Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22. Anger

22. Anger

Bastian sayang Lila, tapi juga tak bisa melepaskan Syadza. Maka, jalan terbaik untuk Bastian adalah menjadikan dua perempuan itu pasangannya.

Lila berperan sebagai orang yang akan selalu Bastian beri segala yang ia punya, lalu Syadza akan dijadikan tempat untuk singgah ketika ia butuh 'hiburan'.

"Sayang, kenapa sih diem aja?" Syadza menyeletuk karena sejak tadi Bastian lebih banyak bungkam.

Cowok itu melepas sedotan dari mulut dan menatap cewek yang duduk di hadapannya ini. "Lagi mikirin sesuatu."

"Mikirin apa?" Syadza membalas.

Lalu Bastian menjawab, "Pacar pertama aku."

Lantas Syadza mendengkus sebal dan bersandar ke kepala kursi sambil melipat kedua tangan di depan dada. Wajahnya murung, pertanda ia tak suka omongan Bastian.

"Apaan sih! Kamu lagi sama aku, ga usah mikirin orang lain." Syadza berujar ketus.

"Tapi dia tiba-tiba masuk ke pikiran aku." Bastian menyahut sambil memberi gestur menyentuh kepala.

Makanan dan minuman di hadapan Syadza seketika tidak terlihat menggugah selera. Suasana hatinya langsung berubah jadi kelabu, padahal baru beberapa menit lalu ia sangat senang diajak jalan bersama sang pacar.

Bahkan kini Bastian sama sekali tak kelihatan merasa bersalah. Cowok itu tidak minta maaf telah membuat hati Syadza sakit atas ucapannya soal Lila.

Menyadari raut muka Syadza yang semakin muram, Bastian tiba-tiba tertawa kecil sambil menyentuh jemari tangan Syadza dan ia raih untuk dicium cukup lama.

"Ngambek ya," kekeh Bastian. "Jangan dong... tadi aku bercanda."

"Tapi boong. Hehehe." Bastian nyengir.

Kemudian ia melepas genggamannya dari jemari Syadza dan menyedot minumannya lagi sebelum kembali bercuap. "Jujur, aku ga bisa ilangin Lila dari pikiran aku."

"Ish, nyebelin banget! Bisa ga sih ga usah omongan dia di depan aku? Kamu udah ngabisin waktu banyak banget sama dia, terus sekarang giliran sama aku kamu malah ngebahas dia terus!" Syadza dongkol.

"Aku ga suka diginiin, aku ngerasa ga dihargain kamu, Bas." Syadza melanjutkan. "Kamu bilang mau adil. Tapi apaan kayak gini? Adil darimananya?!"

"Aku cuma pengen jadi pacar yang jujur sama kamu, Sayang." Bastian berkata tanpa beban.

Remaja itu menggeser kursi sedikit lebih maju, menatap Syadza cukup mendalam. Syadza membalas tatapan itu, mukanya kelihatan sangat kesal.

"Aku belom bilang kan, apa tujuan aku ajak kamu ke sini?" papar Bastian.

Syadza tak menjawab, ia tutup mulut rapat-rapat karena sudah semakin jengkel menghadapi Bastian yang berlaku seperti itu terhadapnya. Rasa ingin mencakar Bastian dengan kuku-kukunya yang panjang.

"Lila ga bisa diajak pergi, makanya aku ajak kamu." Cowok itu berucap. "Padahal tujuan aku ajak Lila mau minta dia bantu pilihin jas buat aku."

"Berhubung Lila ga ada... ya udah, kamu aja." Bastian menambahkan.

Wajah Syadza sempat mengerut tanda bingung. "Jas buat apaan? Kamu ada acara apa?"

"Aku bentar lagi mau nikah," tutur Bastian, "sama Lila."

Tentu Syadza terkejut. Dia bahkan terperangah dan tak percaya apa yang Bastian katakan itu benar. Dada Syadza berdebar cepat, aliran darah seperti menumpuk ke wajah.

"Kamu mau nikah, Bas?" Suara Syadza sedikit berubah lebih berat.

Bastian mengangguk. "Secepetnya. Kamu mau juga? Biar aku atur."

"Gila kamu, Bas!" Syadza meledak, ia tak bisa mengontrol teriakannya.

"Aku nggak gila, Sayang. Aku kan nawarin kamu, mau nikah sama aku juga atau nggak." Bastian berkata terlalu santai.

Mata Syadza berkaca-kaca, banyak air menumpuk di pelupuk. Kalau ia berkedip, pasti air mata langsung rembes dan membasahi pipinya.

"Kamu bilang bakal tanggung jawab. Kamu bilang bakal putusin Lila. Kenapa sekarang malah begini jadinya?" Syadza menahan tangis. Tangis akibat rasa kesal terhadap Bastian.

"Iya, I'm so sorry, Baby." Bastian menyahut, memamerkan tampang menyesal yang terlihat palsu.

"Aku ga mau tau, kamu sekarang harus pilih!" Syadza menyambar. "Pilih aku atau Lila!"

"Ah, Sayang, jangan kayak gitu." Bastian memelas. "Aku ga bisa lepasin kalian. Maunya kita tetep sama-sama. Aku ga bisa lepas dari Lila, aku juga ga bisa putusin kamu."

"Aku bilang PILIH!" Suara Syadza meninggi.

"Nggak bisa," cetus Bastian.

"Pilih aku atau Lila?" Syadza menatap Bastian tanpa mau mengindahkan ucapan cowok itu.

Bastian menggeleng. "Mau dua-duanya. Kamu itu selingkuhan aku, jangan minta lebih dong, Sya."

"Kamu bener-bener kelewatan ya, Bas." Syadza kemudian beranjak dari kursi, bergegas pergi dari sini. "Aku mau temuin Papa kamu aja, ngomong sama kamu bikin capek!"

"E-eh, jangan!" Bastian langsung mengejar dan mencegah Syadza melakukan itu.

"Jangan ah, ngapain kamu mau nemuin Bokap? Kamu tega ngeliat aku diceramahin mulu?" Bastian makin melas —tentu saja dibuat-buat.

"Kalo gitu, pilih yang tadi!" Syadza menantang.

"Nggak bisa, Sya." Bastian tetap pada pendiriannya.

"Aku ga mau jadi pacar kamu lagi kalo kamu ga putusin Lila dan batalin pernikahan kalian!" Syadza berseru keras.

"Aku tunggu jawaban kamu tiga jam dari sekarang," tegas Syadza. "Kalo aku tetep ga dapet jawaban, aku bakal bongkar rahasia kita ke Papa kamu dan Lila."

"Awas kamu ya. Anak kamu udah mulai kebentuk di sini." Syadza menyentuh perutnya. "Jangan sampe aku bikin dia ancur."

Kemudian Syadza berbalik, meninggalkan Bastian yang terdiam di sana dengan segala pikiran yang membuatnya pening seketika.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Mobil Bunda terparkir di depan rumah sakit. Beberapa menit lalu ia melakukan pertemuan dengan seorang Dokter untuk membahas sesuatu yang sangat penting.

Saat ini Bunda terhubung dengan Ayah melalui telepon. Bunda menunduk, menempelkan segumpal tisu ke ujung mata sambil bicara pelan.

"Jangan bilang anak-anak. Cuma kita yang tau," ungkap Bunda parau.

"Tapi mereka harus tau, Bun," balas Ayah.

Bunda menggeleng samar, menahan tangis yang hendak muncul lagi. "Jangan, Yah. Bunda ga pengen itu jadi beban mereka. Biar kita aja ya...."

"Kamu yakin? Ga enak ada rahasia di dalem keluarga," ujar Ayah. "Kamu tau sendiri Langit gimana kalo tau ada yang disembunyiin. Marahnya kayak setan, Bun."

Isak Bunda membuat Ayah bersedih. Jarak mereka menjadi penghalang yang menyebalkan, padahal Ayah ingin sekali memeluk Bunda.

"Jangan nangis, Bun." Ayah berujar. "Tenangin diri kamu."

"Iya, Ayah ga bilang ke mereka. Ayah nurut sama kamu aja," celetuk Ayah.

Bunda memejamkan mata, masih menunduk dan berusaha menghentikan buliran air yang jatuh terus. Bunda menarik napas panjang untuk bisa bernapas lebih lega.

"Jaga kesehatan, tetep berdoa. Tunggu Ayah pulang, Ayah mau langsung peluk Bunda." Ayah berucap lagi.

Usai bercakap dengan Ayah sampai bermenit-menit lamanya, Bunda mengakhiri sambungan telepon mereka. Wanita yang memiliki paras cantik nan awet muda itu sedang menenangkan diri seperti yang Ayah katakan tadi.

Sesudah ini, Bunda akan kembali melanjutkan perjalanan untuk mengurus usaha dan mencari guru buat Alaia. Anak-anaknya tidak tau bahwa ia pergi ke rumah sakit karena Bunda sangat merahasiakannya.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Nana dan Zito duduk berdampingan di sofa ruang keluarga. Selly di kamar, anak itu memberi waktu untuk orang tuanya agar bisa berduaan.

Wanita cantik yang memiliki sifat lembut itu menyentuh paha Zito, lalu mengusapnya ringan. "Pa, aku pernah ingetin kamu buat jangan terlalu deket sama Kai."

"Selly aja nggak suka dia. Katanya Kai galak, suka maksa juga." Nana menambahkan.

"Iya. Tapi Kai itu butuh orang yang bisa bawa dia ke jalan yang bener, biar ga makin sesat." Zito membalas.

"Dia sering kurang ajar sama kamu, Pa." Nana berujar. "Malah dia berani buang kamu dari kapal. Apa itu nggak jahat?"

"Dia ga mau dengerin kamu. Percuma kamu ajarin dia," tutur Nana.

"Pikiran dia cuma uang, uang, dan uang. Dia tega lepasin sahabatnya demi uang. Dia berani pake cara jahat demi uang. Itu ciri orang toxic, Pa." Nana menatap Zito dari samping.

"Faktanya, Kai rela kehilangan semuanya asal jangan harta. Dia bisa gila kalo uangnya ilang walau jumlahnya sedikit." Ucapan Nana sangat benar.

Zito membuang napas seraya mengusap wajah. Pertemuannya dengan Kai tadi memang tidak bisa dibilang baik. Dia menceritakan semuanya pada Nana, lalu istrinya itu langsung mencurahkan segala isi hatinya pada Zito mengenai Kai.

"Saran aku, kamu ga usah temuin Kai lagi. Udah, cukup sampe sini dia rendahin kamu." Nana memberi usul. "Kamu terlalu sabar ngadepin dia. Kamu terlalu baik. Aku ga bisa liat kamu diperlakuin begitu. Ga pantes."

"Iya, Ma." Zito mengangguk, mengiyakan apapun yang Nana ucap.

"Jangan temuin Kai lagi. Dia bukan temen yang baik buat kamu," peringat Nana. "Dia bukan temen yang mau sukses bareng. Dia egois."

Pada akhirnya Zito menuruti omongan Nana. Ia merangkul sang istri seraya mengecup kepalanya sekilas dan berkata, "Beruntung aku punya kamu, Na."

"Gombal. Diajarin siapa? Selly?" Nana menahan tawa.

Zito cekikikan, ia lupa-lupa ingat. "Kayaknya iya."

Nana ikut tertawa dan menepuk ringan perut Zito. Tawa Nana menjadi salah satu hal yang Zito favoritkan, karena tiap wanita itu tertawa, mukanya jadi bertambah cantik dan lucu.

Apalagi segaris lesung yang muncul di bawah mata Nana, menambah kadar pesonanya.

Meski Zito sudah mengiyakan untuk tidak berhubungan lagi dengan Kai, tapi masih ada satu hal yang harus ia selamatkan dari Kai. Ini tentang Alaia.

⚪️ ⚪️ ⚪️

Hari berganti malam.

Langit, Ragas dan Alaia baru tiba di rumah pukul sembilan. Pulangnya mereka disambut Bunda yang hampir ketiduran di sofa.

Bukannya menanyakan kabar dua anak lelakinya, malah Alaia yang pertama kali Bunda datangi. Beliau menyentuh lengan Alaia dan mengamati wajah polos itu. Senyum Alaia membuat Bunda tenang.

"Hai Bunda," sapa gadis itu.

Ketika Bunda beralih menatap Langit serta Ragas, yang ada hanya tampang lelah dan ngantuk. Dua makhluk itu nyelonong masuk setelah menyalim tangan Bunda.

"Baru sampe rumah udah laper lagi," celetuk Ragas.

"Ayo balapan." Langit mengajak.

Maka, Langit serta Ragas berlomba-lomba untuk tiba lebih dulu di dapur. Mereka rusuh banget, membuat suasana rumah seketika jadi ramai.

Sambil lari, Langit sempat-sempatnya teriak ke Alaia, "Aia, langsung mandi!"

Mendengar suara Langit, Alaia mengangguk walau cowok itu tak melihat. Dengan suaranya yang lembut, Alaia bicara pada Bunda, "Aku harus mandi, Bunda."

"Udah makan, belum?" tanya Bunda.

Alaia mengangguk. "Tadi aku makan nasi, warnanya coklat... keren."

"Enak ya?" Bunda menyahut dengan senyum lebar.

"Enak. Aku suka," kata Alaia senang.

Bunda lalu mengajak Alaia masuk sambil berbincang ringan. "Abang-abang kamu laper lagi tuh. Kamu mau makan lagi, nggak?"

"Aku kenyang, Bunda." Alaia menjawab.

Bunda tersenyum lagi. "Ya udah, mandi aja ya."

Alaia pergi ke kamar untuk membersihkan diri. Sementara itu Bunda menghampiri dua anaknya yang berisik di dapur. Tiba di sana, Bunda lihat Langit mencari bahan makanan di kulkas, lalu Ragas berusaha menyalakan kompor yang apinya tidak kunjung muncul.

Bunda berdiri di ambang pintu dapur sambil menahan tawa karena anak-anak itu belum menyadari kehadirannya.

"Lo yang masak, gue yang makan." Langit berucap sambil menyerahkan sebungkus sosis mentah ke Ragas.

"Gue racunin dulu baru gue kasih lo ya." Ragas membalas.

"Gue bakar rambut lo." Langit tidak mau kalah.

Jadi, mereka bukan hanya sibuk memasak makanan, tapi juga sibuk berceloteh. Bunda sudah biasa mendengarkan obrolan tidak penting mereka, tapi selalu saja Bunda tertawa akan kelakuan anak-anaknya itu.

"Sini, biar Bunda yang masak." Wanita itu berujar seraya mendekat ke mereka.

"Eh, ga usah, Bun! Gapapa Agas aja," ujar Ragas yang terkejut tiba-tiba ada Bunda.

"Bunda duduk aja di sini." Langit menarik satu kursi dan mempersilakan Bunda untuk duduk. "Duduk yang anteng ya, Bun, biar Langit ambilin minum."

"Bunda mau susu atau jus?" tanya Langit.

"Mau jus dong, Angit," kekeh Ragas.

"Ga nawarin lo." Langit menyeplos ketus.

"Ya udah atuh, sosisnya buat gue semua. Lumayan ada dua puluh." Ragas menyahut.

"MARUK SIA!" Langit ngomel, suaranya menggema di sudut dapur.

"Hanjing, suara lo biasa aja napa!" Ragas kaget mendengar teriakan adiknya.

"Langit...," tegur Bunda.

"Kelepasan, Bun." Langit berucap kikuk. Kalau sama Bunda, dia pasti menggunakan suara selembut mungkin. Berbeda bila bicara dengan Ragas yang harus pake urat.

Sehabis itu, Langit membuatkan minum untuk Bunda. Di dalam kulkas tersedia berbagai minuman kemasan dengan rasa yang bervariasi. Bunda paling suka jus melon, maka Langit menuangkannya ke sebuah gelas kosong.

Sambil menyerahkan minuman tadi ke Bunda, Langit duduk berhadapan dengan sang ibu dan berdeham pelan.

"Ada yang mau Langit bilang ke Bunda," ungkap Langit.

"Bilang apa, Sayang?" tanya Bunda.

"Uhuk uhuk." Ragas yang sedang menggoreng sosis itu berpura-pura batuk.

Bunda menyesap minumannya sambil menunggu Langit. Langit gugup, dia mengembungkan pipi dan buang napas berulang kali.

Setelah beberapa saat ia berpikir keras, Langit pun memberanikan diri mengatakan apa yang harus ia katakan. Lebih baik sekarang daripada menunda waktu.

"Langit mau ngeduluin Ragas, Bun." Langit berucap.

"Apanya?" Bunda kurang mengerti.

"Nikah," jawab Langit.

Seketika Bunda tersedak, dan Ragas langsung nengok dengan mata membulat. Bahkan sosis yang sedang digoreng tiba-tiba meletup.

⚪️ ⚪️ ⚪️

2 minggu kemudian.

Setelah beredar kabar tentang Bastian yang menikah di usia muda, pihak sekolah langsung memberi tindakan yaitu mengeluarkan Bastian dari daftar peserta didik mereka.

Bastian sama sekali tak keberatan ataupun protes, karena sejatinya dia benci sekolah. Jumlah alpa sudah terlalu banyak di buku absensi Bastian.

Meski begitu, segala masalah yang Bastian hadapi akan selalu menimpa orang tuanya. Deon dan Clarie harus menanggung malu, meski tidak banyak orang yang mengetahui ini.

Saat ini, keluarga besar Bastian dan Lila sudah berkumpul untuk melaksanakan acara yang telah Bastian nantikan sejak lama. Keinginannya menikah baru akan terwujud sekarang, walau tidak bisa mengundang banyak orang.

Senyum Bastian terukir lebar, ia berdiri di depan cermin besar dan mengamati penampilannya dari atas hingga bawah. Ia merasa makin cakep dan memesona.

Bastian tidak mengenakan celana panjang, melainkan pendek sebatas lutut karena pernikahannya diadakan di dekat pantai.

"Ganteng banget gue." Bastian memuji dirinya.

Kemudian cowok itu beranjak dan pergi ke kamar tempat Lila berada. Setelah memutar kunci, Bastian buka pintu dan masuk ke sana.

Lila duduk di kursi dengan kedua tangan berada di belakang dan diikat. Ia mengenakan gaun putih dan riasannya membuat Lila semakin cantik.

"Halo, Sayang. Udah siap?" Bastian bertanya.

"LO BANGSAT." Lila menyentak. "Gue ga mau nikah sama lo! Jangan paksa gue!"

"Harus mau. Kita ini jodoh, Sayang." Bastian berucap.

"NGGAK." Lila teriak.

"Iya ih." Bastian memasang mimik sedih.

Lila menggeleng cepat. "JIJIK!!!"

Bastian makin mendekat dan kini dia berdiri tepat di hadapan Lila. Ia membungkuk, menyentuh tengkuk Lila, mencoba mengecup bibir itu tapi Lila menghindar.

"Jangan marah terus, kamu harus keliatan bahagia." Bastian berujar. "Jangan bikin Mama Papa kita sedih, Cantik."

"BACOT LO!" Lila menghardik.

"Calon istri aku kalo lagi marah lucu banget," kekeh Bastian seraya menatap Lila. "Jadi makin cinta deh aku."

"Jadi makin susah lepasin kamu," tambah Bastian.

"Buat apa lo hidup sama orang yang nggak cinta sama lo?" Lila semakin kesal. "Mikir dong! Gue udah ga ada rasa sama lo, Bastian!"

"Ga mau mikirin itu." Bastian menyahut. "Yang penting aku sayang kamu."

"Ga sabar mau honeymoon. Kita keliling eropa atau asia nih? Atau semuanya?" Bastian malah bicara makin jauh.

"Nanti aku mau bawa kamu pindah ke luar negeri. Biar kamu jauh dari Langit," celetuk Bastian disusul senyum licik andalannya.

"NGGAK!" Lila kalang kabut, tidak mau berpisah dengan Langit.

"Status kita sebentar lagi berubah. Jadi, kamu harus nurut sama suami kamu. I love you, Delila." Bastian mengecup pipi Lila sekilas.

Mimpi buruk Lila semakin menjadi nyata. Dia mau menangis dan meraung-raung karena dirinya tidak terima diperlakukan seperti ini oleh Bastian. Hatinya sudah sakit akibat dikhianati, fisiknya sudah lelah dijadikan boneka, lalu sekarang ia dipaksa menikah dengan seseorang yang perlahan akan merusak mentalnya.

"Aku mau kita hidup bahagia bertiga," celetuk Bastian kemudian. "Aku, kamu, Syadza."

Tanpa terpikirkan sebelumnya, Lila tiba-tiba meludah ke wajah Bastian dan mencebik, "Liat aja. Gue bisa lepas dari lo!"

⚪️ ⚪️ ⚪️

Tangan Langit gemetar ketika hendak menyematkan cincin di jari manis Alaia. Dia tidak bisa serius, bawaannya mau ketawa terus.

Apalagi Ragas yang berperan sebagai tim hore, kerjanya teriak sambil mengibarkan pom-pom yang ia bikin dari tali rafia ketika mereka masih di rumah.

Sekarang mereka berada di pantai, tepatnya di dermaga yang menjadi tempat favorite Langit juga Alaia.

Di sini ada Bunda, Lana, serta teman-teman Langit dan Ragas yang bersatu untuk mendukung Langit melamar Alaia. Jantung mereka ikut berdebar menyaksikan ini meski acaranya tidak formal, lebih terkesan santai dan penuh gelak tawa.

"BISMILLAH, NGIT!" Skipper berseru.

"GUE BANTU DOA. DALAM NAMA YESUS." Nemesis menyahut dan langsung menunduk sambil menyatukan jemari tangannya.

Lalu Indigo dan satu orang lain menggerakkan tangan tanda doa dalam kepercayaan Katolik.

"Nah, banyak agama nyumbang doa buat lo. Power-nya ga ada obat, Ngit!" Ragas menyambar.

"Ayo, cepet masukin cincinnya! Pasti bisa!" Lana ikut menyemangati, ternyata dia geregetan juga.

Langit menarik napas sangat dalam sampai dia terbatuk. Di hadapannya ada Alaia yang menunggu kelanjutan aksi Langit. Senyum Alaia bagai obat yang mengurangi rasa nervous-nya.

"Angit bisa." Alaia berkata. Suara lembutnya meneduhkan hati.

Dengan rasa yakin yang makin bertambah, Langit lanjut memasang cincin itu ke jari Alaia. Seketika semuanya diam, menunggu cincin tersebut terpasang sempurna di sana.

Sedikit lagi... hampir masuk.

Hingga akhirnya....

"ALHAMDULILLAH!!!"

"PUJI TUHAN!"

"YA ALLAH AKHIRNYAAA."

Semuanya kompak bersorak dan berlari menghampiri Langit da  Alaia untuk memeluk keduanya. Cowok-cowok itu menyerang Langit, sementara Alaia sudah diambil duluan oleh Lana agar tidak disentuh cowok manapun.

"Ga nyangka, adek gue beneran tunangan!" Ragas menepuk bahu Langit.

"Ga nyangka, Ragas masih aja ga laku!" Nemesis menyahut.

"BLENGCEK." Ragas mengamuk dan langsung menampol temannya itu.

"Lana kapan mau lo jedor, Gas?" Leza berucap setengah teriak, mengalahkan suara angin laut.

Mendengar namanya disebut, Lana menoleh. Karena Lana nengok, teman-teman Ragas langsung heboh dan jingkrak-jingkrakan —tidak terkecuali Langit.

Lana menahan senyum, kelihatannya ia agak salah tingkah. Bunda yang melihat itu lantas tertawa kecil. Di depan Bunda ada Alaia dan Lana, hanya mereka bertiga perempuan.

Bunda menarik Alaia untuk dipeluk, memberi selamat dan mengecup kening serta kedua pipinya. "Anak Bunda sekarang jadi calon menantu Bunda nih. Hihihi."

Alaia tersenyum dan kembali memeluk Bunda. Nyaman sekali berada di pelukan Bunda, membuat Alaia tenang dan lebih bahagia.

Andai Alaia tau di mana keberadaan ibu kandungnya. Mungkinkah ia bisa merasakan kehangatan seperti ketika dirinya sedang bersama Bunda?

Tak lama kemudian, Langit datang untuk merebut Bunda dari Alaia. Cowok itu memeluk Bunda, mencium tangan serta wajahnya berulang kali. "I love you full, Bunda," ucap Langit.

Lalu Langit menoleh ke Lana. "Lo dipanggil Ragas tuh. Mau diajak kawin di situ."

"Heh!" Lana melotot.

Langit terbahak, gemar sekali meledek orang lain. Sambil tetap tertawa, Langit beralih ke Alaia. Cowok itu bersikap seperti angsa yang suka menyambar manusia dengan mulutnya.

Iya, Langit mencium Alaia.

Momen kebersamaan ini sangatlah istimewa. Kebahagiaan Langit dan Alaia menular, bikin semua orang ikut merasakannya. Teman-teman dan keluarga Langit tau bahwa Langit sejak dulu memiliki rencana nikah muda. Dan kini sedikit lagi impiannya tercapai.

Setelah bertunangan, akan ada beberapa tahap menuju pernikahan. Prosesnya tidak mudah, membutuhkan waktu beberapa bulan hingga semuanya siap.

Tak seperti Lila dan Bastian yang menikah dadakan karena adanya peristiwa hamil di luar nikah.

Awalnya langit nampak cerah dan laut begitu tenang, tapi tiba-tiba semuanya perlahan berubah menjadi gelap. Alaia menengadah, melihat pergerakan awan yang sedikit demi sedikit bergumpal hingga menjadi nimbostratus.

"Mau ujan nih!" seru Nemesis.

Langit menoleh ke kiri dan kanan, lalu berhenti di Alaia. Insting Langit mengatakan bahwa semua ini ada hubungannya dengan Alaia, apalagi raut pucat pasi di wajah gadis itu.

"Aia, kenapa?" tanya Langit.

Alaia sedikit menunduk. "Takut."

Cewek itu meminta Langit mendekat, maka Langit menurut dan mendekatkan telinganya ke bibir Alaia. Ia mengatakan sesuatu yang hanya boleh didengar Langit. "Tolong kalian menjauh dari sini, aku perlu waktu sendiri."

Langit memandang Alaia lagi. "Gapapa kamu sendiri?"

Alaia memanggut. "Kamu cari tempat yang jauh dari dermaga ya."

Sebenarnya Langit berat meninggalkan Alaia sendirian di sini, namun ini permintaan Alaia dan hanya dia yang mengerti keadaannya. Mungkin ada sesuatu yang akan terjadi, tapi Alaia perlu waktu sendiri untuk menanganinya.

Lantas, semua orang yang ada di dermaga pergi ke suatu tempat untuk berlindung dari hujan yang akan datang. Alaia mengamati mereka semua sampai mereka menghilang dari pandangannya.

Kini Alaia berdiri di ujung dermaga, ia memandang jauh lautan luas yang gelombangnya tidak begitu tinggi namun nampak mengerikan dibanding beberapa menit lalu ketika cuaca cerah.

Alaia tak tau apa yang akan terjadi setelah ini, tapi ia yakin laut memanggilnya untuk kembali ke sana. Ini pertanda adanya sesuatu yang mengancam keselamatan Alaia.

Kurang dari dua menit, terdengar teriakan seseorang yang mendekat ke ujung dermaga. Orang itu berpakaian layaknya seorang pengantin, wajahnya penuh air mata.

Alaia menoleh, tersentak melihat orang itu.

Tadinya tujuan Lila kabur ke sini untuk menenangkan diri, tapi yang ia temukan malah Alaia.

"Ternyata kamu." Alaia berucap, bersamaan suara guruh makin besar.

Lila memindai figur Alaia dari atas hingga kaki, lalu menatap nyalang cewek itu. "Ngapain lo ikutin gue ke sini?!"

Alaia tercengang. Ia merasa tidak mengikuti siapapun, malah sejak tadi dirinya ada di sini sebelum Lila datang.

"Lo iri sama gue? Pengen juga pake gaun pengantin kayak gini?" Lila menyeletuk, memamerkan gaun indah yang melekat di badan rampingnya.

Alaia menggeleng. "Nggak."

"Bohong!" sentak Lila.

"Nih, lo liat!" Lila mengangkat tangan kanan, menunjukkan sebuah cincin di jari manis. "Ini cincin pernikahan gue sama Langit! Denger kan, SAMA LANGIT!"

Alaia menunduk, melihat cincin yang juga melingkar di salah satu jemari tangan kanannya. Arah mata Alaia mengundang perhatian Lila, bikin cewek itu ikut melirik ke situ juga.

"Cincin apaan itu?!" tanya Lila, mukanya merah.

"Tunangan." Alaia menjawab.

"Sama siapa?" Lila seketika merasakan sesuatu tak enak di dalam dada.

"Aku tunangan sama Langit." Alaia berkata dengan senyum kecil di bibirnya.

Lila terbakar api cemburu. Dia memekik dan mencoba merebut cincin tadi dari Alaia, tapi Alaia tak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Jangan banyak tingkah lo, Pelakor! Lo rebut suami orang, dasar jablay! Sok cantik, sok baik, sok sempurna! Mau gue ludahin muka lo, ha?!" Lila melontarkan kata-kata kotor.

Selanjutnya, Lila menyeret Alaia dan memaksa cewek itu ikut dengannya. Alaia tidak mau, tapi Lila juga tak ingin melepaskan cengkramannya dari lengan Alaia.

Mereka menepi dari dermaga. Sekarang kaki mereka bertemu dengan pasir. Lila membawa Alaia mendekat ke air, bikin Alaia panik dan semakin kalut.

Alaia menyerukan nama Langit, tapi ia tidak tau di mana keberadaan cowok itu. Alaia takut, dia kesulitan melepaskan diri dari Lila yang bertingkah seperti penjahat.

"Sini lo!" Lila menarik Alaia secara kasar, kaki mereka sama-sama mulai menyentuh air.

Ketika air mencapai lutut Alaia, Lila langsung paksa Alaia membungkuk dan menyeburkan kepala Alaia ke air. Tangan Lila berada di kepala Alaia, menekannya agar Alaia tidak bisa mencari oksigen untuk bernapas.

Nyatanya, Alaia mampu bernapas di dalam air.

Yang Alaia lakukan sekarang adalah bertahan agar seluruh badannya tak terendam di air, supaya ekornya tidak muncul.

"Mati lo!" Lila berseru, berharap Alaia kehabisan napas.

"Gue ga sabar mau buang mayat lo di laut, biar lo dimakan ikan-ikan!" lanjut Lila, pikirannya bagai psikopat.

"Laut itu ga suka ada lo di sini, karena lo bikin suasananya jadi sumpek! Lo ngotorin tempat!" sentak Lila.

"Lo denger suara itu?" Lila berucap setelah gemuruh mengisi langit. "Itu suara tanda bumi ga terima lo idup di sini! Makanya lo mati aja biar kebakar di neraka."

Omongan Lila salah. Alam marah bukan karena itu, melainkan karena sosok jahat seperti Lila mengancam hidup Alaia.

Alaia meraih tangan Lila yang menahan kepalanya, kemudian ia berdiri tegap dan berbalik untuk menghadap Lila. Lila baru akan mendorong Alaia, tapi Alaia lebih dulu menghindar.

Sebelumnya Alaia tidak pernah benar-benar marah. Ini adalah kali pertama dan Lila merupakan orang yang mengundang kemarahannya.

"Kamu ga boleh ganggu aku lagi." Alaia berucap, ekspresinya tidak ada —tak seperti biasanya.

"Jangan usik Langit, dia milik aku." Alaia melanjutkan.

"Jangan bicara sembarangan tentang laut, kamu bukan siapa-siapa," tambah Alaia lagi.

Lila tak mengindahkan semua ucapan Alaia. Ia ingin menyerang Alaia, tapi dalam waktu cepat hujan langsung turun deras disertai angin kencang. Gelombang laut meninggi, debur ombak menambah suasana jauh lebih mencekam.

Alaia masih berdiri di sana, menatap Lila dengan sorot tajam. Semakin lama, tatapannya membuat Lila bergidik dan mulai was-was.

Dengan gerakan cepat Alaia menarik Lila masuk ke dalam air dan membawa cewek itu jauh dari tepi. Lila tidak bisa berenang, dia bergerak-gerak tak tenang karena kesulitan bernapas.

Pandangan Lila kabur, tak mampu melihat jelas isi laut yang gelap seperti ini. Lila tidak menyadari bahwa sosok di depannya itu bukanlah manusia, melainkan makhluk berparas rupawan dengan ekor besar yang begitu unik dan cantik.

Namun ada yang beda di penampilan Alaia, yaitu matanya menyala dengan kuku-kuku tajam dan taring yang muncul di dalam mulutnya.

Alaia membisik Lila, "Setiap perbuatan jahat, selalu ada hukumnya. Ini hukuman buat kamu."

⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️

————————————————

happy 300k reads!!!
thanks a lot for 400K followers🙏🏿💙

————————————————

haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍🧜🏻‍♀️

kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕

social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid @alaiaesthetic (readers Alaia wajib follow nihh)

see yaaa🕊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro