BAB 3: Pangeran Arthur
Sebuah kereta kuda memasuki pekarangan wastu dengan kecepatan standar. Kuda yang menarik kereta di belakangnya hanya berjalan santai karena perjalanannya sudah mencapai penghujung tiba. Di depan pintu masuk adalah penghuni wastu yang tengah berdiri, siap menyambut Pangeran yang kedatangannya sudah dinanti-nanti. Seluruh penghuni wastu sampai ke setiap pelayan turut hadir, kecuali Ursama dan Ursami yang tetap tinggal di tempat mereka sendiri.
Tatkala sopir membukakan pintu dari kereta kuda yang diangkut, kaki seorang laki-laki dengan wibawanya menginjak bata pekarangan. Keluar dari dalam kereta adalah sosok laki-laki tampan berambut pirang. Sosok bertubuh tinggi itu nampak sangat berbeda dari wujudnya enam tahun lalu. Tentu saja, Rena dan Pangeran sudah berpisah sejak enam tahun, dapat dipastikan kalau perkembangan tubuh serta mental telah ada pada diri mereka.
"Selamat datang kembali, Arthur," sambut seorang wanita berambut pirang yang mana dia adalah ibu kandungnya Arthur.
"Aku pulang, Ibu. Terima kasih atas sambutannya."
"Kau akhirnya menjadi seorang laki-laki dewasa, anakku." Kali ini sambutan hangat datang dari ayahnya yang bahkan tinggi badannya sudah dikalahkan oleh putranya sendiri.
Sementara keluarga bahagia itu sedang melepas rindu, setiap pelayan yang mengitari mereka membungkukkan badan. Memberi hormat tatkala Pangeran Arthur melewati mereka langkah demi langkah.
"Tidak pernah aku sangka kalau kau akan menyambutku," tutur laki-laki berambut pirang yang baru saja menghampiri istrinya itu. Namun, sang istri yang baru saja mendapati kepulangan suaminya setelah enam tahun hanya tersenyum. Mengucapkan sepatah kata pada sosok laki-laki yang pada hakikatnya adalah seorang suami baginya.
"Kau yakin hanya mengatakan itu padaku?"
Mata kecubungnya terbuka lebar, berkaca-kaca ketika dia mendapati sambutan hangat dari istrinya. Laki-laki pirang yang mengenakan baju keemasan itu berkata, "Aku pulang, Renata."
"Selamat datang kembali, Arthur."
Dua pasang mata itu saling tatap setelah sekian lama tidak bersua. Senyum hangat Sang Pangeran, atau senyum lembut Renata, tindak-tanduk keduanya membuat hati orang-orang di sekitarnya serasa dilelehkan. Juga, beberapa dari mereka nampak kebingungan.
Pertanyaan seperti, "Nona Rena menyambut Pangeran? Ini serius?" Gumam pelan yang tidak terdengar oleh siapa pun itu melepas pertemuan hangat dan melelehkan.
_______________
Gemerlapnya malam memenuhi wastu dari ujung kan sampai ujung kiri. Semuanya berbahagia menyambut pulangnya Pangeran Arthur setelah enam tahun tidak bertemu. Ruang utama dipenuhi makanan mewah lagi nikmat, setiap orang turut merasakan kegembiraan dari pulangnya Pangeran Pemersatu.
Meski begitu, waktu tetap akan berlalu tak peduli segigih apa mereka berbahagia malam itu. Menyerahkan soal bersih-bersih kepada para pelayan, Tuan Rumah bisa segera beristirahat mulai sekarang.
Namun, Renata ingin menemui seseorang sebelum menutup hari berbahagia yang sudah seperti hari penentuan. Didatanginya Scopus--Pengawal Pribadi Pangeran Arthur yang tengah menunggu di salah satu kursi tamu.
"Scopus, kau tahu di mana Arthur?" Rena bertanya-tanya pada Scopus tentang keberadaan suaminya.
Laki-laki berkacamata bulat itu menjawab, "Pangeran, dia bilang sangat kelelahan setelah menyambut setiap tamu yang berdatangan. Katanya dia akan mandi dan beristirahat di dalam kamar."
"Baiklah, terima kasih."
Langsung balik badan dengan tergesa-gesa, Renata tidak menyadari gumam Scopus yang kebingungan. "Terima kasih? Seorang Nona Renata mengucapkan terima kasih?"
Tidak pakai izin atau permisi, Renata langsung membuka kamar Arthur dan memasukinya begitu saja. Didapatinya Arthur yang sedang telanjang dada dengan handuk menutupi bagian bawah tubuhnya, laki-laki itu baru saja selesai mandi sebelum lekas beristirahat.
Bentuk badannya yang benar-benar indah itu membuktikan bahwa dia berlatih sangat keras selama di akademi. Alih-alih menatap wajah orang yang ingin ditemuinya, Renata malah fokus ke bagian perutnya yang keras dan masih sedikit basah.
"Bukankah kau sebaiknya mengetuk pintu dahulu jika ingin masuk?"
"Eh, ah? Ehm ... ma-maaf. Aku benar-benar lupa, tergesa-gesa, dan terburu-buru ingin bicara denganmu. Aku akan menunggumu sampai selesai berpakaian, kabari saja kalau sudah, ya?"
Dengan wajahnya yang merah padam dan malu-malu, Renata keluar dari kamar Arthur dan menyandarkan punggungnya di depan pintu. "Apa-apaan, kenapa aku terkejut seperti itu? Aku ini bahkan sudah pernah melakukan hubungan badan dengannya di kehidupan yang lalu. Jika aku masih begini maka aku sama sekali belum siap!"
Setelah dirinya menunggu selama beberapa saat, pintu megah itu sedikit terbuka. Terlihat Arthur yang sudah berpakaian santai dengan baju tidur, wangi badannya tercium jelas sampai memenuhi otak Rena.
"Kau mau membicarakan sesuatu? Kita sebaiknya mengobrol di dalam atau di luar?" tanya Pangeran Arthur sedikit mengintip dari balik pintu.
Kesempatan seperti ini mungkin saja tidak akan datang dua kali. Mulai dari titik ini, Pangeran Arthur akan sangat sibuk dengan tugasnya sendiri. Aku harus menyampaikan segalanya malam ini juga.
Membatin yakin, Renata memegang tangan Pangeran yang terasa dingin karena baru saja selesai mandi. Dia menunduk karena malu, tetapi tetap memaksakan diri untuk menatap langsung wajah Pangeran.
"Aku ingin ngobrol berdua saja, apakah aku boleh masuk ke kamarmu?"
Belum sempat Arthur menjawabnya, Renata memaksa masuk dan menutup pintunya dari dalam. Dia kunci pintu kamar Pangeran saat laki-laki yang menyandang gelar sebagai suaminya itu sedang berada satu kamar.
"Re-Renata? Apakah hal yang ingin kau bicarakan sepenting itu? Apakah ini rahasia?"
"Pangeran, aku punya saran," tutur Renata mulai bicara serius dan mengacuhkan pertanyaan Pangeran Arthur.
"Saran?"
Kedua mata itu saling tatap dalam keadaan canggung, tetapi hasrat terpendam di dalam hati keduanya membuat mereka tetap memaksakan diri untuk lanjut. Penuh keyakinan, meski Renata harus menggenggam gaunnya sendiri karena malu tak tertahankan, dia tetap akan bicara.
"Kita sudah menikah selama enam tahun, usiaku saat ini sudah menginjak 18 tahun. Karena itu, aku ingin memberitahukan sesuatu padamu."
"Memberi tahu ... soal apa?"
"Aku ingin memberitahu, bahwa aku sudah siap untuk melakukan tugasku sebagai seorang istri!"
"Se-sebentar, tugas sebagai seorang istri? Tugas apa yang kau maksud?"
"Kau akan menjadi raja, dan aku akan menjadi ratu. Kita membutuhkan penerus untuk memenuhi posisi pangeran baru. Karena itu ...."
Menahan kalimatnya untuk diselesaikan, Renata maju memojokkan Arthur sampai laki-laki pirang itu terduduk di atas kasur. Mendekatkan wajahnya dan merasakan napas Arthur dalam-dalam, Renata dengan suara berbisik lanjut bicara.
"Aku siap untuk melahirkan keturunan Santorini yang selanjutnya. Aku siap untuk melahirkan bayi Pangeran Arthur!"
"Ba-bayi? Tunggu sebentar, Rena." Menahan pundak istrinya dengan tangan kekar, Arthur menghentikan Renata yang bertindak agresif dari atas.
"Kita baru akan naik takhta di usia 21 tahun, masih terlalu cepat untuk kita melakukannya sekarang. Kita masih 18 tahun," lanjut Pangeran Arthur memperingati.
"Meski begitu, apakah salah jika seorang suami istri melakukannya? Apakah Pangeran tidak ingin melakukannya denganku?"
Mendapati pertanyaan yang seperti itu, Arthur menelan ludah. Saat mereka hampir saja bertindih mesra di atas ranjang, Arthur menahan tindakan Renata dengan segenap jiwa. "Kita akan melakukan ini saat waktunya sudah tiba. Kau akan mengandung anakku saat waktunya sudah tiba. Yang pasti, sekarang bukanlah waktu yang tepat."
"Tu-tunggu, kenapa itu harus menunggu? Apakah salah jika kita melakukannya sekarang?"
Tidak terkendali, Renata mendorong Arthur sampai laki-laki itu tertidur telentang di atas kasur. Di atas badannya yang kekar adalah Renata yang tengah melihat ke arah bawah. "Tidak ada waktu! Jika kita tidak melakukannya sekarang, maka aku akan--"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro