15. Gelora Asa
FOLLOW INSTAGRAM AKU: alaiaesthetic & radenchedid (cadangan). Biar engga ketinggalan info tentang ceritaku! 🤍
15. Gelora Asa
Laut bergelora, gemuruh dan angin kencang menjadi temannya. Langit nampak lebih gelap, padahal baru beberapa menit lalu matahari memperlihatkan rupa.
Semilir angin yang berhembus terasa sangat dingin seakan menusuk kulit sampai ke tulang. Tidak ada orang yang tahan berada di sekitar pesisir. Semuanya berpencar melindungi diri.
Alaia, satu-satunya orang yang bisa merasakan gelora tersebut meski dia berada di tempat yang jauh dari laut. Jantungnya berdengap kencang hingga menimbulkan cemas dan panas dingin.
Tapi Alaia belum paham apa yang sebenarnya terjadi. Namun, pikirannya langsung mengarah ke gelombang besar itu. Seakan peristiwa tersebut menyelinap masuk ke otak Alaia tanpa harus ia lihat terlebih dahulu.
Kejadian ini datang tiba-tiba, bahkan Alaia yang awalnya mulas karena es krim, sekarang rasa sakit itu bertambah karena kecemasan yang menghampirinya.
"Serius, lo mau gue nikahin?" celetuk Langit, mengingat apa yang Alaia katakan beberapa detik lalu.
Alaia mengangkat kepala, menatap cowok yang berdiri di hadapannya. "Iya."
Lagi-lagi Alaia bikin Langit salah paham. Cewek itu mengusap perut sambil meringis tanda sakit. Mata sendu Alaia menatap Langit, seakan meminta pertolongan.
"Sakit," kata Alaia.
Kemudian tangan Alaia bergerak ke atas, ia menyentuh dada. "Ini juga sakit."
Langit menepis jauh-jauh pikiran aneh yang melintang di dalam benak. Tidak mungkin Alaia seperti itu. Dia dan Alaia belum pernah melakukan hal yang tidak-tidak.
Meski Langit pernah menjamah tubuh Alaia, tapi Langit masih tau batas!
Kini wajah Alaia perlahan memucat. Degup di dada semakin tidak terkontrol. Alaia bingung bagaimana cara mengatakannya ke Langit, padahal ia ingin sekali bilang.
"Langit," panggil Alaia.
"Iya?" Langit menyahut.
"Aku nggak tenang." Alaia mengadu.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Di lain tempat, tepatnya di toilet lantai dasar rumah sakit. Ragas berjalan mendekati cermin besar sambil merapikan rambut. Ponselnya terjepit di antara bahu dan telinga.
"Ape nelpon-nelpon? Kangen?" celetuk Ragas.
Lana yang merupakan teman bicara Ragas segera membalas. "Pede banget!"
"Hayo ngaku," sahut Ragas.
Lana terbahak di sana. "Kangen, sih... tapi lima persen aja."
"Dikit banget. Sisanya ke mana?"
"Buat mas crush." Lana tergelak lagi, namun kali ini tawanya terdengar miris. "Cowok yang ga pernah ngelirik gue...."
Sekarang giliran Ragas yang menertawakan Lana sampai mukanya merah. "Lo tau ga, apa yang harus lo lakuin?"
"Apa?"
"Mundur. Mundur yang jauh," ceplos Ragas, bikin Lana mencak-mencak karena kesal, apalagi Ragas mengejeknya terus.
"Ngeselin banget!" omel Lana. "Pantesan solo, lo nyebelin sih."
"Gue solo karena ada hati yang gue jaga...," kekeh Ragas.
"Siapa sih?" Lana penasaran.
"Hatimu." Ragas tertawa lagi dan lagi.
"Halaaah! Sana balik ke rawa, buaya jangan keliaran di daratan mulu." Lana membalas.
"Eh gue bukan buaya." Ragas berucap sambil melangkah keluar dari toilet.
"Apa dong? Aligator?" Lana menyahut.
"Yang lebih keren dong!" protes Ragas.
"Apaan? Sebutin coba."
"Pangeran di hatimu." Ragas cekikikan, dibalas dengan ejekan dan tawa dari Lana.
Mereka anteng berbincang hingga Ragas hampir melupakan sesuatu. Cowok itu pergi menjauh dari toilet masih dengan ponsel yang menempel di dekat telinga. Tapi, ia mendadak berputar badan dan matanya membulat sempurna.
"Bentar, Na!" Ragas langsung mematikan telepon dan mengambil langkah besar menuju toilet.
Ragas baru saja lega sehabis buang hajat, sekarang dia harus kembali panik karena Alaia tidak ada di toilet. Ragas celingukan mencari sosok mungil berambut panjang itu. Di sekitarnya tidak ada, malah terbilang sepi.
"Alaia?" Ragas menyebut nama itu.
Ia berniat mengecek di toilet perempuan, namun di sana pun sepi —hanya ada dua orang wanita yang bekerja sebagai cleaning service.
"Nah kan! Lenyap tuh anak," ceplos Ragas, resah.
Bunyi notifikasi membuat Ragas spontan mengangkat ponselnya untuk melihat layar. Nama Langit tertera di sana, beserta isi chat yang disampaikan.
Langit:
Gue mau cabut sm Alaia, lo dmn
Ragas membuang napas lega karena ternyata Alaia bersama Langit. Ia sempat berpikir Alaia diculik atau hilang ke mana. Cepat-cepat Ragas mengetik balasan untuk Langit.
Ragas:
Otw samper lu berdua
Langit:
Telat, ni udah di mobil. Mau jalan
Ragas:
Tungguin tai
Langit:
Lo pulangnya ngesot aja y
Ragas:
DURHAKA ANJING
Langit:
Ragas:
Mau berduaan kan lu sama alaia
Langit:
😄
Ragas:
MODUS TEROSSS
Langit:
Ragas:
Ragas:
Besok jatah gua seharian full sm alaia
Langit:
Lo mau gue pukul?
Ragas:
⚪️ ⚪️ ⚪️
Lila histeris ketika Bastian datang secara tiba-tiba tanpa ada yang mengundang.
Cowok yang masih berstatus sebagai pacarnya itu mendekat, dengan sejinjing plastik berisi makanan untuk Lila.
"NGAPAIN KE SINI?" Lila teriak, sekujur badannya seketika menjadi panas.
"Jenguk kamu. Masa pacar aku sakit ga aku jenguk?" Bastian tersenyum miring.
Lila sangat menyesal karena membiarkan Dara pergi ke mini market untuk membeli beberapa makan dan minuman karena Lila ingin ngemil.
Sekarang Lila malah terkurung bersama singa gila yang hanya akan membuatnya stress berat. Amarah Lila langsung timbul hanya dengan melihat wajah Bastian.
"PERGI!" Lila mengusir.
"Ga mau." Bastian menolak.
Bastian terus bergerak, membuat jaraknya dan Lila makin menipis. Kini Bastian berdiri di samping brankar dan memandangi Lila yang terbaring di sana.
Bastian membungkuk, satu tangannya meraih wajah Lila. "Cium dulu," ucapnya.
"NGGAK!" Lila memekik, ia kalut sampai meronta-ronta di kasurnya karena ketakutan.
"Gue ga mau liat lo! Sana!" Lila memejam mata, tapi tangannya bergerak-gerak untuk memukul Bastian.
"Ga mau, Sayang. Mana tega aku ninggalin kamu di sini." Bastian berkata.
"Pasti sedih gara-gara aku baru dateng sekarang. Iya, kan?" Bastian berucap lagi. "Maaf, aku baru tau kamu masuk rumah sakit."
"Sakit apa sih, Sayang?" Pertanyaan Bastian buat Lila berkeinginan untuk menangis. Perasaan Lila campur-campur sekarang.
"Gimana? Udah ada tanda-tanda, belom?" Bastian melirik perut Lila yang terbalut selimut.
"BACOT!" Lila menghardik. Matanya semakin dilapisi air yang membuatnya berkaca-kaca.
Bastian terkekeh, "Aku ga sabar."
Lila berusaha tak mau mendengarkan apapun yang Bastian bilang. Kalau bisa, Lila sudah lari keluar dari tempat ini untuk menghindar. Ia mencoba meraih tombol pemanggil Dokter, tapi Bastian menahannya.
"Jangan panggil siapa-siapa. Jangan biarin orang lain ganggu kita," ujar Bastian.
"Gue bukan pacar lo. Gue bukan siapa-siapa lo lagi!" Lila marah.
"Itu kata kamu. Kalo kata aku kan enggak," balas Bastian. "Kamu tetep pacar aku. Orang yang paling aku sayang."
"Kalo lo sayang, lo ga bakal ngerusak!" sentak Lila.
"Aku ga ngerusak," dalih Bastian, "aku jagain kamu terus, Yang."
"APAAN SIH!" Lila makin mau menangis.
"Coba kamu pikir. Kalo aku ga bikin video itu, pasti banyak cowok yang deketin kamu terus kan? Nah, abis aku bikin video itu, semua orang langsung jauhin kamu, itu artinya kamu aman." Bastian tersenyum.
Akhirnya pertahanan Lila runtuh dalam sekejap. Ia menangis karena omongan Bastian benar-benar membuatnya sakit. Dadanya sesak sekali. Ia tidak habis pikir, kenapa di dunia ini ada orang sejahat Bastian.
Lelaki yang dulunya selalu memperlakukan dia sangat baik, bahkan sampai membuat Lila melepaskan Langit, kini berubah menjadi monster yang siap membunuh Lila secara perlahan.
"Jangan nangis dong." Bastian mengusap air mata itu, dan langsung ditepis keras oleh Lila.
"Terharu banget sampe nangis?" Bastian menatap Lila dengan ekspresi sedih yang tidak natural.
Sejenak keduanya tidak berkata lagi. Lila masih terus menangis dalam diam, sementara Bastian menatapnya dengan senyum tipis terukir di wajah.
"Aku emang yang terbaik buat kamu, La. Yang lain ga ada apa-apanya, termasuk Langit." Bastian menuturkan.
"Kamu harusnya bangga punya aku," lanjut Bastian.
"Aku janji ga bakal ninggalin kamu." Bastian kini membungkuk lagi dan hendak mengecup kening Lila, tapi Lila seketika menutup mukanya dengan selimut.
"I love you, Lila," ucap Bastian.
"Aku nginep di sini ya. Mau nemenin pacarku sayang." Bastian terkekeh sambil menaruh plastik bawaannya di atas nakas, tanpa tau di balik selimut Lila semakin tersedu.
⚪️ ⚪️ ⚪️
Selama di perjalanan, Alaia sama sekali tak bersuara. Dia terus diam sambil melihat awan gelap yang bergumpal di atas sana, disertai kilat yang sesekali lewat.
Langit melirik Alaia sekilas, belum menemukan perubahan dari tampangnya yang muram. Langit belum berminat untuk bertanya kenapa, karena ia pikir waktunya tidak tepat.
Cowok itu membiarkan Alaia sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa mau menganggu. Tapi kalau Alaia membutuhkannya, sudah pasti Langit membantu.
Seperti yang terjadi di rumah sakit tadi. Alaia tak menjelaskan apapun yang sedang dirasakannya, ia hanya meminta Langit mengantarnya ke laut. Maka, Langit memenuhi permintaan tersebut.
Sebentar lagi mereka tiba di kawasan pantai. Bersamaan dengan itu, Alaia memeluk diri sendiri karena semakin ketakutan. Langit menoleh sebentar, ia berucap, "Yakin mau ke pantai?"
Alaia mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi cuacanya lagi begini. Ombak di sana pasti gede," ujar Langit.
Sambil menunduk Alaia menyahut, "Gapapa."
Sedikit lagi mereka sampai, mungkin kurang dari lima menit. Dari sini sudah kelihatan suasana di pantai. Sepi dan terbilang mengerikan karena cuaca yang seperti ini.
Mobil Langit berhenti di area parkir. Bahkan tempat parkir ini sunyi sekali, hanya ada tiga kendaraan yang terparkir —termasuk mobil Langit. Ditambah lagi satu mobil yang baru datang.
Alaia turun dari mobil tanpa berkata apapun. Dia langsung lari meninggalkan Langit yang masih berada di dalam sana untuk mematikan mesin.
Secepat mungkin Langit mengejar Alaia. Ternyata angin di sini sangat besar, sampai tubuh Alaia hampir terhuyung. Debu yang berasal dari pasir membuat mata mereka menyipit.
"Al, lo mau renang?" Langit bertanya. Melihat kondisi laut yang menyeramkan seperti itu membuatnya ragu mengizinkan Alaia untuk menyelam ke sana.
"Aku ga tau." Alaia berkata. "Aku cuma mau ke sini."
"Bahaya, Al. Kita harusnya jauh-jauh dari sini," ungkap Langit.
Kini Alaia menatap Langit, tatapannya cukup dalam sampai Langit sempat menahan napas dibuatnya. Dengan suara lembut yang khas, Alaia berkata, "Kamu boleh pulang, tapi aku tetep di sini."
"Nggak." Langit membalas.
"Biar kamu aman," ujar Alaia.
"Lo pulang, gue pulang." Langit berucap tegas. "Lo di sini, gue juga tetep di sini."
"Tapi, Langit... aku ga tau kenapa aku ke sini." Alaia menuturkan. "Aku bingung."
"Apa yang lo rasain?" tanya Langit kemudian.
"Takut," jawab Alaia.
"Selain itu?" Langit bertanya lagi.
Alaia menggeleng, karena memang kenyataannya dia tidak mengerti. Yang Alaia tau, ia mendapat firasat aneh tentang sesuatu. Lalu nalurinya membawa dia ke tempat ini.
Kaki Alaia bergerak memijak pasir yang berserakan di bawah. Ke manapun Alaia melangkah, Langit mengikuti. Cowok itu was-was, takut terjadi apa-apa.
Ternyata langkah Alaia menuju dermaga, tempat langganan mereka berdua. Biasanya jembatan ini kering, tapi untuk sekarang keadaannya basah karena hantaman ombak tinggi yang menerpa.
"Alaia," panggil Langit, meraih tangan Alaia.
Genggaman Langit dibalas lebih erat oleh Alaia. Tangannya semakin dingin, menandakan Alaia tak baik-baik saja. Setiap ia dengar suara-suara kemarahan alam, semakin kacau pula pikiran Alaia.
Di ujung dermaga, keduanya bungkam tanpa ada yang memulai percakapan. Alaia menunduk, tepatnya melihat laut yang tidak secerah biasanya.
Dalam hati Alaia bertanya, "Kenapa ya?"
Sosok ceria seperti Alaia tiba-tiba menjadi murung. Langit berpikir keras kenapa bisa seperti ini. Namun sayang, Alaia mengaku sulit mengatakan apa yang tengah dirasa olehnya.
Banyak tanya yang belum sempat terjawab, dan sekarang ada satu hal lagi yang membuat mereka bingung bercampur tersentak ... ketika seseorang datang menghampiri dengan membawa aura gelap.
"Ternyata saya ga salah orang. Kamu Alaia." Suara Kai bagai petir yang menyambar.
Alaia menoleh cepat, begitu juga Langit. Terlihat Kai berdiri di sana, memamerkan senyum lebar tanpa memperlihatkan deretan giginya.
"Paman," gumam Alaia, bersamaan suara-suara besar dari langit dan laut yang saling bersautan.
"Saya liat kamu di rumah sakit, saya ikutin kamu sampe ke sini. Kamu sengaja menghindar dari saya ya?!" Kai berucap keras.
"Saya yang rawat kamu dari kecil. Ini balesan kamu ke saya?" Kai mendekat, otomatis Alaia mundur.
Langit siap pasang badan bila Kai bertindak macam-macam terhadap Alaia. Seperti yang baru saja terjadi. Kai meraih lengan Alaia, dicengkram kuat sampai Alaia meringis.
"Pulang!" perintah Kai.
Melihat Alaia kesakitan, Langit langsung mendorong Kai sekuat mungkin hingga pria tersebut hampir tersungkur. Tidak terima diperlakukan seperti ini, Kai menunjuk Langit sambil berseru lantang, "Bocah sialan! Jangan ikut campur!"
Kai hendak meraih Alaia lagi, tapi Langit mencegah. Langit melindungi Alaia di balik badannya, juga berusaha mengusir Kai dari tempat ini. Tapi ternyata Kai benar-benar keras kepala.
"Situ ngeselin amat sih!" Langit ngomel. "Genit banget pegang-pegang Alaia. Sadar umur, Om!"
"Alaia punya gue. Lo orang gila ga tau apa-apa mending diem." Kai berucap.
"Lah, kok ngatain?" Langit membalas. "Gue pukul mental tuh gigi lo."
"MINGGIR!" Kai melotot pada Langit, sambil berusaha mendekati Alaia.
Langit tidak akan membiarkan Kai menyentuh Alaia walau sedikit. Langit mau Alaia baik-baik saja. Dia sangat paham, kehadiran Kai di sini membuat Alaia ketakutan, makanya Langit tidak mau bikin cewek itu makin terbebani.
"Lo berani nyentuh dia lagi, beneran gue abisin lo di sini." Langit berucap rendah, sambil mencengkram pergelangan Kai —sangat kencang sampai urat-urat Langit timbul.
"Sekarang Alaia punya gue. Lo cuma masa lalu suram bagi dia." Langit melanjutkan.
Dada Kai bergerak naik turun, dia menatap Langit dengan sinis. Langit juga menatapnya, namun lebih tajam dan dingin. Tatapan Langit yang seperti ini cukup membuat Kai tak berani melihatnya dalam waktu lama.
"Gue bisa laporin lo ke polisi. Lo nyulik Alaia!" cetus Kai.
"Yang ada polisi ngetawain lo, Om." Langit membalas. "Udah tua akal tuh dipake yang bener."
"Banyak omong!" Kai sangat kesal berbicara dengan Langit.
"Lo banyak tingkah," balas Langit.
"Cih! Gue tau, lo culik Alaia biar bisa dapet duit banyak dari gue kan? Kebaca banget jalan pikiran lo, Bocah! Tau aja gue banyak duit. Hahaha!" Kai tertawa.
Langit mengangkat satu alisnya. "Banyak duit tapi ngasih makan Alaia pake nasi sama garem doang. Waras lo?"
"Itu hak gue mau kasih dia makan apa!" Kai marah lagi. "Ga kasih dia makan juga terserah gue."
Kesal, Langit seketika melepaskan satu pukulan ke wajah Kai. Semua ini terjadi karena Langit membayangkan betapa tersiksanya Alaia ketika hidup bersama Kai.
"Pulang lo sana, Anjing! Pulang ke rahmatullah." Langit berseru keras.
Belum puas melihat Kai kesakitan, Langit menambah pukulan lagi sampai Kai terjatuh dan mengaduh keras karena rasa sakit akibat serangan dari Langit.
"Langit!" Alaia bergerak cepat menyentuh tangan Langit, ia mundur dan membawa cowok itu mengikutinya. Lalu Alaia menggeleng, yang artinya "Jangan bertengkar lagi."
Kai beranjak dari posisi semula, dia menghampiri Langit dan Alaia tapi langkahnya berhenti ketika Alaia menyodorkan satu tangan. Alaia meminta Kai jangan mendekat.
"Aku ga mau pulang ikut Paman," ujar Alaia.
"Kenapa?" Kai terlihat putus asa.
"Aku takut," ungkap Alaia. Genggamannya pada tangan Langit terasa gemetar.
"Kamu mau jadi anak durhaka ke Paman?" Kai menyeletuk. "Ga tau diri kamu, Alaia! Ga ada sopan santun! Ga tau terima kasih!"
"Mulut lo!" Langit mengepal tangannya, mencoba meredam amarah pada Kai.
"Aku minta maaf, Paman," tutur Alaia, sedikit melirih.
"Ga saya maafin!" Kai menyahut.
Kepalan Langit semakin kuat, siap menerjang Kai lagi tapi Alaia menahan. Alaia melepas genggamannya dari tangan Langit, lalu berjalan semakin mendekati ujung dermaga.
Pandangan Alaia lurus menghadap laut. Gelombangnya masih besar, langit juga semakin gelap. Alaia menarik napas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan perlahan.
Perasaan Langit tidak enak. Ia memanggil Alaia, tapi gadis itu hanya memberinya senyuman tipis beserta tatapan penuh arti sebelum menunduk lagi.
"Aku mau pulang," batin Alaia.
Hanya berselang detik, Alaia menyeburkan diri ke air yang sangat dingin dan wujudnya tidak terlihat lagi. Ombak besar perlahan mereda, begitu juga awan yang mulai menyingkirkan kelabunya.
"ALAIA!" Kai berteriak histeris.
⚪️⚪️ To Be Continued.... ⚪️⚪️
please spam "ALAIA"
biar ga ada lagi yg salah sebuuut 💔
——————————————
⚠️ SPOILER NEXT CHAPTER!!! ⚠️
——————————————
gimana perasaanmu abis baca chapter ini?
kesel, sedih, seneng, atau gimana?
——————————————
⬆️ bonus, Raden & Langit menatap klen ⬆️
——————————————
Terima kasih banyak sudah baca Alaia!!! Jangan lupa share & ajak temen-temen kalian buat baca juga yaaa🙏🏿🧜🏻♀️💗
social media:
• wattpad — @radexn
• twitter — @radenchedid
• instagram — @radenchedid @alaiaesthetic (readers Alaia wajib follow nihh)
💞💞💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro