar. Ragas bungkam, wajah seriusnya hadir lagi.
"Gue belom cerita ke lo nih," celetuk Ragas.
"Apaan?" Kepala Lana tertoleh.
"Langit aneh banget dari pagi." Ragas berkata. "Alaia juga sampe sekarang nggak ketemu."
Lana jadi kepikiran lagi. Tadi pagi di jam-jam sarapan, Lana mendapat chat dari Ragas yang kewalahan mencari Alaia. Sampai detik ini Lana belum mendapat jawaban pasti dari Ragas mengenai cewek itu.
Lana bertanya serius, "Langit aneh gimana?"
"Masa Langit ga kenal Alaia. Tiap gue singgung soal Alaia, dia bingung kayak ga tau apa-apa. Gue jadinya ikutan bingung kenapa dia bingung," papar Ragas.
Lana berpikir keras. Dia menggaruk dagu sambil memutar ulang ucapan Ragas di dalam benaknya. Apa yang lelaki itu katakan seperti candaan, padahal betulan.
"Ini kan mobil Langit, tadi tuh joknya lembab pas gue baru duduk di sini." Ragas memberi tau. "Gue kira ini apaan, pas gue cium ga ada baunya. Tapi banyak pasir."
"Pasir?" Mata Lana memincing.
"Iya, pasir pantai kayaknya. Beda sama pasir jalanan." Ragas menjawab.
Lana makin keras memikirkan ini. Ia menggigit ujung kuku jempolnya pertanda ia gugup tapi juga cemas. Lana menunduk, mulai mengingat kejadian-kejadian yang pernah ia alami dan berhubungan dengan Alaia.
"Gue sebenernya ngerasa agak aneh sama Alaia," ucap Lana. "Bukan aneh dalem artian jelek, tapi sebaliknya. Dia tuh kayak apa ya...."
"Apa?" Ragas menoleh.
"Beda sama kita." Lana membalas.
Ragas memiringkan kepala, ia berpikir. "Beda gimana?"
Lana teringat ketika ia lihat Langit nyebur ke laut saat mereka pergi ke pantai untuk ikut bantu mendekorasi kapal pesiar. Dari atas kapal Lana melihat hampir semua adegan Langit bersama Alaia.
Lana juga memergoki Langit bertemu Alaia di tepi pantai dan terkejut melihat cewek itu tak mengenakan sehelai kain. Saat itu Lana belum mengetahui namanya, yang ia tau itu adalah "Pawangnya Langit."
Meski Alaia terlihat aneh di matanya, tapi ada hal lain yang membuat Lana yakin adanya sesuatu spesial dari Alaia. Ia merasakannya ketika mereka baru pertama kali berkenalan.
Apalagi Lana lihat sendiri Alaia mengenakan sebuah kalung yang memiliki sejarah tak biasa.
Itu mengapa Lana sangat melindungi Alaia dari Lila, atau dari orang-orang yang berpotensi menyakitinya. Lana merasa ada hak untuk itu.
"Ragas, kita di mana?" Lana bertanya sambil mengamati jalan raya.
"Jalan Raden," ucap Ragas.
"Deket pantai, kan? Ke pantai dulu ya!" kata Lana. "Ada yang harus gue tunjukin ke lo. Gue rasa ini penting...."
⚪️⚪️ To Be Continued ⚪️⚪️
🌙 PENYEGARAN SEJENAK 🌙
————————————————
haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍🧜🏻♀️
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕
social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid @alaiaesthetic (readers Alaia wajib follow nihh)
see yaaa🕊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro