Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PROLOG: ARTHURA VOLUME 2

Dalam ruangan besar tak terbatas, terhimpun jutaan bukit terjal yang menjulang tinggi bak menara. Menara berbatu tersebut terdiri dari tinggi yang beragam, pemandangan di bawahnya hanya ada kegelapan tak terhingga.

Di antara jutaan menara yang menjulang tinggi bak istana, satu di antaranya dijajaki oleh seorang wanita berambut merah muda. Puncak menara itu benar-benar sempit, bahkan si wanita cantik hanya bisa menapakinya dengan satu kaki sambil menjaga keseimbangan.

Ruangan tak terbatas, dipenuhi oleh jutaan menara berbatu yang tingginya menjulang dahsyat. Melihat ke bawah atau ke atas, hanya ada kegelapan tak terhingga yang bisa terlihat. Semua pemandangan ini membawa si wanita cantik pada satu kesimpulan.

"Ruang dimensional tak terbatas," gumamnya sembari melihat sekitar, pemandangan aneh nan mengerikan layaknya terbawa ke dunia lain tak dikenal. "Jika aku bisa berada di sini ..., tandanya Paus sedang mengumpulkan seluruh uskup!"

Merasa sesak, wanita itu memegang ulu hatinya dan berusaha mengatur napas. Terengah-engah sampai mengeluarkan air liur secara tak sadar, dia menjambak rambut merah mudanya sampai rontok beberapa helai.

Sedikit teralih dari intimidasi, wanita itu menenangkan diri. Kemudian melompat, terjun ke bawah dan mengarungi kegelapan tanpa batas. Tatkala dasar kegelapan telah dilampaui, wanita itu terbelalak karena pemandangan luar biasa yang dilihatnya.

Jutaan menara tinggi-tinggi dengan kokohnya menjulang dahsyat ke arah si wanita berambut merah muda--Lustiana Lusty. Lusty pun memutar tubuhnya saat dalam posisi melayang, menghindari menara-menara yang sepertinya sedang menghantam ke arah atas.

Kakinya menapaki salah satu menara, kemudian segera melompat dan menuju ke menara yang lain. Entah ke mana tujuannya, Lusty hanya mengikuti insting misterius yang memaksanya untuk terus bergerak melompati berbagai menara.

Sampai akhirnya, setelah melewati ratusan menara yang bergerak menghantam, Lusty mendapati sebuah menara yang di puncaknya terdapat meja rapat. Meja kokoh itu dikelilingi oleh delapan kursi, Lusty sudah tahu siapa-siapa saja yang akan menduduki kursi di sana.

Wanita berambut merah muda itu mengangkat tudungnya yang sejak tadi terbuka, menutupi rambut merah muda miliknya yang cantik memikat siapa saja. Dia pun duduk di salah satu kursi yang sudah tersedia, menunggu kedatangan uskup lain yang juga sedang menuju ke meja rapat.

Namun, tak lama sejak Lusty baru saja duduk ....

"Wah ... betapa Saudari Lusty benar-benar diberkati, dikasihi, dan disayangi oleh yang maha memberkati." Suara halus penuh tawa, berisi doa namun lebih terasa seperti hujatan, seorang laki-laki berambut cokelat panjang tengah duduk menggantung kaki di salah satu menara.

"Pride? Ba-bagaimana bisa! Kudengar kalau kau sudah mat--"

"Aku? Kalah? Oleh gadis malaikat yang tidak memiliki sayap? Kalian terlalu menganggap rendah diriku, meremehkan diriku, tidak percaya atas kemampuanku. Meski penampilanku begini dan mirip seperti Greedy, aku adalah seorang Uskup Agung. Percayalah sedikit pada diriku."

"Ah ..., syukurlah karena kau berhasil selamat. Namun, bicara soal Greedy ...."

"Dia sudah tewas, ya?" tutur Pride tajam, memotong kalimat Lusty yang belum tuntas. Sementara di depan sana, Lusty yang tengah duduk di tepi meja rapat menganggukkan kepala.

"Benar-benar biadab."

Entah dari mana, suara berat seorang pria terdengar menggema di antara jutaan menara. Menelusuri asal dari suara itu, Lusty menemukan seorang laki-laki dengan perawakannya yang kekar dan bertubuh besar.

"Mengincar uskup yang paling lemah di antara kita, rupanya Santorini hanya berisi pengecut tanpa adab," sambung laki-laki itu yang terlihat tengah bediri di salah satu puncak menara.

"Sungguh diberkati karena diriku masih bisa bertemu dengan Wrath lagi saat ini. Sudah berapa lama sejak terakhir kali kita bertemu? Apakah itu 17 tahun yang lalu?" tanya Greedy tersenyum lebar.

"Fuuh, apakah otakmu itu geser?" gerutu seorang wanita yang terdengar malas dan tak bertenaga. Melihat ke sisi lain meja rapat, Lusty mendapati seorang wanita berambut hitam sedang tertidur dengan mendekap kepalanya di atas meja. "Sudah 22 tahun sejak terakhir kali kita dipanggil ke ruang dimensional tak terbatas, fuuh," sambung wanita itu.

"Slothy? Sejak kapan kau ada di situ?" tanya Lusty terkejut.

"Sejak tadi ketika kau sedang mempertanyakan kabar Pride, fuuh. Sebaiknya jangan terlalu lengah meski sedang berada di wilayah sendiri, fuuh. Kupikir, kau semakin melemah sejak terakhir kali kita bertemu, Lusty." Selalu menyisipkan hela napas di akhir kalimatnya, wanita yang dipanggil dengan nama Slothy terlihat tidak memiliki semangat, bahkan hanya untuk bicara.

"Aduuuh ..., jangan terlalu sinis begitu, dong, Slothy." Suara lainnya terdengar memasuki reuni para uskup yang baru saja bertemu. Melangkah riang mendekati Slothy adalah sosok laki-laki ramah yang bersenandung bahagia. "Kau sendiri masih saja pemalas dan tidak pernah bersemangat. Itu benar-benar membosankan, kau tahu?" sambung laki-laki itu sembari mengangkat tudung yang sejak tadi menutupi rambut pirangnya.

"Jangan ganggu aku, Tony. Aku terlalu lelah karena harus bernapas di setiap detik kehidupanku, fuuh. Jika kau punya waktu untuk memikirkan diriku, gunakan waktu itu untuk memperbaiki gaya bicaramu yang menyebalkan, fuuh."

"Hmmmm ..., tapi, ini aneh sekali, ya? Semuanya kecuali Envy dan Greedy telah berkumpul saat ini. Aku sih sudah tahu kalau Greedy baru saja tewas, tetapi, ada apa dengan Envy?"

"Bicara apa kau? Envy sudah berada di sini sejak tadi, fuuh. Dia sudah datang, jauh sebelum aku tiba dan berusaha keras untuk tertidur, fuuh."

"Hee, di mana dia?" tanya Tony kebingungan sambil melihat sekitarnya yang dipenuhi jutaan menara.

"A-aku, aku di sini." Suara gadis pemalu, kikuk, dan penakut, suara itu terdengar pelan di antara mereka. Kecilnya suara tersebut membuat semuanya diam sampai suasana menjadi hening.

Melihat ke salah satu dari delapan kursi yang tersedia, rupanya telah duduk seorang gadis cantik yang ukurannya tidak lebih besar daripada jari kelingking. Rambutnya hitam keunguan, dikepang kanan dan kiri membuat kesan pemalu semakin terlihat pekat atas gadis itu. Dia yang disebut-sebut sebagai Envy kemudian lanjut berkata, "A-anu, Pa-Paus Moloneal, dia sudah hadir, loh."

Spontan, keenam uskup yang sudah tiba itu langsung menduduki kursi mereka masing-masing dan siap untuk membicarakan hal penting. Sementara di hadapan mereka semua, datang seorang gadis cantik berambut putih yang tingginya tidak lebih unggul daripada dada Lusty.

"Selamat malam, atau mungkin selamat pagi, semuanya. Kabar kalian baik?" tanya Moloneal yang baru saja datang dan dikawal oleh sesosok iblis dominan ungu.

"Sangat disayangkan karena Greedy sudah meninggal. Membuat posisi Uskup Agung Keserakahan menjadi kosong dan itu juga pertanda kalau kekuatan tempur kita semakin melemah," lanjut Moloneal setelah duduk di kursinya, menghadap keenam bawahannya yang terduduk hormat.

"Sungguh, saya mohon maaf atas segala kelalaian saya meski telah diberkati. Saya adalah orang yang membawa Greedy ke tempat ini, saya juga yang bertanggung jawab jika dia menyusahkan Kultus Liberal," jelas Pride sembari beranjak bangun dari duduknya, kemudian berlutut tak jauh dari meja rapat.

Melihat reaksi Pride, Moloneal hanya membalasnya dengan senyum ramah. "Greedy sudah melakukan tugasnya dengan baik. Dia telah mentransfer pengetahuan soal Roh Agung Bintang Kembar, pengetahuan tentang penghalang suci yang melindungi Watahabi, juga fakta terbesar tentang keturunan Santo yang ke-13. Aku sendiri sangat berterima kasih atas jasa-jasanya."

"Ta-tapi--"

"Pride, aku datang ke sini bukan untuk marah-marah atau semacamnya. Duduk di tempatmu, mulai dari titik ini adalah intinya."

"Ba-baik, Paus."

Mengembalikan perhatiannya pada meja rapat, Moloneal tersenyum tipis dan menatap tajam peserta rapat. "Bersama-sama, kita semua akan segera menuntaskan misi kita. Menggagalkan ramalan yang tertulis di Alkitab, mencegah lahirnya pahlawan ke dunia."

"Waaaah, bagaimana kita melakukannya?" tanya seorang laki-laki pirang yang memakai jubah hitam, tudungnya diangkat ke belakang punggung untuk menampilkan wajahnya yang selalu riang--Tony. "Bahkan kutukan mandul yang aku tanamkan ke darah suci bisa digagalkan entah karena apa. Sepertinya mereka benar-benar waspada untuk saat ini," lanjutnya.

Moloneal dengan senyum mantap menjawab, "Rencananya sederhana. Dengan enam Uskup Agung yang tersisa, kita akan menghancurkan Watahabi dan Santorini dalam sekali serang."

Rencana Besar Untuk Sebuah Pertempuran Besar

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro