🥀Home 9🥀
"Orang yang tidak saling mengerti, justru seringnya berakhir saling melukai."
🥀🥀🥀
FAY TERUS MEMBUANG waktu dengan hanya duduk diam menatap layar ponsel. Layar itu menampilkan riwayat chat dengan sebuah akun Facebook. Pesan terakhir dikirim olehnya, yang belum juga dibaca meski sudah 24 jam berlalu.
Untuk pertama kalinya, malam tadi Fay merasa bahagia sampai susah tertidur. Rasa rindu terhadap sang kakak yang membuncah membuat kedua matanya susah terpejam, justru malah berkelana ke masa-masa indah masa kecil yang tak akan terulang.
"Hmmm ...." Fay bergumam murung. Pesannya tak kunjung mendapat balasan. Padahal akun kakaknya itu aktif.
"Yayah kok baru pulang?"
Fay yang baru 10 menitan mengistirahatkan diri di sudut dapur, agak terkejut mendengar suara Sari. Buru-buru dia memasukkan ponsel, takut ketahuan.
Keadaan rumah belakangan ini lebih sepi dari biasanya. Kevin jarang ada di rumah, jarang bertemu dengannya. Anto apalagi, pulang pun selalu di atas pukul sebelas malam. Tentu, kepulangannya membuka ronde pertengkaran antara suami-istri itu.
Fay jadi bingung, antara mau sedih atau senang dengan keadaan rumah. Toh, dia sudah terbiasa.
Tiba-tiba ponselnya bergetar sekali, disusul notifikasi-notifikasi lain yang membuat benda di sakunya itu tak bisa diam. Fay otomatis lari ke kamar. Usai nomor WhatsApp-nya dimasukkan ke grup kelas—berkat usaha Disya—selalu ada notif rutin dari grup.
Yah, meski Fay di sana hanya jadi penghuni ghaib karena tak bisa masuk ke obrolan teman-temannya. Mau muncul pun bingung harus bereaksi apa.
+628579 ....
Aku dapat kabar duka.
+628572 ....
Apa, Sila?
+628579 ....
Ayah Disya meninggal.
Infonya tadi bada Isya, karena kecelakaan.
+628512 ....
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. :(
+628518 ....
Ya Allah, Syaaa. T_T
Turut berduka @Disyaaaa.
Fay terdiam sambil menyimak pesan demi pesan yang terus bermunculan meramaikan grup. Kabar duka itu sontak membuat grup ramai. Ya, Fay tak menyimpan nomor teman-teman kelasnya, termasuk nomor Disya.
+628579 ....
Besok habis pulang, kita ke kediaman Disya, ya.
Bisa juga kita iuran buat belasungkawa.:(
Disya tengah kena musibah, tetapi Fay tak menunjukkan reaksi apa pun. Apa dia harus menelepon cewek itu untuk menenangkannya? Rasanya tidak, dia takut jatuhnya justru malah mengganggu.
Fay beralih ke Facebook, mengecek inbox yang belum juga terbalas, lalu pergi ke akun sang kakak. Ada unggahan terbaru di akun Kirei, memperlihatkan cewek itu tengah tersenyum lebar ke kamera sambil pakai kacamata hitam. Pakaiannya modis serbahitam tetapi minim, terbuka, memperlihatkan kulitnya yang putih. Ada seorang laki-laki yang dirangkulnya dengan mesra.
Fay mematikan layar ponsel, menyimpan benda itu ke atas kasur, lantas menatap sepasang sepatu baru yang beberapa hari lalu dibelinya bersama Disya.
***
Hari ini Disya tak masuk, kursinya kosong. Lalu, cewek-cewek di kelas sibuk membicarakan rasa berduka atas kehilangan yang menimpa Disya di sela-sela jam kosong.
Jadwal pada Selasa cukup padat, ada enam pelajaran yang membuat kelas mereka keluar paling akhir. Sila dan gengnya langsung menginterupsi, mengingatkan rencana mereka untuk mengunjungi Disya.
"Ada motor kosong gak?" Nana, salah satu teman Sila, bertanya dengan suara lantang. Dia bawa motor dan sudah ada penumpang di jok belakang.
Cewek-cewek kebanyakan menumpang pada cowok-cowok, alasannya tentu karena mereka tidak mau ribet. Bagi yang lain sih mudah dapat tumpangan, tetapi Fay? Sejak lima menit lalu, cewek itu hanya berdiri bergeming, sementara teman-temannya sibuk bersiap.
"Gak usah ikut aja," celetuk salah satu cowok yang langsung dapat teguran.
"Ck! Ya udah, iya, iya. Fiz, aku nebeng kamu aja." Ren turun dari motor, berjalan menuju motor hitam teman cowoknya yang masih kosong.
"Boleh. Asyik nih, bawa cewek cakep," balas Hafiz bercanda.
Ren langsung menoyor kepalanya. "Buayamu! Minta dipenggal emang," ancamnya serius.
Pada akhirnya, Fay ikut rombongan menuju kediaman Disya. Sampai di sana, rombongan mereka menarik banyak perhatian pelayat. Bendera kuning terpasang di pagar, ada tenda biru dan kursi-kursi juga di depan rumah. Lalu, pintu lebar itu terbuka sepenuhnya, menampilkan suasana sendu di dalam rumah yang penuh duka.
Ada Disya yang terlihat tengah bersandar lemas ke tubuh ibunya. Wajah cewek itu sembap, kedua matanya juga memerah. Pakaian hitamnya tampak lusuh.
"Sya ...." Sila bersuara usai basa-basi sebentar dengan kakek dari pihak ibu.
Mereka sudah mengobrol cukup banyak hal, tetapi Disya yang terpisah cukup dekat dari lingkaran orang-orang, tampak tak begitu fokus. Air matanya terus mengalir dan isakan tertahan tak hentu keluar dari mulutnya.
"Sila ...," rengek Disya dengan suara serak. Dia langsung menghambur memeluk Sila. Nana dan yang lain pun turut memeluk.
Lagi-lagi Fay bak berubah jadi batu di antara manusia-manusia ini. Kedua matanya yang tak menunjukkan reaksi apa pun itu hanya menatap dengan kepolosan.
Memangnya, apa yang harus ditangisi dari kehilangan? Baginya yang sejak kecil sudah kehilangan figur seorang ayah, kejadian semacam ini tak terasa menyedihkan apalagi menyakitkan.
Hujan tiba-tiba turun dengan lebat, membuat orang-orang berhamburan panik mencari tempat berteduh. Para cowok juga tampak heboh mengamankan motor mereka dari hujan ke dalam tenda.
Mereka terjebak di rumah ini, tetapi menjadi sebuah keuntungan bagi Disya. Setidaknya dengan kehadiran teman-temannya, dia bisa sedikit melepaskan kesedihan dan mengisi kekosongan hati dengan tawa.
"Kamu belum makan, ya?" Sila bertanya dengan perhatian.
Disya tentu menggeleng, bedanya kali ini dia tampak lebih manja pada teman-temannya. Namun, itu tak membuat risi. Justru Sila dan yang lain dengan penuh kasih sayang memanjakan Disya.
Disya tampak begitu disayangi, ada orang-orang yang peduli di sampingnya. Ah, lagi-lagi Fay jadi iri. Hatinya tak kuat bila terus berada di sini, bisa-bisa hangus terbakar rasa cemburu yang membuat tak nyaman. Jadi, dia memilih pergi, mencari tempat sepi di rumah yang ramai ini.
"Fay?" panggil Disya begitu menemukan keberadaan orang yang dicarinya.
Setelah berputar-putar dengan canggung, Fay akhirnya menemukan tempat menyendiri. Dia duduk di teras samping yang kecipratan air, ada selokan kecil yang jadi pemandangan seadanya di depannya. Namun, dengan mudah Disya menemukannya, hanya berselang beberapa menit begitu dia merasa lega di tempat ini.
"Kok di sini, sih?" Disya bertanya dengan senyum menghiasi wajah, seolah-olah memberitahukan bahwa saat ini dia tak terlalu bersedih. Padahal wajahnya penuh jejak air mata. "Masuk, yuk!"
Fay menggeleng. "Di sini aja," tolaknya.
"Lho kenapa?" Terpaksa Disya duduk lagi, padahal dia cukup kedinginan karena hanya memakai baju tipis.
Lama Fay tidak menjawab, justru cewek itu tampak merenung. Ada unek-unek yang hendak dikeluarkannya. Fay merasa ... dia ingin menghibur Disya.
"Jangan terlalu bersedih," celetuk Fay usai lama membiarkan hujan mengambil alih suasana.
Senyum Disya melebar. Dia tak menyangka akan mendengar kalimat sehangat itu dari mulut Fay.
"Semua manusia akan mati, ada juga beberapa orang yang memang harus mati," sambung Fay. Kilasan wajah sang ayah dan ibunya tiba-tiba muncul. Terutama ketika sang ayah dan sebilah kenangan di masa lampau yang membuatnya jadi anak terlantar.
Pada usia lima tahun, sehari setelah resmi bercerai, Fay yang harusnya ikut sang ayah, malah dititipkan pria itu pada keluarga dari pihak ibunya.
"Aku tak butuh anak ini, ambil saja."
Satu kalimat itu membekas di hati Fay. Satu kalimat yang memutarbalikkan hidupnya. Fay sempat terlunta-lunta karena ibunya langsung melarikan diri bersama pria lain setelah resmi bercerai. Sampai kemudian, neneknya mengambil alih Fay, membawanya hidup tenang di pelosok Malang sampai dia berusia 12 tahun.
Karena itulah, Fay punya fisik khas orang Jepang dan logat Jawa kental. Sampai sejak kecil, Fay sudah terbiasa menerima bullying baik secara fisik maupun verbal.
"Aku gak ngerti kenapa kamu begitu sedih sampai lupa memedulikan dirimu sendiri." Fay kembali bicara. Entah kenapa ada banyak kalimat yang mengganggu kepalanya saat ini.
Jadi, sekarang keadaan terbalik. Fay yang lebih banyak bicara, sementara Disya kehilangan kata-kata.
"Maksud kamu?" Disya mengernyit bingung.
Fay menatapnya. Ada sorot hampa di sepasang mata hitam legam itu. "Aku sejak kecil gak ngerti gimana hubungan keluarga, jadi kalau gak bertemu sehari sampai setahun pun gak masalah. Jadi, menurutku, saat orang tua kita udah gak ada, ya udah, gak perlu ditangisi sampe segitunya."
Kalau boleh jujur, Fay ini seringnya mengutarakan apa yang ada di kepalanya tanpa dipertimbangkan dulu. Dia juga minus dalam hal komunikasi. Sontak saja kalimatnya itu membuat Disya tersinggung.
"Kok, kamu ngomong gitu?" tanya Disya sembari masih berusaha menahan emosi.
Fay malah melebarkan senyum. Di titik ini, tiba-tiba dia merasa bangga pada dirinya sendiri. Bangga karena masih bisa berdiri hingga saat ini dengan kedua kakinya sendiri, tanpa peran orang tua, terutama ayah.
"Aku hidup tanpa ayah sampai 17 tahun masih bisa bertahan, tuh," katanya jemawa.
Di titik ini, Fay merasa bangga karena ternyata mentalnya lebih kuat dibanding Disya. Ya, Disya ini anak manja yang lemah menurutnya.
"Maksud kamu, aku harusnya gak sedih?" tanya Disya. Kali ini ada perubahan dalam nada bicaranya.
Fay mengangguk.
"Tapi, Fay, ini ayah aku ...." Disya kehilangan kata-kata, suaranya tercekat, kedua matanya juga memanas. Saat ini dia tengah sensitif, juga tak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu dari mulut Fay.
"Ayahku bukan ayah kamu," sambung Disya. Air matanya yang nyaris kering itu mulai kembali mengalir, membuat kedua matanya pedih.
Lalu, di saat bersamaan, Fay juga jadi salah paham. Dia menangkap makna lain yang membuat suasana hatinya langsung memburuk. "Jangan lemah jadi anak, Sya. Itu buruk," pungkasnya.
Dia melangkah pergi, meninggalkan Disya yang kembali menangis.
🥀🥀🥀
Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro