🥀Home 5🥀
"Menyendiri kadang diperlukan, terlebih ketika tak ada yang bisa mengerti keadaanmu sekarang padahal hidupmu tengah begitu berantakan."
🥀🥀🥀
FAY AKAN MEMINTA maaf pada Sila.
Bukannya apa, belakangan dia makin sadar bahwa tindakannya waktu itu memang salah. Terlebih Sila juga mengibarkan bendera permusuhan kepadanya, membuatnya beberapa kali merasa tidak nyaman.
"Fay, jadi pacarku, ya!"
Tiba-tiba seorang cowok berkepala pelontos muncul di hadapannya, mencegatnya yang baru saja sampai di ambang pintu kelas. Fay tidak terlalu kenal cowok ini, tetapi mereka sekelas. Tempat duduk cowok itu juga pindah-pindah, kadang di dekatnya, kadang di depan, kadang gabung sama cewek.
"Eh, jawab dong!" desak Ferdi begitu ucapannya tadi tak mendapat jawaban.
Cewek dengan tinggi 155 dan berat badan 45 kilogram di depannya ini malah diam membisu, menatapnya dengan tegas tetapi kosong.
Tak ada reaksi kaget, salah tingkah, malu, atau semacamnya di wajah mungil khas Japanese itu. Malah, Fay bergerak, mengambil langkah pertama tanpa mengubah ekspresi di wajahnya. Dengan mulus Fay menyelinap melewati tubuh tinggi Ferdi. Sontak, tindakannya membuat cowok itu merasa jengkel.
"Tunggu!" tahan Ferdi seraya menggenggam tangan kiri Fay. "Jawab dulu!"
Meski Ferdi sudah memasang ekspresi galak, Fay tak gentar sedikit pun. Cewek itu malah berupaya melepaskan tangannya dari genggaman Ferdi.
"Ck!" Ferdi berdecak sambil senyum miring. "Kerja sama dikit, bisa? Aku lagi kalah taruhan, hukumannya nembak kamu. Emangnya kamu pikir aku mau gitu nembak kamu? Gak ya! Aku gak ada rasa suka atau alasan kenapa aku harus suka cewek judes dan individualis kayak kamu." Cowok itu mencerocos tanpa kenal tempat.
Fay hendak menjawab, tetapi dia rasa tak perlu. Biarkan, biar anjing terus menggonggong, biar dia tahu rasanya tak dianggap.
"Heh, apa tadi?"
Orang ketiga muncul, Disya. Cewek tembam dengan kulit putih lembut itu menatap garang pada Ferdi, meski tindakan itu membuatnya harus mendongak sepenuhnya dan menjinjitkan kaki.
"Jahat banget mulut kamu!" sambung Disya. Kedua matanya sudah berkaca-kaca dan memerah, pertanda hatinya sedang bergolak sekarang.
"Kan, cuma bercanda, Sya," kilah Ferdi sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Bercanda?" Disya menyatukan kedua alisnya dan maju lebih dekat dengan wajah Ferdi. Namun, Ferdi masih terlalu tinggi untuk diajak adu tatapan dalam kondisi normal.
Cowok itu dengan polosnya malah mengangguk.
"Lagian si Fay juga gak keliatan keberatan kali. Tuh, buktinya dia gak bereaksi apa pun." Ferdi membela diri.
"Ck!" Disya memelototi Ferdi dengan tajam. "Kamu pikir kamu keren dengan mainin anak orang begitu? Kamu pikir kamu tambah ganteng dengan ngucapin kalimat-kalimat menyakitkan gitu? Heh, denger, Di, kamu boleh bercanda, tapi jangan lewat batasan!" omelnya geram.
Dia lalu beralih pada Fay. "Ini Fay, teman kita, manusia, cewek, punya hati. Kamu pikir dia gak sakit hati denger ucapanmu tadi?" sambungnya dengan menekankan kata 'teman kita' untuk memperingatkan cowok itu bahwa tindakannya salah.
Mendengar itu, Ferdi hanya salah tingkah tak karuan. Serba salah deh jadi dia. Masalahnya, Disya itu salah satu cewek incarannya, jadi dia harus jaga image di depan cewek itu, kan? Lagian ini ulah teman-temannya, yang bikin dia harus melakukan tindakan bodoh.
"Kamu juga, Fay." Sekarang omelan Disya teralih pada Fay. Dia menggenggam pergelangan tangan cewek itu, menariknya ke luar kelas. Mereka berjalan beberapa langkah sebelum Disya berhenti di tembok samping kelas yang sepi.
"Fay, aku heran deh sama kamu. Kamu kok diapa-apain sama orang diem aja gitu? Kamu gak mau balas gitu kalau ada yang nindas?" Omelan Disya meledak sudah. Sejak hari pertama melihat Fay yang ternyata adalah teman baru di kelas, dia sudah melihat beberapa kejadian yang menurutnya berlebihan.
Seharusnya dia memang tak ikut campur. Seharusnya dia bertindak seperti hari pertama kedatangan Fay, menganggap Fay mampu melindungi diri, sombong, angkuh, dan tak butuh bantuannya. Namun, makin ke sini, Disya justru melihat hal yang tak bisa dia biarkan.
Fay menarik pelan tangannya, Disya juga melepas genggaman. Kemudian, Disya menghela napas. Entah kenapa, sejak kecil, dia adalah orang yang tak bisa melihat penindasan terjadi. Dia tak suka saat melihat anak perempuan dibuat menangis oleh anak laki-laki. Hatinya suka panas sendiri dan kadang tubuhnya refleks bertindak tanpa pikir panjang.
"Gak apa-apa," kata Fay dengan suara pelan.
"Gak apa-apa apanya?" Nada suara Disya tanpa sengaja meninggi dengan sendirinya. Cewek itu menghela napas, berusaha sabar. "Nih, sepatu kamu. Waktu itu sepatu kamu dimainin sama si Febri, kan? Terus berujung dilempar ke tong sampah sama si songong Alka?" cerocosnya.
Fay tak menunjukkan reaksi apa pun.
"Ck!" Disya beristigfar lalu memejamkan mata cukup lama. "Aku peduli sama kamu, Fay. Silakan kalau kamu mau anggap aku gak sopan karena udah ikut campur urusanmu. Tapi, Fay, aku gak suka lihat sikap pasifmu saat ada orang yang mengganggumu. Why? Why, Fay? Karena ada banyak hal yang gak bisa kamu biarin terjadi gitu aja di hidup kamu!"
Entahlah, entah kenapa saat ini di hati Disya hanya ada gelegak amarah yang makin menjadi-jadi. Lalu, hal itu berevolusi menjadi rembesan air mata yang mulai menutupi pandangannya.
"Gak usah repot-repot, aku gak apa-apa," pungkas Fay sebelum berlalu meninggalkan Disya untuk kembali ke kelas.
Kalau boleh jujur, Fay risi dengan sikap cewek itu. Apa ya? Mungkin terkesan sok. Sok peduli, sok berani, padahal cewek itu tak tahu apa-apa tentangnya.
Suasana kelas bertambah ramai, terutama dari rombongan cowok-cowok yang sesekali tertawa lepas, entah tengah mengobrolkan apa. Rombongan cewek juga asyik dengan kelompok sendiri. Fay menatap kosong papan tulis di depan kelas, tetapi kepalanya dengan cepat menayangkan banyak kilasan abu-abu dan hitam.
Suara-suara terasa mulai menjauh, pandangannya juga berangsur lengang. Fay menghela napas. Dia selalu merasa sendirian di tengah keramaian, kesepian di tengah kebisingan. Namun, menurutnya itu lebih baik untuk sekarang. Menyendiri kadang diperlukan, terlebih ketika tak ada yang bisa mengerti keadaanmu sekarang padahal hidupmu tengah begitu berantakan.
"Fay!"
Disya tiba-tiba muncul di depan meja Fay.
Fay mengerjap dan terbangun. Dia menatap datar pada cewek yang berkacak pinggang di depannya itu.
"Ih, aku tuh peduli sama kamu, Fay," sambung Disya. Dia hendak duduk di kursi samping Fay, tetapi cewek itu lebih dulu bangkit berdiri dan melenggang pergi.
Disya dibuat melongo. Namun, ucapan teman-temannya dengan segera menyadarkan cewek itu.
"Kamu sih, sok-sokan mau care sama anak sesombong dia."
"Iya tuh. Sya, aku tahu kamu emang pedulian sama orang, tapi karena itu pula kamu kadang di-toxic-in sama orang. Udah, Sya, jangan peduli kalau dia gak mau dipeduliin."
Mendengar itu, Disya hanya bisa menghela napas.
***
"Baik, kalau kamu mau kerja di sini, upahnya per minggu seratus ribu, jam kerja dari basa Ashar sampai pukul sembilan malam. Bagaimana?"
Ibu-ibu pemilik warung yang dilamar oleh Fay itu tampak berbicara dengan serius. Fay menimbang sebentar, tetapi kemudian dia sudah mendapat keputusan bulat.
"Bersedia, Bu," jawabnya mantap. Tak apalah, walau gaji kecil, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Sebenarnya Fay kemarin takut-takut bertanya tentang loker di warung kopi yang dekat dengan sekolahnya ini. Kebetulan warung ini strategis karena di dekatnya ada sekolah SD, SMP, SMA, dan pangkalan ojek. Sudah jelas ramai pengunjung setiap hari dan memang sang pemilik warung tengah mencari tambahan tenaga. Apalagi selain warung kopi, di sini juga menyediakan aneka jajanan lain, terutama seblak.
"Baiklah. Kamu hari ini training, ya."
Fay mengangguk. Diam-diam hatinya lega. Setidaknya, sekarang dia punya sumber pemasukan meski untuk urusan izin dari ibunya, itu bisa dipikirkan nanti.
🥀🥀🥀
Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro