BAB 9: Perjalanan Jauh yang Direncanakan
Di depan jamuan hangat yang mengekspos banyaknya uap rebusan serta gorengan, Renata terdiam mutlak seperti tenggorokannya telah disumbat. Gadis itu mendadak payah dalam menelan makanan, rasanya berat sampai dia membutuhkan air untuk menurunkan makanan yang belum sempat dirinya kunyah.
"A-apa maksud ayah? Aku, dikembalikan pada Watahabi?"
Hal semacam ini tidak pernah terjadi di kehidupannya yang lalu. Adapun jika momen ini benar-benar akan terjadi, maka itu adalah saat ketika Rena telah dinyatakan positif mandul dan mustahil untuk mengandung keturunan Pangeran.
"Seperti kedengarannya, aku memang bermaksud begitu. Bersama Arthur putraku, kau, Renata, harus segera meninggalkan wastu ini."
"Aku, meninggalkan wastu bersama Pangeran Arthur? Kenapa?"
"Tindakan Kaum Pembangkang mulai berbahaya dan kami tidak bisa menjamin keselamatan kalian. Kupikir, akan lebih aman jika kalian berdua diungsikan ke Watahabi selagi bisa. Lagi pula Watahabi adala--"
'Brak!'
Terdengar suara gebrak meja memotong kalimat Raja yang belum selesai. Suara tidak sopan itu datang dari tindakan Rena yang memukul meja makan dengan tangan cantiknya dalam keadaan mengepal.
"Rena?"
"Da-dasar! Ayah bikin aku panik saja. Kupikir aku akan dikembalikan ke Watahabi dan harus bercerai dari Pangeran. Lain kali tolong katakan semuanya dengan jelas!" omel Rena penuh kesal sambil mengacungkan garpu penuh kecap pada sang raja.
Meski dirinya tidak sadar betul dengan kesalahannya, raja berusaha mengalah agar pembicaraan bisa berlanjut dengan lancar. "Maaf jika ada kalimat yang membuatmu salah paham. Intinya, bagaimana? Kau dan putraku akan melakukan perjalanan jauh menuju Watahabi. Sampai kondisi di sini kami nilai aman, kalian berdua sepertinya tidak bisa kembali."
Dalam keadaan pipinya yang tengah menggembung ketika mengunyah daging, Rena menjawab dengan ekspresi acuh. "Yah, aku sebenarnya sama sekali tidak keberatan dengan itu. Lagi pula Watahabi adalah kampung halamanku, rasanya tidak buruk untuk berkunjung setelah sekian lama. Tapi ...."
"Tapi?"
"Apakah itu benar-benar berguna untuk membawa kami pergi? Jika itu Kaum Pembangkang, kupikir tindakan tadi sama sekali bukan masalah bagi mereka. Orang-orang gila itu hanya perlu mengikuti perjalanan kami dan lanjut menyerang kami di Watahabi. Karena, tidak seperti kediaman ini, kediaman lamaku sesungguhnya sangat lemah dan serangan mereka mungkin saja akan menghancurkannya. Tentu saja, akan ada beberapa prajurit yang selalu bersiaga, tetapi aku tidak yakin kalau mereka semua mampu menghalau sekelompok Iblis petarung."
"Se-sebentar, Renata. Apakah kau lupa dengan poin terpenting di kampung lamamu sendiri?" Wajah terkejut yang kali ini bertanya adalah sesosok wanita dengan gaun mewah berwarna merah marun.
Rena kemudian balik bertanya, "Aku tidak paham dengan maksud Bunda. Apa itu poin terpenting yang Bunda maksud?"
"Sepertinya kau serius tidak ingat apa pun soal itu. Bisakah kau menerangkannya untuk dia, Lalatina?"
Mengalihkan tugas pada seorang pelayan berambut perak, baik itu raja atau ratu sama-sama lanjut menikmati makan malam mereka. Pelayan yang baru saja menerima tugas itu membungkukkan badan, menyanggupi atas perintah yang baru saja tuannya bebankan.
"Watahabi adalah kerajaan yang dijuluki sebagai "Tanah Suci" karena makhluk jahat seperti Iblis, Demon Beast [1], dan makhluk sejenisnya tidak bisa memasuki wilayah tersebut. Watahabi memiliki sistem Perlindungan Ilahi yang membuat kerajaan tersebut bisa mengisolasi diri mereka dari berbagai bentuk kejahatan."
Menimpali penjelasan yang Lalatina jabarkan dengan lengkap, sosok wanita yang dipanggil Rena dengan sebutan 'Bunda' lanjut bicara. "Kau serius tidak ingat tentang fakta terbesar dari kampung halamanmu sendiri?"
"A-ah ... lebih tepatnya, aku sedang lupa," jawab Rena canggung sembari menggaruk hidungnya meski itu sama sekali tidak terasa gatal.
Sosok pria yang dipanggil Rena dengan sebutan 'Ayah' kemudian berkata, "Intinya, kau dan putraku akan lebih aman di Watahabi untuk sekarang. Kami akan segera menyiapkan keperluan kalian, tolong kalian juga bersiap agar perjalanan ini dilancarkan. Untuk mengamankan perjalanan jauh ini, Lalatina dan Scopus akan ikut bersama kalian. Mereka berdua seharusnya sudah cukup sebagai kekuatan tempur untuk melindungi kalian."
"Meski begitu, apakah Pangeran dapat dipastikan akan setuju begitu mendengarnya? Bukankah dia punya banyak kewajiban yang harus dilakukan sebagai lulusan akademi?"
"Bukan berarti kami tidak bisa menggantikan tugasnya. Sebagian besar tanggung jawab Arthur sesungguhnya adalah tanggung jawab Raja yang aku limpahkan untuk melatih dirinya. Tidak mungkin dia bisa menjadi raja tanpa adanya pengalaman terjun ke lapangan, bukan?" jelas Raja Santo menjawab pertanyaan Rena yang merasa khawatir.
"Baiklah, aku akan lanjut membicarakannya dengan Pangeran begitu dia pulang. Aku juga akan bersiap-siap untuk melakukan perjalanan."
___________________
Pagi hari ketika Rena baru saja selesai mandi, dia yang masih mengenakan piyama berjalan santai mengarungi lorong. Tatkala dirinya sampai di sebuah pintu dengan dekorasi lukisan pohon di dekatnya, perasaan aneh seperti muncul dan menimbulkan reaksi tertentu dalam hatinya.
Rena yang penasaran akhirnya membuka pintu itu dan mendapati seorang gadis kecil yang tengah asik menumbuk dedaunan. "Kau jadi seenaknya memasuki ruangan ini, kurasa. Jika tidak ada urusan, maka bisa tolong pergi saja?"
"Kau ini selalu saja ketus seperti biasanya, ya ..., Adik Kecil." Rena yang lancang memasuki ruang ramu dan langsung mengintip pekerjaan telaten milik Ursami di dalamnya. Dia yang mendapati daun hancur dalam sebuah wadah kemudian bertanya, "Apa ini?"
"Banyak tanya itu menyebalkan, faktanya. Langsung saja ke intinya, kurasa. Apa tujuanmu mendatangi Ruang Ramu kali ini?"
"Jangan dingin begitu, dong. Bukankah kita ini sahabat? Aku hanya ingin mampir dan mengobrol sebentar. Yah, jujur saja aku sedikit bosan karena sedang menunggu Pangeran pulang," tutur Rena menjelaskan alasan tentang kenapa dirinya mampir.
Gadis kecil serba hijau itu memberengut kesal, pipinya menggembung tidak suka dan dia fokus melampiaskan emosi terhadap daun rapuh yang tengah ditumbuk. Ketika daun hijau itu sudah hancur basah tak berbentuk, Ursami meneteskan semacam cairan dan menuangnya ke saringan.
Tersaring cairan encer berwarna hijau hingga memenuhi botol potion sebelum akhirnya ditutup dengan karet. Ursami melakukan pekerjaan ini setiap harinya dan membuat potion satu demi satu. Tidak heran jika dirinya cukup terampil dalam membuat ramuan penyembuh berkelas. Jika bisa dikatakan, potion buatannya sering disebut sebagai "Potion Buatan Roh Agung".
"Kau perlu bantuan?" tanya Rena menawari bantuan kecil.
Gadis kecil itu kemudian menjawab, "Kepergianmu dari ruangan ini sesungguhnya sudah sangat membantu Ursami, faktanya. Lagi pula, bukankah sudah saatnya bagimu untuk pergi? Sosok yang tengah kau tunggu itu baru saja kembali, kurasa."
"Eh, serius? Pangeran sudah kembali? Ini lebih cepat dari yang aku duga!"
"Jika sudah mengerti cepatlah enyah dari hadapan Ursami, ya. Hush, hush." Tangan mungil gadis itu digerakkan sedemikian rupa layaknya tengah mengusir serangga pengganggu.
Rena yang keluar menyampaikan sepatah kata sebelum menutup pintu. "Terima kasih, Ursami! Aku akan mampir lagi nanti."
Dirinya segera lanjut mengarungi lorong dan turun ke lantai bawah. Didapatinya seorang laki-laki tampan berambut pirang tengah menaiki tangga yang sama. Kala pasangan itu saling berpapasan dan bersua, Rena langsung memasang wajah sumringah dan tersenyum bahagia.
"Bagaimana urusannya? Apakah itu dilancarkan?"
Namun, laki-laki pirang yang baru saja menerima sambutan hangat itu mengabaikannya. Melewati Rena begitu saja dan segera naik ke lantai dua. Punggungnya yang kekar membelakangi Rena dan kian menjauh dari dirinya.
"Pangeran? Ah, benar juga. Aku masih pakai piyama!"
Catatan Penulis:
[1] Demon Beast: Merupakan sebutan bagi binatang iblis yang mengonsumsi mana sebagai makanannya. Mereka menancapkan kutukan kepada mangsanya dengan kontak fisik (biasanya berupa gigitan atau cakaran), kemudian mengaktifkan kutukan dengan memakan mana korban sampai mengering.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro