21. Young Married
haay, selamat datang kembali di radenmart 🌛
lagi ada obral nih beli 1 gratis 3 💁🏿♀️
sebelum baca chapter ini, aku minta bintangnya dulu yaa~
— THANK YOU & HAPPY READING —
21. Young Married
Rambut Langit berantakan, ia baru saja terbangun dan langsung terbelalak melihat Alaia ada di sampingnya, masih tertidur pulas tanpa pakaian atas.
Jantung Langit tidak baik kondisinya. Seketika darah terasa naik semua ke muka Langit. Secepat itu dia mengubah posisi menjadi duduk dan menatap Alaia dalam diam.
Langit salah fokus karena Alaia sangat cantik ketika sedang terlelap. Pipinya pink, juga bibirnya yang kecil itu terlihat makin menggoda di mata Langit.
"Alaia," panggilnya.
Di detik berikutnya, pintu kamar Langit terketuk dan disusul suara lembut khas milik Bunda. "Langit, udah bangun belum, Sayang?"
Langit menelan salivanya dan rasa panik seketika menghampiri. Ia menjawab Bunda, "Baru bangun. Kenapa, Bun?"
"Kamu nggak liat Alaia, ya?" tanya Bunda.
Wajah Langit semakin panas. Bunda tidak tau bahwa Alaia ada di kamar ini sejak semalam. Langit yakin sekali, malam itu dia ketiduran dan lupa mengajak Alaia kembali ke kamarnya.
"Nggak liat, Bun," jawab Langit berbohong.
Ampun, Bunda. Ya Allah pagi-pagi udah boong, batin Langit meraung.
Di waktu yang sama saat Langit menjawab pertanyaan Bunda, Alaia bangun dan langsung meregangkan otot serta mengeluarkan suara eluhan. Langit terkejut dan spontan membekap Alaia agar suaranya tak didengar Bunda.
"Sst." Langit menyuruh anak itu diam.
Alaia yang baru bangun dan nyawanya belum terkumpul penuh, tentu terkejut karena tiba-tiba disuruh diam oleh Langit. Ia tidak tau salahnya di mana.
"Diem ya, ada Bunda di depan kamar lagi nyari kamu," ujar Langit bisik-bisik. "Kalo Bunda tau kamu di sini, nanti kita dihukum. Mau dihukum?"
Alaia menggeleng cepat.
"Kamu cepetan keluar kamar, sarapannya keburu dingin nanti. Kalo kamu liat Alaia, langsung ajak makan ya," tutur Bunda.
"Siap, Bunda!" Langit berseru.
Kemudian terdengar langkah Bunda menjauh dari kamar Langit. Setelah kondisi aman, Langit melepas bekapannya dari Alaia.
"Mau makan," celetuk Alaia.
Langit meraih piyama Alaia yang tergeletak di dekat kakinya. Ia juga mengambil kaus putihnya yang semalam dilepas lalu ditaruh sembarangan di kasur.
Alaia duduk, memakai piyama itu dan menutup seluruh kancingnya. Langit belum mengenakan kaus, malah diam mengamati Alaia.
"Aia," panggil Langit.
Gadis itu mendongak, tepat setelah selesai berurusan dengan piyama. "Iya?"
"Maaf soal semalem." Langit berucap. "Aku kebawa suasana."
Alaia mengedip sekali. Ia menatap cowok di hadapannya ini dan memberi seulas senyum manis. "Aku ga tau salah kamu apa, tapi gapapa, tetep aku maafin."
"Aku udah grepe-grepe kamu. Itu salahnya," ungkap Langit.
"Grepe-grepe?" Alaia mana paham.
"Itu." Langit bingung bagaimana menjelaskannya. "Aku pegang badan kamu. Cium kamu sembarangan juga."
"Oh, itu namanya grepe-grepe." Alaia mengangguk tanda mengerti.
Tiba-tiba Alaia menyentuh perut, dada, dan tangan Langit dengan telunjuknya. Lalu ia condong ke Langit untuk mengecup pipi.
Alaia menyeletuk, "Aku abis grepe-grepe kamu. Berarti kita sama-sama salah."
Gubrak!
"Bukan gitu, Sayang." Langit sangat sabar menghadapi gadis ini.
Alaia menggaruk leher dan berpikir lagi, apa maksud Langit. Melihat ekspresi bingung Alaia bikin Langit tak kuasa menahan tawa.
"Aku ganti deh kata-katanya. Semalem kita foreplay," ralat Langit.
"Foreplay itu pemanasan sebelom nge-sex. Tapi kita ga sampe ke tahap itu." Langit menjelaskan secara singkat. "Tau sex, kan? Momen pas kita berhubungan badan."
"Kalo ga ngerti biar kita praktekin sekarang." Langit menyeplos karena Alaia diam tak merespon.
Setelah sekian detik cosplay jadi patung, akhirnya Alaia bersuara. "Kalo having sex itu apa?"
"Nah itu, sama kayak yang aku bilang tadi," ujar Langit, "kamu tau darimana kata having sex?"
"Aku tau dari Paman." Alaia menjawab.
Langit mengerutkan keningnya. "Paman bilang apa?"
"Sini kamu, Paman mau nyoba having sex sama kamu. Nanti Paman ajarin." Alaia mengulang ucapan Kai kala itu.
Ungkapan Alaia mengundang kegeraman Langit. "Respon kamu gimana?"
"Nggak gimana-gimana," jawab Alaia.
"Kamu sama Paman ngapain abis itu?" tanya Langit lagi.
"Ga tau, aku tidur karena ngantuk. Itu malem-malem, tapi aku ga tau jam berapa." Alaia menjawab cukup santai tanpa beban.
"Ya Allah, Alaia," gumam Langit.
Ternyata benar firasat buruk Langit mengenai Kai. Kai betul-betul bejat. Pantas saja pria itu mengejar Alaia terus, tau-tau ada hal yang diinginkan Kai terhadap Alaia.
Kurang ajar.
Ini adalah tanda-tanda kiamat bagi Kai. Langit tak akan membiarkan pria itu berbuat macam-macam pada Alaia. Langit tidak akan memberi kesempatan pada Kai untuk menyentuh, bahkan bertemu Alaia lagi.
"Kamu pernah disentuh Paman?" Langit bertanya terhati-hati.
"Pernah." Alaia menjawab.
Langit sebenarnya takut mendengar jawaban Alaia. "Apa yang disentuh?"
"Tangan," jawab Alaia sekenanya.
Langit terdiam sebentar dan membuang napas berat. "Selain itu?"
Kini Alaia menggeleng. "Nggak ada lagi. Paman lebih sering ngomel ke aku, daripada sentuh-sentuh."
Sungguh malang nasib Alaia. Tinggal bersama Kai yang tak punya hati. Seenaknya pria itu memperlakukan Alaia dengan buruk, padahal gadis itu selalu bersikap baik padanya.
Langit yang mendengar cerita Alaia cuma bisa menunduk. Ia meraih tangan Alaia, mengecup jemarinya sambil memejamkan mata. Langit melakukan itu penuh penghayatan.
"Aku sayang kamu, Aia." Langit berkata kemudian.
Senyum Alaia terukir lebar. Ketika mereka kembali saling melempar tatap, Langit pun bersuara lagi. "Aku yang bakal jaga kamu dari Paman."
Alaia mengangguk, merasa aman setelah Langit berkata demikian. Gadis itu beranjak, ia menggunakan lutut untuk berdiri dan makin mendekat ke Langit. Lalu tiba-tiba Alaia menjatuhkan badan ke cowok ini, spontan Langit memeluknya.
"Sayang Langit," kata Alaia.
Langit bisa merasakan Alaia mempererat pelukannya. Cowok itupun mendaratkan kecupan di bahu Alaia dan membalas erat pelukan itu.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Kai meraung keras karena kakinya ngilu setelah tidak sengaja ia menabrak kaki brankar saat baru kembali dari toilet.
"Anjing!" Kai memukul kasurnya.
Pria itu meraih tombol untuk memanggil perawat. Dia sudah menyiapkan segala macam bentuk makian buat orang-orang itu karena sudah membuat kakinya sakit.
Hanya berselang detik, ada perawat yang datang ke kamar ini. Mereka cukup cemas melihat Kai berdiri di samping brankar dengan wajah marah.
"LO BERDUA TAU GAK GUE KENAPA!?" Kai berteriak, ia membentak.
"Kaki gue nendang brankar! Sakit banget!" Pria itu berseru keras.
"Ini kesalahan rumah sakit kenapa bisa-bisanya naro brankar sembarangan di sini!" lanjut Kai.
"Gue bisa tuntut kalian." Sekarang Kai menunjuk wajah para perawat itu. "Gue juga bisa bikin kalian dipecat!"
Karena Kai melantur sembarangan, maka salah satu perawat berinisiatif mengingatkan. "Tapi, brankar ini posisinya sudah paling tepat, Pak. Biar pasien nyaman juga. Seharusnya Bapak lebih hati-hati saat berjalan biar nggak nendang brankar."
"Lo ngajarin gue?!" Kai semakin berapi-api.
"Bukan maksud saya begitu. Tapi, Bapak—"
"DIEM!" sentak Kai, menyela pembicaraan perawat tadi. Ia terlihat sangat benci dengan situasi ini. Sambil menatap nyalang kedua orang itu, Kai berseru, "Dasar kalian orang-orang kurang ajar. Awas ya! Saya bikin kalian didepak dari rumah sakit ini!"
"Maaf, Pak, maaf kami kurang sopan. Lebih baik Bapak istirahat, kondisi Bapak masih belum pulih sepenuhnya." Suster yang berparas lebih muda itu berkata.
"Jangan banyak omong! Pergi sana!" Kai malah mengusir.
"Sarapannya jangan lupa dihabiskan ya, Pak. Obat-obatnya diminum jangan sampai telat." Sang Perawat mengingatkan demi kebaikan Kai.
"Sok baik," cibir Kai.
"Ga usah dikasih tau, gue lebih tau apa yang terbaik buat hidup gue!" Kai menambahkan. "Dasar orang-orang munafik."
Sebagai seorang perawat, mereka hanya bisa 'elus dada'. Menjadi sasaran kemarahan pasien membuat mereka harus banyak-banyak sabar, meski sebenarnya sakit sekali perasaan mereka dimaki-maki seperti itu —apalagi faktanya mereka tidak salah.
"Pergi!" Kai menghardik. "Jangan bikin gue makin muak."
⚪️ ⚪️ ⚪️
Pagi-pagi Lana sudah selesai mandi, rambutnya masih terbungkus handuk. Di tangan dia ada secangkir susu hangat buatan Nenek tercinta.
Lana pergi ke kamar, senyumnya mengembang saat ia lihat kado-kado berserakkan di lantai dekat meja rias.
Sebelum membuka kado itu, ia menaruh cangkir di atas nakas dan barulah ia duduk di lantai sambil melihat-lihat benda yang terbungkus berbagai kertas dengan motif yang beda-beda.
"Ah, banyaaak." Lana senang.
"Ga salah gue ingetin semua orang buat kasih gue kado. Jadi panen deh...," kekeh Lana.
Kado pertama yang Lana buka adalah dari seseorang yang pernah membuat hari-harinya dipenuhi cinta. Lana sadar diri, ia hanya cinta sendirian. Tapi, tak apalah. Lana tidak menjadikannya sebuah masalah besar.
"From Daren, to Lana." Gadis itu membaca tulisan tangan yang tercantum di sana.
Lana menyobek kertas kado sampai memperlihatkan kotak berwarna lilac yang begitu cantik. Mata Lana berbinar, ia langsung membuka penutup kotak untuk melihat isinya.
Ada lima case dengan tipe handphone Lana. Semuanya keren dan sesuai selera dia. Ada juga sepucuk surat singkat yang berisi goresan tangan Daren.
Gue tau lo suka gonta-ganti case hp.
Dipake ya, jangan dirusak.
—Daren
"AAA KOK TAU?" Lana memekik riang. "Dia merhatiin gue dong!"
"Oke, kalem, Lana. Daren udah punya cewek, gue ga boleh baper lagi...." Lana menenangkan diri sambil menarik napas panjang.
Hadiah dari Daren ia tepikan, sekarang Lana meraih kado dari Ragas. Kado itu dibungkus dengan kertas hitam, benar-benar tidak ada motif ataupun gambarnya. Polos hitam... seperti hati Ragas.
Usai disobek kertasnya, kini Lana meraih kotak putih bergaris silver yang ada di dalamnya. Kotaknya berukuran sedang, dengan secarik post it yang tertempel di bagian atas.
Tulisan tangan Ragas berantakan seperti ceker ayam, tapi masih bisa Lana baca.
Dari Ragas ganteng buat Lana jelek
"Hih, ngeselin banget." Lana menahan tawa.
Perlahan Lana membuka kotak itu, dia tanpa sadar merasakan jantungnya berpacu sangat kuat sampai sekujur badan merinding.
Tapi... setelah penutup kotak dibuka, Lana spontan melemparnya dan memekik keras, "Ish, Ragas!"
"GILA, GUE DIKASIH VOODOO." Lana histeris.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Alaia kabur dari dapur setelah lihat Bunda menggoreng ikan.
Cewek itu lari-larian entah mau ke mana. Langit yang melihatnya lantas mengejar. Ragas malah tertawa, apalagi eskpresi panik yang tertera jelas di wajah Alaia.
"Mau ke mana?" Langit berseru.
Alaia berhenti di dekat pintu utama. Langit menghampiri, ia bingung akan sikap cewek ini. "Panik banget, kenapa?"
"Bunda masak ikan." Alaia berucap.
Langit paham, karena tadi ia mencium aroma sedap dari dapur. "Oh... iya. Terus?"
"Apa nanti aku dimasak Bunda juga?" Alaia takut.
Kali ini perkataan Alaia membuat mata Langit membulat. "Nggak atuh! Masa kamu dimasak."
"Lo kan bukan ikan. Nggak mungkin dimasak Bunda," celetuk Ragas yang muncul tanpa disadari Langit maupun Alaia.
"Kecuali lo sebangsa ikan. Bunda kan suka makan ikan," lanjut Ragas disusul cekikikan.
Muka Alaia makin pucat.
"Biasanya ikannya Bunda sayat-sayat atau potong-potong, terus dikasih bumbu. Abis itu digoreng sampe mateng. Baru deh dimakan," tambah Ragas lagi.
"Alaia ga usah takut. Ikan tuh enak tau, gue aja doyan. Nanti lo cobain deh, pasti suka!" Ragas tersenyum lebar.
"Berisik lu!" Langit protes.
Ragas memapar, "Biarin! Gue kan ngasih tau Alaia biar nggak takut lagi gara-gara Bunda goreng ikan."
Karena Ragas tak berhenti membahas ikan, Alaia langsung panas dingin dan kabur lagi menghindari semua orang yang ada di rumah ini.
"Alaia!" panggil Langit dan Ragas secara bersamaan.
"Kejaaar!" seru Ragas yang langsung lari kencang mengejar Alaia.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Lila mual-mual dan kehilangan nafsu makan. Bastian ada di belakangnya, menepuk punggung Lila upaya membantu cewek itu memuntahkan sesuatu.
"Nggak bisa," eluh Lila karena sejak tadi ia tak mengeluarkan sesuatu dari mulut, kecuali cairan bening.
"Coba lagi." Bastian menyuruh.
Lila menggeleng, ia menyerah. Cewek itu menyalakan kran sebentar lalu meninggalkan wastafel. Bastian mengikutinya dari belakang.
Tujuan Lila adalah kasur. Dia lebih baik rebahan dan menahan mual daripada mencoba muntah terus yang bikin lehernya sakit. Rasanya amat sangat tidak nyaman.
"Hari ini aku mau ketemu Syadza. Kamu ga usah ikut," ujar Bastian.
Lila berdecih dan tak mau peduli. Melihat reaksi Lila yang seperti itu, Bastian langsung mengelus pipinya sambil tersenyum. "Jangan cemburu," kata Bastian.
"Apa sih!" Lila menyingkirkan tangan Bastian dari pipinya secara kasar.
Bastian makin memperlebar senyumnya. Dia tiba-tiba menyentuh celana Lila untuk dilucuti. Lila sontak memukul Bastian karena ia tak suka.
"Jangan macem-macem!" sentak Lila.
"Kita belom lakuin itu," ucap Bastian, sok melas. "Ayo sekarang."
"Lakuin apa?!" Lila bawaannya mau marah terus ke Bastian.
"Morning sex," jawab Bastian.
"NGGAK." Lila menolak permintaan bodoh Bastian. "Ga ada gitu-gituan. Ga usah minta yang aneh-aneh!"
"Nggak aneh, Sayang. Kita kan bentar lagi nikah... jadi, wajar aja." Bastian mendekat, mencoba mengecup Lila tapi cewek itu menghindar.
"Gue nggak mau!" Lila berucap ketus.
"Percuma, nama kita udah ada di daftar calon pengantin." Bastian tersenyum miring. "Pasti kamu sebenernya seneng, kan? Cuma sok jual mahal."
"Gue nggak mau nikah sama lo! Liat aja, gue bisa batalin semua rencana gila lo, Bas." Lila berujar.
Bastian tertawa mengejek. "Emang ada cowok di luar sana yang mau sama kamu? Nggak ada. Cuma aku, Sayang."
"Pede banget! Pasti ada lah yang mau," celetuk Lila.
Bastian mendekatkan wajah ke kepala Lila, tepatnya ke telinga. "Ngarepin Langit, kan?"
"Jangan mimpi terus. Langit juga ogah sama kamu," kekeh Bastian.
"SOK TAU! Langit yang bakal nikahin gue nanti," balas Lila sengit.
"Aku tau, ternyata kamu yang ngejar-ngejar Langit. Beritanya rame di sosmed, kamu ngerusuh di rumah Langit kayak orang ga waras kan? Hahaha." Bastian tertawa.
"Jangan jadi murahan, Lila, kalo udah ditolak yaudah sadar diri." Bastian menyeletuk lagi.
"BERISIK! Langit itu sayang sama gue, nggak kayak lo yang cuma mau badan gue." Lila membalas ketus.
"Aku ini orang yang paling sayang sama kamu. Kamu harusnya buka mata," ujar Bastian sambil menunjuk mata Lila.
"Calon suami kamu itu aku, bukan Langit. Hargai aku dong." Bastian menambahkan.
"Gue maunya nikah sama Langit! Sampe kapanpun gue tetep mau sama Langit! Kita itu udah kelar, ga ada hubungan apa-apa lagi." Lila mendelik tajam.
Bastian mendadak mendaratkan tangan di kening Lila, memeriksa suhu tubuh cewek itu. "Pantesan, kamu panas. Istirahat sana, nanti aku beliin obat."
"APAAN SIH!" Lila semakin kelabakan.
"Gue mau keluar dari ini! CEPET KELUARIN GUE," cetus Lila penuh amarah.
Bastian menggeleng. "Nggak mau."
"BASTIAN!" Lila melotot.
Karena Bastian menolak permintaannya, maka Lila lompat turun dari kasur dan lari ke arah pintu. Bastian langsung mencegah, namun Lila malah beralih ke jendela dan berusaha membukanya.
Lila memukul kaca jendela berulang kali dan teriak-teriak meminta pertolongan. Bastian yang kesal itu lantas mengangkat badan Lila dan membawanya kembali ke kasur. Bastian membanting Lila, bikin cewek itu tersentak.
"Jangan bikin aku marah mulu, bisa nggak?" Bastian berkata rendah.
"Bodo amat!" Lila menyentak. "Gue mau ketemu Langit!"
"Terus aja sebut nama dia!" Bastian cemburu.
Semakin kesal, Bastian pun meraih tali yang terpasang di kasur ini untuk mengikat Lila lagi. Lila meronta-ronta, tidak mau kaki dan tangannya diikat.
"Diem! Salah kamu nggak nurut sama aku," omel Bastian sambil memasangkan tali ke tangan Lila.
"Nggak mau!" Lila hampir menangis.
Mata Bastian teralih ke pinggang Lila. Setelah kedua tangan Lila berhasil diikat, Bastian kini menyentuh celana pendek yang Lila pakai. Ia segera melepas seluruh celana Lila dan memberi senyum miring.
"BASTIAN!" Akhirnya Lila nangis lagi.
"Nggak usah pake ini," ucap Bastian seraya membuang celana Lila ke sembarang arah. "Biar aku bisa bebas pake kamu, ga perlu minta persetujuan dari kamu."
"Jangan kayak gini!" Lila meronta terus.
Satu kakinya dililit tali, lalu kakinya yang lain pun menyusul. Keringat membanjiri badan Lila, dia tak henti berteriak dan bergerak-gerak. Karena Lila berisik, Bastian terpaksa menutup bibir itu secara paksa.
Sesudahnya, Bastian tenang karena Lila tak menimbulkan bising lagi. Tatapan nakal terpampang di wajah Bastian. Cowok itu membungkuk, kepalanya mendekat ke bagian intim Lila.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Satu jam lalu mereka telah menyelesaikan sarapan. Ikan yang Bunda goreng diberikan untuk tetangga, karena memang itu tujuan Bunda memasaknya.
Sekarang, tiga anak Bunda tengah asyik menyaksikan tayangan televisi. Bunda terlihat sibuk dengan seseorang di telepon.
Usai teleponan, Bunda menghampiri anak-anaknya sambil berkata, "Bunda pergi dulu, mau kontrol restoran kita. Sekalian nanti Bunda mau cari guru buat Alaia."
"Siap, Bun!" Ragas menyahut.
"Kalian mau tolongin Bunda, nggak?" ucap Bunda lagi.
"Mau, Bunda." Kali ini Langit yang bersuara. "Tolongin apa?"
"Tolong ke toko bunga, kafe sama butik kita ya. Mintain data-data penjualan ke bagian keuangan. Mereka udah rekap semuanya, tinggal dikasih ke Bunda." Wanita cantik itu berkata. "Tapi sekarang Bunda ada banyak urusan, takut waktunya kepepet buat ke sana."
"Oke, Bun! Siap laksanakan!" seru Ragas penuh semangat.
Cowok itu langsung beranjak dari sofa, disusul Langit. Keduanya jalan keluar dari ruang keluarga dan mencari kunci mobil.
Sambil jalan beriringan, Langit berucap ke Ragas, "Lo yang nyetir."
Sementara cowok itu sibuk, Alaia masih di sofa dan cekikikan sendiri melihat tingkah Patrick dan Spongebob. Bunda selalu gemas terhadap anak satu itu. Rasanya bahagia sekali memiliki anak perempuan, meski statusnya bukan anak kandung.
"Alaia, ikut sama mereka ya. Jangan sendirian di rumah," ujar Bunda sambil duduk di samping Alaia.
Alaia mengangguk. "Iya, Bunda."
Setelah itu, terdengar suara Langit dari luar ruangan ini. Cowok itu teriak-teriak bagai di hutan. "BENTAR SETAN, GUE SAMPER ALAIA DULU. ITU BOCAHNYA KETINGGALAN DI DALEM."
"ALAIA DUDUK SAMA GUE DI BELAKANG, LO NYUPIR!" Itu suara Ragas.
"MUPENG." Langit membalas.
Kemudian, Langit muncul dan menatap Alaia serta Bunda secara gantian. Langit mendatangi keduanya, lalu mengulurkan tangan ke Alaia untuk mengajak cewek itu ikut dengannya.
Sebelum meninggalkan tempat, Langit bertanya, "Bunda, Alaia gapapa pake baju kayak gini?"
Bunda mengamati Alaia dari atas sampai bawah, lalu tersenyum. "Gapapa. Cantik, kan?"
Langit sangat setuju dengan ucapan Bunda yang bilang Alaia cantik, tapi ia tak merespons apapun, malah mendekati Bunda dan bicara bisik-bisik agar tak didengar Alaia.
"Nanti Langit mau ngomong serius sama Bunda," bisiknya.
Bunda jadi penasaran. "Tentang apa?"
"Aku sama Alaia," jawab Langit.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Sepanjang perjalanan, Alaia sibuk memainkan ponsel Langit dan memotret dirinya terus sampai banyak sekali. Tadi Langit yang menyuruh Alaia selfie sebanyak mungkin karena ia lihat cewek itu diam saja sambil mengamati pemandangan di luar mobil.
Alaia duduk sendirian di belakang, sedangkan Langit dan Ragas di depan. Ragas yang menyetir, Langit yang memberi tahu jalan. Ingatan Langit lebih bagus dibanding Ragas yang cenderung pelupa.
Ponsel Langit yang Alaia pegang tiba-tiba layarnya menghitam, lalu muncul muka Alaia lagi tapi kali ini ada tulisan di atasnya —serta ikon merah dan hijau.
Alaia tidak sengaja menyentuh ikon hijau dan ia langsung tersentak juga menyeletuk, "Langit, muka aku berubah!"
"Berubah gimana?" Langit bingung.
Segera Alaia menyerahkan ponsel itu ke Langit. Ketika Langit meraihnya, ia langsung bertemu wajah Ayah di balik layar itu. Ternyata ini video call.
"Ayah!" Ragas berseru kala ia dengar suara pria itu.
"Hey, Bro!" Ayah cengengesan. "Itu perempuan siapa tadi?"
"Itu Alaia, anak angkat Bunda yang pernah dikasih tau ke Ayah waktu itu." Langit menjelaskan. "Kayak gitu wujudnya."
"Meni geulis," puji Ayah. "Pasti ada yang cinlok nih anak-anak Ayah!"
"ADA, YAH!" Ragas menyambar.
"Siapa tuh? Agas atau Angit?" Ayah bertanya.
"Ayah gimana kabarnya?" Langit ganti topik, mimik salah tingkahnya bikin Ayah terkikik.
"Hilih," cibir Ragas.
"Baik, Kasep." Ayah menjawab.
"LANGIT MAU NIKAH MUDA KATANYA, YAH," ceplos Ragas, heboh banget.
"Beneran? Siapa calonnya? Nanti putus lagi nggak...?" Ayah menertawakan pertanyaannya sendiri, mengingat cerita Langit dulu.
"Langit bilang mau menikah sama aku." Alaia yang sejak tadi diam akhirnya berbicara. Dan sekali ngomong bikin semua orang geger.
"DEMI?" Ragas menoleh sekilas ke belakang.
"Sumpah, Ngit, lo beneran mau langkahin gue?!" Ragas kalut.
"Alaia calon mantu atau anak angkat Ayah sih," celetuk Ayah kebingungan.
"Anak angkat Ayah adalah calon mantu Ayah." Ragas membenarkan. "Ya Allah udah kayak judul pilem indosira."
"RAGAS!" Langit berseru keras ketika mobil ini hampir menyerempet motor orang.
Ragas banting stir, langsung mengendalikan mobil agar melaju normal seperti semula. Ia menyentuh dadanya yang bergetar hebat. "WOY GILA, HAMPIR."
"Belegug sia! Makanya jangan ngoceh mulu!" omel Langit seraya menempeleng Ragas. "Nyetir yang bener! Gue potong nih gaji lu."
"AYAH, LANGIT KURANG AJAR." Ragas mengadu.
Ketika dua cowok itu ribut, Langit tidak sadar layar ponselnya mengarah ke Alaia. Otomatis Ayah melihat figur Alaia di sana, dan cewek itu langsung memamerkan senyum ramah. "Hai, Ayah."
Yang terjadi setelahnya, Alaia ngobrol bersama Ayah via video call dengan 'backsound' keributan antara Langit dan Ragas.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Sekitar satu setengah jam mereka baru tiba di King Café. Jaraknya memang jauh dari rumah, makanya Bunda tidak bisa mengontrol dalam waktu yang berdekatan.
Sebenarnya usaha-usaha yang dikembangkan oleh keluarga ini diserahkan untuk Ragas dan Langit, sekalian mereka belajar bertanggung jawab dan mengelola uang dengan benar. Tapi karena saat itu mereka berdua sibuk kuliah, jadi yang mengurus semuanya adalah Bunda.
Sekarang ini Langit sedang liburan semester dan Ragas sudah lulus. Mereka sama-sama mencari kebahagiaan untuk diri sendiri, namun tetap membantu Bunda dalam hal bisnis.
"Ah, pegel pisan." Ragas meregangkan otot tangan. Ketika dia menguap, Langit ikutan juga seperti tertular.
Setelah dari kafe, mereka akan lanjut ke toko bunga dan butik. Perjalanan masih panjang, kemungkinan mereka akan kembali ke rumah nanti malam.
Alaia ketiduran di mobil, tidak seperti Langit dan Ragas yang harus menyingkirkan rasa kantuk itu.
Usai mobil terparkir di halaman belakang kafe, tempat yang dikhususkan untuk kendaraan para pegawai, Ragas bergegas keluar dari mobil.
"Lo duluan, gue nyusul." Langit berkata.
"Udah tau, mau pacaran kan lo!" Ragas sangat pengertian.
Cengiran Langit muncul, beserta satu alisnya yang bergerak naik. "Yoi dong. Bye jomblo."
"Cuih." Ragas mencibir, sebal.
Langit keluar, dia pindah ke tempat di mana Alaia berada. Sehabis menutup pintu, Langit bergeser ke Alaia yang berada di sisi kanan dan tidur dengan posisi duduk serta kepalanya menunduk.
Tangan Langit bergerak menyentuh rambut Alaia yang menjuntai ke depan. Ia membawa seluruh rambut Alaia ke belakang agar tak menutupi wajah, juga merapikan celananya yang semula melipat dan membuat paha Alaia makin terpampang.
Merasa ditatap secara terus-menerus, Alaia mendadak bangun dan pemandangan yang pertama kali ia lihat adalah Langit sedang menatapnya tanpa berkedip.
"Eh, udah bangun." Langit tersenyum lucu, seperti sedang bicara pada anak kecil. "Puas nggak bobonya? Mimpi indah?"
Alaia mengucek mata sambil terkekeh ringan. Lalu ia mengeluarkan suara, "Ah...."
"Heh, kok desah," celetuk Langit.
"Aku ketiduran." Alaia berkata, matanya sayu tapi malah imut jadinya.
"Mau bobo lagi?" tanya Langit.
Alaia menggeleng.
"Kalo nggak, aku mau nanya sesuatu." Langit berujar serius. Kalau Langit sedang serius begini, pasti auranya bikin lawan bicara jadi gugup.
"Apa?" Mata Alaia segar seketika.
Langit berdiam diri sambil berpikir sejenak. Setelah itu ia memandangi Alaia dan berkata, "Kalo mau lamar kamu, aku harus temuin siapa? Bangsamu di laut?"
⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️
————————————————
haiii, terima kasih banyak masih baca Alaia!!! share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🤍🧜🏻♀️
kalau mau post sesuatu tentang Alaia di sosmed, jangan lupa tag/mention akuuu! 💕
social media raden:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid @alaiaesthetic (readers Alaia wajib follow nihh)
see yaaa🕊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro